Tuanku Raja Keumana Penerus Perjuangan Ayahnya Melawan Belanda
Putranya, Tuanku Raja Keumala, waktu itu baru berusia 20 tahun, masih sangat muda. Tetapi, perang gerilya telah mendidik beliau menjadi seorang ulama yang rasikh ilmunya, seorang pahlawan yang bijaksana, seorang pendidik yang berpemandangan jauh ke depan. Sekarang dalam kepemimpinan Kerajaan Aceh Darussalam terdapat tiga tokoh utama, yaitu Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah, Tuanku Raja Keumala dan Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, sementara kepemimpinan perang gerilya dipegang sebuah tim ulama di bawah pimpinan Teungku Mahyiddin Tiro.
Baca juga: Ulama Pelopor Pembaharuan Pendidikan
Setelah wafat Tuanku Hasyim Bangta Muda, sifat jihad rakyat Aceh terhadap tentara pendudukan Belanda berubah dari "perang total" dan "perang gerilya total" menjadi "perang gerilya kelompok" dan "perang gerilya perorangan", yang masing-masing kelompok dan perorangan memberi komando sendiri, yang menyebabkan kedudukan tentara pendudukan Belanda semakin sulit. Kota-kota dan desa-desa yang telah diduduki selalu terancam serangan/penyerbuan gerilyawan, baik "gerilyawan kelompok" maupun "gerilyawan perorangan".
Baca juga: Tuanku Raja Keumala, Ulama Penulis dan Seniman
Dalam situasi demikianlah, Tuanku Raja Keumala tampil menggantikan ayahnya, untuk menghadapi serangan/operasi "jenderal mayor agresor" van Heutzs, yang gubernur militer. Setelah dalam tahun 1898 van Heutzs dapat merebut Garot dan kuta Panglima Polem di Padangtiji, maka Tuanku Raja Keumala, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan sejumlah para pemimpin lainnya pindah ke "ibu kota hijrah", Kuta Keumala, di tempat mana Sultan Muhammad Daud berkedudukan.
Jatuhnya kuta Panglima Polem di Padang tiji, membuka jalan bagi jenderal agresor Van Heutzs untuk menyerang "ibu kota hijrah", Keumala Dalam. Van Heutzs melanjutkan agresinya menuju Keumala; satu persatu kampung-kam- pung sebelum Keumala direbutnya dengan mengorbankan serdadunya yang cukup banyak. Setelah diperhitungkan balhwa ibu kota hijrah. Kuta Keumala, tidak akan dapat dipertahankan, maka diputuskanlah untuk meninggalkan Kuta Keumala, dan ditetapkan bahwa untuk masa-masa mendatang ibu kota kerajaan akan hijrah dari satu tempat ke tempat lain, artinya bahwa "Kutaraja" atau "Dalam" atau Keraton akan hijrah bersama hijrahnya Sultan (pernah Dalam/Keraton atau Kutaraja hijrah ke Ambon dan Jakarta/Betawi).
Dalam bulan Juni 1898, resmi Kuta Keumala sebagai "ibu kota hijrah" kerajaan ditinggalkan. Pimpinan kerajaan terpecah dalam tiga kelompok. Kelompok pertama Ibu Teuku Panglima Polem dan sejumlah kaum wanita lainnya, di bawah pimpinan panglima wanita, Teungku Fakinah, berangkat ke Tangse. Kelompok kedua di bawah pimpinan Sultan Alaiddin Muhammad Daud sendiri berangkat ke Meureudu. Kelompok ketiga di bawah pimpinan Tuanku Raja Keumala dan Teuku Panglima Muhammad Daud berangkat ke Jeunieb. di tempat mana Cutnyak Puwan, ibunda Tuanku Raja Keumala meninggal dunia dan dikebumikan di sebelah kiblat Masjid Jeunieb.
Semenjak hijrah dari Kuta Keumala, baik Sultan maupun Tuanku Raja Keumala dan Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, selalu berpindah-pindah dari satu benteng ke benteng yang lain. Yang agak lama mereka bertahan yaitu di Kuta Batee Ilick, dan setelah Kuta Batee Iliek yang amat penting jatubh, mereka memimpin perang gerilya di Aceh Utara dan Aceh Tengah (daerah Pasei dan Gayo Luas). Setelah Kuta Keumala sebagai ibu kota hijrah kerajaan ditinggalkan, sehagai isyarat bahwa babak "perang total" dan "perang gerilya total" telah berakhir dan akan dimulai babak buru, yaitu "perang gerilya kelompok" dan "perang gerilya perorangan", maka setelah itu Sultan mengirim Tuanku Mahmud Bangta Keucek ke Pulau Pinang, untuk menjajaki kemungkinan mendapat bantuan dari Turki, Jepang, atau negara-negara lainnya. Menurut rencana Sultan dan para pemimpin lainnya, bahwa kalau bantuan senjata dapat diperoleh, baik dari Turki maupun dari Jepang, maka jihad akbar akan dikomandokan kembali untuk mengusir Belanda.
