Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cara Khusyuk Dalam Shalat

#Khusyuk Dalam Shalat

KHUSYUK DALAM SHALAT DAN AMALAN-AMALAN HATI YANG TIDAK MEMBATALKAN SHALAT

811) Abu Hurairah ra. berkata:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : هَلْ تَرَوْنَ قَبْلَتِي هَهُنَا ؟ وَاللهِ، مَا يَخْفَى عَلَيَّ حُشُوْعَكُمْ وَلَا رُكُوْعَكُمْ إِنِّي لَأَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي.

Rasullullah saw bersabda: "Apakah kamu melihat kiblatku di sini? Demi Allah, tidak tersembunyi bagiku khusyukmu dan tidak pula rukukmu. Sungguh aku melihat kamu dari belakangku." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Taqribul Masanid II: 371)

812) Anas ibn Malik ra berkata:

كَانَ قِرَامٌ لِعَائِشَةَ سَتَرَتْ بِهِ جَانِبَ بَيْتِهَا، فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ : أَمِيْطِي عَنَّا قِرَامَكِ هَذَا فَإِنَّهُ لَا تَزَالُ تَصَاوِيْرُهُ تَعْرِضُ لِي فِي صَلَاتِي.
"Aisyah mempunyai suatu tirai tipis, yang dipergunakan sebagai penutup bagian dinding kamarnya. Maka Nabi berkata kepadanya: "Hindarkanlah tiraimu dari kami, karena gambar-gambarnya selalu mengganggu shalatku." (HR. Al-Bukhary; Bulughul Maram)

813) 'Aisyah ra. berkata:

صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ ﷺ فِي حَمِيْصَةٍ ذَاتَ عَلَمٍ، فَلَمَّا قَضَى صَلَاتُهُ، قَالَ: اذْهَبُوا بِهَذِهِ الْخَمِيْصَةِ إِلَى أَبِي جَهْمٍ ( عَامِرِ بْنِ حُذَيْفَةَ ) وَأْتُوْنِي بِالْجَانِيَّةِ فَإِنَّهَا الْهَتْنِي آنفًا عَنْ صَلَاتِي.

Rasulullah shalat di atas sehelai kain bersegi empat yang mempunyai motif. Setelah beliau shalat, beliau berkata: "Bawalah ini kepada Abu Jaham (Amer ibn Hudzaifah) dan mintalah untukku kain tebal yang tidak bermotif, karena kain yang bermotif ini, melalaikanku dari shalatku." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Tharhut Tatsrib II: 372)

814) Abu Bakar ibn 'Abdurrahman menerangkan:

إِنْ عَمَّارَ بْنَ يَاسِرٍ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ فَخَفَّفَهُمَا، فَقَالَ لَهُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ: يَا أَبَا الْيَقْظَانِ أَرَاكَ خَفَفْتَهُمَا، فَقَالَ: إِنِّى بَادَرْتُ بِهَا الْوَسْوَاسِ وَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: إِنَّ الرَّجُلَ لَيُصَلِّى الصَّلاةَ وَلَعَلَّهُ لَا يَكُوْنَ لَهُ مِنْهَا إِلَّا عُشْرَهَا أَوْتِسْعُهَا أَوْ ثُمُنَهَا أَوْ سُبُعَهَا أَوْ سُدُسَهَا حَتَّى أَتَى عَلَى الْعَدَدِ.

"Ammar ibn Yasir shalat dua rakaat dan beliau meringankannya; karena itu 'Abdurrahman ibn Harits berkata kepadanya: "Hai Abal Yaqzhan, saya melihat kamu meringankan shalat." Amar menjawab: "Seseorang yang mengerjakan shalat, ia hanya mendapat sepersepuluhnya, atau sepersembilannya, atau seperdelapannya, atau sepertujuhnya, atau seperenamnya hingga sampai kepada kepermulaan bilangan." (HR. Ahmad dan An-Nasa'y; Tharhut Thatsrib II: 372)

815) Ubay ibn Ka'ab ra menerangkan:

إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: لَا يُقْبَلُ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً حَتَّى يَشْهَدَ قَلْبَهُ مَعَ بَدَنِهِ.

"Tidak diterima amal yang dikerjakan oleh seseorang, kalau hatinya tidak hadir beserta badannya" (HR. Abu Suja' ad-Dailamy; Al-Muntaqa 1: 498)

816) Abu Hurairah ra menerangkan:

إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: إِذَا نُودِيَ بِالصَّلَاةِ اِدْبَرَ الشَّيْطَانَ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لَا يَسْمَعَ الْآذَانَ. فَإِذَا قُضِيَ الْآذَانَ أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ بِهَا أَدْبَرَ، فَإِذَا قُضِيَ التَثْوَيْبُ أَقْبَلَ حَتَّى يَخْطُرَ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُوْلُ: اذْكُرْ كَذَا أُذْكُرْ كَذَا لِمَا لَمْ يَذْكُرْ، حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ أَنْ يَدْرِي كَمْ صَلَّى، فَإِذَا لَمْ يَدْرِ أَحَدَكُمْ صَلَّى أَثَلَاثًا صَلَّى أَوْ أَرْبَعًا فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ.

