Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah Ulama Aceh Berdarah Yaman dan Persia

Kisah Ulama Aceh Berdarah Yaman dan Persia

Menurut catatannya sendiri, bahwa Amir Husin Al-Mujahid adalah seorang ulama pemimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia yang berasal dari Iran (Persia) dan Yaman. Nenek moyangnya dari pihak ayah berasal dari Persia dan nenek moyangnya dari ibu berasal dari Yaman. Keduanya datang dari Timur Tengah bagian dunia yang selalu bergolak, yang juga kelihatannya menjadi watak Teungku Amir Husin Al Mujahid.

Putra yang kedua sisi nenek moyangnya berasal dari bagian dunia yang sering bergolak itu, lahir dalam tahun 1900 di Blang Guci, Idi Rayek. Kabupaten Aceh Timur, dan diberi nama Amir Husin. Tentang keturunannya, Amir Husin mencatat dalam buku catatannya sebagai berikut: Ayahnya Amir Suleiman bin Amir Abbas bin Amir Aminullah bin Amir Hidayat, yang ayah Amir terakhir ini datang dari Persia. Ibunya Cut Manyak binti Muhammad Yusuf bin Syekh Yakub bin Syekh Abdussalam, yang yahnya datang dari Negeri Yaman. Mengenai silsilahnya Amir Husin mencatat lengkap, yang ikhtisarnya Seperti yang saya turunkan di bawah ini:

Menurut riwayat, seorang raja kecil (semacam uleebalang di Aceh) dalam negeri Persia meninggal dunia dan putranya yang berhak mewarisi kerajaan kecil itu masih belum dewasa. Terjadi perselisihan dalam kalangan keluarga raja yang meninggal itu. Salah seorang adiknya yang bernama Amir Hidayat bersepakat untuk mengangkat putra raja yang masih belum dewasa itu, sementara seorang adiknya ingin mengangkat dirinya menjadi raja.

Karenanya terjadilah peperangan antara dua bersaudara itu, yang berakhir dengan kekalahan Amir Hidayat. Akibat dari kekalahan itu, Amir Hidayat dengan para pengikutnya melarikan diri dari Persia. Dengan beberapa perahu layar mereka menuju ke timur, ke Kepulauan Nusantara. Perahu yang ditumpangi Amir Hidayat terdampar di Aceh Besar, sementara perahu-perahu yang lain ada yang terdampar di Palembang. Pulau Jawa dan sebagainya.

Setelah beberapa lama menetap di Aceh Besar, salah seorang putra Amir Hidayat yang bernama Amir Aminullah pindah ke Pidie dan menetap di sana sampai mendapat beberapa putra/putri. Salah seorang putranya yang bernama Amir Abbas, yang kemudian terkenal dengan nama Amir Panglima Abbas bertolak ke Blangme Geudong (Aceh Utara) dan menetap serta kawin di sana sehingga mendapat karunia beberapa orang putra. Putranya yang bernama Amir Sulaiman (Tengku Syekh Suleiman) adalah ayah kandung Amir Husin kemudian bernama lengkap Teungku Amir Husin Al Mujahid.

Panglima Besar Abbas dan putranya Syekh Suleiman hijrah ke Blang Seunudon dan terus di sana, sampai terjadi peperangan dengan tentara Belanda, di mana kedua bapak dan anak itu ikut bertempur melawan Belanda, sehingga ayahnya diangkat menjadi panglima perang. Kecuali ke Seunudon, tentara Belanda juga melakukan serangan Ke Blang Pulo, yang dipertahankan oleh Panglima Teungku Sarong dan wakilnya Teuku Muhammad Yusuf.

Setelah Blang Pulo diduduki tentara kolonial Belanda, Teuku Muhammad Yusuf hijrah ke Pirak, di tempat mana dia memperistrikan Cut Meurah, putri Teuku Cik Pirak (Keujrun Pirak), yang juga ayahnya Cut Meutia (yang sekarang telah ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional). Dari Pirak, Teuku Muhammad dan istrinya Cut Meurah pindah ke Blang Seunudon, sementara Cut Meutia dan suaminya Teuku Cut Muhammad (Teuku Cik Tunong) terus menetap di Pirak.

Di Blang Seunudon, di daerah mana Teuku Muhammad Amin telah diangkat menjadi uleebalang, yang juga di sana telah bermukim Panglima Perang Abbas dan sejumlah para pejuang lainnya. Di Blang Seunudon, terjadilah pengikatan persaudaraan antara Panglima Perang Abbas dengan Teuku Muhammad Yusuf, dengan tujuan untuk sama- sama berperang melawan Belanda sampai ke ujung hayat.

