Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pendidikan Aceh Zaman Perjuangan Melawan Belanda

Pendidikan Aceh Zaman Perjuangan Melawan Belanda

Sifat metropolitan dari pendidikan dayah pada masa kesultanan Aceh merupakan suatu faktor penting bagi kesinambungan tradisi pendidikan di Aceh pada masa Belanda. Yang dimaksudkan konsep metropolitan disini ialah bahwa pendidikan dayah itu tidak tergantung pada sumber daya lokal saja dan tradisi itu tidak bersifat eksklusif.

Disebabkan pendidikan di Aceh tidak berdiri sendiri. maka dalam perangpun pendidikan itu dapat dipertahankan dengan berhijrah ulama-ulama untuk terus mengembangkan tradisi pendidikan dayah itu ditempat lain yang tidak terjangkau oleh perang itu. Tradisi ini merupakan tradisi yang telah berkembang di Timur Tengah sejak masa awal Islam di sana merantau ( tarvelling ) untuk mencari ilmu merupakan yang sangat dimuliakan dalam Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Banyak ulama-ulama dari Malaka lari dan menetap di Aceh dan menjadi salah satu pilar yang sangat penting dalam perkembangan pendidikan dan peradaban Islam di Aceh.

Baca juga: Jejak Pendidikan Aceh Sebelum Perang

Demikian juga sebaliknya pada waktu Aceh diperangi Belanda, ulama-ulamanya lari ke Keudah dan melanjutkan tradisi pendidikan mereka. Islam. Sebagaimana telah disinggung diatas, setelah perang meletus. disamping banyak ulama dayah di Aceh yang terlibat dan menjadi pemimpin perang melawan Belanda banyak juga diantara mereka yang melarikan diri ke Semenanjung Malaya, khususnya negeri Keudah, Malaysia sekarang. 

Salah satu tempat penting dimana mereka berkumpul adalah negeri Yan di Keudah dan disinilah antara lain mereka melanjutkan tradisi pendidikan dayah selama perang Aceh. Bukan hanya para ulama yang lari ke negeri Yan tersebut, tetapi juga para pelajarnya turul pergi ke negeri Yan untuk belajar pada ulama-ulama Aceh yang melanjutkan pendidikan mereka disana. Menurut informassi yang diperoleh Tgk. M. Daud Zamzamy dari gurunya Tgk. Haji Hasan Kreung Kalee yang belajar di Negeri Yan, banyak ulama-ulama dan pelajar-pelajar dari dayah Tgk. Syekh Di Lamnyong yang melarikan diri ke Yan untuk melanjutkan tradisi pendidikan dayah tersebut.

Tgk. Haji Hasan Kreung Kalee dan ulama-ulama lainnya yang belajar di Yan pada ulama Aceh yang melarikan diri itulah antara lain menjadi penyambung tradisi pendidikan dayah di Aceh pada masa penjajahan Belanda. Sampai sekarangpun di Negeri Bagian Keudah Malaysia, masih terdapat komunitas masyarakat Aceh yang diperkirakan berasal dari mereka yang lari waktu zaman Belanda. Begitu peranan Negeri Yan dalam membantu kesinambungan tradisi pendidikan dayah di Aceh dapat diketahui dari beberapa nama ulama dayah di Aceh yang memakai istilah Yan pada akhir namanya seperti Tgk. Muhammad Irsyad sebagai pendiri dayah le Leubeue yang dikenal Teungku Syik Di Yan yang juga merupakan salah seorang dari guru Tgk. Haji Hasan Kreung Kalee.

Baca juga: Tradisi Pendidikan di Aceh

Tokoh ulama lainnya yang memakai istilah Yan pada akhir namanya adalah teungku Syik Oemar Diyan, yaitu ayahanda dari Teungku Haji Hasballah Indrapuri dan Teungku Lam U, ayahanda Drs. H. Athaillah, Ketua Majelis Pendidikan Daerah Istimewa Acch sekarang. Sebagai murid-murid yang pernah belajar di Yan baik pada ulama Aceh sendiri maupun pada ulama-ulama lainnya, Tgk. Haji Hasan Kreung Kalee, Teungku Abu Lam Ue, Teungku Hasballah Indrapuri, dan lain-lain merupakan tokoh-tokoh penting dalam kesinambungan tradisi pendidikan dayah sejak awal abad ke 20 ini di Aceh. Mertua Tgk. H. Zamzamy. Tgk. Mahyiddin sebagai pendiri dayah Riadhussalihin, juga belajar pada seorang ulama dari Yan yang mendirikan dayah di Gampung Are, Garut, Pidie.

Di samping tokoh-tokoh ulama yang pulang dari Yan tersebut ada juga tokoh-tokoh lain yang langsung pulang dari Mekkah selama pendudukan Belanda. Sebagai contohnya adalah Tgk. Haji Hasballah Meunasah Kumbang di Pasce, Tgk. Haji Muhammad Thahir Cot Plieng dari Dayah Cot Plieng. Tgk. Haji Jakfar Siddiq dari Dayah Jeureula atau yang terkenal dengan Teungku Syik Lam Jabat dan lain-lain. Tgk. Syik Lam Jabat belajar di Tanoh Abee sebelum pergi ke Mekkah setelah perang Aceh mulai mereda. Menurut informasi yang ada pada Tgk. Daud Zamzamy, ketua P.B. Dayah Inshafuddin, Tgk. Haji Muhammad Thahir Cot Plieng pernah bertemu dengan Snouck Hurgronje sewaktu beliau belajar di Mekkah, dan langsung pulang ke Aceh sewaktu mendengar bahwa Snouck Hurgronje ditugaskan di Aceh.

Snouck Hurgronje mengetahui tentang kepulangannya itu, tetapi tidak berhasil menemukannya, karena beliau telah menyamar dengan menggugurkan giginya. Menurut A. Hasjmy beliau syahid dalam perang dengan Belanda pada tahun 1902. Teungku Haji Hasan Kreung Kalee sempat juga belajar di Mekkah di samping belajar di Yan dan tempat-tempat lainnya di Aceh. 

Di antara dayah-dayah yang timbul di abad ke 20 ini, terutama yang dipimpin oleh lulusan Negeri Yan, Dayah Kreung Kalee di Kecamatan Darussalam nampaknya memegang peranan yang sangat menonjol. Dayah Kreung Kalce memang sudah berkembang sebelum dipimpin oleh Tgk. Haji Hasan Kreung Kalee karena orang tua beliau sendiri yaitu Tgk. Hanafiah adalah ulama dayah.

Di samping itu pendidikan dayah di desa Kreung Kalee memang sudah terkenal dengan tokoh-tokoh ulama lainnya seperti Teungku Haji Muda yang terkenal dengan lakab Teungku Syik Krueng Kalee yang sezaman dengan Teungku Haji Syik Di Tiro Muhammad Saman. Di bawah pimpinan Teungku Haji Hasan Kreung Kalce dayah ini menjadi dayah yang sangat terkenal yang dikunjungi oleh pelajar-pelajar dari seluruh wilayah Aceh. Di antara pelajar-pelajar yang pernah belajar di Krueng Kalee termasuk tokoh-tokoh pembaharuan di Aceh yaitu Teungku Muhammad Daud Beureuch dan Teungku Professor Hasbi Ashshiddiqi. Kelompok Teungku Daud Beureueh menjadi tokoh penggerak pembaharuan pendidikan melalui sebuah organisasi yang diberi nama dengan Persatuan Ulama Seluruh Aceh atau PUSA.

Di tangan tokoh-tokoh inilah sebagian lembaga pendidikan dayah dan meunasah di Aceh di modernisir dan dijadikan sebagai sekolah yang pada waktu diserahkan kepada pemerintah Indonesia diberi nama Sekolah Rendah Islam atau SRI. Di samping itu juga mereka mendirikan berbagai madrasah lainnya dengan tradisi yang berbeda dari pendidikan meunasah yang ada dalam masyarakat Aceh.

Teungku Haji Hasan Kreung Kalee tetap berada dalam tradisi pendidikan dayah yang tradisionil, yang mendirikan sebuah organisasi yang bernama Persatuan Tarbiyah Islamiyah atau Perti. Karena Perti kemudian menjadi satu partai politik selanjutnya pada tahun 1968 dayah tradisionil di Aceh membentuk organisasi lain yang bernama Persatuan Dayah Ishafuddin yang lebih khusus mengurus kepentingan pendidikan dayah dengan aliran tradisi onilnya itu.

