Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ulama Pelopor Pembaharuan Pemikiran Islam Dari Aceh

Ulama Pelopor Pembaharuan Dari Aceh

Pada Tulisan sebelumnya telah dijelaskan tentang biografi Prof. DR.Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqie mulai dari kelahirannya sampai kepada kiprahnya dalam menuntut ilmu serta dalam penulisan karya ilmiyah. Terutama karya beliau sebagai referensi dalam dunia akademik. Pada tulisan ini akan dijelaskan tentang pengaruh Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqie dalam melakukan pembaharuan keagamaan di Aceh dan Nusantara.

Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqie hanya setahun belajar pada Madrasah Al Islam wal Irsyad di Surabaya. Dalam tahun 1928 beliau kembali ke Lhokseumawe dalam keadaannya betul-betul telah menguasai bahasa Arab dalam arti yang sungguh- sungguh, di samping beliau telah menjelma menjadi seorang ahli hukum Islam yang menguasai ilmu hadis dan ilmu tafsir. Dengan menghadapi tantangan yang cukup dahsyat, Muhammad Hasbi mempelopori pembaharuan pemikiran Islam di Aceh, yang mendapat sambutan baik dari sebagian ulama Aceh lainnya, terutama para ulama muda. Pembaharuan, menurut Muhammad Hasbi, harus dilaksanakan lewat pendidikan dan dakwah. Karena itu, dengan bantuan Syekh Muhammad Ibnu Salim al-Kalali, beliau mendirikan Madrasah Al Islah wal Irsyad di Lhokseumawe dengan beliau sendiri menjadi Direkturnya. Sehagai Wakil Ketua Jong Adrys Islamiten Bond (JIB) beliau dapat membina angkatan muda Islam dalam hal cita-cita pembaharuan.

Dengan diangkatnya menjadi guru Agama Islam pada sekolah dasar dan sekolah menengah Pemerintah Hindia Belanda (HIS dan MULO), beliau mendapat kesempatan pula menanam jiwa pembaharuan pemikiran Islam dalam kalangan para pemuda/pelajar yang berpendidikan Barat. Sebenarnya, dalam gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Aceh, Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy tidak berdiri sendiri. Kecuali mendapat dukungan dari angkatan muda Islam, juga terdapat sejumlah ulama Aceh lainnya yang sepaham dengan beliau, seperti Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri, Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap, Teungku Muhammad Daud Beureueh, Teungku Abdulwahab Seulimeum. Teungku Amir Husin Al Mujahid, Teungku Zamzami Yahya Tapaktuan, Teungku Hasan Hanafiah Meulaboh, Teungku Syekh Ibrahim Ayahanda Montasie, Teungku Muhammad Amin Alue, Teungku Haji Abdullah Umar Lam-U, dan masih banyak lagi.

Para ulama pendukung pembaharuan ini, semuanya mempunyai pusat pendidikan Islam sendiri, yang berupa dayah/madrasah, karena mereka berkeyakinan bahwa cita-cita pembaharuan pemikiran Islam haruslah lewat pem- baharuan sistem pendidikan Islam, hatta pada akhir tahun duapuluhan dan tahun tigapuluhan terlaksanalah pembaharuan sistem pendidikan Islam di Tanah Aceh secara meluas. Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy dalam usaha mencapai cita-cita pem- baharuan Islam, menempuh berbagai jalan, terutama jalan pendidikan, jalan karya tulis dan jalan organisasi.

Lewat jalan pendidikan, beliau mendirikan Madrasah Al Islah wal Irsyad di Lhokseumawe, menjadi Direktur Madrasah Al Huda di Krung Mane, memimpin Darul Mu'allimin di Banda Aceh, mengajar pada Madrasah JADAM di Montasie, turut membina Ma'had Iskandar Muda (MIM) di Lampaku, Sculimeum, mengajar Agama Islam pada HIS dan MULO, menjadi Dekan Fakultas Syari'a pada IAIN (UIN sekarang) Jami'ah Ar Raniry Darussalam dan IAIN (UIN sekarang) Jami'ah Walisongo Yogyakarta, menjadi Dosen Agama Islam pada berbagai perguruan tinggi di Jawa, baik yang negeri maupun yang swasta.

Lewat karya tulis, Muhammad Hasbi menyampaikan cita-cita dan alam pikirannya dalam majalah-majalah dan buku-buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Arab. Lewat jalan organisasi, beliau menyalurkan cita-cita dan alam pikirannya dalam organisasi Muhammadiyah dan Jong Islamiten Bond.

Baik sebagai tenaga teras dari organisasi-organisasi tersebut maupun sebagai pendidik, Muhammad Hasbi mengadakan dakwah di mana-mana untuk mengembangkan cita-cita pembaharuannya. Sebagai seorang mujaddid, pembawa pembaharuan, beliau mempunyai kawan dan lawan. Telah menjadi kelaziman dalam kehidupan dunia, bahwa seorang kawan akan membela kawannya mati-matian sekalipun salah, dan seorang lawan akan memfitnah dan menjatuhkan lawannya sekalipun benar.

Percobaan yang dihadapi Muhammad Hasbi dalam tahun 1946 termasuk dalam kelaziman dunia ini. Dalam tahun tersebut beliau dan sejumlah orang-orang lain diasingkan ke daerah Takengon yang berhawa dingin. Salah seorang temannya, yang sama-sama mujaddid, yaitu Teungku Syekh Ibrahim Ayahanda Montasie. Kedua ulama pembaharu ini terbawa arus "revolusi sosial" di Aceh, sekalipun beliau-beliau itu pada hakikatnya adalah pendukung dan pencetus Revolusi 1945. Inilah suatu tragedi dalam revolusi. Kadang-kadang teman seperjuangan menjadi korban dari kekurangan hati-hati dalam menilai situasi oleh pemimpin revolusi yang justru kawan seperjuangannya.

Benar juga rupanya sebuah ungkapan, bahwa kadang-kadang banjir juga menghanyutkan kayu-kayu yang masih berguna. Sebagai scorang mujaddid yang bercita-cita memperbaharui pemikiran Islam, Muhammad Hasbi menerima "pembuangan politik" yang berupa percobaan dan fitnah itu dengan sabar. Beliau tentu sejak semula telah menyadari bahwa fitnah dan percobaan adalah "kawan karib" seorang pejuang. Kesadaran Muhammad Hasbi akan hal yang demikian ternyata, bahwa setelah dalam tahun 1948 dibebaskan dari "pembuangan politik yang herbau fitnah", beliau dengan senang hati menerima permintaan rakyat Lhokseumawe untuk ditunjuk menjadi Direktur Sekolah Menengah Islam, sekalipun "pengasingan" yang dua tahun itu telah mengganggu kesehatan fisiknya sampai akhir hayat.

Dalam tahun 1951, Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy hijrah ke Yogyakarta atas permintaan Menteri Agama, Kiai Haji Wahid Hasyim, untuk menjadi dosen pada PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri), yang kemudian meningkat menjadi IAIN Jami'ah Sunan Kalijogo, dan dalam tahun 1960 beliau diangkat dengan Surat Keputusan Presiden menjadi Guru Besar (Profesor) dalam mata kuliah hadis dan fikih.

Sebagai Dosen PTAIN, Muhammad Hasbi pernah dikirim ke Lahore, Pakistan, untuk menghadiri Kolisium Internasional. Dalam kolisium tersebut beliau menyampaikan sebuah makalah berjudul: Sikap Islam Terhadap imu Pengetahuan.

Sumber:

Buku Ulama Aceh (Mujahid Pejuang Kemerdekaan Dan Tamadun Bangsa) oleh A.Hasjmy