Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hukum Membunyikan Ruas-Ruas Jari

Menjerjakkan Tangan Membunyikan Ruas-Ruas Jari, Berkacak Pinggang Dan Bertekan Dengan Tangan

MENJERJAKKAN TANGAN MEMBUNYIKAN RUAS-RUAS JARI, BERKACAK PINGGANG DAN BERTEKAN DENGAN TANGAN

844) Abu Sa'id ra. menerangkan:

إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فِي الْمَسْجِدِ فَلَا يُشَبِّكَنَّ، فَإِنَّ التَّشْبِيْكَ مِنْ الشَّيْطَانِ، وَإِنَّ أَحَدُكُمْ لَا يَزَالُ فِي الصَّلَاةِ مَا دَامَ فِي الْمَسْجِدِ حَتَّى يَخْرُجَ مِنْهُ

Nabi saw. bersabda: "Apabila seseorang di antara kamu berada di dalam masjid, janganlah dia menjerjakkan tangannya karena menjerjakkan tangan itu perbuatan setan; dan seseorang kamu dipandang dalam shalat, selama berada dalam masjid hingga keluar daripadanya." (HR. Ahmad; Al-Muntaqa 1: 490)

845) Ka'ab ibn Ujrah ra. berkata:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ: إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا إِلَى الصَّلَاةِ فَلَا يُشَبِّكُنَّ بَيْنَ يَدَيْهِ فَإِنَّهُ فِي صَلَاةِ
Saya mendengar Rasulullah bersabda: "Apabila seseorang kamu telah berwudhu kemudian pergi ke masjid untuk shalat maka janganlah ia menjerjakkan tangannya karena ia sebenarnya sudah dipandang sedang shalat." (HR. Ahmad, Abu Daud dan At-Turmudzy; Al-Muntaqa 1:491)

846) Ka'ab ibn Ujrah ra. menerangkan:

إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ رَأَى رَجُلاً قَدْ شَبَّكَ أَصَابِعَهُ فِي الصَّلَاةِ فَفَرَّجَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بَيْنَ أَصَابِعِهِ

"Nabi saw, melihat seseorang laki-laki menjerjakkan jari-jarinya dalam shalat, maka Rasulullah melepaskan jari-jarinya itu dari jejaknya." (HR. Ibn Majah; Al- Muntaqa 1: 492)

847) 'Ali ibn Abi Thalib ra. menerangkan:

إِِنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: لَا تُفَرْقِعْ أَصَابِعَكَ فِي الصَّلَاةِ

Nabi saw, bersabda: "Janganlah kamu membunyikan ruas jarimu dalam shalat." (HR. Ibnu Majah; Al-Muntaqa 1: 492)

848) Abu Hurairah ra. menerangkan:

إِِنَّ النَّبِيُّ ﷺ نَهَى عَنِ الْخَصْرِ فِي الصَّلَاةِ

"Nabi saw. melarang seseorang berkacak pinggang menumpangkan lambung di dalam shalatnya." (HR. Al-Jama'ah, selain Ibnu Majah; Al-Muntaqa 1: 492)

849) Ibnu 'Umar ra. berkata:

نَهَى النَّبِيُّ ﷺ أَنْ يَجْلِسَ الرَّجُلُ فِي الصَّلَاةِ وَهُوَ يَعْتَمِدُ عَلَى يَدِهِ

"Nabi saw. melarang orang yang sedang shalat untuk duduk bertekan dengan tangannya." (HR. Ahmad dan Abu Daud; Al-Muntaqa 1: 493)

850) Ummu Qais binti Mihshan ra. menerangkan:

إِِنَّ النَّبِيَّ ﷺ لَمَّا أَسَنَّ وَحَمَلَ اللَّحْمَ اِتَّخَذَ عَمُوْدًا فِي مُصَلَّاهُ يَعْتَمِدُ عَلَيْهِ

"Nabi saw. setelah beliau berumur lanjut (tua) dan gemuk, beliau mendirikan tiang untuk tempat beliau berpegang di mushalla-nya." (HR. Abu Daud; Al- Muntaqa 1: 494)

SYARAH HADITS

Hadits (844) disebutkan oleh pengarang Majma'uz Zawa'id dalam bab tata cara memuliakan masjid dan perbuatan-perbuatan yang dilarang kita lakukan di dalamnya. 

