Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hukum Membuang Ludah Ke Muka Dan Ke Belakang Dalam Shalat

Hukum Membuang Ludah Ke Muka Dalam Shalat

MEMBUANG LUDAH KE MUKA DAN KE BELAKANG DALAM SHALAT

858) Abu Hurairah ra. menerangkan:

إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ رَأَى نُخَامَةَ فِي جِدَارِ الْمَسْجِدِ فَتَنَاوَلَ حَصَاةً فَحَتَّهَا، وَقَالَ: إِذَا تَنَخَّمَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَتَنَخَّمَنَّ قَبْلَ وَجْهِهِ وَلَا عَنْ يَمِينِهِ وَلْيَبْصُقْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ الْيُسْرَى

"Nabi saw. melihat setumpuk dahak di dinding masjid lalu beliau mengambil batu dan mengikisnya, kemudian beliau berkata: "Apabila seseorang kamu berdahak, janganlah ia berdahak (meludah) ke arak muka dan jangan pula ke arah kanannya. Hendaklah ia berdahak (meludah) ke arah kirinya atau ke bawah telapak kakinya yang kiri." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Al-Muntaqa 1: 496)

859) Anas ibn Malik ra. menerangkan:

إِنَّ النَّبِيُّ قَالَ : إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَا يُبْزُقَنَّ قَبْلَ وَجْهِهِ وَلَكِنَّ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ ثُمَّ أَخَذَ طَرَفَ رِدَائِهِ فَبَصَقَ فِيْهِ وَرَدَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ، قَالَ: أَوْ يَفْعَلْ هَكَذَا

Nabi bersabda: "Apabila salah seorang kamu berdiri dalam shalatnya, janganlah ia meludah ke muka. Tetapi hendaklah ia meludah ke arah kirinya atau ke bawah telapak kakinya. Kemudian Nabi memegang ujung kainnya, lalu beliau meludahinya dan menggosok-gosokkan ujung kain itu dengan bagian-bagian yang lain. Anas berkata: "Beginilah Nabi perbuat." (HR. Ahmad dan Al-Bukhary; Al- Muntaqa 1: 496)

SYARAH HADITS

Hadits (858) menyatakan bahwa kita dimakruhkan meludah ke depan dan ke kanan, baik di dalam shalat maupun di luarnya. Hadits ini menyatakan pula, bahwa hendaklah ludah itu dibuang ke kiri, atau ke bawah kaki kiri dan ditutup dengan tanah.

Hadits kedua (859), diriwayatkaan oleh Ahmad dan Al-Bukhary. Ahmad dan Muslim juga meriwayatkan hadits yang semakna dengan hadits ini dari Abu Hurairah.

Hadits ini menyatakan bahwa meludah ke arah kiblat, atau ke sisi kanan di waktu shalat, dilarang.

An-Nawawy tidak membolehkan kita meludah ke arah depan dan ke arah kanan dalam segala keadaan, baik dalam shalat maupun di luarnya.

Apabila seseorang yang sedang shalat meludah, maka jika ia di dalam masjid, haramlah ia meludah ke lantai, tetapi hendaklah dia meludah pada ujung-ujung kainnya yang sebelah kiri, baik lengan bajunya, maupun lainnya. 

Kalau bukan di dalam masjid, maka dia dibolehkan meludah ke atas tanah, asal saja dia meludah kesisi kirinya, baik di kainnya, di bawah telapak kaki kirinya tempat yang diludahi itu maupun di sampingnya. Yang lebih baik ia meludah di kaki nya, lalu digosok-gosok dengan bagian yang lain.

Dimakruhkan seseorang meludah ke arah kanan atau ke arah muka. Apabila dia meludah dalam masjid, berartilah dia telah mengerjakan sesuatu yang haram. Dia juga diharuskan menanam atau menutup ludahnya itu dengan tanah." Dan orang yang melihat seseorang meludah dalam masjid hendaklah melarangnya. Juga orang yang melihat ludah atau yang sepertinya di dalam masjid, menurut sunnah, hendaklah ia membersihkan tempat itu. Menggosok-gosok ludah itu dengan telapak sepatunya yang telah terkena najis, akan mengakibatkan bertambah kotornya masjid. Demikian pendapat An-Nawawy dalam Al-Majmu'.

