Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tuanku Raja Keumala, Ulama Yang Pahlawan

Tuanku Raja Keumala, Ulama Yang Pahlawan

Tuanku Raja Keumala yang lahir dan besar pada "di zaman perang", seharusnya berwatak keras, seperti halnya Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, iparnya yang sama-sama lahir dan besar di bawah kabutnya asap mesiu. Tetapi, nyatanya bukan demikian. Tuanku Raja Kemala yang semenjak bayi dibuai-buai dentuman meriam, berhati lembut dan bersikap bijaksana, sekalipun semangat jihadnya kukuh kuat dan pendiriannya tidak mudah digoyahkan angin.

Sikap politiknya terhadap kekuasaan Hindia Belanda jelas dan pasti; beliau tidak mau menjadi "pegawai Hindia Belanda" dan dalam hal ini "non koperatif". Kalau beliau bersedia ditunjuk menjadi Voorzitter Raad Agama Islam, karena jabatan tersebut bukan pegawai, lagi pula beliau ingin mempergunakan lembaga yang dibentuk Belanda itu menjadi "majelis ulama"nya sendiri, yang kemudian nyatanya memang demikian.

Setelah nyata bahwa Belanda tidak dapat memperalat Tuanku Raja Keumala yang Voorzitter/Raad Agama Islam, bahkan sebaliknya Raad Agama Islam itu dipergunakan Tuanku Raja Keumala menjadi wadah tidak resmi bagi para ulama, maka akhirnya Belanda membubarkan lembaga tersebut.

Tuanku Raja Keumala adalah ulama Ahlussunnah wal Jamaah, beliau bukan "kaum tua" dan bukan pula "kaum muda". Sebagai ulama yang dibesarkan perang gerilya, beliau ibarat menara yang tegak lurus, suaranya mengumandangkan persatuan dan persaudaraan Islam, ibarat suara azan dari puncak menara yang tidak membedakan umat yang diserunya.

Karena sikap dan pandangan hidupnya yang demikian, maka Tuanku Raja Keumala dianggap sebagai imam bagi para ulama dari golongan dan kelompok manapun. Pandangan hidup beliau yang demikian, terasa benar apabila kita menelaah catatan yang termaktub dalam "sarakata" yang berasal dari Tuanku Hasyim, seperti yang akan saya ikhtisarkan terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia di bawah ini:

Tuanku Raja Keumala yang mendalami ilmu tauhid dan tasawuf, memandang tarekat sebagai suatu sistem ibadat tingkat khusus. Beliau tidak melarang tarekat, asal saja pengamal tarekat itu terlebih dahulu mengamalkan syariat. Tarekat yang sistemnya bertentangan dengan dasar-dasar akidah dan mendiskreditkan syariat, tidak beliau setujui, bahkan beliau berantas, seperti umpamanya "salek buta ".

Tuanku Raja Keumala sendiri tidak menganut/mengamalkan sesuatu tarekat, beliau hanya berpegang dengan Syariat dalam melaksanakan ibadat. Tetapi istrinya, Teungku Haji Maimunah mengamalkan Tarekat al-Haddad yang diterima dari ayahnya, Teungku Cik Di Reubei, dan beliau tidak melarangnya.

Dalam pada itu, adiknya Teungku Ratna Keumala, waktu menyatakan keinginannya untuk mengambil ijazah Tarekat al-Haddad dari Teungku Cik Di Reubei, dinasehatinya agar jangan melakukannya, karena akan menambah beban. Kalau sudah diambil ijazah tarekat, harus diamalkan dengan baik dan terus menerus, hal mana menambah beban. Berkata Tuanku Raja Keumala kepada adiknya: "Kalau Adik Ratna dapat mengamalkan syariat secara resmi dan ratib secara biasa menurut ukuran tauhid, itu sudah cukup."





Sumber:

Buku Ulama Aceh (Mujahid Pejuang Kemerdekaan Dan Tamadun Bangsa) yang ditulis oleh A.Hasjmy