Nabi bersabda: "Apabila azan dikumandangkan, setan lari sambil terkentut-kentut, sehingga ia tidak dapat mendengarnya. Setelah selesai dikumandangkan, setan datang lagi. Apabila dibaca iqamat, setan lari pula. Setelah iqamat selesai ia datang lagi untuk mewiswaskan manusia. la mengatakan: Ingatlah ini dan itu terhadap segala yang tidak teringat, sehingga bergelimanglah orang itu dalam ingatannya dan lalu ia tidak mengetahui berapa rakaat sudah ia kerjakan. Karena itu apabila seseorang kamu tidak mengetahui apa tiga rakaat sudah dikerjakan, atau empat, hendaklah ia bersujud dua kali." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Al- Muntaqa 1: 498)

817) Utsman An-Nahadi ra menerangkan:

إِنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ لَهُ قَالَ: إِنِّي لَأُ جَهِّزُ جَيْشِي وَأَنَا فِي الصَّلاةَ.
"Umar berkata: "Saya menyiapkan tentara saya, sedang saya dalam shalat." (HR. Bukhary; Bulughul Maram 1: 499)

818) Anas ibn Malik ra. menerangkan:

إِنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: إِذَا قُدِّمَ الْعِشَاءُ فَابْدَؤْا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا الْمَغْرِبَ.
Rasullullah bersabda: "Apabila makanan malam sudah dihidangkan maka makanlah dahulu sebelum kamu shalat Maghrib." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Bulughul Maram: 37)

SYARAH HADITS

Hadits (811) diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim. Hanya Muslim tidak menyebut perkataan "khusyukmu" tetapi menyebut perkataan "dan tidak pula sujudmu" Hadits ini menyatakan bahwa syara' mendorong kita mewujudkan khusyuk di dalam shalat.

Hadits (812) menyatakan wajib menjauhkan diri dari segala yang membawa kepada hilangnya khusyuk dan mendorong kita mewujudkan kekhusyukan dalam shalat. Hadits ini menyatakan juga bahwa sedikit ragu-ragu (terjadi keragu- raguan-Ed.) dalam shalat, tidak membatalkan shalat.

Hadits (813) menyatakan bahwa syara' mewajibkan kita menjauhkan diri dari segala yang dapat membawa kepada hilangnya khusyuk dan mendorong kita mewujudkan kekhusyukan kita dalam shalat, juga menyatakan juga, bahwa sedikit ragu-ragu dalam shalat tidak membatalkan shalat. 

Hadits (814) menyatakan bahwa khusyuk dalam shalat adalah wajib.

Hadits (815) diriwayatkan oleh Abu Syuja' ad-Dailamy dalan Musnad Al-Firdaus. Hadits ini menyatakan bahwa khusyuk dalam shalat adalah wajib, atau menyatakan bahwa syarat diterima amal ialah dilakukannya dengan khusyuk.

Hadits (816) menyatakan bahwa wiswas yang sedikit dalam shalat, tidak merusakkan shalat.

Hadits (817) menyatakan bahwa lintasan-lintasan hati yang sedikit, tidak merusakkan shalat.

Hadits (818) menyatakan bahwa kita wajib mendahulukan makan malarn yang telah disediakan atas shalat Maghrib, untuk menolak godaan yang ditimbulkan oleh aroma makanan itu.

Al-Ghazaly berkata: "Banyak sekali keterangan yang menegaskan bahwa khu- syuk dan hadir hati adalah syarat sah shalat. Jika ada orang yang berkata: "menjadikan khusyuk dan hadir hati syarat sahnya shalat serta membatalkannya jika tidak ada khusyuk dan hadir hati", menyalahi ijma'. Karena para fuqaha telah menetapkan bahwa yang disyaratkan itu hanyalah hadir hati ketika takbir, kami menjawab sanggahan tersebut sebagai berikut:

Telah kami jelaskan bahwa fuqaha tidak membahas keadaan batin, keadaan hati. Mereka membina hukum atas keadaan anggota tubuh. Sebenarnya bentuk pekerjaan hanya melepaskan kita dari hukum dunia. Tentang apakah amalan itu memberi manfaat di hari akhirat, itu tidak termasuk ke dalam pembicaraan fiqh. 

Dan tidak dapat dikumandangkan pendakwaan ijma'. Bukanlah karena ada nukil- an dari Basyar ibn Hara menurut riwayat Abu Thalib Al-Makki dari Sufyan ats-Tsaury, bahwa beliau berkata: "man lam yakhsy' fasadat shalātuhu barangsiapa tidak khusyuk, rusaklah shalatnya" dan bukanlah karena Abdul Wahid ibn Zaid telah berkata: para ulama telah berijma' bahwa seseorang hamba tidak memperoleh dari shalatnya selain yang dapat ia pahami saja. 

Dalil-dalil syara', hadits dan atsar te- rang benar mensyaratkan khusyuk. Hanya kita harus mengukur khusyuk itu dengan ukuran masing-masing manusia. Lantaran itu, tidak dapatlah kita syaratkan untuk segenap nap manusia, supaya menghadirkan hati dalam seluruh shalatnya. Hanya kita syaratkan saja dalam sebagian shalatnya, sekurang-kurangnya pada sa'at takbir. Kesimpulannya, bahwa hadir hati adalah jiwanya shalat. Sekurang-kurangnya sisa jiwa itu, ialah: jika yang telah sampai di kerongkongan, yaitu: kehadiran hati ketika takbir.

Sebagaimana keluarnya nyawa dari kerongkongan, berarti hilangnya nyawa secara keseluruhan, demikianlah pula apabila tidak terdapat khusyuk pada saat takbir.

An-Nawawy berkata: "Seluruh ulama sepakat menetapkan bahwa khusyuk itu adalah sunnat, bukan wajib."

Waliyuddin Abu Zur'ah (seorang ulama besar dalam mazhab Asy-Syafi'y, se sudah An-Nawawy) berkata: "Pendapat An-Nawawy ini, haruslah diteliti. Menurut riwayat yang kani ambil dari kitab Az-Zuhud susunan Ibnul Mubarrak, disebutkan bahwa Ammar ibn Yasir berkata: "Tidaklah ditulis untuk seseorang dari shalatnya yang hatinya lalai, tidak menghayati shalatnya itu." Selain daripada itu banyak pula terdapat fatwa-fatwa ulama yang menandaskan bahwa khusyuk adalah wajib.

Imamul Haramaini berkata: "Seseorang yang mengalami kesulitan (sakit) jika berdiri, yang dapat menghilangkan khusyuknya maka dia tidaklah diharuskan berdiri."

Kalau khusyuk itu bukan wajib, tentulah tidak boleh meninggalkan berdiri, sedang berdiri itu wajib, untuk memelihara khusyuk. Dan dapat dipahamkan pula bahwa untuk menggugurkan berdiri, tidak harus badan merasa lemah, cukup dengan kesukaran yang menghilangkan khusyuk.

Menurut pendapat Al-Qadhi Husain, bahwa apabila seseorang shalat, dalam menahan air besar atau air kecil, sedang gangguan itu menghilangkan khusyuknya, maka shalatnya tidak sah.

Para sahabat Asy-Syafi'y bermufakat menetapkan, bahwa menolak gangguan air besar dan air kecil, tidak membatalkan shalat, tetapi apabila telah sampai gangguan itu kepada batas menghilangkan khusyuk, maka batal shalatnya. Hal ini memberi pengertian bahwa khusyuk itu adalah wajib. Menurut riwayat Ath-Thabrany dalam Al-Ausath, bahwa shalat yang kosong dari khusyuk dan kesempurnaannya, akan dijadikan pemukul terhadap orang yang shalat itu sendiri.

Mengenai riwayat An-Nahdi, kita berkata: "Dimaksudkan dengan hadits itu, adalah pikiran-pikiran yang datang yang tidak disengaja, bukan pikiran yang sengaja ditumbuhkan." Dalam hadits yang diriwayatkan oleh 'Utsman tersebut "la yuhadditsu fi hima nafsahu dia tidak berbicara dengan dirinya di dalam dua rakaat shalatnya.

Ibnu Baththal berkata: "Batas khusyuk yang diwajibkan, ialah: menghadapkan hati dan niat, kepada shalat dan mengerjakan shalat itu karena wajhullah (karena tulus ikhlas kepada Allah). Maka gangguan-gangguan yang tidak disengaja, tidak membatalkan shalat.

Ibnul Qayyim dalam kitab Madarijus Salikin, telah mentahqiqkan tentang ke- dudukan khusyuk dan shalat orang yang tidak khusyuk dihargai atau tidak, mengatakan: "Allah swt. berfirman: Alam ya'ni lilladzina amanû an takhsya'a qulū- buhuan lidzikrillähi wa mâ nazala minal-haqqi.... apakah belum juga datang masanya bagi para mukminin untuk khusyuk (tunduk) jiwa-jiwanya kepada menyebut Allah dan kepada kebenaran yang diturunkan?" (QS. Al-Hadid: 16)

Ibnu Mas'ud berkata: "Jarak waktu antara kami ketika memeluk Islam dengan Tuhan ketika memperingatkan kami dengan ayat ini, hanya berselang empat tahun saja. Allah berfirman pula "qad aflahal mu'minunalladzinahum fi shalâtihim khâsyi'ûna = sungguh telah memperoleh kemenangan para mukmin yang dapat mewujudkan khusyuk di dalam shalatnya."

Khusyuk dalam asal bahasa ialah rendah diri, hina dan tentang. Allah swt. berfirman: "wa khasya'atil ash-wātu lir rahmâni = telah tenang, telah hina, telah tunduk segala suara kepada Allah (QS. Thaha: 108). 

Adapun khusyuk yang dikehendaki syara', ialah: "berdiri jiwa di hadapan Allah, dengan rasa tunduk dan rasa hina." Ada yang berpendapat, bahwa khusyuk itu, mengikuti kebenaran. Sebenarnya makna ini adalah suatu kelaziman dari khusyuk.

Di antara tanda khusyuk kepada Allah, ialah menerima kebenaran dan menurutinya. Dalam pada itu ada yang berpendapat, bahwa khusyuk, ialah padamnya api syahwat dan tenangnya gejolak hati serta terpencarnya sinaran membesarkan Tuhan di dalam jiwa. Al-Junaid berkata: "Khusyuk itu, ialah jiwa merendahkan diri kepada Tuhan yang sangat mengetahui segala yang gaib."

