Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Teungku Abdul Hamid Samalanga (Ulama tokoh pemimpin Syarikat Islam dan Ketua Misi Haji RI)

 

TeungkuAbdul Hamid Samalanga

Pada suatu malam di tahun 1926, sebuah perahu meninggalkan pantai Samalanga menuju laut lepas Layar mulai dikembangkan dan perahu pun berlayar kencang. angin selatan sangat membantunya dan cuaca cerah dengan bintang-bintang bertaburan. Setelah berlayar jauh agak ke tengah, pawang laut sebagai nakhoda merasa lega, dan seorang penumpang yang sejak di pantai kelihatan sebagai seorang wanita muda membuka cadar dan pakaian luarnya; menjelmalah tubuh yang sebenarnya, rupanya dia hanya seorang laki-laki muda yang tampan, namanya Syekh Abdul Hamid Samalanga yang melarikan diri dari penangkapan oleh kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda. Beliaulah yang akan saya ceritakan sejarah hidupnya.

Baca juga: Biografi Haji Abu Bakar Aceh

Perhatian para sultan Kerajaan Aceh Darussalam terhadap pendidikan besar sekali. Banyak pusat-pusat pendidikan yang langsung dibangunkan sultan sultan sendiri, di samping yang didirikan ulama-ulama dengan bantuan rakyat. Pusat-pusat pendidikan yang bernama dayah atau zawiyah bertebaran di seluruh wilayah kerajaan. Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam yang memerintah dalam tahun 1016-1045 Hijriah (1607-1636) selama pemerintahannya telah mendirikan beberapa masjid besar yang merupakan pusat ibadat dan kebudayaan. Dalam lingkungan masjid tersebut atau berdekatan dengannya didirikan dayah atau zawiyah sebagai pusat pendidikan Islam

Di antara masjid besar yang didirikan Sultan Iskandar Muda, yaitu Masjid Raya Indrapuri, Masjid Raya Pangau, Masjid Raya Labui dan Masjid Raya Samalanga. Dayah Tanjungan adalah bagian dari Masjid Raya Samalanga. yang kemudian dalam perjalanan sejarah merupakan salah satu pusat pendidik- an Islam yang penting dalam Kerajaan Acch Darussalam.

Baca juga: Biografi Haji Abdullah Ujong Rimba

Menjelang pecah peperangan antara Kerajaan Acch Darussalam dengan Kerajaan Belanda, Dayah Tanjungan Samalanga dipimpin Teungku Muhammad Amin; kemudian putranya Teungku Haji Idris yang pernah belajar di Mekkah selama sebelas tahun; kemudian setelah beliau meninggal oleh salah seorang putranya yang bernama Teungku Haji Syahabuddin (putra tertua): kemudian oleh Teungku Badruddin sampai sekarang. Dayah Tanjungan Samalanga masih hidup sampai sekarang, sekalipun tidak sehebat dan semakmur seperti dalam Kerajaan Aceh Darussalam.

Syekh Abdul Hamid yang sedang kita catat riwayat hidupnya ini adalah lahir dalam lingkungan ulama-ulama yang memimpin Dayah Tanjungan Sama- langa; jelasnya bahwa beliau adalah putra kedua dari Teungku Haji Idris. Dalam tahun 1902, pada waktu peperangan di Tanah Aceh masih berlangsung terus di bawah pimpinan ulama-ulama, terutama perang gerilya yang amat dahsyat; dalam tahun itulah Teungku Haji Idris dikaruniai Allah putra kedua yang kemudian diberi nama Abdul Hamid, sedangkan beberapa tahun sebelum itu telah dikaruniai putra tertua yang diberi nama Syahabuddin, dan beberapa tahun kemudian dikaruniai pula seorang putri yang diberi nama Juariah. Jelaslah bahwa Abdul Hamid lahir dalam api peperangan yang sedang menyala, pada waktu ulama-ulama Aceh sedang memimpin perang gerilya yang hebatnya hampir tidak ada tara, sekalipun dia lahir di Jeunieb (Kabupaten Aceh Utara sekarang), bukan di rimba raya yang menjadi markasnya perang gerilya.

