Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Shalat Dengan Membalutkan Kain Di Badan Sehingga Tidak Dapat Mengeluarkan Tangan

Shalat Dengan Membalutkan Kain Di Badan Sehingga Tidak Dapat Mengeluarkan Tangan

SHALAT DENGAN MEMBALUTKAN KAIN DI BADAN SEHINGGA TIDAK DAPAT MENGELUARKAN TANGAN

473) Abu Hurairah ra, menerangkan:

 نَهَى رَسُولُ اللهِ ﷺ أَنْ يَحْتَبِيَ الرَّجُلُ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى فَرْجِهِ شَيْءٌ وَإِنْ يَشْتَمِلَ الصَّمَاءَ بِالثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى أَحَدٍ شَقِّيهِ يَعْنِي مِنْهُ شَيْءٌ

"Rasulullah saw. mencegah orang ber-ihtiba' dengan sehelai kain, tidak ada sedikit pun kain atas kemaluannya, dan mencegah berselimut secara shamma dengan sehelai kain, tidak ada sedikit pun kain atas salah satu lambungnya." (HR. Ahmad, Al-Bukhary dan Muslim, Al-Muntaqa 1: 272) 

SYARAH HADITS

Hadits (473), menyatakan bahwa kita dilarang duduk ber-ihtiba dalam sehelai kain.

Ihtiba' ialah duduk berpangku lutut. Duduk yang demikian dicegah, jika hanya memakai sehelai atau selapis kain, karena dikhawatirkan auratnya terlihat. Cara duduk ini disukai oleh orang Arab, mereka namakan habwah. Kain tersebut mereka balutkan ke badan sesudah mereka berpangku lutut. Hadits ini juga mencegah kita membalut tubuh secara shamma dengan sehelai kain. Shamma, menurut makna ahli bahasa, membungkus badan dengan sehelai kain, tidak ada bagian kain yang bisa diangkat dan tidak ada ruang yang longgar untuk mengeluarkan tangan (seperti pembungkus orang mati).

Ibnu Qutaibah mengatakan, "Cara ini dinamakan dengan shamma, karena menyumbat semua lubang, tidak dapat mengeluarkan tangan." Menurut pendapat fuqaha, shamma ialah berselimut dengan sehelai kain dan mengangkat salah satu ujungnya sehingga terbuka pada bagian kemaluan.

An-Nawawy mengatakan, "Membalut badan secara shamma atas pengertian ahli bahasa, makruh hukumnya, karena sangat sukar mengeluarkan tangan, dan menjadi mudharat. Atas dasar pengertian fuqaha, haram hukumnya, karena aurat menjadi terbuka."

Ibnu Qudamah mengatakan, "Tafsir dari kata shamma yang harus dipakai, adalah tafsir fuqaha yang natijahnya tidak sah shalat seseorang yang berpakaian dengan cara demikian dan larangan yang dimaksud oleh hadits ini adalah haram."

Menurut pendapat Asy-Syaukani: "Dimaksud dengan shamma di sini, makna yang dikehendaki ahli bahasa." Hadits ini menyatakan keharaman berpakaian dengan cara tersebut.

Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Hurairah ujarnya: "Nabi mencegah seseorang ihtiba dalam sehelai kain dengan tidak ada sedikit juga kain itu pada kemaluannya. Mencegah membalut badan dengan kain ketika shalat dengan tidak mengangkat ujung kain ke bahu." Makna yang diberikan oleh fuqaha, disaksikan benarnya oleh hadits Yunus yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary, bunyinya: "Nabi mencegah dua rupa cara berpakaian. Pertama, cara shamma, yaitu menjadikan kain atas salah satu pundak dan terbuka sebelah lambungnya. Kedua, duduk berpangku lutut dengan sehelai kain, dengan tidak ada sedikit kain pada kemaluannya." Cara berpakaian ini, tidak ada dalam masyarakat kita di sini, maka kita tidak membahasnya lebih jauh.

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Bab Aurat dan Hukum Menutupinya di Dalam dan Luar Shalat Dalam Buku Koleksi Hadits-Hadits Hukum Jilid-1