Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tuanku Raja Keumala Ulama Keturunan bangsawan

Tuanku Raja Keumala Ulama Keturunan bangsawan

Menulis biografi seorang ulama, juga seorang pahlawan terbaik dan gerilyawan dalam perang Aceh, seperti Tuanku Raja Keumala, itu berarti menulis riwayat kehidupan terbaik pada zamannya.  Bahkan itu juga berkenaan dengan riwayat zaman sebelum dan sesudahnya yang mempengaruhi kehidupannya. Bahkan yang paling berpengaruh adalah keluarganya seperti ayahnya dan ayahciknya (kakeknya), demikian pula putra-putri keturunannya.

Di sinilah terdapat kesulitan dalam menulis sejarahnyanya. Terutama mengenai riwayat hidup Tuanku Raja Keumala, karena ayahnya adalah seorang ulama terkenal. Di samping itu ayahnya juga seorang negarawan, politikus serta panglima perang. sedangkan Kakeknya adalah seorang laksamana terkenal. Beliau adalah panglima sebuah armada Kerajaan Aceh Darussalam. Seorang orang pada masanya mengenal siapa ayah dan ayahciknya. Itulah keluarga dari Tuanku Raja Keumala yang beliau lahir di Kuta Keumala pada tanggal 1 Ramadan 1297 Hijriah (1877), nama yang sebenarnya Tuanku Musa.

Keungkinan besar nama Beliau disebut Tuanku Raja "Keumala" karena beliau lahir di Kuta Keumala, yang merupakan "Ibu Kota Hijrah" dari Kerajaan Aceh Darussalam yang dasarnya di Banda Aceh. Oleh karena itu namanya kemudian terkenal menjadi Tuanku Raja Keumala, sehingga namanya yang asli dilupakan orang pada masa itu. 

Tuanku Raja Keumala merupakan keturunan dari Tuanku Hasyim Bangta Muda dan Cutnyak Puwan. kalau kita telili bahwa  silsilah Tuanku Raja Keumala sampai ke atas maka akan sampai kepada Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam. Kemudian juga kepada Sultan Mahmud al-Kahhar Ali Riayat Syah. Silsilahnya juga sampai kepada Malik Syah Mansur Makhdum Abi Abdillah Syekh Abdurrauf Puan Di Kandang (bukan Syekh Abdurrauf Syiahkuala). jadi Beliau benar-benar seorang keturunan bangasawan terkemuka dari Aceh.

Tuanku Hasyim Bangta Muda, ayah Tuanku Raja Keumala, mempunyai pengetahuan luas dalam berbagai bidang, hukum dan filsafat Islam, hukum tata negara, sejarah Islam/umum, politik/siasat, ilmu kemiliteran/hela diri, bahasa Arab, Inggris, Belanda, Urdu, Melayu dan lain lain Pengetahuan yang banyak itu didapati dari ulama-ulama/guru-guru khusus yang disediakan ayahınya, Laksamana Tuanku Abdul Kadir.

Umpamanya, pendidikan kemiliteran/strategi/siasat perang dipelajarinya dari seorang pensiunan perwira tinggi Turki. Sebagai ahli waris Kerajaan Aceh Darussalam, Tuanku Hasyim yang masih belia ini menjadi kesayangan dan harapan Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah (1273-1286 Hijriah, atau 1857-1870). Setelah mangkat Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah, Tuanku Hasyim menolak untuk diangkat menjadi Sultan Aceh; beliau mengusulkan agar Majelis Kerajaan yang terdiri dari para ulama dan uleebalang mengangkat Mahmud Syah, dan beliau sendiri memegang sejumlah jabatan penting dalam pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1286-1290 Hijriah, atau 1870- 1874).

Dalam tahun 1290 Hijriah yang bertepan dengan tahun 1874, dilantiklah Muhammad Daud Syah menjadi Sultan dengan gelar Sultan Alaiddin. Pelantikan itu bersamaan dengan Tuanku Hasyim Bangta Muda dilantik menjadi Mangkubumi. Selama bertahun-tahun beliau yang menjadi sultan merupakan tahun yang paling sulit dalam sejarah Kerajaan Aceh Darussalam karena dalam kondisi perang.

Tuanku Hasyim Bangta Muda, bahwa dalam menjalankan tugas yang demikian berat dan sulit pada saat tersebut didampingi oleh seorang istrinya Cutnyak Puwan (ibu Tuanku Raja Keumala) yang amat pandai dan bijaksana, sehingga Cutnyak Puwan bukan saja menjadi istrinya, tetapi juga menjadi pembantunya yang utama. Inilah yang meringankan beban sultan untuk menjalankan pemerintahan pada saat itu. Cutnyak Puwan, bukan saja menguasai ilmu-ilmu agama Islam, juga beliau menguasai beberapa bidang ilmu umum, terutama ilmu ketabiban, khususnya ilmu bedah, sehingga selama masa peperangan di dacrah gerilya Cutnyak Puwan memimpin tim thabib/jururawat. Itu merupakan pekerjaan mulia dan pekerjaan yang amat penting pada masa berkecamuknya peperangan.

