Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Riba Fadhl Yang Dilakukan Para Petani

Riba Fadhl Yang Dilakukan Para Petani

”Hai Bahansyah, apakah kamu mempunyai beras jenis yang bagus jenis 71?”tanya Abu Jum'ah. Bahansyah menjawab,”Ya, saya punya. Tapi ini pun mutunya bagus,”Abu Jum'ah berkata,”Pada tahun ini, saya ingin melelang ( menawarkan ) beras jenis 71, karena beras jenis ini mutunya baik dan memberikan hasil yang banyak.

Selain itu, ketika dimakan rasanya juga lebih baik dibandingkan beras jenis lainnya.”“Baiklah, wahai Abu Jum'ah,”kata Bahansyah. Abdul Khaliq berkata,”Tapi, sekarang harga beras itu berapa ?”“Pada Sabtu kemarin, di pasar harganya satu pound,”kata Athiyah.”Jadi, apa yang kamu inginkan, wahai Abu Jum'ah ?”tanya Bahansyah.

Baca juga: Penipuan Pada Timbangan Emas

Abu Jum'ah menjawab,”Saya mempunyai beras jenis 102 yang mutu dan rasanya bagus sekali dan saya telah mendengar dari Abdul Jawad Zantut kalau kamu ingin menawar beras jenis 102.” “Benar. Tapi beras jenis 71 harganya lebih mahal jika dibandingkan dengan beras jenis 102,”kata Bahansyah. Abu Jum'ah berkata,”Ya, saya tahu.”“Maaf, saya hanya mengingatkanmu saja,”kata Bahansyah melanjutkan. Abu Jum'ah kembali melanjutkan perkataannya,”Saya akan memberikan kepada kamu 130 kilo beras jenis 102 dan saya akan mengambil 100 kilo beras jenis 71 darimu karena melihat perbedaan harganya.”

“Saya setuju.”kata Bahansyah.”Sepanjang hari ini saya melihat kalian berdua telah memperdengarkan tentang pelajaran fikih yang khusus menyangkut para petani. Tetapi saya lihat, kalian berdua tidak berusaha untuk memperoleh suatu manfaat apa-apa dari pembicaraan tersebut.”komentar Ammar.”Bagaimana bisa begitu ?”tanya Abu Jum'ah. Ammar berkata,”Saya lihat kalian berdua telah sepakat dalam jual beli ini dan kalian telah membuat kontrak transaksi perjanjian ini tanpa berusaha untuk mengetahui bagaimana pendapat agama tentang bentuk jual beli seperti ini dari Syaikh kita.”

Baca juga: Penyelewengan di Pasar Emas

“Maaf Syaikh. Tapi apakah dalam bentuk transaksi yang telah kami sebutkan tadi ada sesuatu yang tidak beres ?”tanya Bahansyah. Syaikh bertanya,”Kamu mengambil 130 kilo beras jenis 102 dan memberikan kepadanya 100 kilo beras jenis 71” “Ya,”jawab Abu Jum'ah. Syaikh berkata,”Transaksi dalam bentuk seperti ini tidak boleh.”“Kenapa tidak boleh ?”tanya Abu Jum'ah.”Karena itu adalah riba.”kata Syaikh.”Bagaimana transaksi seperti itu tergolong riba ?”tanya Bahansyah.

Syaikh menjawab,”Karena ini adalah jual beli barang sejenis yang di dalamnya mengandung riba. Jika ingin melakukan transaksi jual beli dalam barang sejenis yang di dalamnya mengandung unsur riba, lalu supaya jual beli itu boleh ( unsur ribanya hilang ), maka harus dipenuhi dua syarat, yaitu:
  1. Adanya keserupaan dalam kuantitasnya. Jika kamu mengambil 100 kilo, maka kamu juga memberikan kepadanya 100 kilo juga tanpa adanya tambahan atau pengurangan. Jika kamu memberikan tambahan, maka kamu berarti telah melakukan perbuatan riba.
  2. Saling menerima barang di tempat transaksi tersebut. Dengan kata lain, harus terjadi serah terima barang di tempat transaksi.

Jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak ada, berarti kalian berdua telah melakukan riba. Dengan demikian, jual beli itu pun menjadi fasid ( rusak / batal ). Oleh karena itu, kamu tidak boleh memberikan 130 kilo beras jenis 102 kepadanya dan mengambil 100 kilo beras jenis 71 darinya. Sebab, itu adalah riba.”“Wahai Syaikh, apakah tidak bolehnya transaksi seperti ini ada dalilnya ?”tanya Abu Jum'ah. Syaikh menjawab,”Ya, ada. Rasulullah bersabda:

Emas dengan emas harus semisalnya. Perak dengan perak harus semisalnya. Kurma dengan kurma harus semisalnya. Gandum dengan gandum harus semisalnya. Garam dengan garam harus semisalnya. Barang siapa yang menambahkan atau meminta tambah, maka dia telah melakukan riba. Perjual-belikanlah emas dengan perak terserah kamu ( tanpa harus sepadan ) dengan langsung dari tangan ke tangan ( langsung serah terima ). Perjual-belikanlah gandum dengan kurma sesuka kamu dengan langsung dari tangan ke tangan.” (HR. Muslim).

Wahai Syaikh, beras ini tidak termasuk dalam jenis-jenis kelompok yang engkau sebutkan tadi. Lalu bagaimana kamu mengelompokkannya ke dalam jenis itu ?”tanya Bahansyah. Syaikh berkata,”Ya, saya tahu kalau beras tidak termasuk dalam kelompok itu. Tapi, pendapat yang unggul ( rajih ) di kalangan ahli ilmu, bahkan di kalangan jumhur ulama adalah bahwa riba itu dapat terjadi pada seluruh jenis makanan, selain jenis yang telah disebutkan tadi, selama dalam jenis-jenis tersebut tergabung dua hal, yaitu:
  1. Illat ( sebab ) dalam harga.
  2. Illat dalam timbangan dan makanan.
Beras mempunyai sifat yang sama ( bersekutu ) dengan gandum, kurma, garam dalam illat timbangan dan makanan ( yang mengenyangkan ). Karena itu, kalian berdua tidak boleh bertransaksi dalam bentuk yang telah kalian sebutkan.”

Abu Jum'ah bertanya,”Lalu, apa jalan keluar yang diberikan oleh syara' dalam keadaan seperti ini, yaitu jika saya menginginkan beras jenis 71 dan dia menginginkan beras jenis 102 ?” “Jalan keluar yang diberikan oleh syariat dalam keadaan seperti ini adalah memilih salah satu dari dua hal.”jawab Syaikh.”Apakah kedua hal itu ?”tanya Bahansyah. Syaikh menjawab,”Adakalanya kamu dapat memberikan kepadanya 130 kilogram beras jenis 102 dan kamu mengambil darinya ukuran yang sama, yaitu 130 kilogram beras jenis 71 juga tanpa adanya penambahan dari salah satu pihak. Jika kamu melakukan penambahan, maka kamu telah jatuh kepada perbuatan riba karena Rasulullah bersabda:

 فمن زاد أو ازداد فقد أربی
Barangsiapa yang menambahkan atau meminta tambah, maka dia telah melakukan riba.

Bahansyah berkata,”Wahai Syaikh, beras jenis 71 harganya lebih mahal dari beras jenis 102. Lalu bagaimana saya dapat memberikan kepadanya tanpa adanya perbedaan ( timbangan ) dalam kedua jenis itu. Kalau dengan cara seperti ini berarti saya rugi.”“Jika cara seperti ini tidak menyenangkan dirimu, maka tidak ada jalan lain kecuali kamu harus kembali kepada jalan keluar yang kedua. kata Syaikh.”Apakah itu ?”tanya Abu Jum'ah.” Kalian harus melakukan dua transaksi jual beli yang saling berbeda.”jawab Syaikh.”Bagaimana caranya ?”tanya Bahansyah. 