Diriwayatkan oleh seorang budak yang telah dimerdekakan olen Abu Sa'id, katanya: "Saya bersama Abu Sa'id dan Rasulullah saw. masuk ke dalam masjid. Di dalamnya kami dapati seorang laki-laki sedang duduk dengan cara mengikat kedua lututnya, yakni duduk dengan mengikat kedua betisnya dengan kain dan dililitkan ke belakangnya serta menjerjakkan (memasukkan ruas-ruas jari tangan kanan ke celah-celah tangan kiri) jari-jarinya. Melihat itu Rasul pun memberi isyarat supaya orang itu melepaskan jerjakan jarinya, namun ia tidak me- mahami isyarat isyarat Nabi. Karena itu berpalinglah Nabi kepada Abu Sa'id, seraya berkata: "Apabila seseorang duduk di dalam masjid, janganlah dia menjerjakkan jari- jari tangannya." Isnad hadits ini hasan.

Hadits ini menyatakan bahwa kita tidak di bolehkan menjerjakkan jari ketika duduk di dalam masjid, baik ketika kita berada dalam shalat atau tidak. Secara lahir tegahan ini haram.

Hadits (845), kata At-Turmudzy, hadits Ka'ab ibn Ujrah ini diriwayatkan oleh orang banyak dari Ibnu Ajlan Al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi. Ia berkata: "Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, An-Nasa'y dan Ad- Darimi. Walaupun dalam sanad hadits ini ada seorang yang tidak dikenal namanya, yaitu yang menerima dari Ka'ab ibn Ujrah, namun hadits ini mempunyai syahid (saksi). Syahid yang dimaksudkan di sini ialah hadits yang diriwayatkan Ahmad."

Hadits ini menyatakan bahwa menjerjakkan anak jari, mulai keluar dari rumah untuk pergi ke masjid, adalah makruh. Hadits ini menyatakan juga bahwa Allah menetapkan pahala bagi orang yang pergi ke masjid, seperti pahala orang yang sedang dalam shalat, sejak ia keluar dari rumahnya hingga ia kembali ke rumahnya lagi.

Hadits (846) hanya Ibnu Majah sendiri meriwayatkannya dari Alqarmah. Me- nurut pendapat Al-Khazrajy, Alqamah ini dapat dipercaya, dipercaya oleh Ibnu Hibban (wafat th. 256 Hijrah).

Hadits ini menyatakan kemakruhan kita menjerjakkan tangan di dalam sha- lat baik shalat di dalam masjid, di rumah, ataupun di pasar. Pengertian ini dikuatkan pula dengan penerangan Nabi yang menegaskan bahwa ditegahnya kita menjerjakkan tangan, ialah karena orang yang pergi untuk mengerjakan shalat itu sudah dipandang sebagai sedang dalam melakukan shalat.

Hadits (847) kata sebagian ahli hadits, dalam sanad hadits ini ada seseorang yang bernama Al-Harits Al-A'war yang tidak dipercaya oleh sebagian ulama hadits. An-Nasa'y, menurut Adz-Dzahaby, mempercayai orang ini. Adz-Dzahaby cenderung kepada pendapat An-Nasa'y mengenai perawi ini.

Hadits ini menyatakan bahwa membunyikan ruas tangan di dalam shalat, tidak dibolehkan.

Hadits (848) menyatakan bahwa kita di tegah meletakkan tangan di lambung (berkacak pinggang) di waktu shalat. Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Daud dari Ibnu 'Umar dan oleh An-Nasa'y.

Hadits (849), menurut suatu lafazh dari Abu Daud, Nabi melarang seseorang shalat dengan bertekan atas tangannya. Abu Daud meriwayatkan hadits ini dari empat gurunya. Hadits ini menyatakan bahwa bertekan dengan tangan ketika duduk, dan akan berdiri dalam shalat, tidak dibolehkan. Lahir larangan ini, haram.

Hadits (850) diriwayatkan oleh Abu Daud. Abu Daud dan Al-Mundziry tidak mencecat hadits ini. Karena itu dapatlah dijadika sebagai hujjah sebagaimana yang telah ditegaskan oleh sebagian ulama.

Hadits ini menyatakan bahwa berpegang kepada tiang, tongkat dan yang sepertinya, di dalam shalat karena udzur, dibolehkan.

