Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menikah dI Usia Muda Dan Peran Wali

Menikah dI Usia Muda Dan Peran Wali

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman di dalam Al Qur'an:

ولهن مثل الذي عليهن بالمعروف
”Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.”(Qs. Al Baqarah (2) : 228).

Rasulullah Shallallahu'Alaihi wa Sallam bersabda,”Belum sempurna iman salah seorang di antara kalian, sehingga ia mencintai kebaikan untuk saudaranya, sebagaimana ia mencintai kebaikan untuk dirinya sendiri.”(HR. Ahmad, Tirmidzi dan Nasa'i dengan sanad shahih). Rasulullah Shallallahu ' Alaihi wa Sallam bersabda:

لا ضرر ولا ضرار

”Tidak membahayakan dan tidak pula membalas dengan bahaya.”(HR. Ahmad dengan sanad shahih)

Pertama kali yang terlintas di dalam pikiran kita pada saat memahami perkawinan antara Rasulullah Shallallahu ' Alaihi wa Sallam dengan Aisyah Radhiallahu ' Anha dengan selisih usia yang jauh sekali adalah, hal yang demikian itu berada di luar kebiasaan. Ada beberapa sebab yang melatarbelakanginya, yaitu di antaranya :
  • Tujuan politis dari perkawinan ini menambah ikatan antara Nabi dan Abu Bakar Radhiyallahhu ' Anhu-yang merupakan salah satu seorang pemimpin bangsa Arab-dan untuk mempermudah maslahat di antara Nabi dan Abu Bakar, karena Abu Bakarlah yang banyak memberi masukan dalam rangka menegakkan dakwah Islamiyah.
  • Kuatnya agama yang dimiliki oleh Sayyidah Aisyah, yang perumpamaannya adalah seperti seluruh sahabat wanita yang ada beserta kesuciannya. Maka, tidak mungkin tergambar akan menjadi sesuatu yang ditakuti dari pernikahan tersebut.
  • Kuatnya fisik Nabi Shallallahu'Alaihi wa Sallam yang bernilai sama dengan kekuatan 40 orang sahabat, sebagaimana yang terdapat di dalam sebuah hadits shahih.

Sesungguhnya penulis mengingatkan kaum pria maupun wanita untuk tidak menikah dengan selisih usia yang terlalu jauh, karena hal ini terkadang menyebabkan bencana dan keburukan ; terutama apabila unsur agamanya lemah.

Ibnu Jauzi di dalam kitabnya”Shaid Al Khathir”(2/446) berpendapat,”Manusia terbodoh adalah siapa saja yang telah lanjut usia, akan tetapi masih mencari istri yang muda belia. Sungguh kesempurnaan nikmat itu terdapat pada usia muda. Dengan kata lain, ketika seseorang belum mencapai usia baligh, maka belum sempurna kenikmatannya, sedangkan seseorang yang lanjut usia tidak lagi mampu merasakan kenikmatan yang ada.”

Hendaknya orang yang telah lanjut usia tidak tertipu dengan syahwatnya untuk bersetubuh, karena syahwatnya ibarat”Fajar Kadzib (fajar yang menipu). Sungguh pernah kita jumpai seseorang yang lanjut usia membeli seorang budak wanita yang masih muda, dan kemudian menyetubuhuinya. Segera setelah itu ia (sang orang tua) meninggal dunia karenanya, dan masih banyak lagi kasus kasus seperti itu.

Baca juga: Cara Meminang Dalam Islam

Dari sini tampak jelas, bahwa nafas yang ada di dalam dada beserta darah dan mani, jika keduanya telah hilang atau tidak ada lagi air yang menopang bagi keberadaan nyawa, maka ia pun akan lenyap. Sebaliknya, walaupun or ang yang lanjut usia masih dapat untuk merasakan nikmat tanpa harus melalui senggama, akan tetapi wanita muda tersebut tidak akan merasa nikmat. Maka, dalam hal yang demikian itu akan sama-sama membawa dampak negatif.