Tetapi sayang, setelah beberapa bulan Tuanku Mahmud Bangta Keucek berada di Pulau Pinang, beliau mengirim surat laporan kepada Sultan lewat Tuanku Raja Keumala dan Teuku Panglima Polem Muhammad Daud yang berbenteng di daerah Pasei (Sultan sendiri bersama pemerintahan hijrahnya berada di Gayo Luas), yang maksudnya tidak menggembirakan. Tuanku Mahmud Bangta Keucek menjelaskan bahwa bantuan dari Turki tidak mungkin sama sekali, karena Turki sendiri sedang dikeroyok kerajaan- kerajaan Nasrani dari Eropa, sementara bantuan dari Jepang dalam waktu dekat tidak dapat diharapkan, karena Jepang dalam keadaan bermusuhan dengan Rusia, yang mungkin sekali akan pecah peperangan antara dua kerajaan itu. Dari negeri-negeri lain, sudah tidak mungkin sama sekali, karena negara-ne- gara Nasrani di Eropa itu telah bersekongkol untuk menjajah negara-negara Timur Islam, termasuk Kerajaan Aceh Darussalam.
Selanjutnya, Tuanku Mahmud Bangta Keucek melaporkan, bahwa menurut pengamatannya dari Pulau Pinang, persatuan rakyat Aceh di daerah pendudukan sudah tidak kukuh lagi, karena ada sementara pimpinan/ulee- balang yang betul-betul telah bersetia mati dengan Belanda, sementara pendidikan Agama Islam bagi putra-putri Aceh di daerah pendudukan sudah tidak terurus lagi, hal mana sangat membahayakan bagi hari depan mereka, juga bagi hari depan perjuangan Aceh untuk mengusir Belanda.
Dalam surat itu, disarankan, agar Sultan, Tuanku Raja Keumala, Panglima Polem dan para pemimpin lainnya mempertimbangkan untuk menempuh jalan baru dalam perjuangan mengembalikan kemerdekaan Aceh, yaitu berdamai dengan Belanda. Kalau tidak mungkin seluruhnya, agar dirundingkan dan memper- timbangkan: sebagian pemimpin/ulama melanjutkan perang gerilya, dan sebagian pemimpin/ulama lainnya berdamai (menyerah?) kepada Belanda, dan mempergunakan masa perdamaian itu untuk membangun kembali pusat-pusat pendidikan yang porak poranda selama api peperangan menjilat-jilat Tanah Aceh.
Setelah beberapa kali mengirim laporan ke Aceh dan usaha mencari bantuan terus dilanjutkan, maka kaki tangan Belanda di Pulau Pinang dapat menculik Tuanku Mahmud Bangta Keucek yang selama berada di pulau itu tinggal di rumah seorang sayid turunan Arab, yang banyak membantu perjuang- an Aceh. Tidak ayal lagi, dengan segera kaki tangan Belanda itu mengirim Tuanku Mahmud Bangta Keucek ke Aceh dengan sebuah kapal, yang memang telah disediakan.
Mungkin dengan suatu harapan akan dapat membantu Belanda, penguasa Belanda di Banda Aceh berusaha berbuat baik kepada Tuanku Mahmud Bangta Keucek. Dibuat rumah untuknya dan diluluskan keinginannya untuk bertamasya ke Pulau Jawa, di mana selama seminggu di Jakarta menjadi tamu terhormat dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Sekembalinya dari Pulau Jawa, beliau diangkat menjadi Kepala Lembaga Adat, di mana segala uleebalang/kaum adat harus berhubungan dengan beliau. Namun demikian, Tuanku Mahmud Bangta Keucek tidak terbujuk; beliau masih memendam cita-cita untuk satu waktu nanti Aceh harus dimerdekakan kembali, dan Belanda harus angkat kaki dari Tanah Aceh. Bagaimana dan dengan cara apa?
