Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HUKUM MENINGGALKAN SHALAT DENGAN SENGAJA

MENINGGALKAN SHALAT DENGAN SENGAJA

MENINGGALKAN SHALAT DENGAN SENGAJA

300) 'Abdullah ibn 'Umar ra. berkata:

قَالَ النَّبِيُّ : مَنْ فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْعَصْرِ فَكَأَنَّمَا وُتِرَ أَهْلُهُ وَمَالُهُ.

"Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa sengaja melupakan (meninggalkan) shalat Ashar hingga keluar waktunya, seolah-olah dia memusnahkan keluarga dan hartanya." (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasa'y, At-Turmudzy dan Ibnu Majah; Al-Muhalla : 238)

301) Dhahak ibn Utsman menerangkan:

اِنَّ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ قَالَ فِي خُطْبَتِهِ بِالجَابِيَةِ: اَلَا، إِنَّ الصَّلاةَ لَهَا وَقْتٌ شَرَطَهُ اللهُ لا تَصْلُحُ إِلَّا بِهِ

"Bahwasanya 'Umar ibnul Khaththab berkata: Ketahuilah olehmu, sesungguhnya shalat mempunyai waktu yang telah ditetapkan Allah. Tidak dianggap baik (sah) shalat itu, melainkan di waktunya masing-masing." (HR. Ibnu Hazm; Syarah Al- Muhalla 2: 239)

302) Qatadah ra, menerangkan:

اِنَّ بْنَ مَسْعُودٍ كَانَ يَقُولُ: إِنَّ لِلصَّلاةِ وَقْتًا كَوَقْتِ الْحَجِّ، فَصَلُّوا الصَّلاةَ لِوَقْتِهَا

"Bahwasanya Ibnu Mas'ud ra berkata: Shalat mempunyai waktu, sebagaimana waktu haji. Karena itu, kerjakanlah di waktunya masing-masing." (HR. Ibnu Hazm; Syarah Al-Muhalla 2: 240)

303) Abdullah ibn 'Umar ra, berkata:

َلَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلاةَ لِوَقْتِهَا، فَصَلِّ ثُمَّ اقْرَأْ مَا بَدَلَك

"Tidak ada shalat bagi orang yang mengerjakan di luar waktunya. Shalatlah dahulu, sesudah itu, bacalah lagi Al-Qur'an seberapa kamu kehendaki." (HR. Ibnu Hazm; Al-Muhalla 2: 239)

304) Muhammad ibn Sirin menerangkan:

اِنَّ لِلصَّلَاةِ وَقْتًا وَاحِدًا، فَإِنَّ الَّذِيْ يُصَلِّ قَبْلَ الْوَقْتِ مِثْلُ الَّذِيْ يُصَلِّي بَعْدَ الْوَقْتِ

"Bahwasanya shalat mempunyai waktu dan batas-batasnya, karena demikian orang yang shalat sebelum waktunya, sama dengan orang yang shalat sesudah keluar waktunya." (HR. Ibnu Hazm; Al-Muhalla 2: 245) 

SYARAH HADITS

Hadits (300), dan hadits yang serupa dengannya juga diriwayatkan oleh Al- Bukhary dan An-Nasa'y dari jalan Abul Malih. Abul Malih berkata: "Cepat, atau bersegeralah mengerjakan shalat Ashar, jangan dilambat-lambatkan, karena aku mendengar Nabi saw bersabda: Barangsiapa meninggalkan shalat Ashar, gugur binasa lah amalanya." Hadits ini menyatakan, bahwa apabila seseorang tidak mengerjakan shalat Ashar di dalam waktunya, gugur binasalah segala amalannya (yakni segala kebaikan yang dilakukan pada hari itu).

Atsar (301), diberitakan oleh Ibnu Hazm. Atsar (302, 303, 304) diriwayatkan oleh Ibnu Hazm.

Atsar-atsar ini menegaskan, bahwa shalat harus dilakukan pada waktunya, tidak dibenarkan kita mengerjakan sesudah keluar waktunya walaupun dengan nama Qadha

Telah terjadi perbedaan pendapat tentang kesengajaan (ta'ammud). Apakah qadha itu berguna bagi yang meninggalkan shalat?

Diterimakah qadha sebagai pengganti bagi shalat yang telah ditinggalkan? 

Ataukah qadha itu tidak berguna dan mengqadhakan shalat tidak dapat dihukum sebagai jalan mengganti shalat yang telah ditinggalkan.

Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi'y dan Ahmad mengatakan, "Wajib bagi orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, mengqadhanya sesudah keluar wak tunya." "Tetapi tidak ada jaminan, bahwa dosa meninggalkan shalat telah terhapus sesudah mengerjakan qadhanya. Mereka berpendapat bahwa sesudah diqadha, dosa tetap juga atasnya karena meninggalkan shalat itu. Jika Allah kehendaki, Allah ampunkan dan jika tidak, niscaya Allah mengazabnya.

Abu Hanifah dan Malik mengatakan, "Barangsiapa meninggalkan satu shalat, atau beberapa shalat, hendaklah shalat yang ditinggalkan segera diqadha sebelum mengerjakan yang empunya waktu sendiri, walaupun habis waktunya untuk qadha itu jika shalat yang ditinggalkan sebanyak lima atau kurang. Jika lebih dari itu, barulah dikerjakan yang empunya waktu lebih dahulu. Sesudah itu barulah dikerjakan qadha." Asy-Syaukani mengatakan, "Di antara para muhaqqiqin yang menentang pendapat ulama-ulama yang tersebut, ialah Daud, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Al-Qasim, An-Nashir dan sebagian dari pengikut-pengikut Asy-Syafi'y

Ibnu Hazm mengatakan, "Orang yang sengaja meninggalkan shalat hingga habis waktunya, maka shalatnya tersebut tidak dapat diqadhakan lagi. Karena itu, hendaknya dia banyak melakukan kebajikan dan mengerjakan shalat-shalat sunnat. Semoga, yang demikian itu dapat memberatkan timbangannya kelak di hari akhirat. Hendaklah juga dia bertobat dan memohon ampun terhadap dosanya kepada Allah."

Ibnu Taimiyah mengatakan, "Mereka yang membantah pendapat kami (me- wajibkan qadha) tidak dapat menunjukkan hujjahnya walaupun sedikit. Kebanyakan mereka mengatakan bahwa qadha itu diwajibkan dengan dalil yang lain dari dalil yang memerintahkan kita mengerjakan perbuatan tersebut. Atau adanya perintah yang berdiri sendiri. Perintah yang berdiri sendiri tersebut, tidak ada dalam masalah ini." Kami bukan membantah tentang mewajibkan qadha itu saja, bahkan kami membantah juga tentang diterimanya qadha dan tentang sah shalat di luar waktunya. Di bawah ini kami bentangkan hujjah kedua golongan ini:

A. Hujjah yang mewajibkan qadha

Nabi saw. mewajibkan menggadha shalat yang ditinggalkan karena lupa atau tidur, padahal orang lupa (orang tidur) dan orang yang sedang udzur, bukanlah orang yang ceroboh (sengaja meninggalkan). Karena itu, dapat dipahami bahwa kewajiban qadha atas orang yang memang sengaja meninggalkan lebih patut dan lebih utama. 

Lagi pula, kalau shalat tidak sah dilakukan di luar waktunya sendiri, tentu tidak berguna qadha orang tidur dan orang yang lupa. Nabi juga pernah meninggalkan shalat Ashar dalam perang Khandaq (Perang yang terjadi pada tahun 5 H). Ketika itu, beliau mengerjakan shalat Ashar yang ditinggalkan, sesudah waktu Maghrib tiba. Padahal Nabi saw. meninggalkan Ashar itu bukan karena tidur atau lupa.

Nabi saw. memerintahkan kita mengqadha puasa yang rusak karena jimak. Menurut hukum qiyas, tentulah kita wajib mengqadha puasa yang ditinggalkan dengan sengaja.

B. Bantahan golongan yang tidak memperbolehkan qadha

Perintah-perintah Allah ada dua macam. Pertama, ada yang bebas dari ketentuan waktu, kedun, ada yang terikat dengan waktu. Maka suruhan-suruhan yang diikat dengan waktu tidak boleh kita kerjakan di sembarang waktu. Pekerjaan yang dibatasi waktunya, terbagi dua

  • Pekerjaan-pekerjaan yang sama besarnya dengan waktunya, yakni yang waktu seluruhnya dihabiskan oleh pekerjaan itu, seperti puasa. Waktu- mya dari terbit fajar shadiq hingga terbenam matahari. Puasa dikerjakan persis sebanyak waktunya tersebut.
  • Pekerjaan-pekerjaan itu tidak menghabiskan seluruh waktunya, seperti shalat. Waktu Zhuhur umpamanya, dari tergelincir matahari hingga menjadi bayangan sesuatu yang sama panjangnya. Untuk keperluan shalat, cukup lima atau sepuluh menit saja dipakai dari waktunya tersebut.
Maka, mengerjakan pekerjaan yang terbatas waktunya ini, menjadi syarat bagi sahnya. Dengan demikian, pekerjaan tersebut dianggap ibadah yang diperintahkan Allah. Jika dikerjakan di luar waktunya, maka tidaklah dianggap ibadah yang diperintahkan Allah lagi. Tiap-tiap ibadah yang diperintahkan Syara', kita kerjakan dalam waktu tertentu, jika tidak dikerjakan hingga habis waktunya, maka tidak dapat dikerjakan lagi sesudah waktunya tersebut. Karena mengerjakan sesudah waktunya tidak disuruh, maka kita tidak dapat mengerjakan shalat Jum'at sesudah keluar waktunya; juga kita tidak dapat berwukuf di padang Arafah sesudah hari yang ke-9 dari bulan Dzulhijjah.