Asy-Syaukany berkata: "Para ulama berselisih paham tentang hikmah ditegahnya kita duduk menjerjakkan tangan di dalam masjid dan di tempat-tempat lain. Ada yang mengatakan, karena perbuatan itu dipandang main-main. Ada yang mengatakan: yang demikian itu menyerupai setan. Atau karena setanlah yang mengajak kita berbuat demikian."

Ada yang mengatakan, karena yang demikian itu mengisyaratkan kepada bejerjaknya segala keadaan kita.

Ibnu Arabi berkata: "Pernah aku jumpai orang yang tidak suka melihat orang yang menjerjakkan tangannya. Dia merasa sial apabila melihat yang demikian. Dia merasakan, bahwa pekerjaannya nanti akan menyerupai jerjak tangan, berputar-belit, sukar diselesaikan."

An-Nawawy menegaskan, bahwa menjerjakkan tangan (memasukkan ruas- ruas jari tangan kanan ke celah-celah tangan kiri) haram hukumnya. An-Nakha'y me-makruh-kan saja. An-Nu'man Ayyasy berkata: "Para sahabat melarang yang perbuatan itu."

Diriwayatkan oleh Al-'Iraqi, bahwa Ibnu 'Umar dan anaknya Salim, men- jerjakkan tangan dalam shalat. Diriwayatkan pula dari Al-Hasan Al-Bishry, bahwa beliau ini juga menjerjakkan tangan begitu juga Al-'Iraqi. Ini juga dimakruhkan dalam shalat dan di waktu pergi akan mengerjakan shalat.

An-Nawawy berkata pula: Hal yang demikian ini di makruhkan oleh Ibnu 'Abbas, Atha', An-Nakha'y, Mujahid, dan Sa'id ibn Jubair. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabrany dari hadits Anas ra., bahwa Nabi bersabda: "Sesungguhnya tertawa dalarn shalat, berpaling-paling dan membunyikan ruas jari di dalamnya sama kedudukannya."

Majduddin Al-Hirani berkata: "Hadits yang melarang kita menjerjakkan jari, bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Dzul Yadaini, yang menerangkan bahwa Nabi menjerjakkan tangannya di dalam masjid. Hal itu memberi pengertian bahwa menjerjakkan tangan tidak haram. Dalam pada itu, tidak ada salah- nya apabila dipahamkan bahwa tegahan Nabi dalam hadits-hadits ini, hanya me- nunjukkan perbuatan itu makruh, karena Nabi sendiri pernah mengerjakannya meskipun hanya sesekali saja."

Asy-Syaukany dalam menanggapi perkataan Majduddin Al-Hirani berkata sebagai berikut: memang hadits-hadits yang di atas ini, bertentangan dengan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim dari Abu Hurairah me- ngenai kisah Dzul Yadaini di dalamnya disebut sebagai berikut: "Kemudian Nabi berdiri pada suatu tiang yang ditegakkan di dalam masjid, lalu bertekan dalam keadaan marah dan menjerjakkan tangannya." 

Juga dalam Al- Bukhary dan Muslim dari hadits Abu Musa diterangkan bahwa Nabi saw. bersabda: "Para mukmin terhadap para mukmin lain adalah semisal batu-batu tembok." Sesudah mengatakan demikian, Nabi menjerjakkan jari-jarinya. Di dalam Al-Bukhary dan hadits Ibnu 'Umar, diterangkan bahwa beliau itu berkata: "Nabi saw. telah menjerjakkan jari-jarinya."

Hadits ini lebih shahih dari pada hadits Ka'ab ibn Ujrah. Akan tetapi dapat dikumpulkan dengan jalan menetapkan, bahwa Nabi menjerjakkan jari-jarinya sebagaimana dijelaskan dalam hadits Dzul Yadain adalah karena beliau pada kala itu lagi marah. 

Sedangkan Nabi menjerjakkan jari-jarinya dalam hadits Abu Musa adalah untuk menerangkan, bahwa orang mukmin dengan para mukmin lain, saling menguatkan. Untuk memberi contoh secara nyata, maka Nabi menjerjakkan jari-jarinya itu. 