Kalau Tuanku Hasyim Bangta Muda bisa tampil sebagai ulama besar, sarjana, politikus ahli, negarawan cerdik, pemimpin yang bijak dan Panglima Besar Angkatan Perang Aceh, adalah berkat kesungguhan dan kemauan ayahnya, Laksamana Tuanku Abdul Kadir, agar putranya menjadi "orang hebat" dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Tuanku Abdul Kadir sebagai seorang Perwira Tinggi/Panglima sebuah Armada Aceh sangat bercita-cita agar putranya melebihi dirinya. Baik dalam karir militer maupun dalam bidang keilmuwan bidang Agama. Kalau beliau sendiri hanya panglima sebuah armada di Selat Malaka. maka Tuanku Abdul Kadir menginginkan agar putranya yaitu Tuanku Hasyim Bangta Muda harus menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Aceh di masa yang akan datang.

Keinginan ayahnya terkabul. Bukan saja ayahnya yang menginginkan demikian, tetapi juga ibunya, Cutnyak Teumieng adalah seorang putri Imeum Bale yang terkenal. Beliau adalah seorang bangsawan dan ulama di wilayah timur Aceh. Cutnyak Teumien juga salah seorang guru pertama bagi Hasyim Bangta Muda.  Bahkan peranannya itu sangat penting dalam membentuk watak, bakat dan iman di dalam dada sang anak. Kalau Hasyim Bangta Muda setelah dewasa tampil sebagai orang Aceh yang amat peting, itu adalah berkat pembentukan iman, watak dan bakat oleh ibunya, Cutnyak Teumieng (neneknya Tuanku Raja Keumala).

Pendidikan di medan gerilya Tuanku Raja Keumala yang lahir di Kuta Keumala, ibukota hijrah dari Kerajaan Aceh Darussalam, mendapat pendidikan pertama dari ibunya, Cut- nyak Puwan, dan ayahnya, Tuanku Hasyim Bangta Muda, juga menjadi salah Sebagai guru khusus bagi putra kerajaan yang dibesarkan lagu-lagu jihad., ayahnya menunjuk seorang ulama turunan Arab, namanya Teungku Syekh Dorab. Ulama inilah yang mengajar Raja Keumala membaca dan menulis, dasar-dasar ajaran Agama Islam, bahasa Arab, sejarah, hukum Islam dan lain-lainnya. Selain dari Teungku Syekh Dorab, juga di Kuta Keumala terdapat sejumlah ulama lainnya, yang hijrah dari Banda Aceh Indrapuri bersama pimpinan negara/pemerintahan.

Para ulama tersebut juga menjadi guru Tuanku Raja Keumala bersama teman-temannya yang orang tua mereka turut hijrah ke Keumala. Tuanku Raja Keumala menjadi ketua kelompok belajar dari teman- temannya sekitar empat puluh orang. Setelah keadaan semakin gawat, api peperangan sudah mulai menjalar ke Pidie dan "ibukota hijrah", Kuta Keumala mulai terancam, Tuanku Raja Keumala terpaksa berpisah dari ayahnya.

Beliau bersama ibunya dan istri-istri para pimpinan lainnya, pindah ke Reubei, kemudian ke Padang Gaha, Padang Tiji. Setelah dalam tahun 1898 Padang Tiji direbut dan jatuh ketangan musuh. Kemudian Tuanku Raja Keumala bersama ibunya bergerilya dari satu daerah ke daerah yang lain. Di medan gerilya Tuanku Raja Keumala terus belajar dari para ulama yang turut bergerilya, seperti halnya para pemuda yang lain. Antara lain, beliau berguru pada Teungku Cik Pantee Geulima.

Di antara teman-teman belajar Tuanku Raja Keumala, yaitu Teungku Cik Eumpei Trieng, yang kemudian terkenal sebagai seorang ulama besar ahli sufi di Aceh. Menurut sebuah dokumen dari putranya, Tuanku Hasyim, bahwa guru- guru Tuanku Raja Keumala di medan gerilya, yaitu Teungku Syekh Dorab, Teungku Cik Cotplieng, Teungku Cik Pantee Geulima, Teungku di Lapang. Teungku Cik Abdussalam Lamnyong, Teungku Cik Abdullah Reubei yang kemudian menjadi mertuanya.