Seluruh ahli ma'rifat menetapkan, bahwa tempat khusyuk ialah hati, dan hasil khusyuk itu dibuktikan oleh anggota. Anggotalah yang menampakkan kenyataan khusyuk.

Ibnul Qayyim berkata pula: "Jika ada orang bertanya, apakah shalat yang di- kerjakan tanpa khusyuk, dipandang dan dihargai atau tidak, maka jawabannya adalah: yang dipandang dan dihitung untuk diberi pembalasan, adalah sekedar yang dapat dipahami dan yang dapat mewujudkan khusyu'."

Ibnu 'Abbas berkata: "Tidak ada shalat bagimu terkecuali yang dapat kamu pahami." Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad, Abu Daud, An-Nasa'y, Ibnu Khuzaimah dari hadits Ammar ibn Yasir, bahwa seseorang hamba mengerjakan shalat, tetapi tidak ditulis baginya, selain dari separuhnya atau sepertiganya atau seperempatnya, hingga sampai sepersepuluhnya.

Tuhan telah menggantung kemenangan orang yang tidak khusyuk, ia tidak termasuk ke dalam golongan ahlul falah (orang-orang yang mendapat kemenangan). Sekirannya kepada orang yang tidak khusyuk, diberikan pahala tentulah ia masuk ke dalam golongan orang yang mendapat kemenangan. Mengenai hukum dunia dan gugurnya gadha (pelaksanaan kewajiban), maka jika kadar khusyuk dan pemahamannya lebih banyak tentu dipandang dan dihargailah shalatnya itu.

Sunnat dan dzikir-dzikir yang diucapkan sesudah shalat, menjadi penyempurnaan bagi kekurangan itu. Tetapi jika lebih banyak kadar tidak khusyuknya dan kurang pemahamannya, maka tentang wajib mengulangi shalatnya itu, diperselisihkan ulama. Ada yang mewajibkan. Diantaranya adalah Abu Abdullah ibn Hamid pengikut Ahmad dan Abu Hamid Al-Ghazaly pengikut Asy-Syafi'y di dalam kitab Al-Ihya'.

Mereka ini ber-hujjah, bahwa shalat yang dilakukan sedemikian rupa (tidak disertai khusyuk), tidak dijamin kemenangan, karenanya tidak lepas darinya tanggung jawab dan harus diqadhai, sama dengan shalatnya orang yang riya', dan mereka itu berhujjah pula, bahwa khusyuk dan memahami apa yang dibaca dan dikerjakan dalam shalat, adalah merupakan jiwanya shalat dan tujuan yang dimaksud serta inti sarinya. 

Maka bagaimana akan dipandang dan dihargai shalat yang tidak mempunyai jiwa dan inti di dalamnya. Yang ada hanya rupa dan bentuknya saja. Dan ulama-ulama itu berhujjah lagi ujarnya: Sekiranya seseorang meninggalkan sesuatu fardhu shalat, maka batal shalatnya. Maka betapa dapat dihargai suatu shalat yang dilakukan tanpa khusyuk? 

Kehilangan ab'adh shalat sarna dengan kehilangan satu anggota dari seorang budak yang akan dimerdekakan sebagai kaffarah. Budak yang terpotong tangannya, tidaklah dapat dijadikan kaffarah. Maka betapakah dapat digunakan menjadi kaffarah budak yang telah mati? Shalat yang tidak ada khusyuk di dalamnya sama dengan budak yang telah mati itu.

Golongan yang lain berkata: "Tidak perlu mengulangi shalatnya. Mereka beralasan, bahwa dibuatnya undang-undang adalah berkaitan dengan perbuatan yang lahir. Tentang hakikat iman yang tersembunyi, itu dikenai undang-undang pahala dan siksa. Tegasnya, Allah mempunyai dua hukum. Hukum di di dunia terhadap undang-undang lahir dan amalan anggota, hukum di akhirat terhadap lahir dan batin.

Mengingat hal inilah Nabi menerima kenyataan yang diperlihatkan oleh orang-orang munafiq. Nabi menyerahkaan urusan batin mereka kepada Allah. Mereka diberikan hak menikahi dan dinikahi, memberi pusaka dan menerima pusaka. Shalat-shalat mereka dihargai dalam hukum-hukum dunia. Tegasnya, mereka tidak disamakan dengan orang-orang yang tidak shalat, sekiranya mereka telah mengerjakan rupa shalat. Adapun soal pahala dan siksa, itu adalah urusan Allah yang akan memberikannya di akhirat nanti.

Ibnut Tin berkata: "Gurisan hati yang dimaafkan ialah gurisan-gurisan yang datang sepintas lalu. Lintasan itu datang melintas, lalu hilang tidak bersambung lagi. Adapun jika dia memanjangkan pikiran dan membanyakkannya, sehingga sampai dia tidak tahu berapa rakaat telah dikerjakan, maka itulah orang yang lalai dalam shalatnya, ia wajib mengulangi shalatnya itu."

