Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menentukan Awal Bulan Hijriyah Antara Rukyah Dan Hisab

Menentukan Awal Bulan Hijriyah Antara  Rukyah Dan Hisab
Ada hadits yang sangat populer tentang memasuki awal puasa dengan melihat bulan sebagaima sabda Rasulullah:

 – إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ

 “Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Umar).

Dalil lain yang menjelaskannya adalah sabda Rasulullah sebagai berikut:

إذَا رَأيْتُمُ الْهِلَا لَ فَصُوْمُوا وَإذَا رَأيْتُمُوْهُ فَأفْطرُوْا فإنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُوْمُوا ثَلا ثِيْنَ يَوْمًا

Artinya: "Apabila kalian melihat hila (bulan Ramadhan) maka puasalah dan apabila kalian melihat hilal (bulal Syawal) maka berbukalah (lebaran), dan apabila tertutup awan (mendung) maka berpuasalah 30 hari." (HR. Muslim).

Di sini seorang ahli fikih dapat mengatakan bahwa hadits ini mengisyaratkan suatu tujuan dan menentukan sasarannya. Dan tujuannya cukup jelas, yaitu agar orang yang beriman bisa berpuasa selama bulan suci Ramadhan secara penuh dan tidak menyia-nyiakan seharipun atau berpuasa sehari di luar bulan ramdhan seperti diakhir sya’ban atau di awal syawwal. Dan hal tersebut dapat ditentukan dengan melihat masuk dan keluar dari bulan tersebut dengan menggunakan sarana yang sangat memungkinkan pada saat tersebut dan tidak menyulitkan mereka dalam menjalani agamanya.

Melihat bulan dengan mata kepala adalah sarana yang sangat mudah pada masa Nabi Muhammad dan dapat dilakukan oleh mayoritas umat Islam pada masa tersebut. Hadits tersebut juga diucapkan oleh Rasulullah dalam rangka menentukan awal dan akhir bulan. Karena kalau membebani mereka dengan sarana lainnya seperti perhitungan Astronomis sementara pada saat itu mereka kebanyakan masih buta huruf, tidak bisa membaca dan menulis. Pasti hal tersebut akan menyusahkan dan menyulitkan mereka. Sementara Allah menginginkan kemudahan untuk hambanya dalam melakukan ibadah kepadanya dan sama sekali tidak menginginkan kesulitan. Sebagaimana sabda Rasulullah:

إِنَّ اللهَ بَعَثَنِى مُعَلِّمًا مُيَسِّرًا وَلَمْ يَبْعَثَنى مُعَنِّتًا
“Sesungguhnya Allah mengutusku sebagai orang yang memberi pelajaran dan yang memudahkan dan Allah tidak mengutusku sebagai orang yang menyulitkan” (HR. Muslim)

Bila umat islam mendapatkan cara yang lain yang lebih mampu merealisasikan tujuan hadits tersebut dan jauh dari kemungkinan terjadinya kesalahan, dugaan dan kebohongan tentang masuknya bulan, dan sarana serta cara tersebut mudah dipergunakan, bukannya hal yang sulit dicapai dan di atas kemampuan ummat maka boleh digunakan. Apalagi cara yang dipakai itu berdasarkan para ahli ilmu falak, geologi, dan fisika kaliber internasional maka kita tidak boleh terpaku kepada tekstual hadits yang harus melihat dengan mata telanjang dengan melupakan tujuan dan maksud dari hadits tersebut.

Baca juga: Hadits Tentang Pengobatan Ala Nabi

Hadits telah menetapkan masuknya bulan berdasarkan berita satu atau dua orang yang terpercaya dan mengaku melihat bulan sabit dengan mat kepalanya sendiri. Di mana hal itu merupakan sarana yang dapat dipakai dan sesuai dengan kemampuan masyarakat pada saat tersebut.

Lalu kenapa kita menolak sarana yang tidak memberi peluang terjadinya kesalahan, dugaan atau dusta, yaitu sarana yang mencapai tingkatan yakin dan pasti yang memungkinkan untuk disepakati umat islam diseluruh dunia dan dapat menghilangkan perselisihan pendapat yang selamanya terjadi sehinggga terjadinya perbedaan dalam memulai puasa, berbuka dan berhari raya. Perbedaannya sampai dua atau tiga hari antara satu negara dengan negara lainnya. Seperti yang pernah terjadi pada bulan Ramadhan tahun 1409 H. Telah ditetapkan bahwa bulan Ramadhan dimulai pada hari kamis bertepatan dengan 6 April 1989 M. Di kerajaan Arab Saudi, Kuwait, Qathar, Bahrain, Tunis, dan negara lainnya. Semuanya mengikuti rukyat Arab Saudi. Sementara di Mesir, Yordania, Iraq, Aljazair, Maroko dan negara lainnya dimulai pada hari jum’at bertepatan dengan 7 April 1989 M. Adapun Pakistan, India, Oman dan negara lainnya memulai puasa pada hari sabtu bertepatan dengan 8 April 1989 M.

