Biografi Prof.DR. Hasbi Ash Shiddiqy, Ulama Penulis Dan Pembelajar Otodidak
Silsilah keturunan dan keluarga Pada tanggal 10 Maret 1904 (22 Zulhijjah 1321 Hijriah), suami-istri, Teungku Haji Husin bin Mas'ud dan Teungku Amrah dikaruniai Allah seorang putra yang kelak kemudian menjelma menjadi seorang ulama, ahli hadis, pendidik dan pengarang Islam yang amat produktif. Putra Lhokseumawe pada tanggal tersebut di atas diberi nama dengan Muhammad Hasbi. Baik ayah maupun ibunya adalah ulama dan keturunan ulama, yang mempunyai kedudukan baik dalam masyarakat.
Ayahnya yang bernama Teungku Haji Husin bin Mas'ud adalah seorang ulama besar, yang menjadi Kadi Sri Maharaja Mangkubumi di Lhokseumawe. sementara ibunya yang bernama Teungku Amrah juga seorang ulama muslimat, putri seorang ulama besar, Teungku Abdul Aziz, Kadi Sri Maharaja Mangkubumi, yang setelah beliau wafat digantikan menantunya, Teungku Haji Husin bin Mas'ud. Sekalipun kakek dan ayahnya "kadi", orang pemerintahan dalam bidang kehakiman, namun Muhammad Hasbi tidak ditakdirkan untuk memilih jalan hidup kakek dan ayahnya itu; rupanya "suratan takdir" menetapkan bahwa beliau harus menjadi pendidik dan pengarang.
Seorang ulama besar turunan Arab, Syekh Muhammad Ibnu Salim al-Kalali yang bermukim di Lhokseumawe, setelah mengetahui dalam "sara- kata" bahwa silsilah Teungku Haji Husin bin Mas'ud sambung bersambung sampai kepada Saiyidina Abubakar Shiddiq, maka beliau tambahkan di belakang nama Muhammad Hasbi asal turunannya itu, yaitu Ash Shiddiqy. sehingga semenjak tahun 1925 namanya menjadi Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy.
Dalam tahun 1923, Muhammad Hasbi dinikahkan dengan Khadijah, yang waktu melahirkan putrinya, Nur Jauharah, meninggal dunia dan tidak berapa lama kemudian disusul oleh putrinya yang masih bayi itu. Sungguh berita derita yang dialami Muhammad Hasbi; dua kekasihnya berangkat lebih dahulu, meninggalkan beliau yang masih hijau pengalaman. Setelah menduda selama dua tahun, memendam duka nestapa karena kehilangan dua kekasihnya, dalam tahun 1925 Muhammad Hasbi dinikahkan dengan Teungku Nyak Asiyah binti Teungku Haji Anom, yaitu adik sepupu dari Hasbi sendiri. Waktu Hasbi mengajar di Makhad Iskandar Muda (MIM) Lampaku, beliau pernah kawin lagi dengan Sa'diyah. Hanya setahun, kemudian cerai.
Tentang pasangan Hasbi-Asiyah, dalam sebuah catatan menantunya, Djamil Lathif, S.H., saya baca ungkapan-ungkapan berikut: "Teungku Nyak Asiyah ini, selain sebagai seorang istri, juga sebagai pembantu utama Hasbi dalam mengembangkan karirnya, menempuh gelombang hidup yang penuh suka dan duka, dengan penuh kesabaran sejak dahulu sampai sekarang ini. Tidak sedikit jasa sang istri dalam menghasilkan karya ilmiah Hasbi, terutama dalam bidang moriel. Sang istri yang setia, banyak menimbulkan inspirasi Hasbi yang gemilang Karena itu, apabila menyebut nama Hasbi atau Prof. Tgk. M. Hasbi Ash Shiddiqy tersirat di dalam Teungku Nyak Asiyah, istrinya yang tercinta. Mereka merupakan pasangan yang ideal dan harmonis, rukun dan damai sejak dahulu sampai kini telah sama-sama berusia lanjut.