Untuk menjelaskan hadits yang menerangkan bahwa 'Umar pernah me- mikirkan tentang urusan tentara dalam shalatnya, baiklah kita perhatikan riwayat-riwayat di bawah ini.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari jalan Urwan ibn Zubair, ujarnya, "Umar berkata: "Saya pernah menghitung jizyah (pajak) Al-Bahrain dalam shalat." Diriwayatkan pula oleh Shahih ibn Ahmad, Ibnu Hanbal dalam kitab Al-Musa'il dari ayahnya dari jalan Humam ibn Harits, bahwa 'Umar shalat Maghrib dengan tidak membaca.... Setelah selesai shalat para hadirin berkata: "Amiral Mu'minin, tuan berusaha tidak membaca....?" 'Umar menjawab: "Saya berbicara dengan diri saya di dalam shalat tentang kafilah unta yang saya berangkatkan dari Madinah hingga telah masuk ke Syam. Sesudah itu, 'Umar mengulangi shalat, dan meng- ulangi pembacaan.

Diberitakan oleh lyadh Al-Asy'ary, bahwa 'Umar pernah shalat Maghrib dengan tidak membaca Al-Fatihah. Sesudah shalat Abu Musa Al-Asy'ary berkata: tuan baru saja tidak membaca. Mendengar itu 'Umar bertanya kepada 'Abdurrahman ibn Auf. 'Abdurrahman membenarkan perkataan Abu Musa. Maka bangunlah 'Umar mengulangi shalatnya. Sesudah selesai dari shalat, beliau berkata: "Tidak ada shalat yang tidak dibaca Al-Fatihah di dalamnya. Saya terlalu dibimbangkan oleh kafilah yang saya kerahkan ke Syam. Saya memikirkan keadaannya."

Diberitakan oleh Ath-Thahawy dari jalan Dhamdharn dari 'Abdurrahman, bahwa 'Umar shalat Maghrib, lalu meninggalkan bacaan dalam rakaat pertama. Maka dalam rakaat kedua, beliau membaca dua kali Al-Fatihah dan sesudah bersalam, beliau bersujud sahwi. 

Jika kita sadari benar-benar alasan-alasan yang dikemukan oleh golongan yang tidak mewajibkan kita mengulangi shalat yang tidak disertai khusyuk, memberi pengertian, bahwa jika kita shalat hanya untuk memperoleh akuan masyarakat, maka shalat yang tidak disertai khusyuk telah mencukupi, dan telah memasukkan kita ke dalam golongan kaum muslimin, menurut hukum negara. 

Tetapi jika kita shalat untuk mengabdi kepada Allah, tentulah kita sendiri merasakan bahwa shalat yang tidak disertai khusyuk, perlu kita ulangi, karena shalat yang tidak ada khusyuk itu, tidak dipahalai, tidak dipandang ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah. Dalam masalah ini kita harus bertahkim, kepada fatwa jiwa kita sendiri. Jangan kepada fatwa orang yang memberi hukum berdasarkan kepada kenyataan lahir.

Sebenarnya (sebagai yang telah ditegaskan oleh Al-Ustadz Al-Kabir Abdul Aziz Al-Khuli), tidaklah patut terjadi khilaf (perbedaan pendapat) tentang wajibnya khusyuk dalam shalat; karena sudah terang, bahwa shalat yang tidak ada khusyuk padanya, tidak ada nilainya. Tuhan telah mengaitkan kemenangan para mukmin dengan khusyuk di dalam shalat. (Baca QS. Al-Mu'minun: 1)

Mengenai perihal mendahulukan makan malam yang telah tersedia daripada shalat Maghrib, maka disini kami jelaskan, bahwa jumhur ularna yang menyun- natkan hal itu. Ulama Zhahiriyah bahkan mewajibkan. Dan para ulama berselisih paham juga tentang: "Manakah yang lebih didahulukan, apabila sempit waktu- nya?" sebagian ulama berkata didahulukan makan atas shalat. Jumhur ulama mendahulukan shalat untuk menghargai waktu.

Selain daripada itu dapat pula dipahamkan bahwa telah tersedianya makanan untuk siap dimakan, dapat dijadikan alasan untuk meninggalkan jamaah.

Diriwayatkan dari Ibnu 'Umar, bahwa apabila telah tersedia makan malam dan mendengar bacaan imam dalam shalat, beliau meneruskan makannya hingga selesai. Dan dikiaskan kepada makan, segala yang menganggu perasaan, dengan menelatkannya atau menghentikannya.?

Afalush Shalah dan Aqwalush Shalah yang menjadi rangka shalat

Berikut beberapa penuturan ulama berkaitan dengan af aluh shalah (armalan anggota tubuh) dan aqwalush shalah (amalan lisan) dalam shalat:

Ad-Dahlawy

Ad-Dahlawy telah menjelaskan kaifiyat shalat Nabi saw. yang diterima oleh umat dengan jalan mutawatir sebagai berikut:

Bersuci, menutupi aurat, berdiri, menghadapi kiblat dengan muka dan bertawajjuh kepada Allah dengan hati serta mengikhlaskan amal untuk-Nya, lalu membaca "Allahu akbar" dengan lisan dan membaca Al-Fatihah dan satu surat dalam rakaat pertama dan kedua. Kemudian rukuk menundukkan diri hingga ruas- ruas jari terletak di lutut dan berketetapan sejenak di dalamnya. Kemudian i'tidal dan beketetapan di dalamnya. Kemudian bersujud atas anggota-anggota sujud. Kemudian duduk antara dua sujud dan berketetapan di dalamnya. Kemudian sujud lagi.

