Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Jejak Pendidikan Di Aceh sebelum perang

Jejak Pendidikan Di Aceh sebelum perang

Masyarakat Aceh sekarang ini sedikit sekali mengetahui tentang keadaan pendidikan dayah di Aceh sebelum perang Aceh pada tahun 1873. Ini antara lain disebabkan bahwa perang Belanda di Aceh tersebut telah menghambat dan merusak pendidikan sistem dayah yang ada di Aceh dan sesudah Belanda mulai berkuasa di Aceh mereka membangun sistem pendidikan Barat di Aceh.

Teungku Syik sampai pendidikan pada Al-Jami'ah seperti Al-Jami'ah Mesjid Raya Baitulrahman di Banda Aceh yang pada masa Iskandar Muda memiliki 44 orang Guru Besar yang datang dari Arab, Turki, Persia dan India.

Baca juga: Perkembangan Dayah Di Aceh

Bahwa pendidikan tinggi pada Al-Jami'ah Baitulrahman dimasukkan ke dalam sistem pendidik-an dayah didasarkan pada kenyataan bahwa mesjid itu sendiri menjadi pusat dari pendidikan tinggi tersebut yang merupakan ciri khas dari sistem pendidikan dayah. Disamping itu dalam catatan sejarah yang ada kita tidak pernah mendengar ada sistem pen-didikan yang lain di Aceh pada waktu itu.

Ada tempat-tempat yang sekarang masih dipelihara dengan baik seperti di makam Tgk. Siyah Kuala, di kuala ( muara ) Kreung Aceh, Dayah Teungku Awee Geutah di Peusangan Aceh Utara, Dayah Tgk. Syik Tanoh Abee di Seulimum Aceh Besar, Dayah Tgk. Di Anjong. Planggahan Banda Aceh, dan lain-lain. Tetapi ada juga situs-situs peninggalan dayah yang tidak diurus dan dipelihara lagi seperti situs Dayah Tgk di Lamnyong, disebelah barat kampus Darussalam.

Baca juga: Kedudukan Meunasah Dalam Masyarakat Aceh

Di wilayah kebupaten Aceh Besar banyak sekali terdapat situs atau tempat-tempat peninggalan dayah ini seperti Tanoh Mirah di Kemukiman Bung Cala Kecamatan Kutabaro, di Kuta Karang Kecamatan Darul Imarah, di Kreung Kalee, kecamatan Darussalam, di Jeureula kecamatan Suka Makmur dan sebagainya. Pada bekas-bekas lembaga dayah tersebut masih dapat dijumpai fondasi mesjidnya, atau kolam besarnya, sumur-sumur yang telah berumur puluhan bahkan ratusan tahun, serta sejumlah kuburan dari pada ulama-ulama, guru-guru atau teungku.

Pendidikan dayah di Aceh sebelum perang dapat dipelajari dari situs-situ tersebut sebagai contoh satu dayah saja misalnya dapat memberikan kepada kita bagaimana keadaan pendidikan dayah pada masa tersebut. Ambil saja misalnya pendidikan dayah di desa Krueng Kalee, kecamatan Darussalam.

Menurut tanda-tanda yang masih ada di desa tersebut, di sana bukan hanya terdapat satu dayah saja. Disana terdapat beberapa dayah yang tersebar mulai dari desa Keubok di ujung sebelah barat desa Siem sekarang, sampai keperbatasan desa Krueng Kalee dengan daerah persawahan di sebelah Timur. Dari cerita orang-orang tua memang seluruh desa Krueng Kalee merupakan satu kampung para santri yang datang dari berbagai daerah di Aceh. 

Baca juga: Organisasi Pendidikan di Aceh

Sekarang ini di sana tidak ada satu dayah pun dan situs-situs dayah yang adapun hampir dilupakan orang. Situs atau lokasi dayah dari generasi awal yang masih sangat diingat orang tentu saja situs kuburan Tgk. Syiah Kuala. Menurut sebagian cerita, daerah antara desa Lampulo di ujung Peunayong Banda Aceh sekarang sampai desa di sebelah Timur makam Tgk. Syiah Kuala dahulu dipenuhi oleh berbagai lembaga pendidikan dayah. Barangkali nama desa dayah yang terdapat di sebelah Timur makam Tgk. Syiah Kuala itu sendiri merupakan nama yang diperoleh karena di desa itu ada dayah di masa lampau. Menurut Tgk M. Dahlan Al-Fairusy, ahli waris dari pada Tanoh Abee di Seulimum, pendiri dari dayah Tanoh Abee itu sendiri adalah seorang ulama yang bernama Syekh Nayan yang pernah belajar pada sebuah dayah di ujung Peunayong yaitu pada Syekh Baba Daud Ali. Syekh Baba Daud Ali itu sendiri adalah murid dari Tgk Abdurrauf Syiah Kuala. Masyhurnya daerah ini sebagai pusat pendidikan dayah dapat diperkirakan dari kehadiran Syekh Abdurrauf Syiah Kuala itu sendiri ke tempat itu. Tgk. Syiah Kuala yang nama lengkapnya Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Al-Fansury As-Singkili, dilahirkan di Fansur, Singkil, Aceh Selatan, tetapi setelah belajar di Arab sampai 19 tahun datang ke Banda Aceh dan menetap di Kuala Aceh sebagai seorang mufti dan ulama yang aktif dalam pendidikan dan pemerintahan.

