Ulama Dan Cendikiawan Terkenal Dari Aceh
Prof. Dr. Haji Abubakar Aceh adalah salah seorang ulama dan cendekiawan. Beliau dipandang sebagai ulama karena beliau menguasai ilmu-ilmu agama dan benar-benar mengamalkan agama secara taat dan tekun untuk kepentingan umat. Di samping itu beliau juga seorang ilmuwan di bidang agama Islam, serta mengembangkannya melalui berbagai sarana, baik melalui tulisan ataupun dengan mendakwahkannya. Beliau diberkahi oleh Allah dengan berbagai kemampuan dalam mendarmabaktikan dirinya kepada agama dan bangsa melalui kemampuannya sebagai orator, maupun sebagai penulis yang berbakat.
Prof. Dr. Haji Abubakar Aceh lahir pada 7 Rabiul Akhir 1327 Hijriah (28 April 1909), di Peureumeu, Kabupaten Aceh Barat. Beliau menghabiskan masa kecilnya dengan belajar membaca Al-quran pada orang tuanya, belajar Ilmu Agama Islam pada beberapa teungku di kampungnya. Setelah menamatkan Volkschool di Kota Meulaboh,beliau melanjutkan pelajarannya ke Kweekschool Islamiah di Sumatra Barat dan setelah tamat dari sana, ia melanjutkan studinya ke Jakarta. Sebelum berangkat ke Sumatra Barat, Haji Abubakar sebagai seorang putra Aceh tidak luput dari belajar di dayah-dayah terkenal di seluruh Daerah Aceh pada ulama-ulama ternama dan bersama Haji Abdus- salam Meuraxa belajar pada Dayah Manyang Tuanku Raja Keumala di Peulang- gahan. Jiwanya yang telah terisi dengan ilmu pengetahuan agama menuntut perluasan cakrawala untuk memperoleh ilmu lain dan menuntut perbandingan pengetahuan dengan ilmu pengetahuan agama lain. Karena itu beliau me- lanjutkan studi di Jakarta dengan mendalami berbagai bahasa asing melalui kursus-kursus. Karena itu sejak mudanya beliau telah menggunakan beberapa bahasa asing, seperti: bahasa Arab, Inggris, dan Belanda.
Kepuasannya menuntut ilmu nampaknya tidak terbatas, sehingga beliau juga berusaha untuk dapat melanjutkan studinya ke Mekkah serta beliau sekaligus melaksanakan Rukun Islam kelima ke Baitul Haram. Perjalanan ke Mekkah itu dilakukan melalui Pulau Pinang sekitar tahun 1936, suatu perjalanan yang memakan waktu lama dan ditempuh dengan menggunakan kapal air, yang di kala itu satu-satunya alat angkutan ke Mekkah yang paling ampuh. Selama di Mekkah dan di Madinah, Haji Abubakar mengikuti orang tuanya dari usia muda serta sempat berkenalan dengan para ulama besar baik di Masjidil Haram maupun di Masjid Nabawi di Madinah.
Baca juga: Biografi Abu Abdullah Ujong Rimba
Di samping itu beliau juga sempat berkenalan dengan berbagai jamaah haji yang datang dari seluruh Indonesia. Pertemuan informal tersebut telah memperkaya informasi tentang keadaan Indonesia di bawah penjajahan Belanda dan momen itu telah digunakan untuk memperjuangkan Indonesia Merdeka. Pengetahuannya yang luas di bidang agama Islam secara otomatis dapat diterapkan dalam pekerjaan sehari-hari, sebagai seorang pegawai pada Departemen Agama Republik Indonesia yang pada akhir hidupnya menetap di Jakarta. Beliau lahir dari keluarga ulama dari ayah bernama Teungku Haji Syekh Abdurrahman dari Peureumeu, Aceh Barat, dan ibundanya bernama Teungku Haji Naim berasal dari perkampungan Peulanggahan Banda Aceh.
Sebelum tinggal tetap di Jakarta, Prof. Dr. Haji Abubakar Aceh telah tinggal beberapa lama di Yogyakarta dalam rangka menimba ilmu pengetahuan dan sebagai karyawan Departemen Agama Republik Indonesia. Karena wibawanya yang besar, telah menempatkan pribadi Haji Abubakar menjadi pemimpin masyarakat Aceh di Yogyakarta dan menjadi tempat bertanya mengenai agama, kemasyarakatan dan kadang-kadang menyangkut masalah pribadi, Hal seperti ini juga terjadi di Jakarta. Suri tauladan yang ditunjukkan dalam setiap pertemuan dan musyawarah, serta sikap kepekaan beliau dalam berbagai bidang kehidupan kemasyarakatan telah menempatkannya menjadi orang yang dicintai oleh masyarakat.