Tentang shalat wajib dikerjakan (diqadha) oleh orang yang lupa sesudah ter- ingat, orang yang ketiduran sesudah bangun dari tidur, orang yang udzur sesudah hilang uzumya, orang mabuk sesudah hilang mabuknya, adalah karena yang demikian itu dikehendaki oleh nash dan ijma' yang shahih. Allah memerintahkan orang yang sakit mengerjakan puasa sesudah sembuh, orang musafir mengerjakan puasanya sesudah pulang dari perjalanannya, orang yang berhaid mengerjakan puasa sebanyak yang ditinggalkan dalam berhaid. Allah juga telah memperbolehkan kita mengumpulkan dua shalat dalam satu waktu disebabkan adanya halangan, sakit, safar atau karena kebimbangan. Tentang kebolehan menta'khirkan shalat ke waktu yang lain, hanya dibolehkan bagi orang yang berhalangan saja, tidak boleh bagi orang yang tidak berhalangan.

Di antara dalil yang menetapkan, bahwa syarat sah suatu shalat wajib, di- tunaikan dalam waktunya, yakni mengerjakan dalam waktu yang telah ditentukan, walaupun kita tidak sanggup memenuhi segala syarat-syaratnya yang lain.

Manakah yang disuruh Allah? Shalat yang dikerjakan sebagai ganti, atau shalat yang telah kita tinggalkan? Jika dikatakan, yang dikerjakan itu sebagai ganti yang diperintahkan Allah, tentu mereka yang meninggalkan shalat tidak disebut durhaka; karena ia telah mengerjakan apa yang disuruh Allah dan tentulah dia tidak berdosa. Bahkan tidak tercela meninggalkan shalat hingga habis waktunya. Jika dikatakan bukan sebagai ganti yang disuruh, maka dapatlah kita jawab bagaimana tuan-tuan menyuruh mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak diperintahkan Allah?

Abu Bakar Ash-Shiddiq mengatakan, "Bahwasanya Allah swt. mempunyai hak-Nya di siang hari yang Dia tidak menerimanya jika dikerjakan di malam hari dan mempunyai hak-Nya di malam hari yang Dia tidak menerimanya jika dikerjakan di siang hari."

Dalam masalah ini, 'Umar, Abdullah ibn 'Umar, Sa'ad ibn Abi Waqqash, Salman Al-Farisi, Ibnu Mas'ud, Al-Qasim ibn Muhammad, Hudzail Al-Aqili, Muhammad ibn Sirin, Mithraf ibn 'Abdullah, dan 'Umar ibn Abdil Aziz, sependapat dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Hujjah yang mewajibkan qadha

Mereka mengatakan, "Bahwasanya shalat qadha itu dipandang sebagai ganti dan melepaskan tanggungan." Mereka berkata: "Bahwa nisyan yang terdapat dalarn hadits yang menerangkan, barangsiapa menisyankan shalat, hendaklah dikerjakannya di ketika keringat, menurut bahasa Arab, diartikan dengan meninggalkan sesuatu lantaran sengaja. Karena demikian, dapatlah diartikan perkataan, "barangsiapa menisyankan shalat, hendaklah dikerjakan ketika inganya", dengan "barangsiapa mening galkan shalat karena lupa atau sengaja, hendaklah dia kerjakan ketika teringat."

Bantahan golongan yang tidak membenarkan qadha

Kata nisyan dalam Al-Qur'an, dipakai dengan dua arti.