Dayah Tgk. Syiah Kuala bukanlah dayah yang awal sekali yang terkenal dalam sejarah pendidikan dayah di Aceh. Dayah yang paling awal yang paling terkenal dalam sejarah pendidikan dayah di Aceh mungkin dayah atau zawiyah Cot Kala. Menurut A. Hasjmy Dayah Cot Kala merupakan dayah yang pertama di Aceh yang didirikan oleh Teungku Syik Muhammad Amin yang terkenal dengan nama Tgk. Cot Kala yang kemudian menjadi raja Peureulak dengan gelar Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat ( 310-334 H. atau 922-964 M ).

Melihat kepada tahun hidupnya Tgk. Syik Cot Kala, memang dayah ini merupakan dayah yang sangat awal dalam sejarah pendidikan dayah di Aceh karena menurut A. Hasjmy kerajaan Islam Peureulak merupakan kerajaan Islam yang pertama di Nusantara. Selanjutnya A Hasjmy menjelaskan bahwa dayah Cot Kala adalah pusat kegiatan pendidikan dan ilmu pengetahuan yang banyak menghasilkan ulama, juru dakwah, pendidik, dan pemimpin yang telah sangat berperan dalam pembangunan kerajaan Peureulak, Samudra Pase, Beunua ( Tamiang ). Lingga, Pidie, Daya dan Lamuri.

Sebagai contoh beliau menyebutkan Teungku Kawee Teupat, dan Tgk. Syik Lampeuneu'eun. Teungku Kawce Teupat adalah keluaran dayah Cot Kala, pindah ke Aceh Tengah, dan membangun kerajaan Islam Lingga pada tahun 416 H. atau 1025 M. Sedangkan Tgk. Syik Lampeuncu'eun, yang orang tuanya berasal dari Kan'an Palestina, setelah menamatkan pendidikannya di Cot Kala, pindah ke Lamuri. Aceh Besar dan menjadi pendakwah Islam yang pertama di Aceh Besar.

Dayah yang dibangun pada masa awal ini bekasnyapun sudah sulit sekali untuk ditemukan sekarang ini. Demikian juga dayah-dayah yang lainnya pada awal kemajuan Islam di Aceh. Ulama-ulama terbesar seperti Syamsuddin As-Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nasruddin Ar-raniry, dan lain-lain adalah yang memiliki dayah atau berorientasi dengan dayah-dayah tertentu. Tetapi catatan-catatan tentang dayah-dayah mereka sulit diperoleh sekarang ini.

Demikian juga Jami'ah Baiturrahman sebagai lembaga pendidikan sistem dayah yang memiliki berbagai fakultas ( dars ), fungsinya sebagai lembaga pendidikan dayah ini tidak terlihat lagi, mungkin sejak dibakar oleh Belanda. 

Dari zaman sesudah Syiah Kuala nampaknya ada dua dayah penting yang masih ada sisa-sisanya yang sangat penting dewasa ini yaitu Dayah Tanoh Abee di Seulimeum, Aceh Besar dan Dayah Tgk. Awee Geutah, di Peusangan Aceh Utara.

Kedua dayah ini dianggap sangat penting karena meninggalkan banyak sekali naskah kitab-kitab ulama Aceh terutama pada dayah Tanoh Abee di Seulimeum itu. Dayah Tanoh Abee didirikan oleh Tgk. Syekh Nayan, murid dari Syekh Baba Daud, atau anak dari Fairus Al-Bagdady, seorang ulama yang berasal dari Bagdad dan diangkat oleh kerajaan Aceh sebagai seorang kadhi.

Setelah belajar pada Syekh Baba Daud, Syekh Nayan mendirikan dayah di Tanoh Abee sebelah Timur dari tempat dayah sekarang. Salah seorang dari keturunan dari Syekh Nayan ini, bernama Syekh Abdul Wahab yang terkenal dengan nama Teungku Syik Tanoh Abee. Menurut Tgk. M. Dahlan sebagai salah seorang pewaris Dayah Tanah Abce sekarang, sebagaimana ditulis oleh Zaslina dalam skripsinya, beliau inilah yang menyalin beribu-ribu kitab dan naskah Islam baik dalam bahasa Jawi maupun dalam bahasa Arab dari abad-abad sebelumnya. Naskah-naskah inilah yang antara lain telah membuat Dayah Tanoh Abee begitu penting dalam sejarah pendidikan dayah di Aceh sekarang ini.

