Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SIAPAKAH YANG DIKATAKAN KELUARGA NABI ?

SIAPAKAH YANG DIKATAKAN KELUARGA NABI ?

SIAPAKAH YANG DIKATAKAN KELUARGA NABI?

766) Abu Humaid As-Saidi ra. menerangkan:
اِنَّ الصَّحَابَةَ قَالُوْا: يَارَسُولَ اللهِ، كَيْفَ نُصَلّى عَلَيْكَ؟ قَالَ: قُولُوا: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَزْوَجهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
Para sahabat bertanya: "Ya Rasulullah, bagaimana kami bershalawat untukmu?" Nabi menjawab: "Bacalah olehmu: Allâhumma shalli alâ Muhammad wa 'ala azwajihi wa dzurriyyâtihi kamâ shallaita 'alâ âli Ibrâhîm. Wa bárik 'alâ Muhammad wa azwajihi wa dzurriyyâtihi kamâ bârakta 'alâ âli Ibrâhîm innaka hamidun majid." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Al-Muntaqa 1: 452)

767) Abu Hurairah ra. menerangkan:

إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ : مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَكْتَالَ بِالْمِكْيَالِ الْأَوْفَى إِذَا صَلَّى عَلَيْنَا أَهْلَ الْبَيْتِ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ وَأَزْوَجهِ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَذُرِّيَّتِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ اِبْرَاهِيْمَ غِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
Nabi bersabda: "Barangsiapa suka menyukat amalnya dengan sukatan yang paling sempurna, apabila ia bershalawat untuk kami ahli bait hendaklah ia membaca: "Allahumma shalli alâ Muhammadinin nabiyyi wa azwâjihi ummahâtil mu'minin wa dzurriyyatihi wa ahli baitihi kama shallaita 'alâ âli Ibrahim, innaka hamidun majid." (HR. Abu Daud; Al-Muntaga 1: 453)

SYARAH HADITS

Hadits (766) menyatakan bahwa pengertian keluarga Rasul, ialah istri-istri Nabi dan anak cucunya dari Fatimah.

Hadits (767) diriwayatkan oleh Abu Daud. Abu Daud dan Al-Mundziry tidak mencela hadits ini. Menurut Ibnul Qayyim, hadits ini ada cacatnya. Dalam pada itu, hadits ini, mempunyai asal dari riwayat Abu Hurairah, hanya bukan dengan sanad ini. Riwayat Abu Hurairah itu berbunyi: "Allahumma shalli alâ Muhammad wa 'ala ali Muhammad, wa barik 'ala Muhammad wa alâ âli Muhammad kama shallaita wabarakta 'ala Ibrahima wa âli Ibrahima fil'aalamiina innaka hamidun majid", sedang lafazh salam adalah sebagaimana yang kamu ketahui." Sanad ini menurut syarat Al-Bukhary dan Muslim. Hadits ini menyatakan bahwa keluarga Nabi, ialah para istrinya dan bahwa anak keturunan (anak-cucunya) dimasukkan ke dalam keluarganya juga.

Sebagian ulama mengatakan, bahwa "keluarga Nabi", ialah segala mereka tidak boleh menerima zakat, yaitu: golongan Bani Hasyim. Golongan ini berhujjah, bahwa Zaid ibn Arqam menafsirkan "keluarga" dengan "orang-orang yang tersebut." Zaid ibn Arqam menerangkan bahwa keluarga Ja'far, keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga 'Abbas, semuanya itu adalah Banu Hasyim. Riwayat ini diriwayatakan oleh Muslim.

Segolongan yang lain menerangkan, bahwa keluarga Nabi, ialah Bani Hasyim dan Bani Al-Muththalib. Pendapat ini dipegang oleh Asy-Syafi'y.

Ada yang mengatakan, bahwa keluarga Nabi, ialah: "Fatimah, Al-Hasan, Al- Husain dan anak-anak mereka." Demikian pendapat jumhur Ahlul Bait. Ada yang mengatakan, bahwa keluarga Nabi, ialah segala kerabatnya. Segolongan ulama berpendapat seperti ini. Ada pula yang mengatakan bahwa keluarga Nabi ialah "umatnya yang berbakti."

Ibnul Qayyim berkata: "Perkataan alun, asalnya ahlun. Kemudian dibuang huruf ha dan dipanjangkan bunyi 4. Dalam pada itu ada yang berpendapat, bahwa asal "älün", ialah "auhun." Dan "alun" itu menurut pendapat segolongan ulama ialah istri dan keluarga yang dinafkahi, serta pengikut-pengjukutnya.

