Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dayah Pantee Geulima sebagai Tempat Pendidikan Militer Masa Perang Melawan Belanda

Dayah Pantee Geulima

Setelah wafat Sultan Alaiddin Mansur Syah dan Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1286-1290 Hijriah, atau 1870-1874), hubungan dengan Belanda bertambah genting, menunggu putusnya lagi. Kapal-kapal perang Belanda sudah sering melanggar kedaulatan Aceh, di samping banyak "kaki tangannya" yang orang Melayu dan Cina dimasukkan ke Aceh untuk mencuri rahasia pertahanan negara dan menimbulkan pecah- belah antara kelompok-kelompok dalam masyarakat, terutama antara ulama dan uleebalang, yang merupakan dua kekuatan yang tangguh dalam masyarakat Aceh.

Dalam keadaan Aceh seperti itu, Syekh Ismail mengambil langkah cepat untuk menjadikan Dayah Pantee Geulima sebagai tempat pendidikan militer di samping tetap ia menjadi pusat pendidikan Islam. Tidak hanya itu, malahan semua pelajar dalam Dayah Pantee Geulima diharuskan mengikuti pendidikan ketentaraan.

Suasana dalam Dayah Pantee Geulima berubah mendadak; dari keadaan tenteram dan damai, di mana para pelajar belajar dengan tekun, berubah menjadi gegap gempita, di mana para pemuda dengan derap langkah kepahlawanan mengikuti latihan ketentaraan dengan semangat yang bernyala Pada tanggal 26 Maret 1873 (26 Muharam 1290).

Baca juga: Teungku Haji Ismail Yakob Penerus Dayah Pante Geulima

Belanda dengan congkak mengancam akan mengumumkan perang kepada Kerajaan Aceh Darussalam, kalau Sultan Alaiddin Mahmud Syah tidak mau mengakui kedaulatan Belanda atas Aceh. Ultimatum yang congkak itu ditolak Sultan Mahmud dengan tekad bertempur sampai akhir hayat untuk mempertahankan kemerdekaan Tanah Airnya yang tercinta.

Pertempuran pun tidak dapat dihindarkan lagi, tentara agresor Belanda melakukan pendaratan di bawah pimpinan Jenderal Mayor Kohler, yang kemudian mati konyol disambar peluru bedil Aceh di depan Masjid Raya Baiturrahman, sehingga gagallah penyerangan pertama dengan membayar terlalu mahal, antaranya Jenderal Agresor Kohler dan sejumlah perwira tinggi lainnya mati konyol, di samping ribuan prajuritnya yang mati dan luka.

Pertengahan tahun 1873, Syekh Ismail yang telah dilantik menjadi Panglima Perang mempersiapkan satu balang (batalion) pasukan, yang akan dibawa ke Aceh Besar untuk mempertahankan ibu kota Negara, Banda Aceh, dari kemungkinan penyerangan Belanda yang kedua. Memang, para pejabat tinggi kerajaan telah memperhitungkan bahwa Belanda akan menyerang Aceh untuk kedua kalinya.

Karena itu, persiapan perang di seluruh wilayah kerajaan semakin ditingkatkan. Dalam rangka inilah Panglima Syekh Ismail dan pasukannya didatangkan ke Banda Aceh. Sebelum berangkat ke Banda Aceh, Panglima Syekh Ismail dan pasukannya yang berjumlah satu balang, sekitar seribu orang, dilantik dalam satu upacara militer di Pangkalan Pantee Geulima, yang dilakukan Panglima Angkatan Perang Aceh yang mewilayahi daerah dari Pidie sampai ke Pulau Kampai (Pulau Sampeu), Laksamana Teuku Raja Muda Cut Latif.

Selama berangkat ke Banda Aceh, pimpinan Dayah Pantee Geulima yang juga telah menjadi pusat pendidikan militer, diserahkan kepada satu dewan ulama yang terdiri dari Teungku Haji Muhammad Ali Di Bukit, Teungku Cik Di Bayu Pasei, Teungku Hasballah Meunasah Kumbang, Teungku Lhok Euncin dan Teungku Cik Payabakong.

Panglima Besar Angkatan Perang Aceh menempatkan Panglima Syekh Ismail (Teungku Cik Pantee Geulima) dan pasukannya di dacrah Krung Daroy. di sebelah selatan Banda Aceh, dan di sana Syekh Ismail membangun sebuan kuta reuntang dengan tujuh buah kubu yang sambung bersambung dan kubu induk bernama Kuta Bu, tempat Syckh Ismail sendiri bermarkas.

Selain daerah selatan, Krung Daroy, juga daerah-daerah utara, timur dan barat telah diperkuat benteng-benteng pertahanan ibu kota negara, Banda Aceh. Seperti diperkirakan, pada Desember 1873 (Syawal 1290 Hijriah) tentara Belanda mendarat di Ujongbatee dan Ladong di bawah pimpinan Jenderal Van Swieten, dan pertempuran seru segera terjadi, sehingga majunya tentara Belanda ke ibu kota lebih lambat dari perjalanan siput. Setelah tentara Belanda dapat menduduki Banda Aceh dengan "Dalam" (Keraton) yang telah menjadi puing, mereka terpaksa berkurung dalam kota sekitar sepuluh tahun, karena setelah masa yang panjang itu baru mereka dapat mencapai Lambare yang jauhnya hanya 9 km dari Banda Aceh.

Dalam pada itu, kuta reuntang di sebelah selatan yang dibangun Teungku Cik Pantee Geulima tetap merupakan bahaya yang selalu mengancam Belanda. Setelah lebih kurang tiga setengah tahun memimpin pasukannya dalam kubu pertahanan Krung Daroy, dalam tahun 1876 Teungku Cik Pantee Geulima Syekh Ismail kembali ke Meureudu dan kubu pertahanan selatan diserahkan kepada panglima baru yang selama ini menjadi wakilnya.

Dengan perhitungan bahwa kemungkinan besar Belanda akan dapat menduduki Aceh Besar dalam waktu yang lama dan penyerbuan akan dilanjutkan ke Pidie, maka Teungku Cik Pantee Geulima Syekh Ismail mendapat tugas untuk mengonsolidasi pertahanan dan membangun benteng-benteng di belahan timur Aceh. Untuk ini, bersama kira-kira delapan puluh orang pasukannya, menjelang akhir tahun 1876, beliau meninggalkan markas besarnya, Dayah Pantee Geulima, menuju ke timur dengan menyinggahi Ulee Gle, Samalanga, Bireuen, Peusangan, Cunda dan Mulieng Lhoksukon, di tempat mana beliau menziarahi makam Teungku Cik Di Mulieng, yang juga turunan Saiyidil Mukammil. Di daerah Lhoksukon, ini, beliau meresmikan beberapa buah dayah yang sekaligus juga tempat pendidikan militer, seperti halnya Dayah Pantee Geulima.

Pusat-pusat pendidikan yang diresmikan itu, yaitu Dayah Teungku Hasballalh Meunasah Kumbang, Dayah Teungku Cik Lhok Euncin, Dayah Teungku Cik Di Bayu dan Dayah Teungku Cik Payabakong.

                                    Bersambung >>>>>>



Sumber:

Buku Ulama Aceh (Mujahid Pejuang Kemerdekaan Dan Tamadun Bangsa) oleh A.Hasjmy