Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hukum Menjual Sperma Sapi Pejantan

Hukum Menjual Sperma Sapi Pejantan

Abu Jum'ah berkata,”Bahansa, sekarang sapi ada di sini ?”“Ya, ada di kandang, di depan,”jawab Bahansa.”Aku ingin mengawinkan sapi,”ujar Abu Jum'ah mengutarakan maksudnya.”Terserah kamu ya Abu Jum'ah,”jawab Bahansa.”Bayangkan Bahansa, kemarin aku menemui Darwisy Al-Halbawi untuk mengawinkan sapi. Namun ia meminta sepuluh pound dariku,”kata Abu Jum'ah.”Tidak boleh begitu. Itu zalim. Manusia itu harus punya kasih sayang dalam bertransaksi dengan manusia yang lain. Tapi, bagaimana dengan pendapatmu ya Syaikh ?”tanya Bahansa kepada Syaikh.”Kalian berdua bicara tentang apa ?”kata Syaikh, balik bertanya.”Tentang mengawinkan hewan ternak. Aku katakan bahwa para pemilik sapi jantan itu tidak punya belas kasih kepada manusia.

Baca juga: Hukum Menjual Anggur Kepabrik Miras

Salah seorang dari mereka ingin sepuluh pound setiap kali mengawinkan hewan tersebut,”kata Abu Jum'ah menerangkan.”Apakah mengawinkan sapi jantan dengan sapi betina itu pun dijual ?”tanya Syaikh, kembali.”Benar, apa ada masalah ya Syaikh ?”tanya Bahansa.”Benar, bahkan ada banyak masalah. Penjualan seperti ini dinamakan dalam istilah fukaha dengan penjualan ‘Asab Al-Fahl. Yakni, Asab adalah sperma, sedang Al-Fahl adalah hewan jantan.”“Bagaimana hukum tentang hal itu dalam agama ya Syaikh,”tanya Athiya.”Ini merupakan penjualan yang diharamkan dan tidak boleh. la adalah penjualan yang fasid dan tidak sah.”

Baharta berkata,”Ya Syaikh, segalanya haram. Tindakan tersebut tidak boleh. Sebab, penjualan tersebut merupakan tradisi moyang kami waktu kami terlahir ke dunia ini. Itulah yang mereka perbuat dan semua orang pun melakukan hal yang sama, tanpa pernah kami dengar seorang pun yang mengatakan haram sampai Anda datang kemudian mengharamkannya. Apa landasanmu dalam mengharamkan penjualan sperma pejantan ?”Syaikh menjawab,”Semoga Allah memberikan petunjuk kepadamu.

Baca juga: Hukum Menanam Tanaman Ganja

Aku tidak mengharamkan sesuatu karena keinginanku, melainkan karena syara’ yang hanif. Dialah yang mengharamkan dan menghalalkan segala sesuatu. Inilah dalil-dalil yang mengharamkannya. Ibnu Umar berkata:
Rasulullah melarang dari ( menjual ) sperma ( hewan ) jantan. (HR. Al-Bukhari)

Dari Jabir:
Rasulullah melarang menjual sperma unta. (HR. Muslim)

Dari Ibnu Abbas:
Rasulullah melarang menjual malaqih. (HR. Ath-Thabarani).

Malaqih adalah segala sesuatu yang ada dalam perut unta. Ibnu Mundzir berkata,”Mereka sepakat atas fasid-nya menjual segala sesuatu yang ada dalam perut dan dikandung”Semua dalil-dalil itu merupakan dalil yang memastikan haram dan fasid-nya penjualan ini.

Penjualan itu memang demikian adanya karena beberapa hal.”“Apa itu ?”tanya Bahansa memotong. Syaikh menjawab,”Yaitu:
  1. Bahaya. Yakni, membahayakan si pembeli. Sebab, penjualan itu mengandung unsur bahaya. Pasalnya kamu tidak tahu apakah sapi betina itu sanggup menahan perkawinan itu atau tidak.
  2. Penjualan itu merupakan penjualan yang tidak diketahui dan tidak pula bernilai.
  3. Penjualan itu merupakan penjualan yang tidak mampu diserahkan. Sebab, si penjual tidak dapat menyerahkan sperma sapi jantan itu terlebih dahulu untuk kemudian diberikan ke sapi betina. Pasalnya hal itu terkait dengan pilihan sperma dan hasrat seksual si sapi. Sebab, bisa jadi sapi jantan itu telah mengawini lebih dari satu sapi betina dalam satu hari. Tidak diragukan lagi, kemungkinan ini akan membuat sapi jantan itu lemah. Mungkin saja sapi jantan itu mencam puri sapi betina, namun tidak keluar sperma. Bukankah kemungkinan kuat ini bisa terjadi. Sebab, sapi pun memiliki kekuatan yang terbatas ?”