Di dalam kitab Ar-Riyadh, beliau berkata: "Dikehendaki dengan menanam ludah atau dahak, ialah menimbunnya dengan tanah atau pasir, apabila itu masjid berlantai tanah atau berlantai pasir. Apabila berlantai jubin (tegel, keramik-Ed.), lalu ludahnya itu digosok saja dengan sesuatu, maka yang demikian tidaklah dipandang menanamnya, bahkan menambah kotor."

Al-Hafizh berkata: "Riwayat Abdur Razaq dari Ibnu Mas'ud menyatakan bahwa Ibnu Mas'ud tidak menyukai kita meludah ke arah kanan, walaupun di luar shalat. Dan Malik membolehkan kita meludah ke arah muka atau ke arah kanan, apabila kita bukan dalam shalat sebagaimana yang ditunjuki oleh hadits Anas yang di atas ini."

Al-Hafizh berkata pula: "Lahir hadits itu menunjukkan akan keharaman kita meludah ke arah kiblat, baik dalam masjid maupun bukan, terutama bagi orang yang sedang shalat."

Ringkasnya, tentang larangan orang yang shalat meludah ke arah kiblat tidak dapat ditentang. Hanya saja, apakah larangan itu menunjukkan kepada haram ataukah makruh, itulah yang diperselisihkan. Menurut hadits ini, jelas tentang keharamannya.

Ibnu Abdil Barr berkata: "Dapat dipahamkan dari hadits ini, tentang keboleh an meludah dalam shalat, asal tidak diludahkan ke arah depan. Meludah tidak membatalkan shalat, apabila dilakuan secara terpaksa. Hanya saja, hendaklah menghindari meludah ke arah depan."

Abu Zur'ah berkata: "Dapat dipahamkan dari hadits ini, bahwa dahak (ludah) itu suci. Jika najis, tentulah kita tidak disuruh untuk menutupnya dengan tanah apabila kita meludah dalam masjid. Juga tidaklah kita disuruh meludah pada kain, lalu mengosok-gosoknya.

Diterangkan oleh Ibnu Abdil Bar, bahwa beliau tidak melihat adanya perselisihan dalam masalah ini, terkecuali dari Salman, yang mengatakan bahwa ludah itu najis. 

Diterangkan oleh Al-Mundziry dari An-Nakha'y bahwa beliau ini juga menajiskan ludah. Asy-Syaukany berkata: "Lahir perkataan "dan hendaklah ia meludah ke arah kirinya", membolehkan kita meludah di dalam masjid dan lainnya di waktu shalat atau tidak, asalkan dilakukan ke arah kiri.

Akan tetapi, lahir hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim, yaitu: "Meludah di dalam masjid adalah suatu kesalahan dan kaffarat-nya hanyalah menutupnya", menunjukkan kepada ketidakbolehan kita meludah di dalam masjid, walaupun ke arah kiri.

Karenanya Al-Hafizh dalam Fathul Bari berkata: "Dalam masalah ini ada dua pengertian umum yang bertentangan, yaitu:

  • meludah dalam masjid adalah suatu kesalahan, atau
  • hendaklah meludah ke arah kiri atau ke bawah telapak kaki.

An-Nawawy menjelaskan hadits pertama, sebagai 'am (umum) dan men- takhshish-kan yang kedua dengan meludah di luar masjid. Sebaliknya Al-Qadhi lyadh, menjadikan hadits yang kedua sebagai 'am (umum) dan men-takhshish-kan hadits yang kedua dengan orang yang tidak mau menutup ludahnya dengan tanah.

