Sebab Milkiyah (Pemilikan) Dalam Islam
Sebab-sebab tamalluk (memiliki) yang ditetapkan syara' ada empat:
- Ihrazul mubahat (memiliki benda-benda yang boleh dimiliki, atau menempatkan sesuatu yang boleh dimiliki di sesuatu tempat untuk dimiliki).
- Al Uqud (aqad).
- Al Khalafiyah (pewarisan).
- Attawalludu minal mamluk (berkembang biak).
Beberapa sebab pemilikan yang terdapat di kalangan bangsa Jahiliyah, telah dihapuskan oleh Islam. Seperti dengan jalan peperangan sesama sendiri, dengan jalan membudakkan orang yang tidak sanggup membayar hutang dan kedaluwarsaan atau dengan istilah fiqh dikatakan taqadum, yang menimbulkan hak karena daluwarsa.
Ihrazul mubahat (menimbulkan kebolehan)Sudah diterangkan, bahwa salah satu dari sebab pemilikan atau malakiyah atau tamalluk, ialah: iranul muhahat. Maka yang dikatakan mubah itu, ialah:
Inilah yang dikatakan mubah. Seperti air yang tidak dimiliki seseorang, rumput dan pepohonan di hutan belantara yang tidak dimiliki orang, binatang buruan dan ikan-ikan di laut.
Ini semuanya barang mubah. Semua orang dapat memiliki apa yang disebutkan itu. Apabila dia telah menguasai dengan maksud memiliki, menjadilah miliknya. Menguasai dengan maksud memiliki itu, dikatakan Jruz. Kemudian memiliki benda-benda yang mubah dengan jalan ihraz, memerlukan dua syarat:
Umpamanya seseorang mengumpul air hujan dalam satu wadah dan dibiarkan, tidak diangkat ke tempat yang lain, maka orang lain tidak berhak lagi mengambil air dalam wadah itu; karena air ini tidak lagi merupakan benda mubah lantaran telah dikuasai oleh seseorang. Maka karena itulah kaidah berkata:
b. Maksud tamalluk (untuk memiliki)
Jikalau seseorang memperoleh sesuatu benda mubah, dengan tidak bermaksud memilikinya, tidaklah benda itu menjadi miliknya. Umpamanya seorang pemburu meletakkan jaring (perangkap) lalu terjeratlah seekor binatang buruan, maka jika ia meletakkan jaringnya sekedar mengeringkan jaring itu, tidaklah dia berhak memiliki binatang buruan yang terjerat oleh jaringnya. Orang lain masih boleh mengambil binatang itu dan memilikinya. Dan yang mengambil itulah dipandang muhriz, bukan pemilik barang.
Referensi dari buku Pengantar Fiqh Muamalah karangan Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy