Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HUKUM MENUTUP AURAT DI DALAM SHALAT

HUKUM MENUTUP AURAT DI DALAM SHALAT

AURAT DAN HUKUM MENUTUPINYA

50) Muawiyah ibn Haidah Al-Qusyairi berkata:

قُلْتُ: يَارَسُوْلَ الله عَوْرَاتُنَا مَانَأْتِي مِنْهَا وَمَا نَذَرُ، قَالَ: احْفَظْ عَوْرَاتَكَ اِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ، قُلْتُ: فَإِذَا كَانَ الْقَوْمُ بَعْضُهُمْ فِي بَعْضِ. قَالَ: إِن سَتَطَعْتَ أَنْ لَا يَرَاهَا أَحَدٌ فَلَا يَرَيَنَّهَا، قُلْتُ: فَإِذَا كَانَ أَحَدُنَا خَالِياً، قَالَ: فَإِنَّ اللَّهَ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ

"Aku berkata: Ya Rasulullah saw., manakah kiranya aurat kami yang harus kami tutup dan manakah aurat yang tidak harus kami tutup? Nabi saw. menjawab: Peliharalah auratmu, kecuali terhadap isteri-isterimu dan budak-budak belian-mu. Aku bertanya lagi: Bagaimana apabila kami berada sesama kami. Jawab Nabi: Jika kamu sanggup menutupinya, janganlah kamu dilihat oleh seseorang. Aku bertanya pula: Apabila kami berada di tempat-tempat yang sunyi? Jawab Nabi saw.: Allah yang Mahatinggi dan lebih layak kita malu kepada-Nya." (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Turmudzy dan Ibnu Majah, Al-Muntaqa 1: 266)

51) Ibnu Umar ra, berkata:

قَالَ رَسُولُ الله : اِيَّاكُمْ وَالتَّعَرِّ فَإِنَّ مَعَكُمْ مَنْ لَمْ يُفَارِقُكُمْ إِلَّا عِنْدَ الْغَائِطِ وَحِيْنَ يَقْضِيَ الرَّجُلُ إِلَى أَهْلِهِ فَاسْتَحْيُوْ هُمْ وَأَكْرِمُوْهُمْ

"Bersabda Rasulullah saw.: Janganlah kamu telanjang, karena besertamu ada orang yang tidak berpisah-pisah dengan kamu selain ketika kamu membuang air dan menyetubuhi istri. Karena itu, hendaklah kamu malu kepadanya dan hendaklah kamu memuliakannya." (HR. At-Turmudzy, Nailul Authar 2: 47-48)

452) Al-Miswar ibn Makhramah ra. berkata:

اَقْبَلْتُ بِحَجَرٍ ثَقِبْلِ أَحْمِلُهُ وَعَلَيَّ إِزَارٌ حَفِيفٌ فَانْحَلَّ إِزارِي وَمَعِي الْحَجَرُ لَمْ أَسْتَطِعْ أَنْ اَمْنَعَهُ حَتَّى بَلَغْتُ بِهِ إِلَى مَوْضِعِهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: ارْجِعْ إِلَى إِزَارِكَ فَخُذْهُ وَلَا تَمْشُوْ عُرَاةً

"Saya datang membawa batu yang berat, dengan memakai sarung yang ringan. Karena itu, sarung saya pun terlepas, padahal aku lagi membawa batu, sehingga aku tidak dapat menghalagi kain itu jatuh hingga aku sampai membawanya ke tempat Nabi. Maka Rasul saw. bersabda: Kembali, ambil kainmu, jangan kamu berjalan telanjang." (HR. Muslim, Al-Muhalla 3: 310)

SYARAH HADITS

Hadits (450), diterima dari Bahaz ibn Hakim yang menerima dari ayahnya (Hakim) dari ayahnya Muawiyah ibn Haidah Al-Asqalani dalam Fathul Bari mengatakan, "Hadits ini diriwayatkan oleh pengarang kitab Sunan dan lainnya dari beberapa jalan dari Bahaz." At-Turmudzy mengatakan, "Hadits ini hasan." Al-Hakim mengatakan, "Hadits ini shahih." pengarang Tahdzibus Sunan mengatakan, "Al-Hakim pernah mene- gaskan, bahwa semua ahli hadits memandang hadits ini shahih." Ahmad dan 'Ali Ibnu Madini menshahihkannya.

