Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Memelihara Shalat Dalam Waktu Ikhtiyar

 Tuntutan Memelihara Shalat Dalam Waktu IkhtiyarWaktu ikhtiar adalah istilah dalam agama Islam yang mengacu pada periode ketika seseorang telah melakukan segala usaha dan upaya maksimal dalam mencapai tujuan atau menghadapi suatu masalah, kemudian ia menyerahkan hasil dan akibatnya sepenuhnya kepada Allah SWT. Konsep ini didasarkan pada keyakinan bahwa manusia memiliki keterbatasan dan hanya Allah yang memiliki kendali penuh atas segala sesuatu.

Dalam konteks ini, waktu ikhtiar adalah saat di mana seseorang telah melakukan usaha terbaik yang mereka mampu, tetapi mereka menyadari bahwa hasil akhirnya tergantung sepenuhnya pada kehendak Allah SWT. Setelah melakukan ikhtiar, seseorang harus menerima apa pun yang menjadi keputusan Allah dan terus berdoa serta bertawakkal (mengandalkan diri sepenuhnya pada Allah) untuk mendapatkan hasil yang terbaik.

Dalam praktiknya, waktu ikhtiar dapat berbeda-beda tergantung pada situasi atau tujuan yang ingin dicapai. Misalnya, dalam pencarian pekerjaan, seseorang dapat meluangkan waktu untuk mencari lowongan, mengirimkan lamaran, dan mengikuti proses seleksi dengan tekun. Setelah itu, ketika semua upaya tersebut telah dilakukan, seseorang akan memasuki waktu ikhtiar, yaitu menerima bahwa keputusan akhir ada di tangan Allah dan memohon petunjuk-Nya.

Penting untuk dicatat bahwa waktu ikhtiar bukan berarti kita tidak melakukan tindakan atau tidak berusaha keras. Sebaliknya, ikhtiar adalah tentang melakukan yang terbaik yang kita bisa, tetapi juga mengakui bahwa hasil akhirnya adalah kehendak Allah. Dalam Islam, ikhtiar dan tawakkal saling berkaitan dan merupakan bagian penting dalam menjalani kehidupan sehari-hari dengan iman dan ketulusan.

Berikut ini berkenaan dengan hadits tentang Tuntutan Memelihara Shalat Dalam Waktu Ikhtiyar

360) Abu Dzar Al-Ghifari ra, berkata:

قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ : كَيْفَ أَنتَ إِذَا كَانَتْ عَلَيْكَ أُمَرَاء يُمِيتُونَ الصَّلَاةَ أَوْ قَالَ: يُؤَخِّرُوْنَ الصَّلاةَ عَنْ وَقْتِهَا؟ قُلْتُ: فَمَا تَأْمُرُني؟ قَالَ: صَلِّ الصَّلاةَ لِوَقْتِهَا، فَإِنْ أَدْرَكْتُهَا مَعَهُمْ فَصَلِّ فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ

"Rasulullah saw. bertanya kepadaku: Wahai Abu Dzar, apa yang kamu lakukan bila nanti para umara (pemerintah) mematikan shalat, atau menta'khirkan shalat dari waktunya? Maka saya menjawab: Bagaimana Anda perintahkan saya? Nabi menjawab: Kalau sudah demikian, shalatlah engkau di waktunya (awal waktu). Maka jika engkau menemukan shalat (di akhir waktu) beserta mereka, shalatlah lagi, menjadi sunnat bagimu." (HR. Ahmad, Muslim dan An-Nasa'y; Al-Muntaqa 1: 234)

361) Ubadah ibn Shamit ra. menerangkan:

   إِنَّ النَّبِيَّ قَالَ: سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ بَعْدى أُمَرَاءُ تُشْغِلُهُمْ أَشْيَاءُ عَنِ الصَّلاَةِ لِوَقْتِهَا حَتَّى يَذْهَبَ وَقْتُهَا فَصَلُّوا الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَصَلَّى مَعَهُمْ؟ قَالَ: نَعَمْ إِنْ شِئْتَ

"Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: Kelak akan timbul sesudahku, beberapa penguasa yang disibukkan oleh beberapa urusan dari mengerjakan shalat di waktunya (awal waktu) sehingga habis waktunya. Karena itu shalatlah di waktunya. Seorang bertanya: Apakah saya shalat lagi beserta mereka? Nabi menjawab: Ya, kalau engkau mau." (HR. Abu Daud; Al-Muntaqa 1: 235)

SYARAH HADITS

Hadits (360), dalam suatu riwayat terdapat suatu perkataan, "Jika kamu sudah shalat, didirikan shalat jamaah, sedang kamu masih dalam masjid, maka kerjakan- lah shalat lagi." Dalam suatu riwayat lagi terdapat perkataan, "Jika kamu mendapatkan shalat yang dikerjakan mereka (penguasa beserta jamaahnya), shalatlah lagi, jangan kamu mengatakan aku tidak shalat lagi karena telah shalat." Hadits ini menyata- kan bahwa kita disuruh mengerjakan shalat di awal waktu, bila para umara melam- batkannya, jangan menantikan mereka. Hadits ini menyuruh kita mengerjakan shalat itu lagi bila para penguasa melaksanakannya dengan berjamaah untuk mengokohkan persatuan umat. Juga menyatakan, bahwa shalat yang dikerjakan dua kali, yang pertama menjadi fardhu dan yang kedua menjadi sunnat.