Disamping pada Dayah Tanoh Abee, pada Dayah Tgk. Di Awee Geutah di Peusangan. Aceh Utara juga terdapat naskah-naskah lama, dalam jumlah yang lebih kecil dan kurang 23 Dayah di Awee Geutah ini didirikan oleh seorang ulama besar yang bernama Tgk. Syekh Abdur Rahim. Menurut ahli warisnya yang mengurus dayah tersebut sekarang ini Tgk. Syekh Abdur Rahim tersebut adalah seorang yang dikirim oleh Sultan Aceh sebagai mufti kerajaan untuk wilayah Timur.

Di samping naskah-naskah tua yang tidak begitu terurus, pada dayah ini terdapat sebuah rumah tradisionil Aceh yang merupakan peninggalan dari Tgk. Abdur Rahim tersebut atau yang terkenal dengan Tgk. Di Awee Geutah. Di tempat ini pula Almarhum Tgk. Di Awee Geutah tersebut dimakamkan. Seperti halnya kuburan atau makam Tgk. Syiah Kuala. kuburan ini banyak dikunjungi orang yang ingin melepaskan nazar mereka, atau orang yang ingin berkhalwat atau melakukan suluk yaitu suatu cara beribadat yang ada dalam thariqat-thariqat. Sebagimana Tgk. Syiah Kuala, Tgk. Di Awee Geutah tersebut juga dianggap sebagai seorang yang keuramat oleh warga masyarakat.

Menjelang kedatangan Belanda, di Aceh memang terdapat sejumlah dayah termasyhur bukan saja di Aceh tetapi terkenal sampai keluar Daerah Aceh. Salah satu yang sangat terkenal adalah dayah Tek. Syik Di Lamnyong, yang terletak di sebelah Barat kampus Darussalam sekarang ini. Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Dayah Inshafuddin. Tgk. M. Daud Zamzamy, sebelum kedatangan Belanda pada dayah ini terdapat pelajar pelajar dan guru-guru dari Arab, Mesir, Persia, India dan daerah-daerah lainnya di Nusantara. Informasi ini diperoleh oleh Tgk. M. Daud Zamzamy dari gurunya Tgk. H. Hasan Kreung Kalee, yang mengetahui keadaan ini dari ulama-ulama dan santri-santri dayah tersebut yang lari ke Negeri Keudah di Semenanjung Melaya untuk meneruskan pengajaran agama Islam di sana setelah Aceh diperangi oleh Belanda.

Menurut A. Hasjmy Dayah Tgk. Syik Di Lamnyong didirikan oleh Tgk. H. Abdussalam yang terkenal dengan lakab Tgk. Syik Di Lamnyong. Jenazah Tgk. Syik Di Lamnyong dimakamkan di kompleks dayah tersebut yang sekarang ini sudah dijadikan kompleks pemakaman penduduk Kopelma Darussalam.

Dari penyelusuran terhadap jejak-jejak pendidikan dayah Aceh dalam zaman kesultanan Aceh sebelum diperangi oleh Belanda pada tahun 1873, dapat kita melihat bahwa pendidikan dayah pada waktu itu sangat metropolitan. Ulama-ulama yang menjadi pemimpin dayah banyak yang datang dari luar negeri dan menetap di Aceh dalam berbagai lembaga pendidikan dayah.

Demikian juga ulama Aceh sendiri merupakan ulama besar yang banyak pengalaman akademisnya. Sebagaimana dialami oleh kolega-kolega mereka di Arab, di Persia, di Mesir dan di negara-negara Islam besar lainnya, ulama-ulama Acehpun terlibat dalam permasalahan-permasalahan dan perselisihan-perselisihan dalam ilmu dan pandangan serta pemikiran keagamaan.

Perselisihan pandangan agama ini sampai kepada pembunuhan dan pengrusakan kitab seperti yang dilakukan oleh Syekh Abdul Jalil dan Syekh Nuruddin Ar-Raniry. Syekh Abdul Jalil yang hidup pada awal abad ke 15 adalah seorang penganut paham Wihdatul Wujud yang bersahabat dengan raja Bakoy Ahmad Permala, tokoh pengu asa yang menganut paham serupa dari Samudera Pase, yang memerintah untuk membunuh lebih 40 orang ulama ahlu Sunnah.

Demikian sebaliknya kitab-kitab Hamzah Fansury dan Syamsuddin As-Samathrani sebagai penganut paham Wihdatul Wujud dibakar pada masa Sultan Iskandar Tsani berdasarkan fatwa yang dibuat 27 oleh tokoh suni Syekh Nuruddin Ar-Raniry.

Kutipan dari Tulisan Dr. H.Safwan Idris,MA, tentang Perkembangan pendidikan pesantren di Aceh ( antara tradisi dan pembaharuan )