Dengan selesai sujud kedua, cukuplah shalat serakaat. Kemudian duduk ber- tasyahhud di akhir tiap-tiap rakaat akhir setiap shalat. Sesudah ber-tasyahhud, kemudian bershalawat kepada Nabi, dan ber-ta'awwudz dari empat perkara. Sesudahnya, berdoa dengan sesuatu doa yang paling disukai. Sesudah itu memberi salam kepada orang-orang yang di sebelah menyebelah dan para malaikat dan kaum Muslimin. Inilah serendah-rendah shalat Rasul. Tidak pernah beliau tinggalkan suatu rukun tanpa uzur dalam sesuatu fardhu. Dan inilah pula serendah-rendah shalat sahabat.

Inilah yang dinamakan shalat. Dalam pada itu, para fuqaha berselisihan tentang beberapa rukun, antara lain tentang yang dipandang rukun, di mana tidak dianggap sah shalat jika ditinggalkan atau yang dipandang wajib, di mana shalat dipandang kurang sempurna dengan meninggalkannya, atau dari yang dipandang ab'adh, di mana dicela orang yang meninggalkannya tetapi dapat diganti dengan sujud sahwi.

An-Nawawy

An-Nawawy dalan Al-Majmu' berkata: "Ibadah shalat mempunyai beberapa rukun, beberapa syarat, beberapa ab'adh dan beberapa hai'ah." (Ab'adh shalat: sunnah dalam shalat yang apabila ditinggalkan maka menggantinya dengan sujud sahwi. Adapun haiah shalat: sunnah dalam shalat yang apabila ditinggalkan maka tidak perlu menggantinya dengan sujud sahwi).

Rukun shalat ialah:

1) Niat
2) Takbiratul-ihram
3) Berdiri
4) Membaca Al-Fatihah
5) Rukuk
6) I'tidal
7) Sujud
8) Duduk antara dua sujud
9) Duduk tasyahhud akhir beserta membaca tasyahhud
10) Shalawat dalam tasyahhud akhir
11) Salam; dan
12) Tertib (dilakukan secara keseluruhan)

Ada beberapa perkara yang diperselisihkan ulama Syafi'iyah yaitu:

  1. Niat keluar dari shalat. Sebagian dari ulama Syafi'yyaah memandangnya rukun juga
  2. Menghadap kiblat. Sebagian ulama memandangnya fardhu, bukan syarat.
  3. Niat shalat. Sebagian ulama memandangnya syarat, bukan rukun.
Hal-hal yang disunnatkan, ialah:
  • Mengangkat tangan ketika bertakbir, ketika rukuk dan i'tidal,
  • Meletakkan tangan atas dada,
  • Memandang ke tempat sujud,
  • Membaca doa iftitah,
  • Ta'awwudz,
  • Ta'min,
  • Membaca surat sesudah Al-Fatihah.
  • Men-jahar-kan dan men-sirr-kan bacaan di tempatnya masing-masing.
  • Takbir intigal,
  • Tasbih dalam rukuk,
  • Tasmi',
  • Tasbih dalam sujud,
  • Meletakkan tangan di atas lutut dalam rukuk,
  • Menghamparkan punggung di waktu rukuk,
  • Lebih dahulu meletakkan lutut ketika sujud,
  • Meletakkan hidung ke lantai,
  • Merenggangkan siku dari lambung,
  • Merenggangkan perut dari paha dalam sujud,
  • Membaca doa dalam duduk antara dua sujud,
  • Duduk istirahat.
  • Meletakkan tangan ketika bangun (bertekan) ke tempat sujud,
  • Duduk tawarruk di akhir shalat,
  • Duduk iftirasy dalam duduk-duduk yang selain dari tasyahhud akhir.
  • Meletakkan tangan kanan di atas paha kanan dengan keadaan beberapa anak jari tergenggam,
  • Berisyarat dengan telunjuk,
  • Meletakkan tangan kiri atas paha kiri dalam keadaan terhampar,
  • Tasyahhud awal,
  • Shalawat kepada Nabi dalam tasyahhud awal,
  • Shalawat kepada keluarga Nabi dalam tasyahhud akhir.
  • Doa di akhir shalat,
  • Qunut Shubuh,
  • Salam yang kedua, dan
  • Niat memberi salam kepada orang-orang yang hadir."
Enam butir dari sunnat-sunnat ini, dinamakan sunnat ab'adh, yaitu:
  1. Qurnut Shubuh
  2. Qunut witir pada nisfu yang kedua dari bulan Ramadhan
  3. Berdiri untuk ber-qunut
  4. Tasyahhud awal
  5. Duduk untuk tasyahhud awal
  6. Shalawat kepada Nabi dalam tasyahhud awal dan duduk shalawat.
Sunnat-sunnat yang selain daripada ini dinamakan: hai'ah.
Syarat-syarat shalat ialah:
  1. Suci dari hadats,
  2. Suci dari najis,
  3. Menghadap kiblat,
  4. Menutup aurat dan
  5. Mengetahui masuk waktu (mengerjakan di dalam waktu).
Al-Ghazaly dan Al-Faurany menambahkan lagi kepada syarat-syarat yang lima ini, yakni:
  1. Meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak layak dilakukan dalam shalat,
  2. Meninggalkan pembicaraan-pembicaraan yang tidak dibenarkan dalam shalat, dan
  3. Meninggalkan makan-minum.
Ulama Syafi'iyah berkata: "Meninggalkan suatu rukun atau syarat, dapat mengakibatkan tidak sahnya shalat. Meninggalkan yang bukan rukun dan bukan syarat, mengakibatkan hilang keutamaan shalat. Tetapi jika yang ditinggalkan itu, suatu sunnat ab'adh, hendaklah mengerjakan sujud sahwi.