Siasat Perang Berubah
Menurut sebuah "sarakata" yang saya peroleh dari Tuanku Hasyim, S.H., putra Tuanku Raja Keumala, bahwa setelah Tuanku Mahmud Bangta Keucek mengamati keadaan di Pulau Pinang dan meninjau Pulau Jawa, pendapat beliau tentang kelanjutan perang melawan Belanda di Aceh berubah. Beliau melihat kenyataan bahwa kaum penjajah beragama Nasrani telah bersepakat untuk menjajah Timur Islam; mereka mempunyai persenjataan yang kuat dan organisasi tentara yang teratur: mereka mempunyai alat-alat perhubungan yang lengkap; mereka telah mendirikan sekolah-sekolah yang meng- hasilkan orang-orang pandai dan membangun pabrik-pabrik.
Beliau melihat kenyataan pula bahwa Belanda telah berhasil menjajah seluruh Indonesia, kecuali Aceh, dan di daerah-daerah yang telah berhasil mereka jajah telah didirikan sekolah-sekolah dan telah dilatih orang-orang Indonesia sendiri menjadi serdadu, yang dipergunakan untuk menaklukkan Aceh.
Di samping itu, beliau melihat pula kenyataan bahwa keadaan di Aceh semakin sulit, perpecahan dalam kalangan para pemimpin dan ulama telah terjadi sebagai usaha politik pecah-belah Belanda; sawah-sawah dan kebun- kebun sudah terbengkalai; dayah-dayah sebagai pusat pendidikan telah hancur karena banyak ulama telah syahid, sehingga telah banyak putra-putri bangsa tidak mendapat pendidikan lagi dan dikhawatirkan mereka akan menjadi orang yang lemah iman dan mudah menjadi kafir.
Beliau berpendapat, bahwa dalam keadaan kaum penjajah demikian rupa, daerah-daerah Nusantara telah dijajah semuanya dan Aceh sendiri sudah begitu menderita; dalam keadaan untuk memenangkan perang sudah sangat tipis kemungkinannya, sekalipun untuk menderita kekalahan total juga sangat tipis kemungkinan terjadi.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut. Tuanku Mahmud Bangia Keucek berpendapat sudah waktunya dipertimbangkan suatu siasat baru dalam melanjutkan jihad terhadap Belanda, yaitu sehagian pemimpin/ulama mengadakan perdamaian (menyerah?) dengan (kepada) Belanda, sementara sehagian yang lain berperang terus. Menurut yang tersebut dalam "sarakata" yang berasal dari Tuanku Hasyim itu, bahwa pendapat dan pandangan Tuanku Mahmud Bangta Keucek yang demikian beliau sampaikan lewat Tuanku Maharaja Abdul Hamid (Maha- raja Cek) di Lhokseumawe, kepada Sultan, Tuanku Raja Keumala, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan para pemimpin/ulama lainnya.
Tidak mudah bagi Tuanku Mahmud Bangta Keucek untuk meyakinkan para pemimpin/ulama di medan gerilya yang telah bertekad: syahid atau menang, seperti dapat kita baca dalam "sarakata" pertukaran pikiran antara Tuanku Raja Keumala dan Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, yang ikhtisarnya sebagai berikut:
"Dari segi siasat dan strategi perang/perjuangan, pandangan Tuanku Mahmud Bangta Keucek itu benar, tetapi perasaan hati Tuanku Raja Keumala sendiri tidak sanggup memandang Belanda yang merupakan musuhnya sampai ke sumsum dan benaknya," demikian kata Tuanku Raja Keumala kepada Teuku Panglima Polem, yang dengan tegas membantahnya. "Saya tidak setuju sama sekali untuk menghentikan perlawanan, karena menghentikan perlawanan berarti menyerah kepada musuh, dan yang demikian bukan sikap seorang panglima. Saya ingin berbicara langsung dengan Tuanku Mahmud Bangta Keucek."
Dengan izin Komandan Militer Belanda di Lhokseumawe, Kapten Colijn, Tuanku Mahmud Bangta Keucek masuk ke daerah gerilya di pedalaman Pasei dan berjumpa dengan Tuanku Raja Keumala, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan para pemimpin/ulama lainnya. Sangat sulit bagi Tuanku Mahmud menaklukkan keyakinan Teuku Panglima Polem. Dialog antara Tuanku Mahmud Bangta Keucek, Tuanku Raja Keumala dan Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, seperti yang termaktub dalam "sarakata", kira-kira sebagai berikut:
"Anakda berdua," demikian Tuanku Mahmud Bangta Keucek ber- usaha meyakinkan Tuanku Raja Keumala dan Teuku Panglima Polem, "harus kembali ke tengah-tengah masyarakat, karena anakda berdua bertanggung jawab kepada Tuhan terhadap kelangsungan hidupnya Agama Islam di Tanah Aceh ini. Anakda berdua harus sanggup me lakukan tugas yang berat ini, sekalipun bertentangan dengan perasaan dan keyakinan anakda sendiri. Anakda berdua tidak boleh huntu pikiran. Ingat, sekalipun sekarang kita dalam keadaan lemah, karena segala-gala- nya sudah tidak ada, kecuali iman dan semangat, tetapi akal pikiran kita tidak boleh buntu. Dengan akal dan pikiran yang selalu hidup. Pada suatu saat nanti anakda berdua atau putra-putra kita, generasi Aceh, yang akan datang, insya Allah, akan berhasil mengusir Belanda dari Tanah Aceh... "
Tidak ada kalimat menyerah kalah bagi seorang panglima, ayahda. Panglima Polem menyatakan tekadnya. "Menang atau syahid itulah hati seorang panglima. Daripada hidup berputih mata, lebih baik mati berputih tulang".