Kemudian para ulama berselisih paham dalam menetapkan siapa yang dimaksud dengan keluarga Nabi? Ada yang mengatakan: "Mereka yang tidak boleh menerima sedekah (zakat) yaitu Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Termasuk juga ke dalamnya Banu Umayyah dan Banu Naufal." Demikianlah pendapat Asy-Syafi'y, Ahmad dan kebanyakan ulama. Ada yang mengatakan, keluarga Nabi, ialah anak-anak, cucunya dan istrinya. 

Pendapat ini disebut oleh Ibnu Abdil Barr dalam At-Tauhid. Ada yang mengatakan bahwa keluarga Nabi, ialah: umatnya dan pengikut-pengikutnya. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah: "illâ âla lüthin najjainahum bisaharin = melainkan pengikut-pengikut Luth yang kami lepaskan dari bencana di waktu suhur (QS. Al-Qamar [54]: 34). Ada yang mengatakan, bahwa keluarga Nabi, ialah umat-umatnya yang berbakti. 

Pendapat ini didasarkan kepada riwayat Ath-Thabrany dari Anas, ujarnya: pernah ditanyakan kepada Nabi tentang siapakah keluarga beliau? Maka Nabi menjawab: "Segala orang yang berbakti, lalu Nabi membacakan "in auliya'uhu illal muttaqin"= tidaklah wali- walinya (penolong-penolongnya) selain dari mereka yang berbakti kepada Allah."

Ibnul Qayyim menguatkan paham yang pertama dan yang kedua saja.

An-Nawawy dalam Syarah Muslim berkata: "Pendapat yang lebih nyata, ialah pendapat yang menetapkan bahwa keluarga Nabi, ialah ummatnya. Pendapat inilah yang dipilih oleh Al-Azhary dan muhaqqiqin lainnya. Begitulah pendapat Nisywan Al-Himyari, seorang imam lughah yang sangat terkenal. Dalam gubahan syairnya dikatakan "alun nabiyyi hum 'atba'u millatihi minal a'ajimi wa sudani wal 'arabi= keluarga Nabi, ialah pengikut-pengikut agamanya, baik 'Ajam (non Arab) maupun Sudan, ataupun Arab." "Laulam yakun aluhu illa qarabatuhu la-shallal mushalli 'alath thanhi abi lahabi sekiranya keluarganya hanya kerabatnya, berarti bahwa orang yang shalat tentu bershalawat untuk Abu Lahab yang durjana itu."

Menurut pentahqiqan kami, keluarga Nabi secara keagamaan, ialah segala kerabatnya dan umatnya yang berbakti. Merekalah yang kita maksudkan dengan segala kerabat dalam shalawat kita. Adapun keluarga Nabi secara ashabah (hubungan waris), maka ialah istrinya, kerabat-kerabatnya, dan anak-anak cucunya. 

Di antara mereka ini yang berbakti kepada Allah, masuklah mereka ke dalam shalawat kita. Dan di antara mereka ini yang ingkar, yang tidak mentaati Allah dan Rasul-Nya, tidaklah termasuk ke dalam keluarga Nabi yang kita shalawatkan.

Al-Qadhi Iyadh berkata: "Tidaklah terdapat dalam sesuatu hadits tentang meminta rahmat sambil bershalawat kepada Nabi terdapat dalam hadits-hadits yang gharib. Guru-guru kami berselisih paham tentang: bolehkah kita berdoa untuk Nabi supaya Allah mencurahkan rahmat atas diri Nabi sambil kita bershalawat? 

Sebagian ulama berpendapat, tidak boleh. Inilah pendapat Ibnu Abdil Barr. Adapun Abu Muhammad ibn Abu Zaid, membolehkan. Hujjah ulama ialah: ketika Nabi mengajarkan shalawat kepada sahabat, Nabi tidak menyebut urusan meminta rahmat. Lantaran itu, pendapat yang terpilih, ialah tidak membolehkan memohon rahmat sambil bershalawat, seperti mengatakan "Allahumma warham Muhammadan = wahai Tuhanku, rahmatilah oleh-Mu Muhammad."

Jalan menyerupakan shalawat kepada Nabi saw dengan shalawat kepada Ibrahim dan keluarganya, ialah: supaya Allah memberi shalawat-Nya kepada Muhammad saw., seimbang dengan shalawat yang diberikan kepada Ibrahim dan segala Nabi-nabi yang masuk ke dalam keluarga Ibrahim. Tegasnya, kita memohon, supaya Tuhan melimpahkan shalawat-Nya kepada Nabi kita, lebih banyak daripada yang dilimpahkan kepada Nabi Ibrahim.

Dalam masalah menyerupakan shalawat untuk Nabi saw., dengan shalawat untuk Ibrahim, ada beberapa pendapat ulama yang telah dijelaskan oleh Ibnu Daqiqil Id dalam Syarah Umdatul Ahkam dan Ibnul Qayyim dalam Jala'ul Afham."

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy  Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-1 Sifat-sifat Shalat Masalah Siapa Yang dikatakan Keluarga Nabi