Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

AURAT PEREMPUAN DI DALAM DAN LUAR SHALAT

AURAT PEREMPUAN DAN BUDAK PEREMPUAN DI DALAM DAN LUAR SHALATAURAT PEREMPUAN DAN BUDAK PEREMPUAN DI DALAM DAN LUAR SHALAT

463) Aisyah ra menerangkan

ٍاِنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَار

"Bahwasanya Nabi saw bersabda: Allah tiada menerima shalat orang perempuan yang telah sampai umur, melainkan dengan berkhimar (tertutup kepala dan leher)." (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Turmudzy dan Ibnu Majah, Al-Muntaqa 1: 273)

464) Ummu Salamah ra, berkata:

 سَأَلْتُ النَّبِيَّ: أَتُصَلِّى الْمَرْأَةُ في دَرْعٍ وَخٍمَارٍٍ ولَيْسَ عَلَيْهَا إِزَارٌ ؟ قَالَ: إِذَا كَانَ الدَّرْعَ سائِغًا يُغَطِّي ظُهُوْرَ قَدَمَيْهَا

"Aku telah bertanya kepada Nabi saw. Apakah boleh seorang perempuan shalat dengan hanya memakai baju kurung yang dapat menutupi badan dan kakinya serta memakai khimar dengan tidak lagi memakai kain pinggang? Nabi saw. men- jawab: Sekiranya baju kurung itu panjang dari atas sampai bawah bisa menutupi belakang tapak kaki, tentulah boleh." (HR. Abu Daud, Al-Muntaqa 1: 273)

465) Ibnu Umar ra. berkata:

قَالَ رَسُولُ الله مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: فَكَيْفَ تَصْنَعُ النِّسَاءَ بِضُيُوْلِهِنَّ ؟ قَالَ: يُرْحِيْنَ شِبْرًا، فَقَالَتْ: إِذَنْ تَنْكَشِفَ أَقْدَامُهُنَّ، قَالَ: فَيُرْخِيْنَهُ ذِرَاعًا لَا يَزِدْنَ عَلَيْهِ
"Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa menghela kainnya dengan perasaan angkuh, niscaya Allah tidak melihatnya di hari kiamat. Ummu Salamah bertanya: Bagaimana harus diperbuat oleh perempuan dengan ujung-ujung bajunya. Nabi bersabda: Mereka turunkan ujung bajunya barang sejengkal (dilebihkan panjangnya dari batas kaki barang sejengkal saja). Berkata Ummu Salamah: Kalau hanya sedemikian, bisa kelihatan kakinya ketika berjalan. Nabi menjawab: Mereka turunkan kadar sehasta, jangan dilebihkan lagi dari itu." (HR. An-Nasa'y dan At- Turmudzy, Al-Muntaqa 1: 274)

SYARAH HADITS

Hadits (463), At-Turmudzy mengatakan, "Hadits ini hasan." Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Al-Hakim mengatakan, "Hadits ini sebenarnya maap" Muhammad Al-Faqqi mengatakan, "Hadits ini walaupun ahli hadits tidak menshahihkan marfu-nya, namun ia mempunyai hukum marfu. Karena, dalam hal ini, 'Aisyah tidak mungkin berpendapat demikian, kalau tidak diperoleh keterangan dari Nabi sendiri." 

Hadits ini menyatakan, bahwa perempuan wajib menutupi kepala dan lehemya di kala shalat. Tegasnya menyatakan, bahwa kepala dan leher bagi para perempuan harus tertutup adalah syarat sah shalat.

Hadits (464). Imam-imam hadits menetapkan, bahwa hadits ini mauquf. Akan tetapi hukumnya harus marfu menurut makna, karena hal serupa, bukan hal yang dapat dipikir atau diijtihadi oleh seorang sahabat. Ummu Salamah tidak akan menegaskan demikian kalau tidak menerima ketetapan Nabi sendiri. Hadits ini menyatakan, bahwa para perempuan wajib menutupi semua badannya, hingga belakang kakinya. Jelasnya, hadits ini menyatakan, bahwa dua kaki itu aurat juga.