Iparnya Tuanku Raja Keumala, sebagai seorang ulama yang mengua- sai mantik dan filsafat, lebih dapat memahami arti yang tersirat dari kalimat-kalimat yang dikeluarkan pamannya, Tuanku Mamud Bangta Keucek, dan dengan bijaksana berusaha memberi penjelasan kepada iparnya, Panglima Polem.
"Seorang panglima bukan saja berani mati di ujung pedang atau disambar peluru musuh, tetapi juga berani hidup menghadapi kenyataan demi meneruskan perjuangan. Mati adalah suatu kebuntuan. Sesudah mati kita tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Mati adalah soal biasa, di mana-mana ada mati; di atas tilam peraduan pun ada mati. Bagi kita kaum mujahidin mati itu soal kecil sekali. Kalau kita takut mati, tentu sejak semula kita tidak berperang. Bagi kita sebagai hartawan yang sudah tidak punya harta lagi, sebagai bangsawan yang sudah tidak punya bangsa lagi, sebagai negarawan yang sudah tidak punya negara lagi, memang mati itu lebih baik; Allah akan menganugerahkan kita pahala syahid. Akan tetapi, rakyat, masyarakat, dan negara juga sudah tidak punya apa-apa lagi, dan kalau kita mati betul-betul mereka sudah tidak punya apa-apa. Karena itu, kita tidak boleh mencari mati, apalagi mengejarnya. Kita harus hidup di tengah-tengah masyarakat untuk meneruskan perjuangan, untuk membina kekuatan yang berlandaskan keimanan, untuk mendidik putra-putri kita yang akan melanjutkan perjuangan dan merebut kemerdekaan kembali ...”
Akhimya disepakati kebijaksanaan yang disarankan oleh Tuanku Mahmud Bangta Keucek, dan putuslah pakat bahwa sebagian panglima/ulama akan kembali ke daerah-daerah pendudukan untuk melanjutkan perjuangan dengan cara baru, sementara sebagian yang lain di bawah pimpinan Teungku Mahyiddin Tiro akan melanjutkan jihad dalam bentuk "perang gerilya kelom- pok" dan "perang gerilya perorangan".
Dalam rangka melaksanakan kebijaksanaan baru ini, di antara mereka yang diharuskan memilih "cara baru", yaitu Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah dan keluarganya, Tuanku Raja Keumala dan keluarganya, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan keluarganya, Teungku Cik Eumpei Trieng. Teungku Fakinah, Teungku Cik Umar Lam-U, dan lain-lainnya.
Setelah beberapa tahun Tuanku Raja Keumala kembali ke tengah-tengah masyarakat di daerah pendudukan, maka atas permintaan Cutpo Fatimah (adiknya Teungku Mahyiddin Tiro), beliau mengirim surat kepada Teungku Mahyiddin Tiro, Teungku Syekh Harun, Teungku Muda Syam, Habib Cut, Teungku Dibukit dan lain-lainnya, yang menganjurkan agar beliau-beliau itu mempertimbangkan penempuhan cara baru dalam melanjutkan perjuangan, yang rupanya tidak dapat disetujui oleh para pemimpin perang gerilya.
Mereka meneruskan perjuangan dalam bentuk perang gerilya, sehingga seorang demi seorang syahid di medan jihad. Surat yang bertanggal 18 Rajab 1327 Hijriah (5 Agustus 1909) ditanda- tangani oleh Tuanku Mahmud Bangta Keucek, Tuanku Raja Keumala dan Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, surat mana ditulis dengan tangan Tuanku Raja Keumala.
Setelah menempuh "cara baru"" Tuanku Raja Keumala sempat menunaikan ibadah haji dua kali. Pertama kali dalam tahun 1904, dan ikut dalam rombongannya Teungku Fakinah, Teuku Said Abdul Latif Mayak Pait, Teungku Haji Kasim Tungkob, Haji Affan dan lain-lain. Dalam tahun 1914 sekali lagi Tuanku Raja Keumala menunaikan ibadah haji, dan dalam rombongan beliau antara lain turut iparnya Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan adiknya. Teungku Ratna Keumala (istri Panglima Polem).