Larangan dalam hadits ini, kita kaitkan, bahwa melakukan hal tersebut itu karena untuk main-main, yang dilakukan di dalam shalat dan pada pendahuluannya serta dalam perbuatan-perbuatan yang ada hubungannya dengan shalat, yaitu, duduk dalam masjid, dan berjalan menuju ke masjid. Atau hadits-hadits ini dikumpulkan dengan cara yang ditetapkan oleh Majdudin Al-Hirani. 

Akan tetapi akal kita tidak mudah menerima, bahwa Nabi mengerjakan perbuatan makruh. Maka lebih utama, apabila kita menetapkan, bahwa larangan menjerjakkan jari-jari tangan itu, tertentu bagi kita para umatnya. Sedang perbuatan Nabi sendiri tidak bertentangan dengan sabdanya yang dikhususkan bagi kita, umatnya.

Ibnu Hazam berkata: "Barangsiapa sengaja menjerjakkan jari-jarinya dalam shalat atau dengan sengaja membunyikan ruas-ruas jarinya dalam shalat, batal shalatnya, mengingat sabda Nabi bahwa sesungguhnya di dalam shalat, ada urusan harus diperhatikan benar-benar. 

Juga ditegah kita memakai cincin di telunjuk, di jari tengah, dan di jari manis. Yang dibolehkan di jari kelingking saja, mengingat hadits-hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa'y dari Ali Ibn Abi Thalib, ujarnya: "Saya mendengar Rasulullah melarang saya memakai cincin di telunjuk (di jari tengah)." Dalam suatu riwayat An-Nasa'y yang lain disebut pula jari manis.

Ahluzh Zhahir berkata: berkacak pinggang dalam shalat, haram.

Ibnu 'Abbas, Ibnu 'Umar, Aisyah, Ibrahim, An-Nakha'y, Mujahid, Abu Mijlaz, Malik, Al-Auza'y, Asy-Syafi'y, Ulama-Ulama kufah dan Ulama-Ulama lain berpen- dapat bahwa berkacak pinggang, adalah makruh. Segolongan ulama berkata: "Orang yang perlu berpegang (bertekan) kepada tongkat sewaktu berdiri di dalam shalatnya, atau bersandar ke dinding, atau memiringkan badannya ke salah satu sisi, shalatnya tidak batal."

Segolongan ulama Syafi'iyah mewajibkan berbuat demikian apabila tidak sanggup berdiri kecuali dengan berpegang atau bertekan kepada sesuatu, serta menetapkan bahwa tidak dibolehkan duduk, kalau masih mungkin berdiri dengan bertekan atau bersandar.

Pendapat yang tersebut ini disetujui oleh Ibnu Qudamah, seorang ulama Hanbaliyah. Akan tetapi Al-Qadhi Husain, seorang ulama besar dalam kalangan Syafi'iyah, tidak mewajibkan orang berdiri seperti itu dan beliau membolehkan duduk.

Ibnu Hazam berkata: "Barangsiapa dengan sengaja bertekan atas tongkat, atau bersandar ke dinding, atau kepada seseorang, batal shalatnya. Hal ini meng- ingat bahwa Nabi memerintahkan kita berdiri. Apabila kita tidak sanggup berdiri, hendaklah kita berbaring. Bertekan atau bersandar, tidak ada nashnya dari Nabi."

An-Nawawy berkata: "Dimakruhkan atas kita ber-ikhtishar (shalat dengan meletakkan tangan atas pinggang). Dalam pada itu, ada juga ulama yang mengartikan ikhtishar, dengan bertekan atas tongkat sebagai yang disebut oleh Al- Harawi, seorang ulama bahasa yang termasyhur. 

Ada juga yang mengartikan ikhtishar, atau takhashshar, dengan memendekkan surat, yakni membaca akhir-akhirnya saja. Ada pula yang mengartikan dengan memendekkan berdiri, rukuk dan sujud, tidak menyempurnakannya. Makna yang benar, ialah makna yang pertama. 

Ditegahnya yang demikian, boleh jadi karena ia merupakan tingkah laku orang yang takabbur, boleh jadi merupakan perbuatan orang Yahudi, atau karena menyerupai perbuatan setan. Kemakruhan berkacak pinggang ini, disetujui oleh semua fuqaha dari seluruh Madzhab, baik yang shalat itu orang laki-laki maupun perempuan.

