Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menentukan Awal Bulan Hijriyah Antara Ru'yah dan Hisab (bagian Akhir)

Menentukan Awal Bulan Hijriyah Antara Ru'yah dan Hisab (bagian Akhir)

Pada masa Rasulullah dan masa para shahabat memimpin belum adanya penelitian tentang ilmu Astronomi dan penelitian ruang angkasa. Akan tetapi kemudian setelah berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi manusia sudah mulai meneliti tentang ruang angkasa. Terutama pada masa sekarang ini di mana manusia sudah dapat mendarat di Bulan dan ilmu falak trelah mencapai pada satu titik di mana kecil kemungkinan terjadi kesalahan dalam penentuan penanggalan.

Baca juga: Menentukan Awal Bulan Hijriyah Antara Ru'yah dan Hisab

Pada tulisan sebelumnya telah kita singgung tentang Syekh Ahmad Syakirr yang mana beliau adalah pakar dalam bidang hadits. Beliau telah menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengabdikan diri pada pada hadits, membela sunnah an-nabawiyah. Beliau adalah seorang ulama salaf yang tulus, seorang yang mengikuti sunnah dan jauh dari perbuatan bid’ah. Namun demikian beliau tidak mengartikan gerakan salafiah sebagai staqnasi sebagaimana yang dikatakan oleh ulama salaf lainnya. Salafiah yang benar adalah yang meneliti jalan hidup mereka. Sehingga ulama islam hari ini juga berijtihad untuk zaman kita. Menyelesaikan realita zaman hari ini dengan hal-hal yang berlandaskan syariah.

Pada bulan ramadhan tahun 1409 H, seorang syekh yang terkemuka yaitu Shaleh bin Muhammad Al-Lahyadan ketua majelis al-Qadha di kerajaan Arab Saudi menjelaskan dalam artikelnya yang dimuat oleh harian Ukadz yang terbit di Saudi Arabia tanggal 21 Ramadhan 1409H menjelaskan tentang hadits shahih: “Kami umat yang buta huruf, tidak dapat menulis dan menghitung” bahwa hadits tersebut mengandung penafian ilmu hisab dan merendahkan kedudukannya dalam pandangan umat.

Baca juga: Menentukan Awal Bulan Hijriyah Antara Ru'yah dan Hisab (bagian 2)

Bila hal ini benar, maka hadits tersebut menunjukkan penafian tulis menulis dan merendahkan kedudukannya juga, karena hadits tersebut mengandung dua hal sebagai indikator buta huruf umat islam yaitu tulis menulis dan ilmu hisab.

Tak seorangpun pada masa dahulu dan sekarang yang mengatakan bahwa tulis menulis adalah perbuatan tercela dan tidak disukai oleh umat, melainkan sebaliknya sangat diperlukan sebagaimana ditunjukkan oleh al-qur’an, as-sunnah dan ijma’ para ulama.

Dan orang yang pertama kali menyebarkan luaskan tulis menulis adalah Nabi Muhammad itu sendiri, sebagaimana kita ketahui dari sejarah hidup beliau dan sikap beliau terhadap tawanan perang badar.

Dalan dalam kesempatan ini ada yang mengatakan bahwa Rasulullah tidak pernah menganjurkan untuk mengamalkan ilmu hisab dan tidak pernah memerintahkan agar kita menghargainy, melainkan memerintahkan kita untuk menghargai ru’yat dan berpedoman dengannya dalam menetapkan bulan.

Perkara ini mengandung sekit kekeliruan, berdasarkan dua hal:

Yang pertama, tidak dapat diterima akal bila Rasulullah memerintahkan menghitung bulan dengan ilmu hisab pada saat ummat dalam kondisi buta huruf, tidak dapat membaca dan menghitung. Karenanya beliau mengajarkan cara yang sesuai dengan waktu dan tempat ketika itu, yaitu dengan cara ru’yat yang dapat dilakukan oleh mayoritas orang pada masa itu. Tetapi bila ada cara lain yang lebih teliti dan lebih dekat dengan kebenaran dan jauh dari dugaan yang keliru, maka tidak ada dalil dari sunnah yang menghalangi agar kita menghargainya.

Yang kedua, As-Sunnah mengisyaratkan secara praktis untuk menggunakan hisab dalam kondisi mata kepala kita terhalangi awan, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dfari Malik , dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah menyebutkan bulan ramadhan, kemudian bersabda:

 لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ ،
Janganlah kalian berpuasa sebelum kalian melihat bulan sabit,
 وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ
dan janganlah kalian berbuka sampai kalian melihat bulan,
 فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ
dan bila awan menghalangi pandangan kalian
 فَاقْدُرُوا لَهُ
maka perkirakan hitungannya”.