Ayahnya Teungku Haji Idris termasuk di antara ulama-ulama yang ditugaskan untuk melapor kepada kekuasaan pendudukan Belanda, sesuai dengan kebijaksanaan baru yang diambil oleh pucuk pimpinan perang gerilya. Setelah sebagian besar pesisir Tanah Aceh diduduki tentara kolonial Belanda, pucuk pimpinan perang gerilya di bawah komando ulama-ulama Tiro menetapkan kebijaksanaan baru setelah bermusyawarah dengan para pimpinan perang gerilya dari seluruh Tanah Aceh. Kebijaksanaan baru itu, yaitu bahwa "medan perang" dibagi dua:
  1. Perang gerilya fisik yang akan dilanjutkan di rimba raya, lembah-lembah, lereng-lereng bukit, bahkan juga di kampung-kampung dan kota-kota.
  2. Jihad akbar, yang bertugas memberantas kebodohan, kejahilan dan kemaksiatan.
Sejumlah ulama diizinkan, hahkan ditugaskan, untuk melapor kepada kekuasaan Belanda di daerah-daerah pendudukan, dengan ketentuan hahwa mereka harus menuntun rakyat di daerah pendudukan, terutama anak-anak muda yang masih belia, dengan menghidupkan kembali pusat-pusat pendidikan yang bernama dayah, yang selama pecah peperangan telah terbengkalai.

Salah seorang ulama yang ditugaskan melaksanakan jihad akbar di medan đakwah dan arena pendidikan, yaitu Teungku Haji Idris, yang kemudian menghidupkan kembali Dayah Tanjungan Samalanga, yang dulunya dipimpin ayahnya Teungku Muhammad Amin. Abdul Hamid setelah dewasa lebih terkenal dengan panggilan "Ayah Hamid", suatu panggilan yang melukiskan bahwa dalam tubuh beliau bersemi jiwa kepemimpinan yang dibawa dari kandungan ibunya.
Ayah Hamid mempunyai empat orang istri, yang dikawininya berturut- turut setelah istri pertamanya meninggal dunia. 

Dari keempat orang istri itu, beliau dikaruniai Allah 15 putra dan putri, dan hanya 15 orang saja, karena pada tanggal 29 Rajab 1388 Hijriah (22 Oktober 1968) Ayah Hamid telah berpulang ke rahmatullah dalam usia 66 tahun. Pada waktu pencatatan bahan-bahan untuk riwayat pada tanggal 30 November 1977 oleh A. Hasjmy, Ayah Hamid telah mempunyai cucu sebanyak 45 orang dan tentu sekarang telah bertambah lagi, mungkin telah lebih dari 50 orang.

Sekalipun Ayah Hamid mempunyai anak banyak, namun semuanya putra dan putri dapat menempuh pendidikan, malahan ada yang sampai ke perguruan tinggi. Anak-anak beliau adalah sebagai berikut:
  1. Diauddin Hamid, pendidikan terakhir Sekolah Pamong Praja di Bukit- tinggi.
  2. Fatimah Hamid
  3. Fauzi Hamid,
  4. Fauziah Hamid,
  5. Fadli Hamid,
  6. Fakhruddin Hamid, pendidikannya terakhir Fakultas Kehewanan dan Peternakan Universitas Syiahkuala Darussalam,
  7. Faridah Hamid, pendidikan di Sekolah Pendidikan Guru Agama.
  8. Amna Yusra Hamid, Sarjana Muda Fakultas Tarbiyah IAIN Jamiah Ar Raniry Darussalam.
  9. Helmi Hamid
  10. Abduh Hamid, pendidikannya masih mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Syiahkuala Darussalam.
  11. Farhan Hamid,
  12. Ahmad Humum Hamid,
  13. Salima Hamid,
  14. Muntasir Hamid
Jelaslah bahwa semua putra dan putri Ayah Hamid, sekalipun banyak, dapat menempuh pendidikan sekurang-kurangnya sampai sekolah menengah. Menurut hemat penulis, ini adalah satu keberhasilan, kalau diingat bahwa ekonomi beliau tidaklah begitu baik. Dunia pendidikan Bagi Ayah Hamid pendidikan adalah dunianya. Menurut beliau bahwa "dunia pendidikan" adalah awal dari dunia-dunia yang lain. Karena itu, beliau tidak saja belajar, tetapi juga mengajar; tidak saja menimba air telaga ilmu pengetahuan, tetapi juga turut menggali telaga telaga ilmu Ayah Hamid menerima pendidikan agama untuk pertama kalinya dari ayah kandungnya sendiri yang memimpin Dayah Tanjung Samalanga.