Dianjurkan bagi laki-laki yang usianya lebih dari 60 tahun untuk tidak bergaul dengan banyak wanita. Namun jika dirinya mempunyai tanggungan sebelumnya (kepada para wanita tersebut), maka hendaknya ia menjaga diri dalam menggaulinya. Seperti dengan menyempurnakan kekurangan melalui berinfaq dan memperbaiki akhlak. Hendaknya ia juga mengajarkan kepada para istrinya tentang keadaan para wanita shalihah yang berlaku zuhud, yang memperbanyak mengingat hari kiamat, merendahkan kehidupan duniawi serta bersikap sebagaimana bangsa Arab di dalam memahami masalah cinta. Ada syair yang menyatakan : Cinta hanya ciuman... rabaan dan menolong Tiada cinta kecuali yang demikian Maka jika bersifat menguasai Niscaya ia akan rusak.

Ada baiknya jika sang suami tidak memberikan berbagai macam kesibukan kepada istrinya yang banyak memakan waktu, supaya ia dapat menyimpan tenaga. Jika menggaulinya, hendaklah bersabar demi menjaga tenaga dan memenuhi hak istri.

PERSYARATAN WALI DALAM NIKAH

Allah Subhanahu wa Ta ' ala berfirman di dalam Al Qur'an:

وأنكحوا الأيامى منكم والصالحين من عبادكم وإمائكم إن يكونوا فقراء يغنهم الله من فضله والله واسع عليم

”Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Al lah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”(QS. An Nuur (24) : 32)

Rasulullah Shallallahu ' Alaihi wa Sallam pernah bersabda:

لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل

“Tidak sah nikah, kecuali dengan wali dan dua saksi y ang adil.”

Rasulullah Shallallahu ' Alaihi wa Sallam juga bersabda:

فنكاحها باطل أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحهـا بـاطل فنكاحهـا باطل فنكاحها باطل

Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya dinyatakan hatal, maka nikahnya batal, maka nikaknya hatal.”(HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad hasan)

Para ahli tafsir mempergunakan ayat tersebut sebagai dalil, bahwa perempuan tidak bisa menikahkan dirinya sendiri (harus dengan walinya). Maksud ayat tersebut ditujukan kepada para wali dan tuan-tuan (pemilik hamba sahaya). Izin wali wajib bagi nikahnya wanita balighah maupun qashirah (belum baligh).

Syarat bagi wali ini berkaitan dengan persetujuan di dalam pernikahan, di mana wali memberi restu melalui keikhlasan dan daya rasa yang halus (nurani). Keberadaannya seperti perintah atau larangan syariat. Bisa dibayangkan betapa kagetnya wali jika menyaksikan kerabatnya masuk rumah bersama suami yang tidak diketahui. Hal ini tidak dapat diterima oleh akal sehat. Imam Hanafi berhujjah tentang perkawinan balighah tanpa wali dengan hadits:

الثيب أحق بنفسها من وليها

”Seorang janda lebih berhak atas dirinya (akad nikah) daripada walinya.”

Menurut Al Munawi di dalam kitabnya”Al Jaami ' As Shaghir”, beliau menafsirkan hadits tersebut dengan,”Maksudnya wali tidak bebas menikahkannya. Sebagai janda, ia memberikan izin kepada wali dengan perkataan. Karena, janda lebih berhak atas akadnya daripada wali.”Takwil terhadap hadits ini dibantah dengan hadits-hadits shahih yang memberikan pengertian disyaratkan adanya wali dalam menikah.

Hikmah disyaratkan adanya wali supaya wanita tidak tergesa-gesa menikahkan dirinya dengan orang yang tidak berakhlak, yang hendak menipunya dengan kata-kata manis dan menyengsarakannya. Bahkan, menceraikannya setelah melampiaskan hawa nafsunya. Oleh karena itu, jauhilah kehancuran semacam ini, wahai kaum wanita !

Sekalipun sudah ada kecocokan kewalian seorang perempuan tentang pernikahannya, akan tetapi Islam telah menentukan dalam batas-batas kemaslahatannya. Jika ia ceroboh akan hak yang telah syariat berikan kepadanya, maka si perempuan dikembalikan kepada hakim. Sedangkan apabila hal itu ditolak juga, maka ia dinikahkan dengan orang yang ia sukai.

Berapa banyak kita dengar tentang kecerobohan sebagian dari para wali nikah di dalam menggunakan haknya. Semua itu karena perasaan sayang yang berlebihan terhadap anaknya, dan agar anaknya itu berkhidmat kepada suaminya.


Tulisan ini adalah kutipan dari Buku Tahfatul A'rus yang ditulis oleh Mahmud Mahdi Al-Istanbuli