Hadits (361), menurut pendapat pengarang Aunul Ma'bud, diterima dari anak isteri Ubadah. Al-Mundziri mengatakan, "Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah." Hadits ini menyatakan, bahwa para makmum disuruh mengerjakan shalat ketika di awal waktu, sendirian, apabila para imam melambatkan dan ke- mudian mengerjakan lagi beserta imam.

Mengenai hukum mengerjakan sendiri di awal waktu, kemudian berjamaah beserta imam (penguasa) terdapat perbedaan pendapat, sebagian ulama Syafi'iyah berpendapat, bahwa shalat yang diulangi tersebut yang selain Shubuh adalah Ashar dan Maghrib.

An-Nawawy mengatakan, "Pendapat ulama Syafi'iyah ini lemah." Abu Hanifah mengatakan, "Tidak boleh diulangi shalat Fajar, Ashar dan Maghrib." Abu Musa, Ats-Tsauri, Al-Auza'y mengatakan, "Yang tidak diulangi hanyalah Maghrib." Al-Hakim mengatakan, "Yang tidak diulangi, hanyalah Shubuh."

Dinukilkan dari Ibnu Umar oleh An-Nasa'y bahwa semua shalat diulangi selain Shubuh dan Maghrib. Asy-Syafi'y dan Ahmad mengatakan, "Semua shalat, di- ulangi. Syaratnya dia masih berada dalam masjid ketika diiqamatkan shalat untuk berjamaah, atau ia masuk ke masjid saat mereka shalat."

Ibnu Hazm mengatakan, "Barangsiapa shalat sendirian kemudian menda- patkan jamaah yang mengerjakan shalat itu juga, baik ia shalat sendirian karena udzur, atau di dalam jamaah disukai ia mengulangi lagi shalatnya, walaupun beberapa kali tiap-tiap ia mendapati jamaah. Adapun shalat Jum'at jika ia telah me гара ngerjakannya di rumah sendiri, maka sah shalatnya, tidak perlu ia pergi ke masjid jami'. Tetapi jika ia pergi ke masjid sedang imam masih dalam shalat, maka dianggap batal shalat Jum'at yang dikerjakan di awal waktu di rumahnya."

Ulama Mujtahidin berbeda pendapat tentang menetapkan manakah yang menjadi fardhu bagi orang yang mengerjakan dua kali? Yang pertama atau kedua yang dikerjakan beserta penguasa dengan jamaahnya. Abu Hanifah dan teman- temannya, Asy-Syafi'y dan Ahmad berpendapat, bahwa yang fardhu adalah yang pertama. Asy-Sya'bi menetapkan keduanya fardhu. Di antara ulama Syafi'iyah ada juga yang menetapkan demikian.

Sebagian ulama mengatakan, yang menjadi fardhu ialah yang lebih sempurna dikerjakan. Segolongan ulama Syafi'iyah mengatakan, yang menjadi fardhu salah satu dari keduanya, namun tidak dapat dipastikan yang mana. Masing-masing kelompok ini mengemukakan hujjahnya.

An-Nawawy mengatakan, "Yang dikehendaki dengan mematikan shalat, ialah menta'khirkannya. Dikehendaki dengan menta'khirkan dari waktunya, menta'khirkan dari waktunya yang mukhtar (waktu ikhtiyar), bukan menta'khirkan keluar waktunya sama sekali. Ini berarti meninggalkan, bukan lagi menta'khirkan." Hadits ini menyuruh kita mengulangi semua shalat, tidak tertentu dengan satu shalat, dan menegaskan, bahwa yang menjadi fardhu ialah yang pertama. Tegas hadits ini membuktikan suatu mukjizat Nabi. Nabi membayangkan sikap umara di belakangnya dan memang sudah terjadi demikian sejak masa Bani Umayah.

Menurut pendapat Ahmad, apabila shalat Maghrib diulang, hendaklah shalat itu digenapkan yakni dijadikan empat rakaat.

Apabila seseorang mengerjakan shalat sendirian di awal waktu dan meng- ulanginya dengan jamaah di akhir waktu, terkumpullah padanya dua keutamaan. Keutamaan awal dan keutamaan jamaah. Hadits ini menyatakan supaya kita menyertai para umara dalam segala perbuatan yang baik."

Referensi Berdasarkan Buku Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Bab Waktu-waktu Shalat Fardhu (Shalat Maktubah)