Hadits (465), At-Turmudzy mengatakan, "Hadits ini shahih." Al-Baihaqi juga meriwayatkan hadits ini dari jalan Abu Abdillah Al-Hafizh dan Abu Hasan Al- Muqri. At-Turmudzy mengatakan, "Jalan itu hasan shahih." Hadits ini menegaskan, bahwa para perempuan wajib menutupi kakinya dan menyatakan pula bahwa para perempuan boleh memanjangkan ujung bajunya sehasta lebih dari kadar kaki, supaya tertutup benar-benar kakinya ketika berjalan.

At-Turmudzy mengatakan, "Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seorang perempuan yang telah sampai umur, wajib menutup rambutnya ketika shalat. Kalau terbuka sedikit rambutnya, maka tidak sah shalatnya." Al-Khaththaby menga- takan, "Telah berbeda pendapat ulama tentang kadar yang wajib ditutup oleh perempuan merdeka ketika shalat."

Asy-Syafi'iyah dan Al-Auza-y mengatakan, "Wajib ditutup semua badannya selain dari muka dan telapak tangannya. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas dan Atha'." Abu Bakar ibn Abdirrahman mengatakan, "Seluruh badan perempuan adalah aurat dan wajib ditutupi." Malik ibn Anas mengatakan, "Apabila seorang perempuan shalat dengan terbuka atau belakang telapaknya, hendaklah diulangi shalatnya itu kalau masih ada waktu."

Ahmad ibn Hanbal mengatakan, "Seluruh badan perempuan, kukunya wajib ditutupi dalam shalat." Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya mengatakan, "Apabila perempuan shalat padahal seperempat atau sepertiga rambut kepalanya terbuka (kelihatan), ataupun seperempat atau sepertiga bagian perutnya tampak, maka nilai shalatnya kurang, tetapi shalatnya tetap sah. Kalau bagian rambut atau perut yang terbuka kurang dari yang disebutkan di atas, maka nilai shalatnya tidak kurang sedikitpun."

Al-Hafizh dalam Fathul Bari mengatakan, "Jumhur berpendapat, bahwa me- nutupi aurat perempuan adalah menjadi syarat sah shalatnya. Sebagian ulama Malikiyah membedakan antara orang yang teringat dengan orang yang lupa.

Sebagian orang Malikiyah berpendapat, bahwa menutupi aurat, sunnat, shalat tidak batal dengan terbukanya aurat. Asy-Syaukani mengatakan, "Jumhur berdalil dengan firman Allah: "Ambillah (pakailah) hiasanmu pada tiap-tiap shalat" dan dengan hadits 'Aisyah (454).

Semua keterangan yang berhubungan dengan masalah aurat, menyatakan bahwa menutup aurat adalah wajib, tidak ada yang mengatakan bahwa menutup aurat menjadi syarat shalat. Mengambil dalil untuk mensyaratkan sah shalat kaum perempuan dengan hadits 'Aisyah dapat ditangkis dengan beberapa jalan. Nabi mengatakan, bahwa Tuhan tidak menerima shalat budak yang lari dan tidak me- nerima shalat orang yang ada arak di dalam perutnya dan Tuhan tidak menerima shalat orang yang mendatangi tukang tenung. Namun demikian ijma' menetapkan bahwa shalat yang dilakukan orang-orang tersebut sah. Ada beberapa hadits yang menyatakan, bahwa terbuka aurat di dalam shalat tidak membatalkan shalat. Ring- kasnya, paling jauh hadits 'Aisyah itu dapat dipakai jika bantahan-bantahan ini dikesampingkan untuk mensyaratkan sah shalat perempuan saja dengan tertutup auratnya. Menyamakan orang laki-laki dengan perempuan, tidak ada dalilnya. Maka yang hak dalam masalah ini hanyalah pendapat yang menetapkan, bahwa menu- tup aurat adalah kewajiban, bukan suatu syarat.

Golongan yang mensyaratkan sahnya shalat dengan tertutup auratnya, berbeda pendapat tentang hukum terbuka aurat dalam shalat. Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat, jika terbuka sedikit aurat di dalam shalat, tidak menjadikan shalat batal. Abu Hanifah mengatakan, bahwa jika aurat mughalazhah terbuka sekadar satu dirham, atau aurat mukhaffafah terbuka kurang dari seperempat aurat, maka ini tidak membatalkan shalat.