Banyak tokoh-tokoh yang menjadi pemimpin kedua organisasi ini adalah keluaran Krueng Kalee yang telah mendirikan dayah di daerahnya masing-masing. Di antara teungku-teungku aliran tradisionil yang pernah belajar di Krueng Kalee dan men dirikan dayahnya termasuk Tgk. H. Muda Wali Al-Khalidi, seorang ulama yang terkenal yang berasal dari Labuhan Haji Aceh Selatan. Selain Tgk. H. Muda Wali Al-Khalidi yang pernah belajar di Kreung Kalee keluaran Kreung Kalee yang lain termasuk Teungku Haji Mahmud di Blang Pidie, Teungku Jailani Musa di Kluet Utara, Teungku Muhammad Saleh di Iboh, Pidie, Teungku Muhammad Amin di Ribee, Pidie, Teungku Abdul Jalil, menantu Teungku Thahir di Cot Plieng, Aceh Utara yang terkenal karena berontak kepada Jepang. Teungku Abdullah Tumpok Teungoh, orang tua dari Drs. H. Abdul Fattah, rektor IAIN Ar-Raniry sekarang. Teungku Muhammad Saleh di Jeunib, orang tua dari Teungku Abdul Aziz dari Dayah Samalanga dan lain-lain.

Dayah Kreung Kalee mulai berkembang sejak zaman Belanda dan merupakan dayah yang sangat menonjol dari generasi itu. Di samping dayah-dayah tersebut banyak dayah-dayah yang didirikan pada peralihan abad ke 20 ini. Dalam daftar ini termasuk dayah Lam Seunong. Dayah Indrapuri, Dayah Lambhuk, Dayah Ulee Susu, Dayah Tanoh Mirah di Bung Cala, Kuta Baro, sampai Dayah Di Jeureula di Suka Makmur dan Dayah Darussalam Labuhan Haji di Aceh Selatan. Informasi tentang dayah-dayah ini masih sulit untuk diketemukan dan memerlukan penelitian-penelitian yang intensif.

Menurut Teungku Daud Zamzamy. Dayah Darussalam Labuhan Haji adalah dayah yang didirikan pada zaman Jepang. Sesudah dayah Kreung Kalee mundur maka kader-kader dayah pada umumnya dididik pada dayah Darussalam Labohan haji di Aceh Selatan. Di antara lulusan Labohan Haji yang menjadi pemimpin dayah yang menonjol adalah Teungku Haji Abdullah Hanafi di Tanoh Mirah, Teungku Haji Abdul Aziz Saleh di Samalanga, Teungku Haji Muhammad Amin Mahmud Di Blang Bladeih, Teungku Abdul Wahab di Jeunib, Aceh Utara, Teungku Matang Peureulak di Aceh Timur, Tgk. Daud Zamzamy di Aceh Besar, Teungku H. Abubakar Sabil dan Teungku Ibrahim Ishak di Aceh Barat dan lain-lain.

Pemimpin dayah yang lahir sebagai kader-kader dayah Kreung Kalce sampai yang lahir dari dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan nampak merupakan pemimpin dayah yang berbeda dengan ulama-ulama dayah sebelum mereka. Kalau pada generasi sebelum kedatangan Belanda ulama dayah di Aceh lebih bersifat metropolitan, karena tradisi dari pendatang-pendatang dari luar negeri ataupun pernah belajar ke tanah suci, generasi baru ini tidak lagi bersifat metropolitan, karena mereka pada umumnya hanya belajar pada dayah-dayah di Aceh saja. Apalagi dengan bertambah pengaruh pendidikan Belanda di Aceh dan Nusantara ini, tokoh-tokoh yang lebih berwatak metropolitan itu telah berubah menjadi pembaharu-pembaharu seperti halnya Teungku Muham mad Daud Beureuch. Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap dan lain-lain.

Jadi, peperangan dengan Belanda yang menghabiskan sejumlah kader-kader ulama, terjadinya pembaharuan di Arab dan di Mesir, dan pengenalan pendidikan Barat di Indonesia telah melahirkan suatu proses lokalisasi terhadap tradisi pendidikan dayah di Aceh. Dan nampaknya pendidikan dayah di Aceh akan sulit berkembang apabila pendidikan dayah yang tradisionil ini tidak dapat keluar lagi dari lokalisasi itu dan menemukan kembali orientasinya yang metropolitan.

Kutipan dari Tulisan Dr.H.Safwan Idris,MA tentang Perkembangan pendidikan pesantren di Aceh ( antara tradisi dan pembaharuan )