Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hukum Shalat Menghadap Kepada Orang Yang tidur di Arah Kiblat

Hukum Shalat Menghadap Kepada Orang Yang tidur di Arah Kiblat

SHALAT DENGAN MENGHADAP KEPADA ORANG YANG TIDUR BERBARING DAN KEPADA BINATANG

877) Aisyah ra. berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُصَلِّى صَلَاتَهُ مِنَ اللَّيْلِ وَأَنَا مُعْتَرِضَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ اعْتَرَاضَ الْجَنَازَةِ, فَإِذَا أَرَادَ اَنْ يُؤْتِرَ أَيْقَظَنِي فَأَوْتَرْتُ

"Rasulullah saw. pernah shalat pada malam hari, padahal saya saat itu sedang tidur terlentang seperti jenazah yang terletak antara beliau dengan kiblat. Apabila beliau mau mengerjakan witir, maka beliau membangunkan saya, maka saya pun turut mengerjakan witir." (HR. Al-Jama'ah, selain dari At-Turmudzy; Al- Muntaqa 1: 512)

878) Kuraib maula 'Abbas menerangkan:

اِنَّ مَيْمُوْنَةَ تَكُوْنُ حَائِضًا لا تُصَلِّى وَهِيَ مُفْتَرِشَةٌ بِخِذَاءِ مَسْجِدِ رَسُولِ اللهِ ﷺ وَهُوَ يُصَلِّى عَلَى حُمْرَتِهِ إِذَا سَجَدَ أَصَابَهَا بَعْضُ ثَوْبِهِ

"Maimunah pernah dalam kondisi haid, dan tidak shalat dan ia berbaring di tempat Rasul saw. bersujud. Beliau shalat di atas tikar shalatnya. Apabila beliau bersujud, sebagian kain Maimunah mengenai tubuhnya." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Al-Muntaqa 1: 512)

879) Al-Fadhil ibn Abbas ra. berkata:

زَارَ النَّبِيُّ ﷺ عَبَّاسًا فِي بَادِيَةٍ لَنَا، وَلَنَا كُلَيْبَةٌ وَحِمَارٌ تَرْعَى، فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ الْعَصْرَ وَهُمَا بَيْنَ يَدَيْه فَلَمْ يُؤَخِّرْ اَوْلَمْ يَزْجُرْ
"Pada suatu hari Nabi mengunjungi 'Abbas di suatu desa kami. Kami (waktu itu) mempunyai anak kambing dan keledai. Maka Rasul shalat Ashar, sedang anak kambing dan keledai kami itu, berlalu di hadapan Nabi, dan beliau tidak mengusimya dan juga tidak menghardiknya." (HR. Ahmad dan An-Nasa'y Al-Muntaqa 1: 512)

880) Aisyah ra berkata:

كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَى رَسُوْلِ اللهِ ﷺ وَرِجْلَايَ فِي قِبْلَتِهِ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي وَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا وَالْبُيُوْتَ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيهَا مِصْبَاحٌ

"Aku tidur di hadapan Rasulullah, sementara kedua kakiku, terletak di depan beliau. Apabila beliau bersujud, beliau menggerakkan (badanku) maka aku tarik kakiku. Dan apabila beliau bangun aku lepaskan (julurkan) lagi kakiku; pada masa itu kami tidak punya lampu." (HR. Al-Bukhary, Muslim, Abu Daud, dan An-Nasa'y; Al-Muntaqa 1: 512)

SYARAH HADITS

Hadits (877) menyatakan bahwa boleh shalat sambil menghadapi orang yang sedang tidur. Hadits ini menyatakan pula bahwa adanya orang perempuan di hadapan kita yang sedang shalat, tidak membatalkan shalat.

Hadits (878) menyatakan bahwa tidak makruh orang yang sedang shalat menyentuh tubuh perempuan yang sedang haid. Menurut pendapat sebagian ahli hadits, bahwa adanya seseorang di hadapan orang yang sedang shalat tidak membatalkan shalat orang itu.

Hadits (879) juga diriwayatkan Abu Daud oleh hadits yang semakna dengan hadits ini. Menurut Al-Mundziry, sebagian ahli hadits berpendapat bahwa di dalam sanad hadits ini ada orang yang dicacat. Hadits ini menyatakan bahwa anjing dan keledai yang duduk atau berdiri di hadapan seseorang yang sedang shalat, tidak membatalkan shalat orang itu.

Hadits (880) diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim. Al-Bukhary meriwayatkan hadits ini pada beberapa tempat dalam kitab Shahih-nya. Abu Daud dan An-Nasa'y juga meriwayatkannya. Hadits ini menyatakan, kebolehan kita shalat dengan menghadap kepada orang. Bahkan menyatakan pula, bahwa menyentuh badan perempuan dengan tidak bernafsu, tidak membatalkan wudhu. 

Sebagian menyatakan juga, bahwa shalat yang didalamnya dikerjakan sedikit gerakan (yang bukan gerakan shalat), tidak membatalkan shalat itu. Aisyah ra. menerangkan: bahwa sewaktu terjadi peristiwa ini, di rumahnya belum ada lampu, perkataan ini adalah untuk memberitahukan bahwa beliau tidak dapat melihat Nabi sehingga beliau tidak menarik kakinya diketika Nabi bersujud.