Baca juga: Sabda Nabi Antara Tekstual Dan Kontekstual

Ini merupakan sebuah kenyataan yang tidak masuk akal , tidak rasional dan tidak dapat diterima baik dengan logika ilmu pengetahuan maupun dengan logika agama. berpedoman pada hisab yang pasti waktunya adalah sarana untuk menetapkan bulan yang harus diterima sebagai qiyas al-Aula (mengqiyas kepada yang lebih utama). maksudnya adalah As-Sunnah yang mengajarkan berpedoman kepada wasilah yang lebih rendsah, karena mengandung keraguan dan kemungkinan (yaitu dengan jalan rukyat), tidak akan menolak sarana yang lebih tinggi, lebih sempurna dan lebih terjamin terealisasinya tujuan dan maksud syariat, dan membawa umat keluar dari pada perselisihan yang sengit dalam menentukan permulaan puasa dan ibadah lainnya yang menyangkut dengan perhitungan bulan, seperti Idul Fitri, Idul Adha. Dan diharapkan dapat membawa kepada kesatuan kaum muslimin dalam melaksanakan ibadah dan syiar tersebut karena ini menyangkut dengan ibadah yang lebih khusus dan dekat dengan kehidupan kaum muslimin. Maka dengan menggunakan hisab lebih memungkinkan untuk menyatukan waktu ibadah tersebut.

Hanya saja cendikiawan, pakar hadits terkemuka syekh Ahmad Syakir membawa masalah ini kepada hal lain. beliau berpendapat bahwa masuknya bulan Qamariah (mengikuti peredaran bulan) ditetapkan dengan hisab astronomi, dengan alasan bahwa hukum yang perpedoman pada rukyat mempunyai alasan yang disebutkan dalam as-sunnah itu sendiri, dan sekarang alasan tersebut sudak tidak ada. Sehingga sebaiknya diberi alasanpun sudah tidak berlaku lagi, karena ketetapan hukum itu mengikuti alasannya, ketika ada dan tidak adanya.

Ada baiknya kita kutip pandangan tersebut melihat kekuatan hujjah dan kejelasannya, yang ditulis dalam risalahnya yang berjudul Awailus syuhur al-arabiyah (permulaan bulan Arab).

Tidak diragukan lagi bahwa bangsa arab sebelum Islam dan pada permulaan islam, mereka belum mengetahui ilmu falak secara ilmiah dan pasti, karena mereka buta huruf, tidak dapat menulis dan membaca. Bila sebagaian mereka mengetahui tentang ilmu tersebut, itu hanyalah prinsipnya saja yang diketahui melalui pengamatan atau mendengar dari orang. Tidak berdasarkan kaedah matematika dan bukti yang pasti yang kembali kepada premis aksioma yang meyakinkan.

Oleh karena itu Rasulullah dalam menetapkan bulan untuk ibadah merujuk kepada hal yang pasti dan nyata dengan cara yang dapat dilakukan oleh setiap orang atau mayoritas dari mereka yaitu dengan cara melihat bulan sabit dengan mata telanjang. Ini lebih menjamin kepastian waktu ibadah mereka karena dapat dicapai oleh keyakinan dan kepercayaan yang sesuai dengan kemampuan mereka, sementara Allah tidak memberikan beban kecuali sesuai dengan kemampuan yng mereka miliki.

Tidaklah sesuai dengan kebijaksanaan yang membuat syariat bila untuk menentukan bulan sabit tergantung kepada hisab dan ilmu falak sementara mereka tidak mengetahui tentang hal itu sedikitpun pada masa tersebut. Bila mereka harus berpedoman pada hisab dan ilmu falak, tentu hal itu akan sangat menyulitkan mereka, dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya sebagian kecil saja.

Kemudian kaum muslimin menaklukkan dunia. Mereka memegang kendali berbagai macam ilmu pengetahuan dengan berbagai disiplinnya. Mereka terjemahkan ilmu pengetahuan orang-orang terdahulu. Mereka kuasai semua ilmu pengetahuan ini dan mereka temukan ilmu-ilmu baru dan mereka memeliharanya untuk generasi selanjutnya. Di antaranya adalah ilmu falak itu sendiri.

Dahulu, mayoritas ahli fikih dan ahli hadits tidak mengetahui ilmu falak, atau hanya mengetahui sebagaian prinsipnya saja. Dan sebagian atau banyak dari mereka tidak percaya kepada orang yang mengetahuinya bahkan sebagian dari mereka da yang menuduh orang yang mempelajari ilmu falak sebagai orang yang sesat dan melakukan perbuatan bid’ah. Ini dilakukan berdasarkan dugaan bahwa ilmu falak sebagai sarana untuk mengklaim bahwa dirinya dapat mengetahui ilmu ghaib (ilmu nujum). Dan memang sebagian dari mereka ada yang benar-benar mengaku seperti itu sehingga memberi dampak negatif terhadap dirinya dan ilmunya.

Oleh karena itu tuduhan para ahli fikih itupun beralasan. Dan sebagian ulama dan ahli fikih yang menguasai ilmu ini, mereka tidak dapat menentukan sikapnya yang benar terhadapa gama dan fikih, bahkan mereka mengisyaratkannya dengan penuh ketakutan.

Demikianlah keadaan mereka, karena ilmu alam ketika itu tidak tersebar sebagaimana halnya ilmu agama dan kaedah ilmu falak pada saat tersebut belum pasti menurut ahlinya

                                                          Bersambung...>>>>>>>>