Abu Jum'ah berkata,”Ini sering terjadi. Kadang salah seorang dari kami mengawinkan sapi betinanya dua atau tiga kali ke lebih dari satu sapi, namun tetap saja tidak hamil.”“Bukankah aku telah katakan seperti itu ?”kata Syaikh, setuju. Syaikh meneruskan,”Kita memiliki beberapa syarat yang membuat jual beli menjadi sah: tidak ada unsur bahaya, dapat diketahui, mampu untuk menyerahkan barang. Ketiga syarat itu tidak ada dalam jenis jual beli ini. Sehingga, jual beli ini menjadi fasid dan terlarang.”

“Ya Syaikh, kami memberi makan sapi itu lebih banyak daripada memberi makan ternak yang lain. Kerja keras yang tercurah ini harus mendapat penilaian. Oleh karena itu, kami harus mengambil upah memberi makan sapi tersebut,”ungkap Bahansa, beralasan. Syaikh menjawab,”Ini adalah bantahan yang tidak benar. Sebab, kamu tetap akan memberi makan sapi itu dengan tujuan untuk dijual spermanya ataupun tidak.

Oleh karena itu, tidak ada celah untuk melakukan bantahan. Pasalnya sapi itu adalah hartamu dan kamu tidak boleh membiarkannya tanpa makanan.”Bahansa berkata,”Sepanjang mengambil upah atas perbuatan itu haram, maka aku akan melarang sapi mengawini sapi betina milik orang orang. Sebab, dengan perbuatan itu, banteng tersebut menjadi kurus dan bobotnya berkurang.”

Syaikh berkata,”Mengapa kamu tidak menjadikan itu sebagai sedekah atas hartamu dalam rangka menyucikan hartamu. Sebab, banyak hadis yang menganjurkan untuk memberikan sedekah.”“Insya Allah akan aku lakukan. Tapi kata Bahansa. ”Tapi apa ?”tanya Syaikh, menyela.”Ya Syaikh, kadang sebagian orang memberikan sesuatu kepada kami tanpa diminta dan diinginkan. Bahkan, kadang kami menolak untuk mengambilnya. Namun dia bersikeras atas pemberiannya. Jika demikian, bolehkah kami mengambil pemberian itu ?”

Syaikh menjawab,”Semoga Allah memberkatimu. Ini adalah penghormatan sebagaimana dinamakan oleh syara’ yang hanif dan orang-orang. Anas berkata,”Seorang lelaki dari Bani Ash-Sha'aq, salah satu keturunan Bani Kilab datang kepada Rasulullah Dia kemudian bertanya kepada Rasulullah tentang ( menjual ) sperma pejantan. Rasulullah lalu melarangnya. Dia berkata,”Kami ( diberikan ) kehormatan dalam hal itu. Maka, Rasulullah pun memberi keringanan padanya pada ( pemberian ) penghormatan Jika pemilik hewan betina itu memberikan hadiah atau penghormatan kepada pemilik hewan jantan dan bukan sewa, itu boleh. Sebab, itu merupakan hal yang boleh.

Oleh karena itu, mengambil hadiah tersebut dibolehkan. ”Maksudnya, jika memberikan suatu hadiah atau apa yang kami sebut penghormatan, kami boleh mengambilnya ?”tanya Bahansa. Syaikh menjawab,”Tidak boleh, kecuali dengan dua syarat.”“Apa kedua syarat itu ?”tanya Bahansa, kembali. Syaikh menjawab,”Pertama, bukan atas permintaan pemilik sapi.”“Kita telah sepakat untuk tidak meminta apa pun. Lalu apa syarat yang kedua, ? ujar Bahansa, mendesak. ”Syaikh meneruskan perkataannya,”Kedua, tidak ada ketamakan diri ( israf nafs ) di belakang pemberian itu.”