Bersambung >>>>>>
Sumber:
Setelah wafat Tuanku Hasyim Bangta Muda, sifat jihad rakyat Aceh terhadap tentara pendudukan Belanda berubah dari "perang total" dan "perang gerilya total" menjadi "perang gerilya kelompok" dan "perang gerilya perorangan", yang masing-masing kelompok dan perorangan memberi komando sendiri, yang menyebabkan kedudukan tentara pendudukan Belanda semakin sulit. Kota-kota dan desa-desa yang telah diduduki selalu terancam serangan/penyerbuan gerilyawan, baik "gerilyawan kelompok" maupun "gerilyawan perorangan".
Baca juga: Tuanku Raja Keumala, Ulama Penulis dan Seniman
Dalam situasi demikianlah, Tuanku Raja Keumala tampil menggantikan ayahnya, untuk menghadapi serangan/operasi "jenderal mayor agresor" van Heutzs, yang gubernur militer. Setelah dalam tahun 1898 van Heutzs dapat merebut Garot dan kuta Panglima Polem di Padangtiji, maka Tuanku Raja Keumala, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan sejumlah para pemimpin lainnya pindah ke "ibu kota hijrah", Kuta Keumala, di tempat mana Sultan Muhammad Daud berkedudukan.
Jatuhnya kuta Panglima Polem di Padang tiji, membuka jalan bagi jenderal agresor Van Heutzs untuk menyerang "ibu kota hijrah", Keumala Dalam. Van Heutzs melanjutkan agresinya menuju Keumala; satu persatu kampung-kam- pung sebelum Keumala direbutnya dengan mengorbankan serdadunya yang cukup banyak. Setelah diperhitungkan balhwa ibu kota hijrah. Kuta Keumala, tidak akan dapat dipertahankan, maka diputuskanlah untuk meninggalkan Kuta Keumala, dan ditetapkan bahwa untuk masa-masa mendatang ibu kota kerajaan akan hijrah dari satu tempat ke tempat lain, artinya bahwa "Kutaraja" atau "Dalam" atau Keraton akan hijrah bersama hijrahnya Sultan (pernah Dalam/Keraton atau Kutaraja hijrah ke Ambon dan Jakarta/Betawi).
Dalam bulan Juni 1898, resmi Kuta Keumala sebagai "ibu kota hijrah" kerajaan ditinggalkan. Pimpinan kerajaan terpecah dalam tiga kelompok. Kelompok pertama Ibu Teuku Panglima Polem dan sejumlah kaum wanita lainnya, di bawah pimpinan panglima wanita, Teungku Fakinah, berangkat ke Tangse. Kelompok kedua di bawah pimpinan Sultan Alaiddin Muhammad Daud sendiri berangkat ke Meureudu. Kelompok ketiga di bawah pimpinan Tuanku Raja Keumala dan Teuku Panglima Muhammad Daud berangkat ke Jeunieb. di tempat mana Cutnyak Puwan, ibunda Tuanku Raja Keumala meninggal dunia dan dikebumikan di sebelah kiblat Masjid Jeunieb.
Semenjak hijrah dari Kuta Keumala, baik Sultan maupun Tuanku Raja Keumala dan Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, selalu berpindah-pindah dari satu benteng ke benteng yang lain. Yang agak lama mereka bertahan yaitu di Kuta Batee Ilick, dan setelah Kuta Batee Iliek yang amat penting jatubh, mereka memimpin perang gerilya di Aceh Utara dan Aceh Tengah (daerah Pasei dan Gayo Luas). Setelah Kuta Keumala sebagai ibu kota hijrah kerajaan ditinggalkan, sehagai isyarat bahwa babak "perang total" dan "perang gerilya total" telah berakhir dan akan dimulai babak buru, yaitu "perang gerilya kelompok" dan "perang gerilya perorangan", maka setelah itu Sultan mengirim Tuanku Mahmud Bangta Keucek ke Pulau Pinang, untuk menjajaki kemungkinan mendapat bantuan dari Turki, Jepang, atau negara-negara lainnya. Menurut rencana Sultan dan para pemimpin lainnya, bahwa kalau bantuan senjata dapat diperoleh, baik dari Turki maupun dari Jepang, maka jihad akbar akan dikomandokan kembali untuk mengusir Belanda.