Dalam setiap konflik beliau juga selalu muncul sebagai penengah yang bijak. Karena itu pemerintah daerah telah mengundang beliau untuk menjadi salah seorang penengah dalam penyelesaian "Peristiwa Aceh" tahun 1953, yang menyulut api pertentangan antara ulama dan keluarga uleebalang. Musyawarah tersebut dikenal dengan nama Musyawarah Blang Padang yang berlangsung dalam tahun 1962. Berbagai kegiatan kemasyarakatan yang berlangsung di Aceh beliau tetap diundang hadir. Kegiatan ilmiah seperti seminar Pekan Kebudayaan Aceh II tahun 1972 beliau ikut menyampaikan makalah.
Dalam penataan struktur organisasi Departemen Agama RI di Jakarta, beliau benar-benar dijadikan anggota teras dari departemen tersehut dan beliau urut menata secara langsung struktur organisasi departemen itu. Penataan penting dari Departemen Agama RI. ialah di bidang haji. Beliau malah dipercayakan oleh Menteri Agama waktu itu untuk langsung memimpin jemaah haji ke Mekkah dalam tahun 1953. Di samping itu tugas beliau juga dipercayakan di bidang publikasi, agar Departemen Agama menjadi lebih dikenal di dalam dan di luar negeri. Berbagai karya ilmiah beliau juga sempat dipublikasikan untuk mengenal lebih jauh mengenai Departemen Agama RI. Karena pengetahuan beliau yang luas di bidang hukum dan syariat Islam, maka beliau juga pernah memangku jabatan sebagai Staf Ahli Menteri Agama RI.
Selama tinggal di Yogyakarta beliau di samping belajar serta menambah ilmu pengetahuan agama, beliau juga menyumbangkan tenaga untuk membantu masyarakat Aceh yang sedang bergolak. Bantuan itu berupa usaha yang memungkinkan para pelajar Aceh memasuki Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta. Beberapa putra Aceh berkesempatan memasuki PTAIN Yogyakarta dan kemudian sekaligus menjadi tenaga pendiri dan pengajar IAIN Ar Raniry di Darussalam Banda Aceh yang didirikan dalam tahun 1961.
Usaha membantu putra Aceh untuk memajukan di bidang pendidikan juga dilakukan sesampai di Jakarta. Banyak pendatang Aceh dianjurkan untuk belajar di Jakarta dan sekitarnya dan kalau suasana memungkinkan, beliau juga membantu mereka bekerja di berbagai departemen di Jakarta, seperti membantu bekerja di Departemen Agama RI. Banyak karya yang beliau sumbangkan selama di Jakarta, di samping bekerja di Departemen Agama, juga sebagai pendakwah dan pengajar agama Islam. Beliau sering berkhotbah di berbagai masjid di Jakarta, juga mengajar para anggota Angkatan Bersenjata RI antara lain pada Direktorat Topologi Markas Besar Angkatan Darat sekitar tahun 1970. Sampai hari tua pekerjaan ini tetap beliau lakukan sebagai sumbangsih dan pengabdiannya kepada Agama, Nusa dan Bangsa.
Prof. Dr. Haji Abubakar Aceh meninggalkan dunia yang fana ini setelah berjuang di tanah air Indonesia selama berpuluh tahun dan meninggalkan keluarga, kerabat dan handai taulan pada tanggal 17 Desember 1979, bertepatan dengan 27 Muharam 1400 Hijriah. Beliau meninggal dunia setelah beberapa waktu lamanya menderita penyakit, meninggalkan seorang istri dan enam orang anak, yaitu dua orang putra dan empat orang putri.
Sebenarnya Prof. Dr. Haji Abubakar mempunyai dua orang istri. Dari istri pertama Nyonya Suwarni lahir enam orang putra-putri seperti tersebut di atas, dan dari istri kedua tidak memperoleh anak. Jenazah beliau dimakamkan di Pekuburan Karet di Jakarta, pada keesokan harinya, tanggal 18 Desember 1979 dengan diantar oleh ribuan kaum muslimin dan muslimat beserta anak dan keluarga serta kaum famili terdekat dari almarhum.