Dari Blang Seunudon, kedua keluarga pahlawan itu hijrah ke Julok Cut (Aceh Timur), di tempat mana putra Panglima Perang Abbas yang bernama Suleiman dan putri Teuku Muhammad Yusuf yang bernama Cut Manyak rumbuh menjadi remaja, yang kemudian kedua muda remaja itu sebagai putra dan putri pahlawan dipertunangkan dan dinikahkan. Setelah beberapa lama berumah tangga, kedua manusia yang berbahagia ini, tetesan darah dua orang pahlawan Aceh, hijrah ke Blang Guci, Idi Rayek, dan di sanalah mereka dikaruniai seorang putri yang diberi nama Fatimah dan kemudian mendapat karunia seorang putra yang diberi nama Amir Husin pada satu waktu kemudian menjadi seorang ulama dan pemimpin perjuangan kemerdekaan, dengan nama lengkapnya Teungku Amir Husin Al Mujahid. Demikian catatannya sendiri tentang silsilah asal-usulnya.

Belajar dan mengajar

Dari catatannya itu bahwa pendidikan beliau sebagai berikut:
  1. Belajar Alquran dan dasar-dasar Islam pada orang tuanya.
  2. Belajar pada Volkschool Blang Guci dan Dayah Pulo Blang di Idi.
  3. Belajar pada Dayah Cot Meurak Bireun dan Dayah Blang Kabo, Geudong.
  4. Belajar pada Dayah Indrapuri, Aceh Besar (1924-1925).
  5. Belajar di Madrasah Maslurah Tanjungpura, Langkat (1926-1930), di madrasah mana kurikulum telah diatur mirip seperti di Al Azhar, Kairo, oleh karena para ustaznya kebanyakan alumni Universitas Al Azhar.
Setelah selesai studinya di Madrasah Maslurah Tanjungpura, Langkat, Amir Husin mendirikan Madrasah Islam di kampungnya Blang Guci dan terus mengajar di sana selama satu tahun. Setelah itu, Amir Husin yang wataknya tidak betah di satu-satu tempat, pindah mengajar pada beberapa tempat yaitu:
  1. Pada tahun 1932: mengajar di Madrasah Diniyah Kelapa Satu, Sigli.
  2. Pada tahun 1932: sambil mengajar terus di Madrasah Diniyah Kelapa Satu, juga bekerja pada toko kain T.N. Brothes Sigli.
  3. Pada tahun 1933 mengajar pada Madrasah Diniyah di kota Meulaboh.
  4. Pada tahun 1935: mengajar pada Madrasah Islam Langsar dan Tualang Cut.
  5. Pada tahun 1936 mengajar di Madrasah MADANI Kampung Aceh Idi dan Madrasah MADANI, Blang Guci Idi.
  6. Pada tahun 1937: mengajar pada Madrasah Islam di Blang Rambong, Keude Geu- reuhak, Idi.
Tiap-tiap manusia ada kekurangannya di samping kelebihan-kelebihannya. Kekurangan Teungku Amir Husin Al Mujahid, kalau boleh disebut kekurangan, yaitu beliau tidak betah tetap tinggal lama di satu tempat, seperti yang dapat dibuktikan dengan sampai begitu banyak tempat beliau mengajar dalam waktu kurang sepuluh tahun. Mungkin ini memang wataknya seorang penggerak perubahan. Cita-citanya untuk mengubah sistem pendidikan Islam di Aceh cukup besar. Hal mana, dapat kita pahami sejak beliau masih belajar sampai waktu tahun-tahun mengajar.

Tentang cita-citanya untuk memajukan pendidikan, digambarkan oleh putranya Makmun Al Mujahid dalam suratnya yang dikirimkan kepada A. Hasjmy, yang antara lain berbunyi:

Cita-cita dan usahanya untuk mengembangkan pendidikan, terutama pendidikan Agama Islam, sangat tinggi. Semenjak tahun 1963, almarhum telah membangun sebuah Perguruan Tinggi Islam Darussunnah, dan dalam tahun tujuhpuluhan telah mulai berkembang, di mana telah dapat berdiri semacam akademi dakwah dan lain-lain. Namun, karena beberapa sebab. Perguruan Tinggi Darussunnah tidak dapat berkembang baik. Karena itu, beberapa waktu menjelang beliau memenuhi panggilan Khaliqnya, tanah seluas empat hektar milik pribadinya, yang telah disediakan untuk Darussunnah, diserahkan (wakaf?) kepada Camat Karang Baru, Aceh Timur, untuk dipergunakan bagi pembangunan pendidikan, terutama pendidik- an Agama Islam. Tanah tersebut terletak di Desa Kampung Dalam, Kecamatan Karang Baru. Di atas tanah tersebut sekarang telah dibangun sebuah gedung SMA swasta yang permanen dan akan dilanjutkan dengan gedung-gedung pendidikan lainnya. Kalau tanah tersebut dihargakan dengan hanga pasaran sekarang, satu meter sekitar Rp2.000, sehingga harga seluruhnya menjadi Rp. 80.000 000,-

Pesan Sultan Muhammad Daud

Sebagaimana telah dijelaskan pada hagian yang lalu hahwa dalam talun 1924 Amir Husin belajar di Dayah Indrapuri, suatu pusat pendidikan Islam terkenal di Aceh Besar di bawah pimpinan Teungku Haji Ahmad Hasballah Setelah setahun belajar di Dayah Indrapuri, pemimpin Dayah Teungku Ahmad Hasballah menugaskan Amir Husin dan Usman Bakar untuk mencari derma atau sumbangan bagi pembangunan Dayah Indrapuri, yang tengah diusahakan untuk memperbaharui sistem pendidikannya seperti yang telah herlaku di Sumatra Barat.