Syaikh berkata,”Abu Jum'ah akan menjual kepadamu 130 kilo beras jenis 102 dengan harganya yang berlaku sekarang di pasar, dan dia akan mengambil harga beras ( menerima uangnya ) tersebut dari kamu seluruhnya. Kemudian, dia akan membeli dari kamu beras jenis 71 dengan harganya yang sekarang berlaku, jika dia mau. Atau kalau tidak, dia dapat membelinya dari selain kamu. Lalu kamu akan menerima harga beras tersebut darinya.

Dengan demikian, kalian berdua telah membuat dua transaksi yang berbeda hingga tidak terjadi riba.”Bahansyah berkata,”Wahai Syaikh, ini sebagaimana yang mereka katakan dalam perumpamaan dari mana telingamu, wahai orang yang melangkah.”

“Sekarang jika dia akan memberikan beras jenis 102 kepadaku dan dia akan mengambil beras jenis 71 dari saya, lalu apa perlunya melakukan hilah ( tipu daya ) seperti ini, di mana dia membeli dariku dan membayar harganya kemudian saya membeli darinya dan saya membayar harganya kepadanya jikalau toh akhirnya dia akan mengambil beras yang dia inginkan dan begitu juga dengan saya. Bukankah hasilnya sama saja ?”kata Abu Jum'ah.

Syaikh berkata,”Ketahuilah bahwa dalam hal teks-teks syara' seperti ini, akal tidak bisa ikut campur tangan. Beginilah yang diperintahkan oleh Rasulullah. Dan para ulama juga sepakat kalau jual beli dalam bentuk seperti ini hukumnya batal.”Abu Jum'ah berkata,”Wahai Syaikh, ada cara lain yang ingin kami ketahui hukumnya.”Apakah itu ?”tanya Syaikh”Caranya yaitu saya memberikan kepadanya 100 kilo beras jenis 102 dan saya mengambil darinya 100 kilo juga beras jenis 71 dan kemudian saya akan memberikan kepadanya dua puluh pound sebagai ganti dari perbedaan harga kedua jenis beras tersebut.”kata Abu Jum'ah.

Syaikh berkata,”Pertukaran dengan bentuk seperti ini juga tidak boleh. Sebab jika terjadi ( terdapat ) kelebihan dalam jual beli barang sejenis, dengan bagaimanapun bentuknya, maka ia telah tergolong pada riba,”Baiklah, selama masalahnya hanya seperti itu, kami akan melakukannya. Segalanya diserahkan kepada Allah. Dan untuk jual beli ini, kami akan membuat dua transaksi yang saling terpisah”kata Abu Jum'ah. Syaikh berkata,”Semoga Allah memberkati kalian.”Ketika Syaikh sedang berbincang-bincang dengan Ammar, Athiyah, Bahansyah, Farid, dan Abdul Khaliq, tiba-tiba anak Athiyah datang dengan tergopoh-gopoh sambil berkata kepada ayahnya,”Wahai Ayah, makan siang sudah dipersiapkan.”“Mari, silakan,”kata Athiyah.

Bahansyah berkata,”Wahai Athiyah, perkenankan kami untuk tidak mengikuti jamuanmu. Sebab saya, Abdul Khaliq, dan Farid akan pergi.”“Apakah telah terjadi sesuatu pada kalian ?”tanya Athiyah.”Ayo, kemarilah dan santaplah makanan ini.”Farid pun berkata,”Izinkan kami pergi.”Athiyah kembali berkata,”Apakah kalian menginginkan saya menyumpahi kalian atau apa ? Bertakwalah kepada Allah dan marilah masuk untuk menyantap makan siang.”Maka, mereka semua pun masuk. Mereka menyantap makan siang itu. Dan Athiyah sendiri tidak henti-hentinya memberikan sambutan hangat kepada mereka.