Jabatan lain yang juga beliau pangku semasa hidupnya adalah anggota Fraksi Karya Pembangunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), menjadi tokoh Syarikat Islam pada tahun 1940-an, tokoh Masyumi dan juga tokoh Muhammadiyah. Prof. Dr. Haji Abubakar diberi nama "ACEH" oleh Bung Karno, sebagai Presiden RI pertama. Beliau amat mengenalnya, baik sebagai ulama maupun pengarang Islam dari Aceh. Ternyata memang beliau telah menerbitkan berbagai hasil karya yang cukup monumental baik di lapangan agama, budi pekerti (etika), sejarah, filsafat, tasauf, sufi, pengetahuan umum dan lain-lain- nya, seperti: Sejarah Alquranul-Karim, Sejarah Ka'bah, Sejarah Mesjid, Teknik Khutbah, Riwayat Hidup Nabi Muhammad saw., Salaf, Pengantar Ilmu Tarekat dan lain-lain. Banyak karangan lepas lainnya yang dimuat dalam surat kabar serta majalah yang terbit di Jakarta, Medan, Solo, Surabaya, Banda Aceh, seperti dalam Kedaulatan Rakyat, Abadi, Mimbar Agama, Panji Islam, Adil, Sinar Darussalam, Punji Masyarakat, Wahyu, Kiblat, Harmonis dan lain-lain. Di samping itu beliau terkenal sebagai seorang pendakwah Islamiah yang militan dan pendiri "Khutubkhanah" (Aceh Library) pada tahun 1945 di Banda Aceh. Karena ingatannya sangat kuat tentang ilmu yang dikuasainya, maka Prof. Dr. Haji Abubakar Aceh digelari sebagai "Ensiklopedia Berjalan
Sumber:
Di samping itu beliau juga sempat berkenalan dengan berbagai jamaah haji yang datang dari seluruh Indonesia. Pertemuan informal tersebut telah memperkaya informasi tentang keadaan Indonesia di bawah penjajahan Belanda dan momen itu telah digunakan untuk memperjuangkan Indonesia Merdeka. Pengetahuannya yang luas di bidang agama Islam secara otomatis dapat diterapkan dalam pekerjaan sehari-hari, sebagai seorang pegawai pada Departemen Agama Republik Indonesia yang pada akhir hidupnya menetap di Jakarta. Beliau lahir dari keluarga ulama dari ayah bernama Teungku Haji Syekh Abdurrahman dari Peureumeu, Aceh Barat, dan ibundanya bernama Teungku Haji Naim berasal dari perkampungan Peulanggahan Banda Aceh.
Sebelum tinggal tetap di Jakarta, Prof. Dr. Haji Abubakar Aceh telah tinggal beberapa lama di Yogyakarta dalam rangka menimba ilmu pengetahuan dan sebagai karyawan Departemen Agama Republik Indonesia. Karena wibawanya yang besar, telah menempatkan pribadi Haji Abubakar menjadi pemimpin masyarakat Aceh di Yogyakarta dan menjadi tempat bertanya mengenai agama, kemasyarakatan dan kadang-kadang menyangkut masalah pribadi, Hal seperti ini juga terjadi di Jakarta. Suri tauladan yang ditunjukkan dalam setiap pertemuan dan musyawarah, serta sikap kepekaan beliau dalam berbagai bidang kehidupan kemasyarakatan telah menempatkannya menjadi orang yang dicintai oleh masyarakat.
Dalam setiap konflik beliau juga selalu muncul sebagai penengah yang bijak. Karena itu pemerintah daerah telah mengundang beliau untuk menjadi salah seorang penengah dalam penyelesaian "Peristiwa Aceh" tahun 1953, yang menyulut api pertentangan antara ulama dan keluarga uleebalang. Musyawarah tersebut dikenal dengan nama Musyawarah Blang Padang yang berlangsung dalam tahun 1962. Berbagai kegiatan kemasyarakatan yang berlangsung di Aceh beliau tetap diundang hadir. Kegiatan ilmiah seperti seminar Pekan Kebudayaan Aceh II tahun 1972 beliau ikut menyampaikan makalah.
Dalam penataan struktur organisasi Departemen Agama RI di Jakarta, beliau benar-benar dijadikan anggota teras dari departemen tersehut dan beliau urut menata secara langsung struktur organisasi departemen itu. Penataan penting dari Departemen Agama RI. ialah di bidang haji. Beliau malah dipercayakan oleh Menteri Agama waktu itu untuk langsung memimpin jemaah haji ke Mekkah dalam tahun 1953. Di samping itu tugas beliau juga dipercayakan di bidang publikasi, agar Departemen Agama menjadi lebih dikenal di dalam dan di luar negeri. Berbagai karya ilmiah beliau juga sempat dipublikasikan untuk mengenal lebih jauh mengenai Departemen Agama RI. Karena pengetahuan beliau yang luas di bidang hukum dan syariat Islam, maka beliau juga pernah memangku jabatan sebagai Staf Ahli Menteri Agama RI.