Tetapi sayang, setelah beberapa bulan Tuanku Mahmud Bangta Keucek berada di Pulau Pinang, beliau mengirim surat laporan kepada Sultan lewat Tuanku Raja Keumala dan Teuku Panglima Polem Muhammad Daud yang berbenteng di daerah Pasei (Sultan sendiri bersama pemerintahan hijrahnya berada di Gayo Luas), yang maksudnya tidak menggembirakan. Tuanku Mahmud Bangta Keucek menjelaskan bahwa bantuan dari Turki tidak mungkin sama sekali, karena Turki sendiri sedang dikeroyok kerajaan- kerajaan Nasrani dari Eropa, sementara bantuan dari Jepang dalam waktu dekat tidak dapat diharapkan, karena Jepang dalam keadaan bermusuhan dengan Rusia, yang mungkin sekali akan pecah peperangan antara dua kerajaan itu. Dari negeri-negeri lain, sudah tidak mungkin sama sekali, karena negara-ne- gara Nasrani di Eropa itu telah bersekongkol untuk menjajah negara-negara Timur Islam, termasuk Kerajaan Aceh Darussalam.
Selanjutnya, Tuanku Mahmud Bangta Keucek melaporkan, bahwa menurut pengamatannya dari Pulau Pinang, persatuan rakyat Aceh di daerah pendudukan sudah tidak kukuh lagi, karena ada sementara pimpinan/ulee- balang yang betul-betul telah bersetia mati dengan Belanda, sementara pendidikan Agama Islam bagi putra-putri Aceh di daerah pendudukan sudah tidak terurus lagi, hal mana sangat membahayakan bagi hari depan mereka, juga bagi hari depan perjuangan Aceh untuk mengusir Belanda.
Dalam surat itu, disarankan, agar Sultan, Tuanku Raja Keumala, Panglima Polem dan para pemimpin lainnya mempertimbangkan untuk menempuh jalan baru dalam perjuangan mengembalikan kemerdekaan Aceh, yaitu berdamai dengan Belanda. Kalau tidak mungkin seluruhnya, agar dirundingkan dan memper- timbangkan: sebagian pemimpin/ulama melanjutkan perang gerilya, dan sebagian pemimpin/ulama lainnya berdamai (menyerah?) kepada Belanda, dan mempergunakan masa perdamaian itu untuk membangun kembali pusat-pusat pendidikan yang porak poranda selama api peperangan menjilat-jilat Tanah Aceh.
Setelah beberapa kali mengirim laporan ke Aceh dan usaha mencari bantuan terus dilanjutkan, maka kaki tangan Belanda di Pulau Pinang dapat menculik Tuanku Mahmud Bangta Keucek yang selama berada di pulau itu tinggal di rumah seorang sayid turunan Arab, yang banyak membantu perjuang- an Aceh. Tidak ayal lagi, dengan segera kaki tangan Belanda itu mengirim Tuanku Mahmud Bangta Keucek ke Aceh dengan sebuah kapal, yang memang telah disediakan.
Mungkin dengan suatu harapan akan dapat membantu Belanda, penguasa Belanda di Banda Aceh berusaha berbuat baik kepada Tuanku Mahmud Bangta Keucek. Dibuat rumah untuknya dan diluluskan keinginannya untuk bertamasya ke Pulau Jawa, di mana selama seminggu di Jakarta menjadi tamu terhormat dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Sekembalinya dari Pulau Jawa, beliau diangkat menjadi Kepala Lembaga Adat, di mana segala uleebalang/kaum adat harus berhubungan dengan beliau. Namun demikian, Tuanku Mahmud Bangta Keucek tidak terbujuk; beliau masih memendam cita-cita untuk satu waktu nanti Aceh harus dimerdekakan kembali, dan Belanda harus angkat kaki dari Tanah Aceh. Bagaimana dan dengan cara apa?
Siasat Perang Berubah
Menurut sebuah "sarakata" yang saya peroleh dari Tuanku Hasyim, S.H., putra Tuanku Raja Keumala, bahwa setelah Tuanku Mahmud Bangta Keucek mengamati keadaan di Pulau Pinang dan meninjau Pulau Jawa, pendapat beliau tentang kelanjutan perang melawan Belanda di Aceh berubah. Beliau melihat kenyataan bahwa kaum penjajah beragama Nasrani telah bersepakat untuk menjajah Timur Islam; mereka mempunyai persenjataan yang kuat dan organisasi tentara yang teratur: mereka mempunyai alat-alat perhubungan yang lengkap; mereka telah mendirikan sekolah-sekolah yang meng- hasilkan orang-orang pandai dan membangun pabrik-pabrik.
