Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

As-Sunnah antara Perkataan dan Ruh Syariat

As-Sunnah antara Perkataan dan Ruh Syariat

Berpegang kepada As-Sunnah secara harfiah terkadang tidak dapat diandalkan dalam menerapkan ruh sunnah dan tujuannya. Bahkan terkadang bertentangan walaupun pada lahirnya tampak kita berpegang padanya.

Sebagai contoh adalah sikap ekstrem orang yang menolak mengeluarkan zakat fitri dengan nilainya yang berupa uang, sebagaimana yang dianut oleh mazhab Abu Hanifah dan pengikutnya, yaitu pendapat Umar bin Abdul Azis dan pakar fikih Salaf lainnya.

Baca juga: 

Argumen mereka adalah bahwa Nabi Muhammad mewajibkannya pada Makanan jenis tertentu, yaitu Kurma, kismis, gandum dan jawawut. Dan kita (kata mereka) harus membatasi diri pada jenis makanan yang telah ditentukan oleh Rasulullah dan tidak boleh menentang As-Sunnah dengan pendapat apapun.

Bila saudara-saudara kita itu merenungkan permasalahan sebagaimana mestinya, niscaya mereka akan sadar bahwa mereka sebenarnya bertentangan dengan tujuan Nabi Muhammad walaupun pada lahirnya mereka tampak mengikuti perintahnya. Artinya mereka hanya memperhatikan lafadh As-Sunnah dan melupakan Ruh dan tujuan As-sunnah.

Rasulullah memperhatikan situasi dan kondisi sehingga beliau mewajibkan zakat fitri dari makanan yang ada pada mereka pada saat itu dan hal itu lebih memudahkan bagi orang yang memberikannya dan lebih bermanfaat bagi yang menerimanya.

Dulu, pada zaman Rasulullah, uang sangat sulit diperoleh, terutama mereka yang tinggal di pedusunan. Sementar mengeluarkan makanan dirasakan mudah oleh mereka dan orang miskinpu sebagai penerima sangat memerlukannya. Oleh karena itu zakat diwajibkan kepada mereka yang memiliki kelebihan makanan dan lebih mudah mereka keluarkan.

Oleh karena itu Rasulullah memberikan keringanan untuk mengeluarkan keju tradisional bagi orang yang memilikinya dan mudah mengeluarkannya. Seperti penduduk pedusunan yang memiliki peternakan unta, sapi dan kambing.

Bila situasi dan kondisi berubah, uang mudah didapat dan makanan sulit didapat atau orang fakir tidak memerlukannya pada hari raya. Tetapi memerlukan hal lainnya untuk dirinya sendiri atau keluarganya. Maka mengeluarkan nilai makanan tersebut dengan sejumlah uang kontan akan dirasakan mudah oleh yang mengeluarkan dan akan lebih berguna untuk orang yang menerimanya. Dan ini adalah pengamalan ruh sunnah dan tujuan dari pensyariatan Zakat fitri

Sebuah kota, seperti Mesir, dihuni oleh mayoritas Muslim. Bila mereka dibebani untuk mengeluarkan kurma, gandum, jawawut atau kismis, dari mana mereka memperolehnya.?? Alangkah sulitnya mereka mencarinya dengan menelusuri berbagai warung, toko, atau kedai sampai mereka mendapatkan seluruhnya atau sebagaiannya. Sementara Allah telah menghilangkan kesulitan dari agamanya dan menginginkan kemudahan bagi hamba-hamba-Nya dan sama sekali tidak menginginkan kesulitan..!!

Atau bisa jadi mereka akan memperolehnya dengan mudah, lalu manfaat apa yang diperoleh kaum fakir dan miskin dari zakat tersebut. Karena mereka tidak lagi menumbuk dan dan membuat adonan untuk membuat roti. Setiap mereka sekarang membelinya yang sudah jadi dari pabrik atau toko roti.

Atau kalau kita memberika orang miskin dengan biji-bijian dari makanan pokok. Kita berarti memberinya beban, karena mereka harus berusaha menjualnya, karena siap orang yang akan membelinya sementara orang-orang disekitarnya tidak lagi memerlukan biji-bijian dari makanan pokok tersebut.

Di beberapa tempat ada sebagian ustad atau kiyai/ulama yang melarang mengeluarkan zakat fitri dengan nilainya (uang). Akan tetapi mereka mengambil uang itu dan membeli bahan makan pokok, lalu diberikan kepada fakir miskin. Kemudian fakir miskin tersebut menjual kembali bahan makanan pokok tersebut kepada penjual dengan harga yang lebih murah dari harga pembeliannya.

Demikiankah beberapa kilogram kurma, kismis, atau beras dan lainnya tersebut dijual dan dibeli beberapa kali. Padahal orang miskin yang menerima zakat fitri tersebut tidak mengambil makanan melainkan mereka membutuhkan sejumlah uang yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan pembayar zakat tersebut yang membayarkan zakat dengan nilai uang. Karena mereka menjual barang pokok tersebut dengan harga yang lebih murah dari pembeliannya oleh pembayar zakat.

Lalu apakah syariat zakat ini diturunkan untuk kepentingan fakir miskin ataupun sebaliknya..? atau apakah syariat mulia ini hanya sekedar formalitas yang kosong dari substansi dan hikmah tasyri’..???

Lalu apakah sikap ektrem dalam masalah seperti ini benar mengikuti sunnah atau bertentangan dengan ruh as-sunnah yang syiarnya: “Permudahlah dan jangan mempersulit”.

Kemudian mereka yang tidak membolehkan mengeluarkan zakat fitri dengan uang, mereka justru memperbolehkan mengeluarkan macam-macam makanan yang tidak disebutkan secara tekstual dalam hadits bila makanan tersebut menjadi makanan pokok sebuah negara.

Ini adalah macam pentakwilan terhadap As-Sunnah, atau qiyas terhadap teks hadits di mana mereka mengikuti para imamnya dan mereka tidak merasakan keberatan sedikitpun dengan mengeluarkan jenis makanan pokok akan tetapi mereka menolak qiyas kepada pembayaran zakat fitri dengan nilai uang sejumlah makanan pokok.. bukankah ini sama-sam bagian dari Qias..???

Padahal yang dimaksudkan oleh syariat tentang zakat fitri pada hakikatnya adalah memberikan kecukupan kepada fakir miskin agar mereka tidak menjadi peminta-minta di hari raya yang mulia. Dan barangkali ini lebih terealisasi pada zaman sekarang ini dengan memberikan sejumlah uang kepada mereka dari pada memberikan makanan pokoknya untuk zakat fitri.



Sumber:

Metode Memahami Sunnah Dengan Benar oleh Yusuf Al-Qaradhawi.