Selama tinggal di Yogyakarta beliau di samping belajar serta menambah ilmu pengetahuan agama, beliau juga menyumbangkan tenaga untuk membantu masyarakat Aceh yang sedang bergolak. Bantuan itu berupa usaha yang memungkinkan para pelajar Aceh memasuki Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta. Beberapa putra Aceh berkesempatan memasuki PTAIN Yogyakarta dan kemudian sekaligus menjadi tenaga pendiri dan pengajar IAIN Ar Raniry di Darussalam Banda Aceh yang didirikan dalam tahun 1961.
Usaha membantu putra Aceh untuk memajukan di bidang pendidikan juga dilakukan sesampai di Jakarta. Banyak pendatang Aceh dianjurkan untuk belajar di Jakarta dan sekitarnya dan kalau suasana memungkinkan, beliau juga membantu mereka bekerja di berbagai departemen di Jakarta, seperti membantu bekerja di Departemen Agama RI. Banyak karya yang beliau sumbangkan selama di Jakarta, di samping bekerja di Departemen Agama, juga sebagai pendakwah dan pengajar agama Islam. Beliau sering berkhotbah di berbagai masjid di Jakarta, juga mengajar para anggota Angkatan Bersenjata RI antara lain pada Direktorat Topologi Markas Besar Angkatan Darat sekitar tahun 1970. Sampai hari tua pekerjaan ini tetap beliau lakukan sebagai sumbangsih dan pengabdiannya kepada Agama, Nusa dan Bangsa.
Prof. Dr. Haji Abubakar Aceh meninggalkan dunia yang fana ini setelah berjuang di tanah air Indonesia selama berpuluh tahun dan meninggalkan keluarga, kerabat dan handai taulan pada tanggal 17 Desember 1979, bertepatan dengan 27 Muharam 1400 Hijriah. Beliau meninggal dunia setelah beberapa waktu lamanya menderita penyakit, meninggalkan seorang istri dan enam orang anak, yaitu dua orang putra dan empat orang putri.
Sebenarnya Prof. Dr. Haji Abubakar mempunyai dua orang istri. Dari istri pertama Nyonya Suwarni lahir enam orang putra-putri seperti tersebut di atas, dan dari istri kedua tidak memperoleh anak. Jenazah beliau dimakamkan di Pekuburan Karet di Jakarta, pada keesokan harinya, tanggal 18 Desember 1979 dengan diantar oleh ribuan kaum muslimin dan muslimat beserta anak dan keluarga serta kaum famili terdekat dari almarhum.
Jabatan lain yang juga beliau pangku semasa hidupnya adalah anggota Fraksi Karya Pembangunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), menjadi tokoh Syarikat Islam pada tahun 1940-an, tokoh Masyumi dan juga tokoh Muhammadiyah. Prof. Dr. Haji Abubakar diberi nama "ACEH" oleh Bung Karno, sebagai Presiden RI pertama. Beliau amat mengenalnya, baik sebagai ulama maupun pengarang Islam dari Aceh. Ternyata memang beliau telah menerbitkan berbagai hasil karya yang cukup monumental baik di lapangan agama, budi pekerti (etika), sejarah, filsafat, tasauf, sufi, pengetahuan umum dan lain-lain- nya, seperti: Sejarah Alquranul-Karim, Sejarah Ka'bah, Sejarah Mesjid, Teknik Khutbah, Riwayat Hidup Nabi Muhammad saw., Salaf, Pengantar Ilmu Tarekat dan lain-lain. Banyak karangan lepas lainnya yang dimuat dalam surat kabar serta majalah yang terbit di Jakarta, Medan, Solo, Surabaya, Banda Aceh, seperti dalam Kedaulatan Rakyat, Abadi, Mimbar Agama, Panji Islam, Adil, Sinar Darussalam, Punji Masyarakat, Wahyu, Kiblat, Harmonis dan lain-lain. Di samping itu beliau terkenal sebagai seorang pendakwah Islamiah yang militan dan pendiri "Khutubkhanah" (Aceh Library) pada tahun 1945 di Banda Aceh. Karena ingatannya sangat kuat tentang ilmu yang dikuasainya, maka Prof. Dr. Haji Abubakar Aceh digelari sebagai "Ensiklopedia Berjalan
Sumber:
Buku Ulama Aceh (Mujahid Pejuang Kemerdekaan Dan Tamadun Bangsa) oleh A.Hasjmy