Dari para ulama tersebut, Tuanku Raja Keumala telah menimba ilmu bahasa Arab, ilmu fikih, ilmu tafsir, ilmu hadis, mantik, tasawuf, ilmu kalam/filsafat, sejarah dan sebagainya, sehingga beliau selain telah menjadi mujahid/gerilyawan, juga telah menjadi ulama dalam arti luas, dan sekolah beliau adalah medan gerilya. Setelah dalam tahun 1903, Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah ditawan, dan kemudian menyusul tiga tokoh perang penting menempuh jalan perjuangan baru (hal ini akan saya jelaskan pada bagian berikutnya), yaitu Tuanku Mahmud Bangta Keucek, Tuanku Raja Keumala dan Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, maka dalam tahun 1904 Tuanku Raja Keumala berangkat ke Tanah Suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam studinya.

Beliau bermukim di Tanah Suci sekitar empat tahun, dan waktu yang selama itu dipergunakan untuk memperteguh imannya di bawah lindungan Ka'bah, dan berguru pada sejumlah ulama besar, guru besar dalam Masjidil Haram, baik yang berkebangsaan Arab maupun yang berasal dari Mesir, Turki dan Indonesia. Beliau memperdalam ilmu fikih, ilmu tafsir dan hadis, ilmu kalam/filsafat Islam, ilmu mantik, ilmu bahasa/sastra Arab, sejarah dan perbandingan agama.

Pada waktu beliau kembali ke Aceh dalam tahun 1908, kalau di Arab sana beliau mempergunakan gelar "syekh" dan kalau di Aceh teungku cik, tetapi beliau tetap memakai namanya waktu masih di Kuta Keumala, yaitu Tuanku Raja Keumala, sekalipun semua orang Aceh, terutama para ulama, memandang beliau sehagai teungku cik. Tuanku Raja Keumala, di samping sebagai teungku cik, juga beliau seorang seniman/sastrawan dan pelukis kaligrafi Arab, yang dapat menulis dengan baik berbagai macam jenis tulisan Arab,

Waktu beliau di Mekkah, hanyak sekali menyalin kitab-kitab dengan tulisan tangan beliau sendiri, dan pada awal kitab discbut tanggal beliau memulai penyalinan dan pada akhir kitab ditulis pula tanggal selesainya. Dalam perpustakaan beliau yang masih sisa, yang sekarang disimpan putranya yang ulama/sarjana, Tuanku Hasyim, S.H. dapat kita saksikan apa yang saya sebut ini. Dari catatan-catatan pada kitab-kitab yang disalinnya atau kitab-kitab lain yang pernah dipelajari/dimilikinya, kita mengetahui bahwa Tuanku Raja Keu- mala mempunyai hubungan yang cukup banyak dengan ulama-ulama besar di Tanah Arab dan Dunia Islam lainnya, yang beliau jalin waktu beliau bermukim di Mekkah dan Madinah.

Dari kitab-kitab sisa perpustakaan pribadinya, yang penuh dengan catatan-catatan di pinggirnya, kita berkesimpulan bahwa Tuanku Raja Keumala bukan hanya menyimpan banyak sekali kitab dalam perpustakaannya, tetapi juga beliau baca dan pelajarinya dengan kritis, seperti yang dibuktikan catatan-catatannya. Kalau istilah sekarang, Tuanku Raja Keumala boleh disebut "kutu buku". 

Sebuah kitab yang terdapat dalam perpustakaan Tuanku Raja Keumala. Kitab itu telah dicetak. Pada halaman pertama kitab tersebut tertulis: (terjemahan) Kitab al-Madinun bihi "Ala Ghairi Ahlihi". kitab ini dikarangan oleh Syekh al-Imam Hujjatul Islam. Namanya adalah Zainuddin Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusy. 

Pada pinggir halaman tersebut, Tuanku Raja Keumala membubuhi catatan yang menyatakan bahwa kitab tersebut bukan karangan Imam al-Ghazali, jadi penerbitnya yang salah membubuhi nama imam besar itu. Menulislah Tuanku Raja Keumala dalam bahasa Arab yang baik, yang ikhtisar terjemahan- nya sebagai berikut: "Ketahuilah bahwa kitab ini dikatakan karangan Syekh Abi Hamid al-Ghazali, padahal bukan. Para ahli tahkik telah menegaskan bahwa kitab itu bukan karangan Imam Ghazali. Menurut Ibnu Subki bahwa kitab tersebut karangan Ibnu al-Shalah."

Apabila kita telah memperhatikan catatan-catatan beliau pada pinggir kitab-kitabnya yang banyak, baik yang bertulisan tangan maupun yang dicetak. tidaklah keliru kalau kita berkesimpulan bahwa Tuanku Raja Keumala adalah seorang teungku cik yang menguasai benar-benar berbagai bidang ilmu.

                                        Bersambung >>>>>>



Sumber:

Dikutip dari Buku Ulama Aceh (Mujahid Pejuang Kemerdekaan Dan Tamadun Bangsa) disusun oleh A.Hasjmy