Athiyah berkata,”Wahai Syaikh, demi Allah, ini adalah hari perayaan ( hari yang menyenangkan ) bagi kami di mana semuanya dapat berkumpul di tempat kami ini. Karena itu, saya ucapkan selamat datang kepada kalian. Kemudian dia menyodorkan hidangan itu, mengambilnya dan mendekatkan kepada orang yang ketiga hingga semua orang yang ada di situ dapat menyantap makanan tersebut.

Setelah itu, dia menghidangkan teh dan mereka minum bersama-sama sambil menyantap hidangan yang lain. Athiyah telah memberikan tanggung jawab kepada anak-anaknya untuk mempersiapkan empat keranjang yang dalam setiap keranjang tersebut berisi sayuran dan buah-buahan. Kemudian, anak laki-lakinya datang dengan mengendarai mobil untuk mengantarkan Syaikh pulang.

Syaikh berdiri, lalu meninggalkan mereka sambil berkata,”Semoga Allah menjaga kalian. Kalian telah memuliakan kami dengan memberikan jamuan ini. Dan hari ini, kami melihat wajah-wajah yang diberkahi oleh Allah.

Semoga Allah menjaga dan melindungi kalian. Untuk yang terakhir kali, saya memperingatkan diri kalian dan juga diriku sendiri untuk tidak melakukan berbagai maksiat kepada Allah yang dapat berupa memakan hak anak-anak perempuan dan lelaki, merampok, melakukan tindakan penyimpangan, menjual hasil bumi ke pabrik arak, dan lain-lain. Karena itu, semua hanya akan menimbulkan kehancuran dan kemiskinan.”Semua berkata,”Insya Allah.”

Mereka semua berdiri untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Syaikh. Athiyah berdiri untuk mengantarkannya sampai ke rumahnya. Ketika mereka sedang berada di mobil yang menuju ke rumahnya, tiba-tiba Syaikh berkata,”Alhamdulillähi rabbil Álamin. Wahai Ammar, dalam diri orang-orang itu telah terdapat banyak kebaikan. Sebab, jika mereka diingatkan, mereka mau mengingatnya. 

Kita telah menyangkal berbagai kemungkaran yang terjadi pada mereka. Kamu lihat, berapa banyak kemungkaran yang telah kita berantas di tengah-tengah masyarakat petani itu hari ini ?”Ammar berkata,”Dengan keutamaan Allah, Allah telah mengarahkanmu ke jalan yang benar dalam melakukan penging karan terhadap masalah-masalah: 
  1. Menguasai jalan-jalan kaum muslimin secara paksa. 
  2. Memakan hak anak-anak perempuan. 
  3. Menanam tanaman yang diharamkan seperti ganja dan heroin.
  4. Menjual anggur ke pabrik pembuatan minuman keras. 
  5. Menjual sperma pejantan. 
  6. Memakan hak buruh. 
  7. Riba fadhl yang terjadi di antara para petani. 
”Engkau telah menjelaskan kalau semua itu adalah haram hukumnya dalam syariat Islam.”kata Ammar. Mobil itu telah sampai ke rumah Syaikh. Syaikh mengucapkan terima kasih atas penghormatan dan jamuan yang diberikan kepadanya. 

Syaikh memberikan sedikit bekal harta kepada Athiyah sebagai hadiah dan balasan. Ini adalah balasan dari sebuah penghormatan Athiyah terhadapnya. Ketika sudah sampai di rumah, Syaikh mengambil buah-buahan dan sayur-sayuran yang diinginkannya. Kemudian meninggalkan bagian bagi muridnya Ammar ke rumahnya. ( yaitu Ammar ). Syaikh meminta Athiyah untuk mengantarkan Ammar kerumahnya.

Athiyah berkata,”Ya saya akan mengantarkannya.”Lalu Athiyah mengantarkan Ammar hingga sampai ke rumahnya, namun itu setelah terjadi kesepakatan antara Ammar dengan Syaikhnya kalau pertemuan besok pagi adalah jam sepuluh pagi. 

Dari Buku Tahzdir Al-Kiram Min Mi'ah Bab Min Abwabil Haram yang ditulis oleh Ibrahim bin Fathi bin Abdul Al-Muqtadir