Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Gerakan yang makruh dalam shalat

Gerakan yang makruh dalam shalat

Gerakan-gerakan yang makruh dikerjakan dalam shalat

Melakukan gerakan yang sedikit, makruh hukumnya, terkecuali karena:

  • ada keperluan
  • karena dituntut untuk dikerjakan, seperti membunuh ular dan sebagainya
  • karena lupa. Shalat seseorang tidak batal shalatnya karena membaca Al- Qur'an dengan melihat kepada mushhaf, walaupun yang dibaca itu sudah dihafal.
Kita dimakruhkan meninggalkan sesuatu yang disunnatkan dan berpaling-paling dalam shalat tanpa ada keperluan

Kalau ada keperluan tidaklah di-makruh-kan. Sangatlah disukai, supaya kita memelihara segala yang di-sunnat-kan dalam shalat, baik yang sunnat maupun yang mustahab. 

Dalam hal ini, berlaku sama antara shalat fardhu dengan shalat sunnat, baik bagi imam, bagi makmum maupun bagi munfarid (orang yang shalat sendirian).

Juga di-makruh-kan mengangkat muka ke langit, sebagaimana dimakruhkan kita memandang sesuatu yang membimbangkan hati.

Para ulama semuanya menetapkan bahwa Nabi menganjurkan supaya kita menghadirkan hati dalam shalat, men-tadabbur-kan tilawat-nya, dzikirnya dan maksud-maksudnya, serta melarang kita menujukan pandangan kepada yang membawa kelalaian. 

Juga menyuruh kita menghindarkan segala yang melalaikan itu. Lantaran itu kita di-makruh-kan mengukir atau menghiasi mihrab dan dinding masjid.

Kita dimakruhkan berkacak pinggang, sebagaimana kita dimakruhkan kita menyingsingkan kain atau rambut, supaya tidak terkena debu ketika sujud.

Dimakruhkan juga menghindarkan batu-batu yang terdapat pada tempat sujud di dalam shalat sebagaimana dimakruhkan kita menghitung ayat-ayat di dalam shalat.

Juga kita dimakruhkan menguap.

Dimakruhkannya gerakan-gerakan tersebut karena akan melalaikan hati dan mengurangkan khusyuk. Janganlah seseorang berdiam saja dalam shalat, terkecuali ketika imam membaca bacaan. Seyogianya seseorang yang shalat, mewujudkan khudhu' dan khusyuk dalam shalatnya, serta men-tadabbur-kan qira'ah-nya, dzikir-dzikirnya dan yang berpaut dengan itu; dan hendaklah dia menjauhkan diri dari memikirkan sesuatu yang tidak berpautan dengan shalat. 

Apabila seseorang memberi salam sedang kita dalam shalat, hendaklah dijawab dengan isyarat, atau jawabannya ditangguhkan hingga sampai selesai shalat.

Ibnu Qudamah berkata: "yang disyariatkan dalam shalat terbagi dua, wajib dan sunnah (sunnat). Yang wajib terdiri:

a. Yang tidak dapat digugurkan sama sekali, baik karena sengaja ataupun karena lupa

Yakni seperti: takbiratul ihram, membaca Al-Fatihah oleh imam dan munfarid, berdiri, rukuk sehingga tetap di dalamnya, i'tidal sehingga tetap di dalamnya, duduk antara dua sujud sehingga tetap di dalamnya, tasyahhud di akhir shalat, duduk untuk tasyahhud, salam dan tertib.

Ini semuanya, dinamai rukun. Tidak dapat ditinggalkan sama sekali. Tetapi jika ditinggalkan karena lupa, kemudian teringat di waktu masih shalat, hendaklah dikerjakan di waktu itu. Jika tidak teringat hingga selesai dari shalat, tetapi belum lama berselang, hendaklah ia meneruskan shalatnya itu. Jika sudah lama, hendak- lah mengulangi shalat kembali dari awalnya lagi. Begitulah pendapat Asy-Syafi'y dan Malik.

Ukuran lama tidaknya berselang itu, didasarkan kepada 'uruf. Sebagian ulama Hanbaliyah berkata: "Barangsiapa meninggalkan suatu rukun dan tidak dikerja- kannya sehingga salam, maka batal shalatnya itu." An-Nakha'y berkata: "Barangsiapa lupa sesuatu sujud, kemudian teringat di waktu masih shalat, hendaklah dia sujud ketika teringat itu. Sesudah selesai shalat sebelum salam hendaklah dia melakukan sujud sahwi."

Menurut pendapat Makhil dan Muhammad ibn Aslam Ath-Thusi, bahwa barangsiapa lupa melakukan sujud atau rukuk, hendaklah dia kerjakan ketika dia teringat, kemudian hendaklah dia melakukan sujud sahwi. 

Diriwayatkan dari Al- Auza'y, bahwa apabila seseorang meninggalkan sesuatu sujud pada shalat Zhuhur, dan hal itu baru teringat di dalam waktu shalat Ashar, hendaklah dia meneruskan shalat Ashar-nya. Sesudah itu kalau ini yang ditinggalkan, cukuplah dia mengerjakan tasyahhud dan salam saja. Wajib melakukan lagi suatu rakaat penuh, kecuali jika yang ditinggalkan itu tasyahhud dan salam. Sesudah itu dia melakukan sujud sahwi. 