Dalam tahun 1925, Amir Husin bersama temannya Usman Bakar dengan oleh gurunya. Pencarian sumbangan tersebut dimulai dari bagian utara Sumatra sampai ke Lampung. Dari Lampung mereka menyeberang ke Pulau Jawa dan kemudian dari Pulau Jawa mereka berlayar ke Singapura. Waktu seluruhnya kira-kira satu tahun dalam perjalanan cari derma di Sumatra, Jawa dan Singapura.

Seluruh perjalanannya itu, suka-dukanya, dicatat kemudian oleh Amir Husin. Banyak hal-hal penting dapat kita ketahui dari catatannya itu. Tentang bagaimana cermatnya mereka memelihara uang derma sebagai amanah, dapat kita ketahui dari kutipan buku catatannya yang berbunyi:

Dalam perjalanan Amir Husin dan Usman Bakar mencari derma sungguh banyak dialami suka dan duka, mendapat halangan, hambatan dan rintangan. Namun segala rintangan dan pengalaman pahit tersebut tidak membuat Amir Husin putus asa atau patah semangat dan kecil hati dalam melaksanakan tugas suci tersebut, karena tujuan Amir Husin dan Usman Bakar adalah satu, yaitu bagaimanapun harus ada dana untuk pembangunan Dayah Indrapuri. Seluruh uang derma yang diperoleh dalam persatuan, sejak dari Langkat hingga Surabaya, terus saja dikirim ke Indrapuri. Misalnya, sampai di Padang, uang yang dari Padang itu langsung dikirim ke Indrapuri, tidak dibawa lagi ke tempat yang lain.

Tentang pertemuannya dengan Sultan Aceh Muhammad Daud Syah dalam perlawatan panjangnya itu, antara lain Amir Husin mencatat yang ikhtisarnya sebagai berikut:

Tujuan utama di Betawi, yaitu menjumpai Sultan Aceh Alaiddin Muhammad Daud Syah di Pondok Kelapa. Amir Husin datang ke situ bersama Haji Abubakar Aceh dan Usman Bakar. Ketiga-tiganya menginap selama satu minggu di tempat kediaman Sultan Aceh. Amir Husin sangat ingin berjumpa dengan Sultan Aceh. karena sering mendengar tentang kisahnya dalam syair syair dalam seudati Dari Sultan, Amir dan kawan-kawannya banyak mendengar cerita tentang Perang Aceh, pertempuran pertempuran, perang gerilya dan tentang penyerahannya.

Dalam hal ini Amir Husin mencatat: "Tetapi lain halnya dengan saya," kata Sultan, "walau diri saya yang menyerah, namun saya tidak pernah menyerahkan negeri dan kedaulatan Aceh kepada Belanda. Negeri Aceh adalah milik rakyat Aceh. Makanya negeri saya itu saya serahkan kepada rakyat, kepada para ulama seperti Teungku Cik Di Tiro dan lain-lain. Makanya terus ada perang rakyat, gerilya muslimin. Bahkan sekitar tahun 1907, saya ada mengirim surat kepada Wakil Kaisar Jepang di Singapura, minta bantuan Jepang untuk membantu Aceh mengusir Belanda. Surat itu ketahuan oleh Belanda dan itulah salah satu sebab, maka saya dibuang ke Ambon dan kemudian dipindahkan lagi ke Jawa ini. Percayalah kamu semua anak-anakku putra Aceh tercinta, kapan pun Aceh itu tidak akan aman dan rakyat terus akan mengadakan perlawanan selagi Belanda belum pergi dari Aceh. Walaupun nanti akan aman sedikit, saya tidak dibenarkan oleh Belanda pulang ke Aceh, padahal ada tiga uleebalang yang dapat menjamin untuk membawa saya pulang ke Aceh, yaitu Teuku Cik Peusangan, Teuku Cik Peurlak dan Teuku Cik Idi.

Catatan Al Mujahid selanjutnya berbunyi:

Seterusnya Sultan berpesan kepada Amir Husin dan kawan-kawannya: Nanti kalau anak-anakku tamat belajar, supaya mengumpul tenaga rakyat untuk mengusir Belanda dari Aceh. Dan berkawanlah dengan Jepang itu, dan jadikanlah Jepang itu sebagai kawan untuk mengusir Belanda. Tetapi, harus hati-hati berkawan dengan Jepang.

                                    Bersambung >>>>>>>



Sumber:

Buku Ulama Aceh (Mujahid Pejuang Kemerdekaan Dan Tamadun Bangsa) oleh A.Hasjmy