Hadits ini menyatakan, menutup aurat dari penglihatan orang lain adalah wajib, kecuali terhadap isteri dan budak-budak belian kita sendiri. Yang boleh melihat aurat kita, hanyalah isteri dan budak-budak kita, baik laki-laki sesama laki-laki, maupun perempuan sesama perempuan. Bahkan hadits ini tidak mem- perbolehkan kita telanjang dalamn khilwat (menyendiri).

Hadits (451), menyatakan bahwa telanjang baik di muka orang maupun ketika sendiri di tempat yang sunyi tidak diperbolehkan.

Hadits (452), menyatakan bahwa menutupi aurat adalah sesuatu yang wajib, baik di dalam maupun di luar shalat.

Ahlul Lughah mengatakan, "Yang dinamakan aurat ialah, karena mengingat kepada kekejian memperlihatkannya dan karena mata memejamkan diri dari melihatnya." Aurat itu diambil dari kata aur yang bermakna kekurangan, kejelekan biji mata atau keaiban.

Mengenai menutup aurat, fuqaha berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat, bahwa menutupi aurat hukumnya sunnah, bukan wajib. Jumhur ulama mewajibkan.

Ibnu Qudamah mengatakan, "Menutup aurat dengan kain, hingga tidak dapat dilihat orang yang dapat menutupkan sifat kulit, adalah wajib dan menjadi syarat sah shalat." Demikian pendapat Asy-Syafi'y dam Abu Hanifah serta pengikut-pengikutnya.

Sebagian sahabat Malik mengatakan, "Menutup aurat adalah wajib, tetapi bukan syarat sah shalat." Sebagian ulama Malikiyah mengatakan, "Menutup aurat dijadikan syarat sah shalat, jika teringat. Tidak menjadi syarat, jika terlupa. Mereka berhujjah bahwa menutup aurat bukan syarat sah shalat adalah bahwa kewajiban menutup aurat, tidak tertentu dengan shalat saja." Tidak sah menutup aurat dengan kain yang dapat terlihat warna kulitnya. Tetapi sah dengan pakaian yang sangat sopan yang memperlihatkan bentuk badan.

Ibnu Abdil Barr mengatakan, "Orang yang berpendapat, bahwa menutup aurat merupakan pekerjaan yang difardhukan untuk shalat adalah berlandaskan ijma' ulama. Yang membatalkan adalah shalat dengan telanjang, padahal ada kain, atau ia sanggup menutupinya."

An-Nawawy mengatakan, "Menurut madzhab kami dan Daud, menutup aurat adalah syarat sah shalat." Abu Hanifah mengatakan, "Jika aurat kelihatan sekedar seperempatnya saja tidak membatalkan shalat, selebihnya membatalkan. Kalau kemaluan terlihat sedikit, maka shalatnya batal. Menurut pendapat Abu Yusuf, "Jika kelihatan lebih separuh aurat, maka baru dikatakan batal." Ahmad mengatakan, "Kalau kelihatan sedikit, baik aurat mughalladzah (qubul dan dubur). maupun aurat mukhaffafah (paha), tidak batal. Madzhab kami tidak boleh sedikit pun terlihat aurat tersebut."

Asy-Syaukani mengatakan, "Semua keterangan yang berhubungan dengan aurat, adalah yang mewajibkan kita untuk menutupnya. Tetapi, tidak ada keterangan untuk menjadikannya syarat sah shalat. Tegasnya, menutup aurat, adalah pekerjaan yang diwajibkan, bukan syarat sah shalat."

Shiddiq Hasan Khan mengatakan, "banyak benar hadits yang menyuruh kita menutup aurat. Akan tetapi, tidak ada satu pun yang dapat dipahami daripadanya, bahwa menutup aurat adalah syarat sah shalat."

Hadits-hadits di atas jelas mewajibkan untuk menutupi aurat. Dapat dipahami daripadanya, bahwa menutupi aurat menjadi syarat sah shalat adalah tidak ada satu pun. Mengenai orang yang membatalkan shalat adalah orang yang terbuka sedikit auratnya, perlu memperlihatkan dalil.