Asy-Syafi'y berpendapat, bahwa yang dikerjakan adalah rukun yang ditinggalkan itu dan yang sesudahnya saja. Tidak diawal rakaat. Seseorang tidaklah dipandang masuk ke dalam shalat dengan meninggalkan takbiratul ihram.

b. Yang dapat digugurkan karena kelupaan, lalu diganti dengan sujud sahwi

Barangsiapa meninggalkan sesuatu takbir yang lain (selain dari takbiratul ihram) atau meninggalkan tasbih dalam rukuk dan sujud, atau meninggalkan bacaan tasmi atau tahmid dalam i'tidal atau meninggalkan istighfar dalam duduk antara dua sujud atau meninggalkan tasyahhud awal, atau meninggalkan shalawat dalam tasyahhud akhir dengan sengaja, maka batal shalatnya.

Seluruhnya ada delapan perkara yang dihukum wajib dalam shalat. Tetapi jika ditinggalkannya karena lupa, hendaklah mengerjakan sujud sahwi. 

Tegasnya, yang dihukum wajib itu dapat diganti dengan sujud sahwi apabila ditinggalkan karena lupa dan membatalkan shalat apabila meninggalkannya dengan sengaja. Adapun rukun, maka jika ditinggalkan walaupun dengan lupa, membawa kepada tidak shahnya shalat, seperti dalam rukun haji.

Adapun yang masnun, yakni gerakan-gerakan yang disunnatkan jika ditinggalkan tidak membatalkan shalat baik disengaja ataupun karena lupa.

Dan bagi kita dimakruhkan untuk meninggalkan sesuatu dari sunnat-sunnat shalat juga dimakruhkan berpaling-paling dalam shalat dengan tidak ada keperluan. Namun demikian, hal itu tidak membatalkan shalat, selama tidak membelakangi kiblat.

Jumhur Fuqaha berkata: Berpaling sedikit, tidak membatalkan shalat. Dan dimakruhkan bagi kita memandang sesuatu yang melalaikan. Juga dimakruhkan kita shalat dengan mengikat rambut dan membiarkannya terurai ke belakang, supaya jangan terkena debu, seperti dimakruhkan kita menaikkan kain ke atas atau menyingsingkannya, supaya tepi-tepinya atau ujung-ujungnya tidak tekena debu. 

Dan dimakruhkan kita menjerjakkan tangan, membunyikan ruas tangan dan bertekan atas tempat sujud ketika sujud. 

Juga dimakruhkan kita menyapu batu-batu yang terdapat di tempat sujud di waktu shalat sebagaimana dimakruhkan kita mempermain- mainkan tangan dan menjerjakannya yang membimbangkan hati serta menghilangkan khusyuk.

Kita dimakruhkan merapatkan kaki kanan dengan kaki kiri dalam berdiri. Tetapi hendaklah direnggangkan dan jangalah terlalu jauh. Dan dimakruhkan kita memejamkan mata. Menyapu dahi dalam shalat dari debu, dimakruhkan pula.

Di makruhkan kita berhenti dari membaca umpamanya, untuk melapangkan hati, terkecuali kalau sedang dipengaruhi oleh kegundahan yang sangat. Berdiri dengan berat sebelah, dimakruhkan. 

Dalam pada itu, dibolehkan kita menghitung ayat-ayat yang kita baca. Tentang menghitung tasbih, menurut pendapat Abu Bakar (seorang ulama besar dalam Madzhab Hanbali) dibolehkan juga. Berisyarat dalam shalat, boleh. Membunuh kutu dalam shalat lebih baik jangan dilakukan.

Apabila menguap dalam shalat, hendaklah kita menutup mulut. Apabila kita tidak dapat menahan ludah, hendaklah kita meludah di kain dan hendaklah kita gosok-gosokkan kain itu. Kalau diluar masjid, hendaklah diludahkan di sebelah kiri, atau ke bawah kaki. Gerakan yang sedikit dalam shalat dimaafkan. Demikian uraian Ibnu Qudamah.

Dengan mempelajari gerakan-gerakan yang dimakruhkan yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh Madzhab Hanbali yang besar itu, dapatlah kiranya kita membandingkan dengan gerakan-gerakan yang dimakruhkan oleh An-Nawawy, tokoh besar dalam Madzhab Asy-Syafi'y. 

Kemudian dapatlah kedua-duanya dibandingkan dengan penegasan Shiddiq Hasan Khan. Menurut beliau ini, fardhu-fardhu yang disebut dalam bab ini terbagi kepada tiga bagian, yaitu: yang wajib, seperti: takbir, salam dan tasyahhud; yang rukun, seperti: berdiri, rukuk, i'tidal, sujud dan duduk serta duduk untuk tasyahhud; yang syarat, seperti niat dan membca Al- Fatihah (dimaksudkan dengan tasyahhud di sini, ialah duduk tasyahhud akhir). dzikir yang dipandang wajib, hanyalah takbir, tasyahhud akhir dan taslim (salam) yang selain dari itu, adalah sunat.

Berdasarkan Karya Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Bab Pekerjaan yang Membatalkan Shalat, yang Makruh, dan yang Dibolehkan Masalah Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-2