Sistem pendidikan dayah yang hubungan pendidik dengan anak didik sangat erat, telah menempa beliau menjadi manusia yang sangat cinta kepada rakyat melarat. Selain belajar di dayah ayahnya, Dayah Tanjungan Samalanga, juga beliau belajar di Governement Inlandsche School Samalanga (sama dengan Sekolah Dasar sekarang), hingga tamat. Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya pada sekolah guru di Bireuen yang bernama Leergang (sama dengan Sekolah Guru Bantu pada zaman Republik Indonesia, sekarang telah ditutup).

Waktu beberapa tahun Ayah Hamid bermukim di Mekkah, beliau belajar pada Madrasah As Syathiah (setingkat akademi dalam ilmu agama Islam). Dengan modal dan latar belakang pendidikan inilah, Ayah Hamid mengembangkan karir dan perjuangannya dalam pendidikan dan pengajaran, demikian Drs. Adriman, salah seorang menantunya, dalam catatan data yang diberikan kepada saya, yang selanjutnya menulis: ... dalam suasana masyarakat yang sedang haus akan kebebasan, tanpa tekanan dan paksaan menuju cita kemerdekaan bangsa yang berdaulat dan bersatu.

Selesai studi di Leergang (Sekolah Guru), Ayah Hamid diangkat menjadi guru Volkschool (Sekolah Dasar tiga tahun) sebagai pegawai negeri, dan dalam tahun 1921 menjadi Kepala Sekolah Dasar (Volkschool tiga tahun) di Blang Me (Aceh Utara sekarang). Ayah Hamid yang masih muda tidak puas menjadi pegawai negeri dari pemerintah jajahan, sekalipun hanya sebagai guru. Beliau minta berhenti dan bergerak dalam dunia pendidikan swasta dan dalam dunia politik, yang menyebabkan beliau terpaksa meninggalkan Tanah Aceh (hal ini akan diceritakan pada bagian berikutnya).

Sewaktu beliau bermukim di Mekkah, mendapat kesempatan luas untuk mempelajari masalah pembaharuan pendidikan Islam di negara- negara Islam Timur Tengah, terutama di Mesir. Ayah Hamid ingin sekali agar para ulama Aceh segera melakukan pembaharuan sistem pendidikan Islam.

Karena surat-surat beliau disensor oleh kekuasaan Hindia Belanda, maka beliau mencari akal. Surat Kabar Ummul Qura yang terbit di Mekkah dalam bahasa Arab beliau kirim ke Aceh, kepada Teungku Haji Abdullah Ujongrimba. Di celah-celah baris-baris (antara baris dengan baris) surat kabar Ummul Qura beliau tulis dalam bahasa Arab semacam instruksi agar Teungku Haji Abdullah Ujongrimba mempelopori pem- baharuan pendidikan Islam di Aceh. Karena Teungku Haji Abdullah merasa bahwa yang lebih berhak mempelopori pembaharuan pendidikan Islam adalah Teungku Muhammad Daud Beureueh, maka hal instruksi dalam surat kabar Ummul Qura beliau sampaikan kepada Teungku Muhammad Daud Beureueh, yang oleh ulama progresif ini diterima dengan baik.

Di sinilah dimulai riwayat pembaharuan pendidikan sistem Islam di Aceh.

Jelaslah bahwa perhatian Ayah Hamid kepada pendidikan sangat besar, sekalipun di mana saja beliau berada. Sekembalinya dari Mekkah, dalam tahun 1929 Ayah Hamid mempelopori pendidikan Madrasah Diniyah di Tanjung Samalanga, yang kemudian beliau pimpin sendiri. Madrasah Diniyah yang dinamakan Madrasah Masakinah ini terdiri dari dua bagian: Bagian Putra dan Bagian Putri. Pembaharuan sistem pendidikan Islam yang menjadi cita-cita sejak di Mekkah, beliau laksanakan dalam Madrasah Masakinah ini, baik di Bagian Putra ataupun di Bagian Putri.