Ibnu Qudamah

Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny berkata: "Yang disyaratkan dalam shalat, terbagi dua:

  1. wajib, dan
  2. masnun (yang disunnatkan)
Yang wajib, terbagi dua. Pertama, yang tidak dapat digugurkan, baik dengan sengaja atau pun karena lupa; ada sepuluh perbuatan:
  1. Takbiratul ihram.
  2. Membaca Al-Fatihah oleh imam dan munfarid.
  3. Berdiri.
  4. Rukuk dan thuma'ninah di dalamnya.
  5. I'tidal dan thum'aninah di dalamnya.
  6. Sujud dan thuma'ninah di dalamnya.
  7. Bangkit dari sujud (duduk antara dua sujud dan thuma'ninah di dalam- nya).
  8. Tasyahhud di akhir shalat dan thuma'ninah di dalamnya.
  9. Salam.
  10. Tertib.
Sepuluh perbuatan ini dinamai rukun, dan tidak gugur apabila ditinggalkan dengan tidak sengaja atau karena lupa. Apabila ditinggalkan dengan sengaja, batal shalatnya. Kalau ditinggalkan karena lupa, kemudian teringat semasih dalam shalat, maka hendaklah dikerjakannya. Apabila teringat sesudah selesai shalat, maka jika telah lama berselang hendaklah ia kembali melakukan shalat lagi. Tetapi jika belum lama berselang, maka boleh ia sambung terus shalatnya. Dan wajib ia melaksanakan serakaat penuh, terkecuali kalau yang dilupakan itu tasyahhud dan salam. Kalau tasyahhud dan salam yang dilupakan, maka boleh dikerjakan tasyahhud dan salam itu saja, kemudian bersujud sahwi.

Kedua, yang mengakibatkan batal shalat jika ditinggalkan karena sengaja dan ditambah dengan sujud sahwi jika ditinggalkan karena lupa. Bagian ini ada delapan, yaitu:

  1. Takbir intiqal,
  2. Tasbih rukuk,
  3. Tasbih sujud,
  4. Tasmi,
  5. Tahmid,
  6. Doa pada duduk antara dua sujud,
  7. Tasyahhud awal,
  8. Shalawat kepada Nabi pada tasyahhud akhir.
Yang disunnatkan ada tiga puluh dua, yaitu:
  1. Mengangkat dua tangan ketika takbiratul-ihram,
  2. Mengangkat dua tangan ketika rukuk, 
  3. Mengangkat dua tangan ketika i'tidal,
  4. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri waktu berdiri,
  5. Memandang ke tempat sujud,
  6. Membaca iftitah,
  7. Ta'awwudz,
  8. Membaca basmallah,
  9. Membaca amin,
  10. Membaca surat-surat sesudah Al-Fatihah,
  11. Men-jahar-kan dan mengisrarkan di tempat-tempatnya,
  12. Meletakkan kedua tangan di atas lutut ketika rukuk,
  13. Mengulurkan punggung ketika rukuk dan sujud,
  14. Membaca lebih dari sekali tasbih,
  15. Mernbaca lebih dari sekali rabbighfir li,
  16. Membaca mil'us-samawati... sesudah tahmid,
  17. Memulai sujud dengan meletakkan lutut sebelum tangan,
  18. Mengangkat kedua tangan di waktu berdiri,
  19. Merenggangkan dua lutut dalam sujud
  20. Meletakkan kedua tangan sejajar bahu atau sejajar telinga ketika bertakbir,
  21. Membuka anak-anak jari kaki di waktu sujud dan di waktu duduk,
  22. Duduk iftirasy pada tasyahhud pertama,
  23. Duduk antara dua sujud,
  24. Duduk tawarruk pada tasyahhud kedua,
  25. Meletakkan tangan kanan di atas paha kanan, dengan menggenggamkan dua tangan,
  26. Menggenggam dua tangan dan mengisyaratkan dengan telunjuk,
  27. Meletakkan tangan kiri atas paha kiri dalam keadaan terhampar,
  28. Berpaling ke kanan dan ke kiri di waktu salam,
  29. Bersujud dengan mengenai hidung,
  30. Duduk istirahat,
  31. Salan yang kedua dan
  32. Niat keluar dari shalat di waktu membaca salam.
Segala sunnat ini, tidak mengakibatkan batal shalat apabila sengaja ditinggalkan, apalagi karena lupa. Bagi sahnya shalat, diisyaratkan enam hal:
  1. Suci dari hadats dan najasah,
  2. Tertutup aurat,
  3. Suci tempat,
  4. Menghadap kiblat,
  5. Masuk waktu dan
  6. Niat.
Apabila syarat-syarat ini tidak dipenuhi tidaklah sah salatnya.