Dari perkawinan yang berbahagia ini, Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy telah memperoleh empat orang anak, dua putra dan dua putri, yang keempat-empatnya telah mempunyai kedudukan haik dalam ma- syarakat. Yang putri bernama Zuharah dan Anisatul Fuad, sementara yang putra bernama Prof. Dr. Nourouzzaman, M.A., dan Zakiul Fuad, S.H. Menurut pengamatan orang-orang yang dekat dengan keluarga Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, bahwa Nourouzzaman adalah yang paling banyak mewarisi almarhum. baik rupanya, maupun watak dan cita-cita ilmiahnya. Tidak pernah menempuh pendidikan resmi Sebagaimana halnya kebanyakan putra-putra para ulama pada zaman itu, demikian pula Muhammad Hasbi tidak mendapat pendidikan resmi dalam sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah Hindia Belanda, baik di sekolah dasar yang berbahasa Melayu (Governement Inlandsche School) maupun sekolah dasar yang berbahasa Belanda (Holland Inlandsche School atau HIS).
Dalam usia kanak-kanak, Muhammad Hasbi belajar dasar-dasar ajaran Islam pada ibunya. Teungku Amrah. Pada zaman itu di Aceh, hampir semua ibu rumah tangga adalah guru pertama bagi putra-putrinya, sehingga tiap-tiap rumah di Aceh merupakan "sekolah taman kanak-kanak", seperti halnya dalam zaman Kerajaan Aceh Darussalam. Setelah usia sekolah, Muhammad Hasbi mula-mula belajar pada sebuah duryah di Lhokseumawe, yang dipimpin ayahnya, karena ayahnya, Teungku Haji Husin bin Mas'ud, kecuali menjabat Kadi Maharaja Mangkubumi Lhokseumawe, juga mempunyai dayah yang didirikan sendiri. Selama dua tahun belajar pada dayah ayahnya, Muhammad Hasbi telah menguasai dasar-dasar bahasa Arab dan pengetahuan dasar ilmu pengetahuan Islam, sehingga ayahnya merasa lebih baik kalau putranya itu dikirim belajar pada dayah-dayah lain di Aceh., untuk memperdalam pengetahuan hahasa Arab, fikih, usul fikih, usuludin, tasawuf, tafsir, hadis, mantik, dan lain-lain. Demikianlah Muhammad Hasbi sebagai pencari ilmu berpindah dari satu dayah ke lain dayah. Dari Dayah Bluk di Bayu ke Dayah Blang Kabu di Geudong, kemudian ke Dayah Meunasah Manyang di Samakurok, dan akhirnya ke Dayah Tanjung Barat di Samalanga. Waktu belajar di Dayah Tanjung Barat Samalanga, Muhammad Hasbi mempelajari huruf Latin dan bahasa Belanda, sehingga dapat membaca majalah majalah dan surat-surat kabar dalam huruf tersebut. Waktu nanti Muhammad Hasbi pindah ke Banda Aceh, beliau memperdalam pengetahuan bahasa Belanda pada orang Belanda sendiri dan sebagai imbalannya beliau mengajar hahasa Arab kepada orang Belanda tersebut Muhammad Hasbi memang amat serius, sehingga dia dapat menguasai ilmu-ilmu yang dipelajarinya dengan mudah, mengatasi teman-temannya yang lain.
Selagi belajar di Samalanga, Muhammad Hasbi telah menjadi pembaca setia dari majalah pembaharu yang bernama Majalah Al Iman, yang terbit di Singapura di bawah pimpinan Syech Muhammad Ibnu Salim al-Kalali. Majalah Al Iman yang menyuarakan pembaharuan pemikiran Islam sangat mempengaruhi jalan hidup Muhammad Hasbi, sehingga dia menjadi "penganut tajdid" dan "anti taklid". Pada waktu Muhammad Hasbi telah kembali ke Lhokseumawe dan kehetulan Syech Muhammad Ihnu Salim al-Kalali hijrah pula dari Singapura ke Lhokseumawe, sehingga dengan demikian Hasbi mendapat kesempatan belajar langsung dari syekh yang menjadi pujaannya selama ini. Tentang hal ini, dalam catatan menantunya, Djamil Lathif, S.H.., saya haca uraian berikut: "Dengan bimbingan Syekh al-Kalali tersebut, Hasbi telah dapat menguasai bahasa Arab dengan baik, sehingga dapat pula mendalami dan menghayati karya-karya Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Rida, Ibnu Taimyah dan Ibnu Qaiyim.