Dalam tahun 1933, Ayah Hamid mempelopori pembangunan Perguruan Taman Siswa Jeunien (tempat lahir beliau -Aceh Utara sekarang) dan dalam tahun-tahun permulaan beliau sendiri memimpinnya. Dalam tahun 1937, Ayah Hamid mempelopori pendirian Madrasah Diniyah di Tufa Jeunieb. Madrasah Diniyah ini beliau pimpin sendiri, di samping terus mengajar di Taman Siswa, Sebagai pendidik yang bercita-cita dan mempunyai arah yang jelas, Ayah Hamid telah berhasil mencetak kader-kader bangsa. Di antara bekas anak didik beliau yang pernah memegang peranan dalam pemerintahan (tentunya dalam masyarakat juga) yaitu:
  1. Mayor Abdullah Yacob, bekas Bupati Aceh Utara.
  2. Kolonel Hasballah Daud, putranya Teungku Muhammad Daud Beu- reueh.
  3. Kolonel Teuku Burhan Ali
  4. Kolonel Nyak Duh
  5. Letnan Kolonel A.M. Namploh, bekas Wakil Gubernur Aceh
  6. Teungku Abdul Hamid Araby, Staf Kedutaan Besar RI di Saudi Arabia.
  7. Kolonel T.Z. Abidin, perwira staf Kodam I Iskandar Muda
  8. Teungku Haji Ahmad Nurdin yang melanjutkan studinya ke Mekkah dan Kairo.
  9. Kolonel Daud Gade, pernah menjadi Konsul Jendral RI di New York.
  10. Haji Ibrahim Lhoksukon, pensiunan jaksa. Leretan nama ini, masih dapat dipanjangkan lagi, tetapi untuk sementara cukup sampai angka sepuluh dulu.
Sebagai seorang anak yang lahir pada waktu api peperangan masıh bernyala-nyala menjilat-jilat Tanah Aceh, yang diakatkan oleh nafsu pen- jajahan Belanda, maka semenjak bayi Ayah Hamid seperti halnya juga hayi-bayi Tanah Aceh yang sezaman dengannya-masih kecil telah dibuai-buai oleh ibunya dengan lagu-lagu jihad yang mengobarkan semangat perang dan membarakan rasa dendam kepada penjajah Belanda.

Karena itu, adalah hal yang wajar kalau Ayah Hamid sangat memusuhi kekuasaan kolonialisme Belanda, dan wajar pula kalau beliau tidak mau kerja sama (nonkooperator) dengan Pemerintahan Hindia Belanda, sekalipun hanya sebagai guru, sehingga beliau meminta berhenti dari pegawai negeri dengan mengenyampingkan pensiun yang telah tersedia.

Syarikat Islam yang telah didirikan di Aceh dalam tahun 1916 oleh para ulama dan para uleebalang yang progresif, telah mendorong Ayah Hamid terjun ke gelanggang politik. Dalam usia yang masih sangat muda, sekitar 18 tahun, beliau mendaftarkan diri untuk menjadi anggota Syarikat Islam Cabang Samalanga.

Karena semangatnya yang tangguh dan cita-cita kemerdekaannya yang meluap-luap, dalam waktu yang relatif singkat Ayah Hamid mendapat kedudukan pimpinan dalam Syarikat Islam di Tanah Aceh, bahkan tidak berapa lama kemudian beliau menjadi salah seorang pimpinan utama Syarikat Islam di Tanah Rencong, di samping Teuku Raja Bujang. Teuku Cik Muhammad Said dan lain-lain.