Ahmad berpegang kepada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan hadits 'Ashim Al-Ahwal yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan An-Nasa'y. Hadits-hadits itu memperbolehkan aurat terbuka sedikit dalam shalat. Ahmad tidak membenarkan batasan yang dibuat oleh Abu Hanifah, karena tidak ada keterangan. Ahmad hanya membedakan antara besar dan kecil. Menetapkan besar kecilnya terserah kepada urf (kebiasaan).

At-Tamimi mengatakan, "Jika auratnya bila terkadang terbuka dan terkadang tertutup, shalat tidak usah diulangi lagi." Asy-Syafi'iyah berpendapat shalat batal walaupun yang terbukanya sedikit. Jika aurat terbuka dengan tidak disengaja dan terus ditutup dengan cepat, maka menurut pendapat Ahmad, tidak membatalkan shalat.

Batas aurat perempuan

Abu Hanifah dalam suatu riwayat, Asy-Syafi'iyah dalam suatu riwayatnya, Malik, Al-Hadi dan Al-Qasim dalam salah suatu pendapatnya, menetapkan bahwa aurat perempuan adalah seluruh badannya selain muka dan telapak tangannya.

Menurut pendapat Abu Hanifah dalam suatu riwayat yang lain, Ats-Tsauri dan Abu Abbas, kaki dan tempat gelang bukan aurat. Ahmad dan Daud berpendapat, bahwa aurat perempuan, adalah seluruh badan- mya selain muka. Sebagian pengikut Asy-Syafi'iyah berpendapat, seluruh badan perempuan aurat, tidak ada yang dikecualikan.

An-Nawawy mengatakan, "Aurat perempuan merdeka adalah seluruh badannya, selain muka dan dua telapak tangan." Madzhab Malik menetapkan aurat perempuan adalah seluruh badannya, selain muka dan kedua telapak tangan, demikian pula pendapat Al-Auza'y dan Abu Tsaur. Abu Hanifah dan Al-Muzani, berpendapat, bahwa kedua tapak kaki juga aurat. Menurut pendapat Ahmad, dalam riwayat lain, aurat perempuan adalah seluruh badannya, selain muka saja. Menurut hikayat Al-Mawardi, Al-Mutawalli dan Abu Bakar ibn Abdirrahman Al- Qari, bahwa aurat perempuan adalah seluruh badannya."

Aurat budak perempuan dan perempuan merdeka

Jumhur Ulama berpendapat, bahwa aurat perempuan budak disamakan dengan aurat laki-laki, dari pusar hingga lutut. Di antara yang berpendapat aurat budak perempuan sama dengan aurat laki-laki ialah Malik, Asy-Syafi'y dan Ahmad Ibnu Sirin mengatakan, "Ummul Walad (budak perempuan yang di- jadikan ibu anak oleh tuannya), lazim menutupi kepalanya."

Abu Hanifah juga berpendapat, bahwa hal yang serupa dengan paham Asy- Syafi'y. Menurut penjelasan Ibnu Abdil Barr dalam Al-Istidzkar. "Aurat budak perempuan sama dengan aurat perempuan merdeka selain dari rambutnya. Karena itu, budak-budak perempuan Hijaz kepalanya terbuka."

Al-Imam Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla mengatakan, "Membedakan aurat perempuan merdeka dengan perempuan budak, berarti membelah agama; pada- hal agama Allah adalah satu. Kejadian perempuan dan tabiatnya, baik merdeka ataupun budak adalah sama. Sama saja budak dengan yang bukan budak. Jika dikatakan, bahwa yang dikehendaki oleh firman Allah: "Jangan mereka memper- lihatkan hiasan-hiasan mereka, melainkan kepada suami-suaminya dan ayah-ayah- nya ialah perempuan-perempuan yang merdeka saja, kami menjawab: "Perkataan itu adalah dusta yang tidak dapat diragukan lagi, karena lafazh Ba'al (yang terdapat dalam ayat itu), diartikan tuan atau suami. Juga budak-budak perempuan, bersuami, beranak, mempunyai bapak kecil dan sebagainya, sebagaimana perempuan merdeka.