Sejak ini, Hasbi yang tadinya sebagai penganut mazhab Syafii yang fanatik, telah melepaskan dirinya dari kefanatikan tersebut, bahkan telah timbul dalam dirinya semangat tajdid, semangat pembaharuan dan pemurnian Islam. Karena itu, setelah Hasbi menguasai ajara-ajaran Muhammad Abduh, ajaran-ajaran Muhammad Rasyid Rida serta mendalami kitab-kitab Ibnu Taimyah dan Ibnu Qaiyim, seperti Kitab Fatawa Ibnu Taimyah, Majmu'ah Ar Rasail, Zaadul Ma'aad, I'laamul Muwaggi'in, Badaai ul Fawaid, Syifaaul Alil, dan lain-lain kitab pilihan, mulailah Hasbi mengembangkan faham pembaharuannya. Tindakan Hasbi ini telah menim- bulkan keguncangan-keguncangan, terutama dalam masyarakat alim ulama Aceh, sehingga terlontarlah kata-kata bahwa Hasbi telah mengubah agama. Banyak celaan yang diterima Hasbi, terutama dari mereka yang memegang tradisi-tradisi lama, tetapi Hasbi jalan terus, golongan muda Aceh atau yang berjiwa muda, terutama dari kalangan intelektual menyambut baik tindakan pembaharuan Hasbi ini, sehingga mereka akhirnya menjadi murid dan pengikut setia dari Hasbi. Karena itu, timbullah pada waktu itu dua golongan masyarakat Aceh, yaitu golongan tua yang dipimpin oleh sebagian ulama dan golongan muda yang dipimpin oleh Hasbi sendiri. Golongan tua ingin tetap selalu mempertahankan tradisi lama yang pada umumnya bermazhab Syafii yang fanatik dan bertaklid buta semata-mata, sedangkan golongan muda melepaskan dirinya dari kefanatikan bermazhab Syafii dan anti taklid buta, dengan mengajak umat kembali kepada Alquran dan al-hadis." Sekalipun Muhammad Hasbi telah menguasai bahasa Arab dengan baik, demikian pula ilmu-ilmu Islam yang lain, namun beliau masih merasa belum pandai, sehingga timbul hasrat untuk menambah ilmu ke Tanah Jawa. Cita-cita Hasbi berhasil.
Dalam tahun 1927, Syekh Muhammad Ibnu Salim al-Kalali mengantar Muhammad Hasbi, murid yang cerdas, ke Surabaya dan dimasukkan ke Madrasah Al Islah wal Irsyad, sebuah sekolah Arab yang terbesar waktu itu, yang dipimpin Ustaz Umar Hubeis, salah seorang murid terkemuka dari Imam Syekh Ahmad Surkati, pendiri madrasah tersebut. Muhammad Hasbi belajar ke Surabaya dengan biaya dari Teungku Haji Anom, mertuanya.
Sekalipun Muhammad Hasbi tidak pernah belajar di perguruan tinggi atau universitas, namun dengan ketekunan belajar pada dayah-dayah di Aceh dan Madrasah Al Islah wal Irsyad di Surabaya serta kegemaran membaca yang sangat luar biasa, akhirnya beliau menjadi ilmuawan yang puncak, sehingga namanya menjadi Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy.
Sumber:
Buku Ulama Aceh (Mujahid Pejuang Kemerdekaan Dan Tamadun Bangsa) oleh A.Hasjmy