Lahir hadits ini mewajibkan kita menutup aurat dalamm khihwat. Al-Bukhary ber- pendapat, bahwa dalam khilwat kita boleh telanjang. Beliau berhujjah dengan kisah Musa dan Ayyub yang pernah mandi dalam khilwat dengan telanjang. Apabila kita kumpulkan hadits-hadits yang memperbolehkan, dengan hadits-hadits yang sedang kita ulas diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

Larangan telanjang dalam khilwat, adalah larangan makruh, bukan larangan haram. Yakni yang utama jangan kita telanjang, walaupun dalam khilwat. Kesan yang diperoleh dari kisah Musa dan Ayyub, bahwa telanjang dalam khilwat adalah boleh, bukan haram. Tegasnya, hadits-hadits di atas menolak pendapat yang hanya menyunatkan kita menutup aurat. 

Hadits tersebut justru menetapkan, bahwa menutupi aurat, adalah wajib dalam semua tempat, kecuali ketika melepaskan hajat, bersetubuh dan dalam waktu-waktu yang dibolehkan, seperti dalam khilwat. Hukum membuka aurat untuk dilihat dokter, saksi, dan hakim diperdebatkan hukumnya oleh ulama. Menurut pentahqiqan, boleh membuka aurat, atau diperlihatkan dan dilihat bila ada kemaslahatan yang menghendaki.

Hadits-hadits tersebut menyatakan bahwa menutup aurat adalah wajib baik dalam shalat maupun tidak. Barangsiapa membuka aurat, maka ia berdosa. Apakah menutup aurat menjadi syarat sah shalat, atau tidak? Masalah ini diperdebatkan. Sebagian ahli ilmu menetapkan, bahwa tertutup aurat bukan syarat sah shalat. Yakni, apabila seseorang shalat dengan terbuka sebagian auratnya, dia menyadari yang demikian, tetapi ia tidak menutupinya, padahal ada kesanggupan menutup, maka ia berdosa, sedang shalatnya sah. Ia berdosa karena meninggalkan suatu kewajiban.

Sesungguhnya tidak ada keterangan dari sunnah yang menyatakan, bahwa shalat tidak sah tanpa menutup aurat. Keterangan-keterangan yang diperoleh dari bab ini hanya menyatakan wajibnya menutup aurat. Antara wajib menutup aurat dengan menjadikannya sebagai syarat sah shalat, terdapat perbedaan yang besar. Suatu pekerjaan yang dijadikan sebab tidak diterima sesuatu pekerjaan adalah yang menjadi syarat sah pekerjaan. Suatu pekerjaan yang hanya diwajibkan saja, maka selamanya hukumnya wajib. Ia tidak menjadi syarat sah sesuatu yang lain. Kita berpendapat, bahwa wudhu (suci dari hadats) adalah syarat sah shalat, karena Nabi mengatakan dengan tegas, "Tidak diterima shalatmu apabila kamu telah berhadats, sehingga berwudhu lagi." (HR. Al-Bukhary Muslim dari Abu Hurairah).

Jika masalah ini kita bahas berdasarkan kaidah-kaidah ushul, maka pendapat Asy-Syaukani yang dikuatkan oleh Shiddiq Hasan Khan, itulah yang benar. Umumnya kita menyangka, bahwa bersih badan, pakaian, tempat dari najis, dan menutup aurat adalah syarat sah shalat yang disepakati mayoritas ulama semua madzhab. Hakikat masalah tidak seperti yang disangkakan.

Asy-Syaukani dan Abu Asybal mengatakan, "Ayat dan hadits semuanya me- nunjukkan terhadap wajib suci dari najasah dalam shalat. Akan tetapi, apakah suci dari najasah adalah syarat sah shalat?" Tidak ada keterangan yang menyatakan, bahwa suci dari najis adalah syarat sah shalat. Seluruh dalil yang diperoleh dalam bab ini menyatakan sah shalat bagi orang yang di badannya terdapat najis.

Asy-Syaukani mengatakan, "Sebagian ulama menetapkan bahwa suci dari najis, menjadi syarat sah shalat, dan sebagiannya menetapkan sunnah saja. Sebenarnya bersuci dari najis adalah tugas yang diwajibkan, bukan syarat sah yang lain Barangsiapa shalat dalam keadaan najis adalah berdosa, karena mencederai kewajiban, tetapi shalatnya sah."

Menurut kaidah ushul, "Yang dikatakan syarat ialah yang ketiadaannya memberi bekas bagi ketiadaan masyruth-nya. Jadi, tidak ada suatu keterangan yang me nyatakan bahwa ketiadaan suci menghilangkan sah shalat.

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-1 Bab Aurat dan Hukum Menutupinya di Dalam dan Luar Shalat