Sebagian mengatakan, Allah mempunyai maksud dengan firman-Nya: "Kaum perempuan (menyelimuti badannya) dengan jilbab (kain besar yang menutup badan), supaya mereka mudah dikenali dan tidak diganggu," ialah karena orang-orang jahat pada zaman dahulu, suka mengganggu kaum perempuan di tengah- tengah jalan. Allah menyuruh mereka memakai jilbab membalut seluruh badan nya supaya orang-orang jahat tersebut mengetahui, bahwa perempuan ini adalah merdeka, tidak boleh diganggu.

Ibnu Hazm mengatakan, "Kami melepaskan diri dari tafsir yang salah ini. Karena jika tafsir dibenarkan, berarti Allah memperbolehkan orang jahat (hidung belang) mengganggu budak belian. Padahal zina tetap diharamkan bagi semua laki-laki dan perempuan. Maka kesimpulannya, aurat perempuan budak dan perempuan merdeka adalah sama dan tidak berbeda."

Hadits 'Aisyah boleh dijadikan alasan untuk mensyaratkan sahnya shalat perempuan dengan tertutup auratnya, jika dianggap bahwa Tuhan menolak suatu amal karena tidak ada sesuatu pekerjaan, berarti mensyaratkan pekerjaan itu. Hadits 'Aisyah ini menyamakan aurat perempuan yang tidak merdeka dengan perempuan yang merdeka. Hadits ini menegaskan, bahwa Tuhan tidak menerima shalat seorang perempuan yang telah haid, kalau tidak berkerudung. Haid itu tidak saja berlaku pada perempuan merdeka, tetapi juga berlaku pada perempuan budak. Tangan tidak termasuk aurat, karena beberapa hadits shahih yang menegaskan, bahwa tangan itu bukan aurat.

Di bawah ini, kami uraikan sedikit tentang cara menutup diri di luar shalat bagii perempuan.

Di dalam surat An-Nur dan surat Al-Ahzab, Allah swt. berfirman: "Katakan- lah kepada semua orang-orang mukmin laki-laki, supaya mereka memejamkan matanya dan memelihara kemaluan mereka. Itu, lebih suci dan lebih berguna bagi mereka, bahwasanya Allah sangat mengetahui semua apa yang mereka kerjakan. Katakanlah kepada para Mukminat, supaya mereka memejamkan matanya dan memelihara kemaluannya dan jangan memperlihatkan zinah-nya (hiasannya), melainkan sekedar yang nyata daripadanya. Hendaklah mereka menurunkan kain kudung atas dada-dada mereka. Janganlah mereka memperlihatkan hiasannya, melainkan kepada suami atau tuannya, atau ayah-ayahnya, atau ayah-ayah suaminya, atau anak-anaknya, atau anak-anak suaminya, atau saudara-saudaranya yang laki- laki, atau anak-anak laki-laki dari saudara-saudara perempuan, atau sesama pe- rempuan, atau budak beliannya, atau orang-orang yang telah amat tua, atau anak- anak yang belum mengetahui arti aurat perempuan. Jangan pula mereka meng- hentakkan kaki (ketika berjalan) supaya orang tidak mengetahui hiasan yang tersembunyi (Mendengar gerincing gelang kakinya). Bertobatlah kamu sekalian ke- pada Allah wahai orang-orang yang beriman, supaya kamu memperoleh ke- menangan." (QS. An-Nur [24]: 31, 32).

Ayat-ayat ini menerangkan tugas perempuan berkerudung dan menyem- bunyikan hiasan badan dari penglihatan, atau pandangan orang yang tidak di- bolehkan memandang aurat atau hiasannya.

Pada tahun kelima hijriyah, Allah memerintahkan isteri-isteri Nabi saw. me- letakkan hijab. Allah swt. berfirman: "Apabila kamu meminta (menanya) sesuatu kepada isteri-isteri Rasul, mintalah kepada mereka dari belakang hijab. Itu, lebih suci bagi ruhmu dan bagi ruh mereka." (QS. Al-Ahzab [33]:53).