Dengan keaktifan Ayah Hamid, Teuku Raja Bujang dan ulama-ulama serta beberapa uleebalang lainnya, Syarikat Islam dalam waktu yang sangat singkat telah menjamah kota-kota dan desa-desa yang jauh di seluruh Tanah Aceh, hal mana sangat menakutkan para penguasa kolonial Belanda. Ketakutan para penguasa kolonial Belanda memang beralasan, oleh karena Aceh pada hakikatnya belum tunduk dan tidak akan tunduk kepada "penjajah Belanda" yang kafir. Kekuasaan Hindia Belanda semakin takut dan khawatir. Ketakutan dan kekalapan sampai pada puncaknya di tahun 1926, di mana penguasa Hindia Belanda di Aceh telah memutuskan untuk menangkap dan mengasingkan ke Digul beberapa orang pemimpin Syarikat Islam di Aceh.

Di antara para pemimpin Syarikat Islam yang telah terdaftar untuk ditangkap pada waktu tengah malam dalam tahun 1926 itu, yaitu Teuku Raja Bujang, Ayah Hamid, Teuku Cik Muhammad Said, Teungku Syamsuddin, dan beberapa orang lain lagi. Beberapa jam lagi sebelum penangkapan dilakukan, Uleebalang Samalanga Teuku Ali Basyah (kakeknya Mayor Jenderal Teuku Hamzah) memberi tahu kepada Ayah Hamid bahwa beliau akan ditangkap malam itu. Teuku Ali Basyah meminta agar segera Ayah Hamid berangkat ke Pulau Pinang; perahu dengan segala perlengkapannya telah tersedia di pantai Samalanga, hanya tinggal angkat jangkar.

Saat menerima berita itu, tidak ada waktu lagi untuk memberi tahu kepada teman-temannya seperjuangan, apalagi Teuku Ali Basyah meminta agar Ayah Hamid segera ke pantai, tidak boleh ke tempat lain lagi. Pada malam yang penuh sejarah itu, berlayarlah Ayah Hamid ke Pulau Pinang dengan hati yang penuh amarah kepada kolonialisme Belanda.

Dari Pulau Pinang Ayah Hamid melanjutkan perjalanannya ke Mekkah dan bermukim di Tanah Suci sampai tahun 1932, dan dalam tahun tersebut terbuka kemungkinan untuk kembali ke Tanah Aceh, sementara teman-teman- nya: Teuku Raja Bujang, Teungku Syamsuddin dan lain-lain masih di Tanah Merah Digul (Digul sekarang satu kecamatan dalam Kabupaten Merauke, Irian Jaya). Selama bermukim di Mekkah, Ayah Hamid berkesempatan mengadakan hubungan dengan pemimpin-pemimpin dari Dunia Islam, terutama di musim haji, di samping melanjutkan studi pada Madrasah Shathiyah. Apa yang diketahuinya tentang kebangkitan Dunia Islam, termasuk masalah pembaharuan sistem pendidikan Islam, beliau sampaikan ke Aceh lewat surat kabar Ummul Qura, dan kadang-kadang lewat jemaah haji Aceh kalau kebetulan di musim haji. Dengan jalan ini, Ayah Hamid tetap memberi daya hidup berjuang kepada rakyat.

Kembalinya Ayah Hamid ke Aceh dalam tahun 1932 adalah untuk mengajar dan berjuang kembali, sekalipun kemungkinan kembalinya itu atas jaminan Uleebalang Samalanga Teuku Ali Basyah. Jaminan demikian tidak menjadi halangan bagi Ayah Hamid untuk bergerak, sekalipun bukan dalam Syarikat Islam, karena Syarikat Islam telah dilarang di Acch semenjak tahun 1926.

Sebagai seorang pendidik, Ayah Hamid terus mengajar baik di Madrasah Diniyah ataupun di Taman Siswa, maupun di tempat-tempat lain.

Sebagai seorang pergerakan, dalam tahun 1939 Ayah Hamid membantu pendirian organisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), yang dipelopori Teungku Muhammad Daud Beureueh, Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap, Teungku Hasballah Indrapuri, Teungku Abdulwahab Seulimeum, dan ulama-ulama lainnya. Dalam Kongres Pertama PUSA yang berlangsung di Sigli dalam tahun 1940, Ayah Hamid dipilih menjadi salah seorang Komisaris Pengurus Besar PUSA, di samping Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai Ketua Umum, Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap dan Teungku Abdulwahab Seulimeum masing-masing sebagai Wakil Ketua Umum I dan Wakil Ketua Umum II, sementara Teuku Muhammad Amin sebagai Sekretaris Umum dan Teungku Amir Husni Al Mujahid sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Pemuda PUSA, dan Teungku Abubakar Adamy sebagai Sekretaris Umum Pengurus Besar Pemuda PUSA.