Beliau melihat kenyataan pula bahwa Belanda telah berhasil menjajah seluruh Indonesia, kecuali Aceh, dan di daerah-daerah yang telah berhasil mereka jajah telah didirikan sekolah-sekolah dan telah dilatih orang-orang Indonesia sendiri menjadi serdadu, yang dipergunakan untuk menaklukkan Aceh.
Di samping itu, beliau melihat pula kenyataan bahwa keadaan di Aceh semakin sulit, perpecahan dalam kalangan para pemimpin dan ulama telah terjadi sebagai usaha politik pecah-belah Belanda; sawah-sawah dan kebun- kebun sudah terbengkalai; dayah-dayah sebagai pusat pendidikan telah hancur karena banyak ulama telah syahid, sehingga telah banyak putra-putri bangsa tidak mendapat pendidikan lagi dan dikhawatirkan mereka akan menjadi orang yang lemah iman dan mudah menjadi kafir.
Beliau berpendapat, bahwa dalam keadaan kaum penjajah demikian rupa, daerah-daerah Nusantara telah dijajah semuanya dan Aceh sendiri sudah begitu menderita; dalam keadaan untuk memenangkan perang sudah sangat tipis kemungkinannya, sekalipun untuk menderita kekalahan total juga sangat tipis kemungkinan terjadi.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut. Tuanku Mahmud Bangia Keucek berpendapat sudah waktunya dipertimbangkan suatu siasat baru dalam melanjutkan jihad terhadap Belanda, yaitu sehagian pemimpin/ulama mengadakan perdamaian (menyerah?) dengan (kepada) Belanda, sementara sehagian yang lain berperang terus. Menurut yang tersebut dalam "sarakata" yang berasal dari Tuanku Hasyim itu, bahwa pendapat dan pandangan Tuanku Mahmud Bangta Keucek yang demikian beliau sampaikan lewat Tuanku Maharaja Abdul Hamid (Maha- raja Cek) di Lhokseumawe, kepada Sultan, Tuanku Raja Keumala, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan para pemimpin/ulama lainnya.
Tidak mudah bagi Tuanku Mahmud Bangta Keucek untuk meyakinkan para pemimpin/ulama di medan gerilya yang telah bertekad: syahid atau menang, seperti dapat kita baca dalam "sarakata" pertukaran pikiran antara Tuanku Raja Keumala dan Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, yang ikhtisarnya sebagai berikut:
"Dari segi siasat dan strategi perang/perjuangan, pandangan Tuanku Mahmud Bangta Keucek itu benar, tetapi perasaan hati Tuanku Raja Keumala sendiri tidak sanggup memandang Belanda yang merupakan musuhnya sampai ke sumsum dan benaknya," demikian kata Tuanku Raja Keumala kepada Teuku Panglima Polem, yang dengan tegas membantahnya. "Saya tidak setuju sama sekali untuk menghentikan perlawanan, karena menghentikan perlawanan berarti menyerah kepada musuh, dan yang demikian bukan sikap seorang panglima. Saya ingin berbicara langsung dengan Tuanku Mahmud Bangta Keucek."
Dengan izin Komandan Militer Belanda di Lhokseumawe, Kapten Colijn, Tuanku Mahmud Bangta Keucek masuk ke daerah gerilya di pedalaman Pasei dan berjumpa dengan Tuanku Raja Keumala, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan para pemimpin/ulama lainnya. Sangat sulit bagi Tuanku Mahmud menaklukkan keyakinan Teuku Panglima Polem. Dialog antara Tuanku Mahmud Bangta Keucek, Tuanku Raja Keumala dan Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, seperti yang termaktub dalam "sarakata", kira-kira sebagai berikut:
"Anakda berdua," demikian Tuanku Mahmud Bangta Keucek ber- usaha meyakinkan Tuanku Raja Keumala dan Teuku Panglima Polem, "harus kembali ke tengah-tengah masyarakat, karena anakda berdua bertanggung jawab kepada Tuhan terhadap kelangsungan hidupnya Agama Islam di Tanah Aceh ini. Anakda berdua harus sanggup me lakukan tugas yang berat ini, sekalipun bertentangan dengan perasaan dan keyakinan anakda sendiri. Anakda berdua tidak boleh huntu pikiran. Ingat, sekalipun sekarang kita dalam keadaan lemah, karena segala-gala- nya sudah tidak ada, kecuali iman dan semangat, tetapi akal pikiran kita tidak boleh buntu. Dengan akal dan pikiran yang selalu hidup. Pada suatu saat nanti anakda berdua atau putra-putra kita, generasi Aceh, yang akan datang, insya Allah, akan berhasil mengusir Belanda dari Tanah Aceh... "
Tidak ada kalimat menyerah kalah bagi seorang panglima, ayahda. Panglima Polem menyatakan tekadnya. "Menang atau syahid itulah hati seorang panglima. Daripada hidup berputih mata, lebih baik mati berputih tulang".