Memperkirakan hitungan yang diperintahkan ini, termasuk di dalamnya mengahrgai ilmu hisab bagi orang yang menguasainya dan kebenarannya dapat dipercaya, yaitu pada masa sekarang ini di mana ilmu ini telah mencapai tingkat definitif, sebagaiman yang diketahui oleh setiap orang yang memiliki pengetahuan modern yang paling rendah dan sejauh mana kepiawaan manusia yang diajarkan Tuhannya sesuatu yang sebelumnya tidak diketahuinya.

Baca juga: Hadits Tentang Takaran dan Timbangan

Syekh Yusuf Al-Qaradhawi termasuk salah seorang ulama yang menyerukan untuk berpedoman pada hisab yang berdasarkan ilmu falak yang pasti inipaling tidak dalam mengurangi perbedaan yang jauh dalam menetapkan permulaan puasa dan idul fitri bagi umat islam. Jangan sampai terjadinya perbedaan sampai dua atau tiga hari antara satu negara islam dengan negara islam lainnya yang tidak begitu signifikan dalam perbedaan waktunya.

Pengertian berpedoman kepada hisab bukan dalam menafikan ru’yat artinya adalah kita masih terus menetapkan bulan sabit dengan ru’yat sesuai dengan pendapat mayoritas ahli fikih pada masa sekarang ini. Tetapi bila hisab menafikan kemungkinan ru’yat, dan dikatakan bahwa ru’yat tidak memungkinkan, karena bila bulan sabit tidak tampak di tempat manapun di dunia Islam, maka seharusnya bagaimanapun juga keadaannya, kesaksian para saksi tidak boleh diterima, karena kenyataannya sebagaimana yang dijelaskan oleh ilmu matematika yang eksak itu, maka kesaksian mereka adalah dusta. Bahkan dalam kondisi seperti ini pada mulanya orang-orang tidak diminta untuk melihat bulan sabit, dan pengadilan agama, lembaga fatwa tidak membukakan pintu bagi orang yang memberi kesaksian bahwa dirinya telah melihat bulan sabit.

As-Sabki dalam fatwanya menyebutkan bahwa hisab menafikan kemungkinan ru’yat yang dilakukan dengan mata kepala. Maka yang harus dilakukan oleh qadhi atau kantor keagamaan adalah menolak kesaksian para saksi. Beliau mengatakan bahwa hisab itu bersifat definitif sedangkan berita dan kesaksian bersifat dugaan. Yang bersifat dugaan tidak dapat berhadapan dengan yang bersifat definitif, apalagi mengunggulinya.

Dan Imam Sabki mengatakan bahwa salah satu tugas qadhi adalah mempelajari kesaksian seorang saksi yang datang menghadap kepadanya dalam urusan apapun. Bila ada saksi mata yang mendustakan kesaksiannya itu maka qadhi harus menolak kesaksian orang tersebut. Dan bukti yang nyata syaratnya adalah apa yang disaksikannya itu dapat diterima secara perasaan , akal pikiran, dan syara’. Bila petunjuk hisab secara pasti dikaitkan kepada ketidak mungkinan, maka secara syara’ hal itu mustahil dapat dijadikan pendapat, karena yang disaksikannya itupun mustahil sementara syara’ tidak mengeluarkan hal-hal yang bersifat mustahil.

Kesaksian para saksi ada kemungkinan hanya sekedar dugaan, berdasarkan salah penglihatan atau bahkan dusta. Maka bagaimana kiranya bila imam as-sabki hidup hingga masa sekarang ini dan melihat kemajuan ilmu falak yang sangat pesat..???

Baca juga: Pengobatan Ala Nabi

Syekh Syakir dalam pembahasannya telah menyebutkan bahwa guru besar Syekh Muhammad Mustafa Al-Maraghi (Syekhul alhar yang sangat populerpada zamannya), beliau mempunyai pendapat ketika menjabat ketua Mahkamah tinggi Agama seperti pendapat As-Sabki, yaitu menolak kesaksian para saksi bila hisab menafikan kemungkinan ru’yat. Syekh Syakir berkata: “dulu saya dan sebagian rekan saya termasuk orang yang menentang pendapat syekh Sabki. Sekarang saya mengatakan bahwa beliau benar dan saya tambahkan bahwa penetapan bulan sabit dengan hisab adalah wajib dalam kondisi bagaimanapun juga kecuali bagi orang yang sulit mengetahuinya.