Pergerakan PUSA dan pemudanya memang hebat sekali; cukup meng- gegerkan Pemerintah kolonial Belanda. Setelah pecah Perang Asia Timur Raya yang ditimbulkan Jepang, pimpin- an PUSA memutuskan akan mempergunakan peluang baik itu untuk mem- berontak kembali terhadap kekuasaan Belanda, sekalipun untuk sementara harus bekerja sama dengan Jepang. Untuk keperluan ini, Ayah Hamid diutus pergi ke Pulau Pinang. Beliau berangkat ke Penang yang telah diduduki Jepang dengan menyamar sebagai perempuan, sehingga terbebas dari pengawasan intelijen Belanda.

Di Malaya Ayah Hamid mengadakan kontak dengan pembesar-pembesar militer Jepang. di mana beliau menyatakan bahwa rakyat Aceh di bawah pimpinan PUSA akan memberontak terhadap kekuasaan Belanda. Misi yang serupa telah dilakukan oleh Said Abubakar sebelum Ayah Hamid ke Penang, dan ketika beliau sampai di Malaya Said Abubakar telah kembali ke Aceh lewat pantai Sumatra Utara.

Kemudian dalam waktu yang singkat, pecahlah perlawanan rakyat Aceh terhadap kekuasaan Belanda hampir di seluruh Tanah Aceh, sehingga waktu Jepang mendarat di pantai-pantai Aceh, tentara Belanda sudah tidak ada lagi; mereka telah berkumpul di daerah Aceh Tenggara sekarang, untuk kemudian menyerah kepada militer Jepang dan ditawan dalam Kamp Lawe Segalagala.

Setelah Indonesia Merdeka, Ayah Hamid aktif bergerak dalam organisasi politik Masyumi, di samping bekerja sebagai pegawai negeri dalam kedudukan- nya memimpin Jawatan Agama Kabupaten Aceh Utara, artinya beliau diangkat menjadi Kepala Jawatan Agama tersebut.

Beliau terhitung salah seorang pimpinan Masyumi yang penting di Aceh, dan dalam Revolusi 1945 beliau juga mengambil peranan yang cukup besar, kedudukan sebagai salah seorang Pemimpin Lasykar Rakyat Mujahidin, dengan pangkat Mayor, sehingga beliau ditetapkan oleh Menteri Veteran RI sebagai anggota Legium Veteran dengan SK Menteri Veteran No. 35/E/Kpts/MUV/1982, bertanggal 7 Juli 1962. Beliau terdaftar dengan No. 11852/E.

Ketua Misi Haji RI II Setelah Yogyakarta dipulihkan sebagai ibu kota Negara Republik Indonesia, maka Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta di- kembalikan ke Yogyakarta dari Pulau Bangka, demikian pula para pemimpin RI yang lain. Pemulihan Pemerintah Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta, diiringi dengan Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Negeri Belanda. Peristiwa itu semua terjadi dalam tahun 1949.

Sungguhpun demikian, dalam kalangan rakyat Indonesia, terutama dalam kalangan para pemimpin, timbul kegelisahan dan kecemasan, karena khawatir kalau-kalau Belanda akan merobek-robek lagi perjanjian dan akan melakukan agresi ketiga. Untuk menghadapi kemungkinan yang demikian, Banda Aceh ditetapkan menjadi ibu kota negara darurat, kalau ternyata nanti Belanda akan melakukan pengkhianatan lagi. Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai Wakil Perdana Menteri ditugaskan untuk menetap di Banda Aceh dan kepadanya diberi mandat penuh untuk bertindak sebagai Kepala Pemerintahan bila keadaan memaksa.