Sebagian ulama menyetujui pendapat Al-Qadhi ini. Di antaranya ialah Ibnu Makki dan Al-Qurtubi. Pendapat Al-Qadhi ini disaksikan kebenarannya oleh hadits yang diriwayatkan Ahmad dengan sanad yang baik, dari hadits Sa'ad ibn Abi Waqqash yang menyatakan bahwa Nabi bersabda: "Maka barangsiapa meludah (berdahak) di dalam masjid, hendaklah dia menutup ludahnya itu dengan tanah," supaya jangan mengenai tubuh orang mukmin atau lainnya. Yang menyebabkan kita men-takhshish-kan larangan meludah dalam masjid, ialah kebolehan kita meludah pada kain di dalam masjid. Hukum ini tidak diperselisihkan. 

Dalam pada itu, pendapat An-Nawawy dapat dikuatkan dengan perkataan Nabi, bahwa meludah dalam masjid, adalah suatu kesalahan dan kaffaratnya menutupnya dengan tanah, itulah yang menjadi kaffarat." Hadits ini dengan jelas menegaskan larangan meludah dalam masjid. Hanya saja larangan itu dapat dihilangkan dengan menutup ludah itu dengan tanah. Kemudian Al-Hafizh berkata: "Sebagian ulama mengatakan, bahwa kebolehan meludah dalam masjid, hanyalah ketika ada udzur, seperti tidak bisa keluar dari masjid. Sedangkan larangannya dipautkan dengan tidak ada udzur. Ini suatu pemecahan yang baik."

Tentang keharaman kita meludah ke arah kiblat, tidak dapat diragukan lagi. Hal ini telah ditegaskan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang baik dari As-Sa'ib ibn Khallad, ujarnya: "Ada seorang laki-laki menjadi imam dalam suatu jama'ah, ia meludah ke arah kiblat, sedang Rasul melihatnya. Setelah orang itu selesai dari shalatnya, Nabi pun bersabda: "Orang itu tidak shalat dengan kamu." Nabi berkata pula kepada orang itu: "Kamu telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya." Demikian juga dengan meludah ke arah kanan.

Tentang meludah bukan ke arah kiblat atau ke arah kanan sewaktu shalat di dalam masjid, maka hendaklah dikaitkan dalam keadaan darurat. Maka apabila tidak terpaksa meludah di dalam masjid, dan masjidnya berjubin hendaklah kita meludah pada kain. 

Tetapi kalau perlu karena (terpaksa), boleh juga kita meludah ke tanah dalam masjid yang berlantai tanah, asal saja ludahnya itu segera di- timbunnya dengan tanah. Dan jangan mengganggu orang lain. Dalam bab ini sangat ihtiyath (hati-hati-Ed.) apabila yang dipegang adalah pendapat An-Nawawy. Pendapatnya sangat sesuai dengan masalah kebersihan masjid dan ilmu kesehatan.

Di dalam hadits itu terdapat ketentuan, bahwa sebab dilarangnya kita meludah ke arah depan, ialah karena kita sedang shalat dan sedang bermunajat kepada Tuhan. Maka sangat tidak layak kita meludah di hadapan Allah yang Maha Besar itu. Adapun sebabnya kita dilarang meludah ke kanan, karena ketika kita shalat para malaikat berdiri di sebelah kanan kita.

Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa'y dari Thariq Al- Muharibi, bahwa Nabi bersabda: "... dan meludahlah ke arah belakangmu atau ke arah kirimu, jika terdapat tempat yang lapang."

At-Turmudzy meriwayatkan juga hadits ini dengan tidak menyebut "... jika terdapat tempat yang lapang." At-Turmudzy menshahihkan hadits ini. Nabi saw. bersabda: "Telah diperlihatkan kepadaku segala kebaikan umatku dan segala keburukannya. Maka aku dapati di antara amalan umatku yang baik, ialah membuang semak duri dari jalan tempat manusia berlalu lintas. Dan di antara amalan umatku yang buruk, ialah meludah di dalam masjid." Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Dzar. 

Berdasarkan Tulisan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Bab Pekerjaan yang Membatalkan Shalat, yang Makruh, dan yang Dibolehkan Masalah Membuang Ludah Ke Muka Dan Ke Belakang Dalam Shalat Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-2