Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tuanku Raja Keumala Pelopor Pembaharuan Pendidikan Islam

Tuanku Raja Keumala

Untuk menghormati (menjinakkan?) Tuanku Raja Keumala, penguasa Hindia Belanda di Aceh membentuk sebuah lembaga yang diberi nama Raad Agama Islam (Majelis Agama Islam) dan Tuanku Raja Keumala diangkat menjadi voorzitternya (ketua) dengan honorarium f.200,- (dua ratus gulden atau rupiah Belanda) sebulan.

Namun demikian beliau tidak menjadi jinak, bahkan Raad Agama Islam itu dijadikan semacam Majelis Ulama Aceh, di mana beliau sendiri menjadi ketuanya. Rumah dan balainya di Kampung Keudah menjelma menjadi "Aceh Islamic Centre " atau pusat kegiatan Islam Aceh, yang selalu ramai dikunjungi para ulama/pemimpin rakyat dari seluruh Aceh, bahkan dari luar Aceh/luar negeri, juga orang-orang asing yang bukan Islam, mereka adakalanya perwira tinggi, politikus, diplomat maupun para sarjana.

Baca juga: Tuanku Raja Keumala, Ulama Yang Pahlawan

Dari Balai Kampung Keudah itu, Tuanku Raja Keumala mengeluarkan komando dakwahnya dalam arti yang luas, yang ditaati dan dilaksanakan di seluruh Aceh. Beliau anjurkan para ulama membangun kembali dayah-dayah, membina iman dan akhlak rakyat dengan pengajian-pengajian dan tablig-tablig. dengan menghidupkan kembali meunasah dan masjid sebagai pusat kegiatan umat.

Tuanku Raja Keumala sendiri langsung turun ke lapangan, memakmur- kan Masjid Raya Baiturrahman dengan menghidupkan kembali upacara-upa- cara agama, pengajian-pengajian bagi berbagai golongan dan berbagai kegiatan dakwah Islamiah dalam arti yang luas, bahkan beliau bercita-cita untuk mengembalikan fungsi Masjid Raya Baiturrahman sebagai salah satu pusat kegiatan Islam di Nusantara seperti halnya pada masa Kerajaan Aceh Darussalam.

Usaha dan cita-cita Tuanku Raja Keumala mendapat dukungan yang sangat berarti dari iparnya, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud di daerah XXII Mukim Seulimeum. Di daerah XXII Mukimlah untuk pertama kali setelah perang kolonial didirikan sebuah pusat pendidikan Islam yang khusus untuk wanita, yaitu Dayah Lam Diran di bawah pimpinan seorang pahlawan dan ulama muslimat terkenal, Teungku Fakinah.

Di antara ulama-ulama terkenal yang dapat dianggap sebagai anggota "majelis ulama"nya Tuanku Raja Keumala, yaitu Teungku Haji Muhammad Hasan Krungkale, Teungku Haji Muhammad Saleh Lambhuk, Teungku Syekh Ibrahim Lambhuk, Teungku Haji Abbas Lambirah, Teungku Haji Jakfar Lamjabat, Teungku Syekh Mahmud Montasick, Teungku Syekh Ibrahim Ayahanda, Teungku Haji Makam Gampong Blang, Teungku Syekh Saman Siron, Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri, Teungku Haji Abdullah Lam-U, Teungku Bintang Reukih, Teungku Syekh Mahmud Lamlhom, Teungku Muin Lhoknga, Teungku Teupin Raya, Teungku Abdul Jalil Awe Geutah, Teungku Muhammad Saleh Pulo Kiton, Teungku Umar Tiro, Teungku Muhammad Daud Beureuch, Teungku Diyan, Teungku Ibrahim Seulimeum (Teungku Bireuen), dan Teungku Abdul Wahab Seulimeum.

Pelopor pembaharuan pendidikan Islam

Dalam usaha memakmurkan Masjid Raya Baiturrahman, Tuanku Raja Keumala berusaha menjadikannya kembali sebagai pusat pendidikan Islam. Dibangunlah di sana pengajian dengan sistem lama, yaitu "sistem dayah" yang telah ada semenjak dahulu. Juga dibangun sistem baru, seperti yang telah dilaksanakan di negeri-negeri Islam Timur Tengah, yaitu yang disebut "sistem madrasah".