Di Banda Aceh, Syafruddin telah mengadakan persiapan persiapan yang perlu untuk menghadapi kemungkinan yang sangat jelek sekalipun. Kabinet bayangan telah dibentuk; telah ditetapkan siapa-siapa yang akan menjadi menteri-menteri, menjadi Panglima Angkatan Perang, Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, dan sebagainya. Salah satu usaha yang segera diambil Syafruddin, yaitu membentuk Misi Haji RI II, yang bertugas mengunjungi negara-negara Timur Tengah untuk mencari bantuan dan dukungan bagi perjuangan Republik Indonesia yang akan datang. Atas nama Presiden, pada awal bulan September 1949 Wakil Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara yang berkedudukan di Banda Aceh mem- bentuk Misi Haji RI II dengan susunannya sebagai berikut:

Ketua merangkap anggota: Syekh Abdul Hamid Samalanga.

Sekretaris merangkap anggota: Muhammad Nur El Ibrahimy

Jurubicara merangkap anggota: A. Hasjmy

Anggota-anggota: Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Haji Syamsir dan Syekh Awab Syahbal.

Dengan mendapat kepercayaan dari negara, dalam bulan September 1949 Misi Haji RI II berangkatlah ke luar negeri untuk melaksanakan tugas perjuangan bagi kemenangan Republik Indonesia. Kami berada di negara-negara Arab selama tiga bulan lebih, dan setelah selesai Konperensi Meja Bundar (KMB), barulah misi kembali ke Tanah Air, karena ada perintah Presiden Soekarno; bahwa kalau terjadi lagi perang kemerdekaan melawan Agresi Belanda ke-3, Misi Haji RI ke-2 harus tetap tinggal di Timur Tengah, untuk membantu perjuangan di luar negeri.

Misi Haji RI II di bawah pimpinan Ayah Hamid tinggal di negara-negara Arab tiga bulan lebih. Selama musim haji, Misi sempat mengadakan hubungan dengan para pemimpin Islam yang datang dari seluruh dunia, di samping mengadakan pembicaraan dengan para pembesar Saudi Arabia, termasuk dengan Malik Abdul Aziz sendiri, dengan Amir Faisal sebagai Menteri Luar Negeri dan para menteri serta pemimpin-pemimpin masyarakat Indonesia yang bermukim di sana.

Di Mesir, Misi dengan giat mengadakan perundingan/pembicaraan dengan para pemimpin terkemuka, seperti dengan Sekjen Liga Arab Azam Pasya, Syekh Azhar, Mufti Kerajaan Mesir, Syekh Abdul Hamid Ketua Subbanul Muslimin, Amir Abdul Karim Pemimpin Besar Maroko dalam pembuangan, Mufti Besar Palestina yang dalam pembuangan dan tokoh-tokoh pemimpin pemberontak dari Afrika Utara yang berkumpul di Kairo sebagai markas besar perjuangan kemerdekaan mereka, karena waktu itu (tahun 1949) Maroko, Tunisia, Aljazair dan Libya belum merdeka lagi.

Isi pembicaraan dengan para pemimpin tersebut, baik di Saudi Arabia ataupun di Mesir, yaitu menjelaskan tahap-tahap dari perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya, menyatakan terima kasih rakyat dan pemerintah Indonesia atas bantuan Arab yang telah diberikan, serta mengharap bantuan selanjutnya kalau pecah perang lagi antara Republik Indonesia dengan Belanda. Sedangkan para pemimpin Afrika Utara malahan meminta bantuan Indonesia bagi perjuangan kemerdekaan mereka, baik bantu- an dalam bentuk fisik maupun bantuan politik dan diplomasi.

Setelah menjalankan tugasnya dengan baik di negara-negara Arab, pada penghujung bulan Desember 1949 menjelanvah Air dengan selamat dan melapor kepada Presiden Soekarno di Yogyakarta. Dan pada tanggal 29 Rajavb 1388 Hijriah (22 Oktober 1968), Ayah Hamid kembali ke alam baka-untuk menghadap dan melapor kepada Maha Penciptanya Allah Yang Maha Esa.

Sumber:

Buku Ulama Aceh (Mujahid Pejuang Kemerdekaan Dan Tamadun Bangsa) oleh A.Hasjmy