Ibnu Ruslan dalam Syarh as-Sunan, menurut nukilan pengarang 'Aunul Ma 'bud berkata: "Menurut riwayat Ibnu Abdil Malik, bahwa Nabi mencegah kita menekankan tangan ke tempat sujud ketika bangun dari duduk dalam shalat.

Pensyarah Al-Mashabih berkata: "Jangan meletakkan kedua tangan di atas lantai dan jangan bertekan atasnya, apabila hendak berdiri. Riwayat ini menjadi hujjah bagi ulama Hanafiyah. Inilah yang dipilih oleh Al-Khiraqi. Ini juga yang diriwayatkan dari "Umar, 'Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Umar, dan Ibnu Abbas. Inilah pula yang dipegangi Malik."

Ahmad berkata: "Kebanyakan hadits menerangkan, bahwa Nabi tidak duduk istirahat dan bahwa Nabi tidak menekankan tangan atas tempat shalat." 

As-Syafi'y menyunnatkan duduk istirahat. Ulama Asy-Syafi'iyah, menekankan tangannya ketika akan berdiri dari duduk, serta ber-hujjah dengan hadits Ayyub as-Sakhtayani dari Abu Qalabah, bahwa Nabi apabila mengangkat kepalanya dari sujud yang kedua, duduk sekejap dan bertekan atas dua tangannya, sesudah itu baru berdiri.

As-Sa'id Abdullah Amir berkata: "Hadits Ibnu 'Umar diriwayatkan oleh Abu Daud dari empat gurunya, yaitu: Ahmad, Ahmad Ibnu Syabawaih, Muhammad ibn Rafi dan Muhammad ibn Abdul Malik."

Lafazh Ahmad, ialah: "Nabi melarang orang shalat, yang bertekan dengan tangannya." Ibnu Ruslan berkata: "Menurut riwayat yang shahih, ialah dengan dua tangannya." Lafazh Ibnu Rafi': "Nabi melarang orang bertekan dengan tangan- nya." Lafazh Ibnu Syabawaih: "Nabi melarang orang bertekan dengan tangannya di dalam shalat." 

Lafazh Ibnu Abdil Malik: "Nabi melarang orang bertekan dengan tangannya ketika bangun dari duduk." Ibnu Ruslan berkata: "Hendaklah kedua tangan itu diletakkan di atas kedua lututnya."

Menurut hasil pentahqiqan kami, bahwa kemakruhan menjerjakkan tangan hanya tertentu di dalam shalat saja, tidak diluarnya. Tentang Nabi menjerjakkan tangan sebagaimana yang diterangkan oleh hadits Abu Hurairah mengenai kisah Dzul Yadain, itu adalah di luar shalat. Riwayat yang melarang kita menjerjakkan tangan selama ada di dalam masjid, dikaitkan dengan waktu shalat. Hadits Ka'ab ibn Ujrah ini tidak dipandang shahih oleh kebanyakan ulama hadits. Yang meman- dang hadits itu shahih, hanyalah Ibnu Hibban dalam Shahih-nya.

Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari empat gurunya, yang harus kita pegangi adalah lafazh Ahmad. Beliau seorang imam yang besar. Dan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary, yang menerangkan bahwa Nabi pernah bertekan atas tikar (tempat sujud) dengan tangannya ketika bangun, kita kaitkan kepada keadaan darurat.

Mengenai masalah berkacak pinggang, kami cenderung kepada pendapat Ahluzh Zhahir, karena tidak ada qarinah yang memalingkan larangan dari haram kepada makruh.

Hadits Ibnu 'Umar menunjukkan makruh-nya bertekan dengan kedua tangan, baik ketika duduk, maupun ketika bangun dan dalam keadaan yang lain-lain dalam shalat. Lahirnya larangan, menunjuk kepada haram. Apabila bertekan dengan tangan diharamkan, maka bertekan atau berpegang kepada yang lain, lebih lagi diharamkan, terkecuali karena darurat, seperti tidak sanggup berdiri tanpa berpegang pada sesuatu."

Berdasarkan Tulisan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Bab Pekerjaan yang Membatalkan Shalat, yang Makruh, dan yang Dibolehkan Masalah Menjerjakkan Tangan Membunyikan Ruas-Ruas Jari, Berkacak Pinggang Dan Bertekan Dengan Tangan Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-2