Apakah yang dimaksud dengan hijab? Tirai, tabir, atau layar, yang dibentang-kan di tengah-tengah majlis sebelahnya laki-laki dan sebelahnya perempuan sebagainya yang dilazimkan sekarang? Ketahuilah, bahwa hijab ada tiga bentuk:

  • Hijab pertama, mahram. Yakni, tidak diperbolehkan seorang laki-laki duduk di tempat yang terasing dengan seorang perempuan, melainkan ada yang beserta mereka, mahram (ialah orang yang tidak boleh mengawininya). Tegasnya, jika tidak ada di dalam rumah, atau kamar seorang mahram bagi perempuan, terlaranglah kita menemuinya atau duduk berbicara dengan dia. Jika kita perlu bertanya atau meminta sesuatu kepadanya, hendaklah kita berdiri di luar rumah atau kamar. Hijab yang dikehendaki ayat di atas ialah mahram, atau suatu penghalang antara perempuan dengan kita. Hal ini khusus ketika hendak berhadapan muka dengan seseorang di suatu tempat yang tidak terlihat pandangan umum. Sabda Nabi saw: "Janganlah seorang laki-laki berkhilwat dengan seorang perempuan (duduk berdua di tempat sepi), melainkan harus ada mahram (seorang kerabat) perempuan yang tidak boleh mengawini perempuan tersebut." (HR. Al-Bukhary). Hijab ini mengenai isteri-isteri Nabi dan lain-lainnya, walaupun lahimya hanya mengenai isteri-isteri Nabi saw. 
  • Hijab kedua, tertutup semua badan perempuan selain muka dan telapak tangan dan dua kaki. Allah swt. berfirman: "Wahai Nabi, perintahkanlah isterimu, anak-anakmu dan isteri-isteri, supaya menyelimuti badannya dengan jilbabnya (kain besar yang menutupi badan dan hiasan badan)." (QS. Al-Ahzab [33]: 59). Firman Allah swt: "Janganlah mereka memperlihatkan hiasannya, melainkan yang lahir saja; dan hendaklah mereka turunkan kudungnya atas dadanya." (QS. An-Nur [24]: 30).
Dalam surat Al-Ahzab, Allah memerintahkan perempuan menutup dirinya dengan jilbab, supaya tertutup bagian badannya yang tidak dapat ditutupi oleh bajunya, dan supaya tertutup bentuk dadanya sebab-sebab yang demikian, tidak pantas kelihatan.

Sebenarnya, yang dimaksud dengan menutup aurat, ialah menutupi anggota dengan cara menghilangkan perhatian orang yang melihatnya. Apabila seseorang perempuan melekatkan di badannya baju kebayanya, padahal terang benar bentuk payudaranya, berarti mereka tidak menutup aurat, karena kebayanya tidak menghilangkan ketertarikan atau perhatian manusia yang melihatnya.

Jilbab, ialah kain besar yang dipakai perempuan untuk menutupi baju dan sarungnya.

Dalam surat An-Nur, Allah mencegah perempuan memperlihatkan hiasannya dengan sengaja. Hiasan yang dimaksud, adalah melengkapi semua yang dimaksud menambah keindahan dan kecantikan, baik kalung, giwang, gelang, peniti dada, bahkan kain. Untuk menutupi ini di mata umum ketika berjalan di muka umum (tempat ramai), itulah sebabnya diperintahkan memakai jilbab ketika keluar dari rumah.

Mengingat hal ini, tidak layak bagi perempuan-perempuan Islam, setelah memakai kudung yang terbuat dari sutera tipis, dan memakai penjepit kudungnya sebuah rencong emas, atau tidak. Dengan demikian, berarti menutup kepala, memperlihatkan hiasan. Menutupi kepala diperintahkan. Menutup hiasan, diperintahkan. Menutupi bentuk badan dan hiasan-hiasan pun diperintahkan juga ketika pergi ke luar rumah.

TM. Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits-Hadits Hukum Jilid 1 Bab Aurat dan Hukum Menutupinya di Dalam dan Luar Shalat