Jumhur ularna berpendapat, bahwa shalat dengan menghadap orang tidur, dibolehkan. Malik berkata: Tidak boleh shalat sambil menghadap orang tidur, terkecuali jika ada sutrah. Demikianlah pendapat Thawus.

Ibnu Baththal berkata: "Segolongan ulama memakruhkan kita shalat meng- hadap orang tidur, karena dikhawatirkan akan terjadi sesuatu yang membimbangkan orang yang sedang shalat, atau mentertawakannya, lalu maka batal shalatnya."

Mujahid berkata: "Saya shalat dengan menghadap kepada orang duduk yang membelakangi saya, lebih saya sukai daripada shalat di belakang orang tidur."

Kemudian Ibnu Baththal berkata pula: "Pendapat yang harus kita pegangi dalam masalah ini ialah pendapat orang yang membolehkan; karena mengingat hadits Nabi yang shahih." 

Riwayat Abu Daud dari Ibnu Abbas, yang menerangkan bahwa Nabi bersabda: Janganlah kamu shalat di belakang orang yang berbicara", adalah dha'if. Menurut pendapat Al-Khaththaby, hadits itu shahih. An-Nawawy dalarn kitab Al-Khulashah berkata: "Semua ulama menyetujui tentang ke-dha'if-an hadits ini."

Al-Bukhary berkata: "Utsman tidak suka shalat dengan menghadap kepada seseorang."

Al-Khaththaby berkata: "Shalat dengan menghadap kepada orang yang se dang berbicara, di-makruh-kan oleh Asy-Syafi'y dan Ahmad; mengingat, bahwa pembicaraan-pembicaraan mereka akan membimbangkan orang yang sedang shalat. 

Ibnu 'Umar tidak mau shalat di belakang orang yang sedang berbicara, selain dari hari Jum'at. Jumhur sahabat tabi'in dan Ulama-Ulama sesudahnya, Ats Tsaury, Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi'y, Abu Tsaur, dan Abu Daud, berpendapat bahwa adanya seseorang perempuan di muka orang yang sedang shalat, tidak membatalkan shalat.

Ibnu Qudamah berkata: "Para ulama berselisih paham tentang shalat yang menghadap kepada orang yang sedang tidur. Ini diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud, dan Sa'id ibn Jubair. 

Diriwayatkan dari Ahmad juga, pendapat yang menunjukkan bahwa pekerjaan yang demikian itu, hanya di-makruh-kan dalam shalat fardhu saja, tidak dalam shalat tathawwu'. Hal ini didasarkan kepada hadits: Nabi shalat malan sedang Aisyah tidur di di hadapannya. Ahmad berkata: "Dalam shalat tathawwu', hal itu boleh. Dalam shalat fardhu, tidak." 

Ada diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa Nabi melarang kita shalat dengan menghadap kepada orang tidur dan kepada orang yang berbicara.

Shalat tathawwu' dikecualikan dari umum hadits ini, oleh hadits Aisyah. Segolongan ulama berpendapat, bahwa shalat dengan menghadap kepada orang yang sedang tidur, tidak dimakruhkan; mengingat bahwa hadits yang melarang perbuatan itu, dha'if.

Ibnu Abdil Barr berkata: "Bahwa Nabi pernah menyentuh kaki Aisyah itu menyatakan bahwa menyentuh perempuan tidak membatalkan shalat. Sufyan Ats-Tsaury, Abu Hanifah dan Al-Auza'y menurut riwayat Ath-Thabary, dan mayoritas ulama Irak, menetapkan bahwa yang membatalkan wudhu ialah jimak.

Abu Hanifah berkata: "Terkecuali dia dengan sengaja menyentuh perempuan dengan disertai nafsu syahwat serta kemaluannya tegang." Malik, Ahmad dan Ishaq berkata: "Sentuhan yang membatalkan wudhu hanyalah sentuhan yang disertai syahwat dan kenikmatan dan nafsu syahwat. Walaupun berlapik, membatalkan wudhu."

Hadits-hadits tersebut ini menyatakan bahwa boleh shalat dengan menghadap kepada orang yang tidur. Akan tetapi kalau yang demikian itu dapat meng- hilangkan kekhusyukan, maka hukumnya minimal makruh. 

Nabi pernah shalat dengan menghadap kepada Aisyah di malam hari, di dalam keadaan gelap pula. Maka di dalam keadaan gelap itu ada atau tidaknya Aisyah sama saja, yakni tidak membawa kepada kebimbangan. Karena itu kiranya wajar apabila kita memakruhkan yang demikian, apabila hal ini mengganggu kekhusyukan kita dalam shalat. Dasarnya semata-mata karena ihtiyath (kehati-hatian). Hadits-hadits yang tersebut ini menegaskan, bahwa adanya anjing dan keledai di hadapan kita yang sedang shalat, tidak membatalkan shalat.

Referensi berdasarkan Tulisan  Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum 2 Bab Sutrah dan Batas Berlakunya Masalah Shalat Dengan menghadap Kepada Orang Yang tidur berbaring dan Kepada Binatang