Dalam melaksanakan niatnya itu, Tuanku Raja Keumala banyak mengalami kesulitan, karena harus mendapat izin dari penguasa Hindia Belanda. Dengan suratnya bertanggal 22 Oktober 1915 (13 Zulhijjah 1333 Hijriah), Tuanku Raja Keumala meminta izin kepada Gubernur Militer/Sipil Swaart, untuk mendirikan sebuah madrasah di Banda Aceh.

Permintaan Tuanku Raja Keumala disetujui Gubernur Swaart, dan dengan suratnya ber- tanggal 6 November 1915 (28 Zulhijjah 1333 Hijriah) dikeluarkan izin dengan ketentuan-ketentuan:
  1. Kepada Tuanku Raja Keumala yang bertempat tinggal di Kampung Keudah diizinkan mendirikan sebuah madrasah tempat belajar orang- orang dewasa dan pemuda-pemuda.
  2. Mata pelajaran yang boleh diajar hanya menulis dan membaca bahasa Arab, sehingga dapat memahami kitab-kitab Agama Islam dengan baik. ilmu tauhid dan ilmu fikih.
  3. Diwajibkan kepada Tuanku Raja Keumala untuk membuat daftar untuk mendaftarkan murid-murid sebagaimana dimaksudkan dalam Staatsblad 1902 No. 550 dan yang ditentukan seperti syarat-syarat Bijblad No. 6363.
  4. Murid-murid yang datangnya dari luar Kutaraja (Banda Aceh) harus ada keterangan dari pemerintah setempat.
  5. Tiap-tiap 2 Januari, April, Juli dan Oktober setiap tahun harus memberi laporan kepada pemerintah setempat di Kutaraja (Banda Aceh) melalui komisi yang diangkat untuk itu.
  6. Untuk mengawasi madrasah tersebut, diangkatlah sebuah komisi yang terdiri dari Teungku Syekh Ibrahim Brawe sebagai Ketua, Hoofjaksa dan Kepala Penghulu pada Landrad Kutaraja (Banda Aceh) sebagai anggota anggota.
  7. Kalau syarat-syarat yang telah ditetapkan dilanggar, Tuanku Raja Keu- mala akan dihukum dan madrasah akan ditutup.

Setelah keluar surat izin, Tuanku Raja Keumala bertindak cepat. Pada awal tahun 1916, madrasah dimaksud telah berdiri dan diberi nama Madrasah Khairiyah, dan Teungku Syekh Muhammad Saman Siron yang pernah belajar di Mekkah diangkat menjadi nadiraya (direktur).

Sekalipun pada mulanya mata pelajaran yang diajarkan pada Madrasah Khairiyah dibatasi dan mendapat pengawasan yang amat ketat, namun cita pembaharuan sistem pendidikan Islam telah dapat dilaksanakan, walaupun pada taraf pertama hanya terbatas pada bentuk ruang belajar dan cara mengajar. yaitu telah dipergunakan ruang kelas, bangku/meja belajar, papan tulis dan lain-lain alat sekolah. Setelah berjalan bertahun-tahun, mata pelajaran telah boleh ditambah lagi dengan sejarah, ilmu bumi, matematika, ilmu kesehatan dan sebagainya.

Dengan ini, jelaslah bahwa Madrasah Khairiyah adalah pelopor pembaharuan sistem pendidikan Islam di Aceh, dan Tuanku Raja Keumala adalah otak dan jiwanya dari pembaharuan tersebut. Yang amat menarik, yaitu sikap nonkoperatif dari Tuanku Raja Keumala. Beliau menolak bantuan (subsidi) yang ditawarkan Gubernur Swaart, dan sebaliknya beliau meminta izin ntuk mengedarkan lis derma kepada rakyat, yang dikabulkan Gubernur Swaart. Dengan suratnya tertanggal 23 November 1915 (15 Muharam 1334 Hijriah), izin meminta derma keluar yang ditanda- tangani sendiri oleh Gubernur Swaart.

Jelaslah, sejak semula Madrasah Khairiyah hidup dengan bantuan rakyat Aceh sendiri, bukan dengan subsidi pemerintah Hindia Belanda.


                                    Bersambung >>>>>>>





Sumber:

di Kutip dari Buku Ulama Aceh (Mujahid Pejuang Kemerdekaan Dan Tamadun Bangsa) yang dikarang oleh A.Hasjmy