Iparnya Tuanku Raja Keumala, sebagai seorang ulama yang mengua- sai mantik dan filsafat, lebih dapat memahami arti yang tersirat dari kalimat-kalimat yang dikeluarkan pamannya, Tuanku Mamud Bangta Keucek, dan dengan bijaksana berusaha memberi penjelasan kepada iparnya, Panglima Polem.
"Seorang panglima bukan saja berani mati di ujung pedang atau disambar peluru musuh, tetapi juga berani hidup menghadapi kenyataan demi meneruskan perjuangan. Mati adalah suatu kebuntuan. Sesudah mati kita tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Mati adalah soal biasa, di mana-mana ada mati; di atas tilam peraduan pun ada mati. Bagi kita kaum mujahidin mati itu soal kecil sekali. Kalau kita takut mati, tentu sejak semula kita tidak berperang. Bagi kita sebagai hartawan yang sudah tidak punya harta lagi, sebagai bangsawan yang sudah tidak punya bangsa lagi, sebagai negarawan yang sudah tidak punya negara lagi, memang mati itu lebih baik; Allah akan menganugerahkan kita pahala syahid. Akan tetapi, rakyat, masyarakat, dan negara juga sudah tidak punya apa-apa lagi, dan kalau kita mati betul-betul mereka sudah tidak punya apa-apa. Karena itu, kita tidak boleh mencari mati, apalagi mengejarnya. Kita harus hidup di tengah-tengah masyarakat untuk meneruskan perjuangan, untuk membina kekuatan yang berlandaskan keimanan, untuk mendidik putra-putri kita yang akan melanjutkan perjuangan dan merebut kemerdekaan kembali ...”
Akhimya disepakati kebijaksanaan yang disarankan oleh Tuanku Mahmud Bangta Keucek, dan putuslah pakat bahwa sebagian panglima/ulama akan kembali ke daerah-daerah pendudukan untuk melanjutkan perjuangan dengan cara baru, sementara sebagian yang lain di bawah pimpinan Teungku Mahyiddin Tiro akan melanjutkan jihad dalam bentuk "perang gerilya kelom- pok" dan "perang gerilya perorangan".
Dalam rangka melaksanakan kebijaksanaan baru ini, di antara mereka yang diharuskan memilih "cara baru", yaitu Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah dan keluarganya, Tuanku Raja Keumala dan keluarganya, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan keluarganya, Teungku Cik Eumpei Trieng. Teungku Fakinah, Teungku Cik Umar Lam-U, dan lain-lainnya.
Setelah beberapa tahun Tuanku Raja Keumala kembali ke tengah-tengah masyarakat di daerah pendudukan, maka atas permintaan Cutpo Fatimah (adiknya Teungku Mahyiddin Tiro), beliau mengirim surat kepada Teungku Mahyiddin Tiro, Teungku Syekh Harun, Teungku Muda Syam, Habib Cut, Teungku Dibukit dan lain-lainnya, yang menganjurkan agar beliau-beliau itu mempertimbangkan penempuhan cara baru dalam melanjutkan perjuangan, yang rupanya tidak dapat disetujui oleh para pemimpin perang gerilya.
Mereka meneruskan perjuangan dalam bentuk perang gerilya, sehingga seorang demi seorang syahid di medan jihad. Surat yang bertanggal 18 Rajab 1327 Hijriah (5 Agustus 1909) ditanda- tangani oleh Tuanku Mahmud Bangta Keucek, Tuanku Raja Keumala dan Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, surat mana ditulis dengan tangan Tuanku Raja Keumala.
Setelah menempuh "cara baru"" Tuanku Raja Keumala sempat menunaikan ibadah haji dua kali. Pertama kali dalam tahun 1904, dan ikut dalam rombongannya Teungku Fakinah, Teuku Said Abdul Latif Mayak Pait, Teungku Haji Kasim Tungkob, Haji Affan dan lain-lain. Dalam tahun 1914 sekali lagi Tuanku Raja Keumala menunaikan ibadah haji, dan dalam rombongan beliau antara lain turut iparnya Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan adiknya. Teungku Ratna Keumala (istri Panglima Polem).
Bersambung >>>>>>
Sumber:
Di Sadur dari Buku Ulama Aceh (Mujahid Pejuang Kemerdekaan Dan Tamadun Bangsa) yang di susun oleh A.Hasjmy