Shiddiq Hasan Khan

Shiddiq Hasan Khan dalam kitab Ar-Raudhatun Nadiyah berkata: "Segala yang dikatakan fardhu daları shalat", harus kita kembalikan kepada tiga bagian:

Pertama, rukun, ialah pekerjaan yang menjadi hakikat bagi shalat, di mana kita tidak dipandang telah mengerjakan shalat apabila tidak mengerjakan yang termasuk rukun, bahkan shalat kita tidak dipandang sah, yaitu: berdiri, rukuk, i'tidal, sujud dan duduk untuk tasyahhud.

Kedua, syarat, ialah sesuatu yang apabila tidak dikerjakan dapat meniadakan masyruth (sesuatu yang disyaratkan) yaitu: niat dan Al-Fatihah.

Apabila kita perhatikan hadits-hadits yang ada kaitannya dengan niat dan Al-Fatihah itu, teranglah bahwa niat dan Al-Fatihah, adalah syarat sah shalat. Perkataan: là shalāta illa bifātihatil kitābi (tidak ada shalat melainkan dengan adanya Al-Fatihah), menegaskan bahwa Al-Fatihah adalah syarat sah shalat, bukan rukun shalat.

Perbedaan rukun dengan syarat, ialah dalam pengertian bahwa kurangnya rukun, meniadakan rupa atau wujud yang dikerjakan itu. Sedang kekurangan syarat, meniadakan masyruth (sahnya masyruth)

Ketiga, fardhu, atau wajib, ialah segala pekerjaan yang berdosa orang yang meninggalkannya, tetapi suatu pekerjaan yang dilakukan tanpa fardhu itu tetap dipandang sah. Yang dihukum fardhu atau wajib, ialah taslim (membaca salam) dan tasyahhud.

Duduk tasyahhud awal, tidak dijadikan rukun, hanya dipandang wajib saja, yang boleh kita gantikan dengan sujud sahwi apabila ditinggalkan karena lupa. Duduk istirahat tidak diwajibkan.

Dzikir-dzikir yang wajib hanyalah takbiratul-ihram, Al-Fatihah di tiap-tiap rakaat, tasyahhud akhir dan salam (shalawat menurut pendapat muhaqqik ini tidak wajib).

Selain dari yang tersebut, semuanya sunnat, yaitu mengangkat tangan pada empat tempat, meletakkan tangan atas dada, membaca doa tawajjuh sesudah takbiratul-ihram, bertaawwudz, serta âmîn (membaca âmîn), membaca surat, tasyahhud awal, dzikir-zikir yang dibaca di setiap rukun dan membanyakkan doa untuk kebajikan dunia dan akhirat, baik dengan lafazh yang diterima dari Rasul, maupun bukan (di dalam sujud dan di tempat-tempat yang dibenarkan kita berdoa dalam shalat).

Kesimpulan berkenaan adanya rukun, syarat dan fardhu shalat

Jalan yang lempang adalah dengan cara menyempurnakan shalat kita, sama seperti cara shalat Rasul, sekurang-kurangnya dengan serendah-rendah sifat shalat Rasul, dengan tidak memperdulikan apakah pekerjaan itu, fardhu, sunnat ataukah rukun.

Gunanya kita mengetahui perbedaan antara rukun, fardhu dan syarat adalah sekedar untuk mengetahui status dari masing-masing perbuatan dan perkataan itu, apabila sewaktu-waktu timbul permasalahan yang memerlukan kita berpedoman kepadanya. Banyak benar di antara orang yang shalat yang mempergunakan pengetahuan mengenai rukun, fardhu dan syarat, untuk mengetahui mana yang tidak dapat dikerjakan dan mana yang boleh tidak dikerjakan. Sesudah mereka mengetahui yang demikian, merekapun men-cukupkan perbuatannya dengan yang apa dinamakan rukun atau fardhu saja.

Perhatikan hadits hadits yang menerangkan cara shalat Rasul dengan sebaik-baiknya. Adakah para sahabat memperkatakan: ini fardhu, ini sunnat ab'adh, ini sun- nat hai'ah. Mereka menerangkan: begini saya lihat Rasullullah shalat, begini saya dengar Rasullullah membaca.

Karena itu, kuranglah terjadi perselisihan di antara para sahabat. Kemudian, setelah umat Islam diombang-ambingkan oleh perpecahan paham, barulah terdapat berbagai rupa (ragam) cara shalat, dan timbullah dalam masyarakat umat shalat secara orang Syafi'y, shalat secara orang Hambali, shalat secara orang Maliki, dan shalat secara orang Hanafi. Kita umat Islam, haruslah melaksanakan shalat sesuai dengan cara yang dilakukan oleh Nabi saw.

Para imam besar itu, kita jadikan perantara antara kita dengan Rasul, bukan orang yang berhak menciptakan sesuatu rupa ibadah yang tidak disyariatkan oleh Rasul sendiri. Karena itu, apabila nyata kepada kita sunnah Rasul dengan sanad yang shahih, hendaklah kita mengambilnya dan tinggalkan perbuatan yang telah kita lazini yang kita warisi dari lingkungan masyarakat kita.

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy  Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-1 Bab Sifat-sifat Shalat Nabi Masalah Dzikir-Dzikir Sesudah Salam, Ucapan-Ucapan Lain Dan Mengeraskan Dzikir