”Apa makna ketamakan diri itu ?”tanya Bahansa, konfirmasi, Syaikh menjawab,”Artinya, orang yang memberi kepadamu lebih kamu sukai daripada orang yang tidak memberi. Sehingga, kamu akan menerima orang yang akan memberi kepadamu dengan senang hati dan apabila dia datang kepadamu, maka kamu tidak akan menolaknya tanpa memberikan hewan jantanmu untuk sapi betinanya.

Adapun terhadap orang yang tidak memberi, kamu bermuka masam dan menolaknya berkali-kali. Atau, kamu beralasan bahwa sapimu sakit, menyebutkan bahwa sapimu terlalu banyak melakukan perkawinan pada hari ini, atau mengatakan tidur.

Akibatnya orang itu datang kepadamu, hingga akhirnya ia memberikan sesuatu kepadamu, padahal dia terpaksa melakukannya. Jika kamu melakukan demikian, maka kamu sama saja dengan orang yang meminta. Tapi jika ada orang datang kepadamu kemudian memberi sesuatu tanpa diminta, ambillah pemberian itu. Sebab, itu halal untukmu.”

“Tapi, apa dalil yang menjadi batasan bagi kedua syarat dalam permasalahan ini. Padahal, Nabi sendiri memberi keringanan pada pemberian penghormatan tanpa ada batasan atau syarat seperti yang telah lalu tanya Bahansa. Syaikh menjawab,”Dalil kedua syarat ini adalah Umar berkata,”Ditawarkan harta kepada Rasulullah Aku kemudian berkata kepadanya,”Sesungguhnya aku tidak membutuhkannya Rasulullah bersabda kepadaku:

إذا آتاك الله مالاً لم تسألة ، ولم نشره إليه نفسك فاقبله ، فإنما هو رزق ساقة إليك

Jika Allah memberikan harta padamu yang tiada kamu memintanya dan tidak ( pula ) jiwamu tidak tamak terhadapnya, maka terimalah ( harta ) itu, Sesungguhnya itu adalah rezeki yang Allah berikan kepadamu.

Rasulullah membolehkan untuk mengambil harta yang Allah berikan kepada seorang hamba dengan dua syarat berikut ini:
  1. Bukan atas permintaan.
  2. Bukan karena ketamakan diri, yakni bukan karena kerakusan diri terhadap harta itu.
Anak Umar bin Khathab, yaitu Abdullah -semoga Allah meridai keduanya- berkata,”Aku tidak meminta sesuatu kepada mereka dari dunia mereka dan aku ( pun ) tidak menolak rezeki Allah. Bagaimana pendapatmu ?”Bahansa menjawab,”Insya Allah, aku tidak akan menjual sperma pejantan ini mulai hari ini.”

“Lalu, apa yang harus aku lakukan bila aku ingin mengawinkan sapiku sekarang ?”tanya Abu Jum'ah. Bahansa berkata,”Ini dia sapinya ya Abu Jum'ah. Pergilah untuk apa yang kamu inginkan. Aku tidak menginginkan apa pun darimu selain doa.”

Maka, Abu Jum'ah pun pergi untuk mengawinkan sapi betinanya. Setelah selesai dia kembali lagi dan berkata kepada putranya, yaitu Jum'ah,”Wahai Jum'ah,”Letakkan satu keranjang besar daun semanggi di atas keledai, kemudian kirim keledai itu ke kandang pamanmu Bahansa. Daun semangginya tinggal sedikit lagi.”Bahansa menjawab,”Bukankah telah aku katakan padamu bahwa aku tidak akan mengambil apa pun sejak sekarang ?” “Kamu tidak meminta itu, tapi ini muncul dari hatiku,”jawab Abu Jum'ah. Syaikh berkata,”Semoga Allah memberkati kalian berdua. Dengan cara seperti inilah yang benar, yang tidak mengandung syubhat, insya Allah.”

Referensi Tulisan ini diambil dari Buku Tahzdir Al-Kiram Min Mi'ah Bab Min Abwabil Haram yang ditulis oleh Ibrahim bin Fathi bin Abdul Al-Muqtadir