  1. Nisyanut tarki (sengaja dilupakan).
  2. Nisyanus sahwi (tidak sengaja dilupakan).
Akan tetapi, memaknakan nisyan dalam hadits tersebut dengan sengaja dilupakan adalah ditolak dengan alasan:
  • Hadits mengatakan, "hendaklah dia mengerjakan ketika teringat." Perkataan ini dengan tegas menyatakan, bahwa lupa yang dikehendaki oleh hadits, ialah lupa karena lalai, bukan sengaja dilupakan. Yakni meninggalkan shalat karena lalai bukan karena sengaja.
  • Dalam hadits itu, terdapat perkataan: "itulah kaffaratnya," (mengerjakan ketika teringat). Maka orang yang dengan sengaja meninggalkan shalat tidak ada jalan baginya menutup dosanya tersebut (selain dari bertobat). 
  • Nabi saw. membandingkan orang nasi (lupa) dalam hadits ini, dengan orang yang tidur. Jika diartikan nasi dalam hadits ini dengan orang yang sengaja melupakan, tidaklah patut dibandingkan dengan orang yang tidur. 
  • Kata nasi (lupa) di dalam lafazh hadits, semuanya diartikan dengan sahi (orang yang lupa karena lalai), atau orang yang meninggalkan sesuatu lantaran kelalaiannya.
Mengingat semuanya ini, tidaklah dapat dimasukkan orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja ke dalam golongan orang yang meninggalkan shalat karena lupa atau ketiduran.

Jawaban yang mewajibkan qadha

Kami mewajibkan qadha, adalah karena mengingat sabda Nabi saw: "Fa dainullahi ahaqqu bian yuqdha (hutang pada Allah, lebih patut [lebih wajib] dibayar)." Hadits ini memberikan pengertian wajib menggadha shalat yang ditinggalkan dengan sengaja karena telah menjadi hutang

Penolakan pihak pembantah

Hadits di atas, adalah mengenai orang yang berhalangan saja. Nabi menyatakan dengan hadits tersebut berkenaan dengan soal nadzar mutlak (nadzar yang tidak ditentukan waktu dan tidak diberikan bersyarat). 

Ringkasnya, ibadah-ibadah yang diperintahkan kita menggadhakannya oleh hadits ini ialah hanyalah ibadah-ibadah yang ditentukan waktunya yang terbatas.

Hujjah mereka yang mewajibkan qadha dan bantahan pihak yang tidak membenarkan qadha itu, masih banyak lagi. Keterangan-keterangan tersebut dapat ditelaah dalam kitab-kitab At-Tamhid, Al-Muhalla, Fatawa Ibnu Taimiyah dan Ash-Shalah wa Ahkamu Tarikiha.

Kesimpulan menurut pentahqiqan kami, bahwa pihak yang mewajibkan qadha shalat yang ditinggalkan dengan sengaja, tidak mempunyai dalil yang dapat dikemukakan dalam munadharah selain dari hadits fa dainullahi ahaqqu bian yuqdha (hutang pada Allah, lebih wajib diqadhakan).

Kelemahan-kelemahan hujjah pihak yang mewajibkan gadha, diakui sendiri oleh seorang ulama Syafi'iyah yang terkenal (Ibnu Daqiqil Id). Beliau membantah sebagian dalil-dalil yang dibawa oleh pihak yang mewajibkan qadha itu. 

Lantaran demikian, tertolaklah perkataan An-Nawawy dalam Syarah Muslim yang berbunyi: "Orang yang tidak mewajibkan qadha atas mereka yang meninggalkan shalat dengan sengaja, salah dan bodoh. An-Nawawy dalam masalah ini, terpengaruh perasaan- nya oleh madzhab dan kebesaran derajat pemuka-pemuka madzhab-madzhab yang mewajibkan gadha atas orang-orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tersebut.

Al-Muqbili dalam Syarah Al-Manar (bukan Al-Manar Sayyid Rasyid) mengata- kan, "Mewajibkan qadha shalat atas orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, tidak sedikit pun berdasarkan dalil."

Mengingat uraian di atas, maka kami berpendapat bahwa shalat yang ditinggalkan dengan sengaja, tidak dibenarkan untuk mengqadhanya. Qadha tidak ber fungsi sebagai shalat yang ditinggalkan. Maka bagi mereka yang meninggalkan shalat dengan sengaja, tidak ada shalat pangganti. Apabila meninggalkan shalat dengan sengaja, maka dosa besar atas dirinya. Tidak ada jalan menghapuskan dosa itu dari jiwanya, melainkan dengan tobat nasuha dan banyak-banyak mengerjakan amal ibadah yang sunnat-sunnat. Lantaran demikian, janganlah bermudah-mudah dalam meninggalkan shalat. Ulama-ulama yang mewajibkan qadha dan menyuruh menggadhanya, tidak berani menjamin terlepas dari dosa meninggalkan shalat. 

Wahai umat Islam, janganlah Anda meninggalkan shalat selama Anda masih ingin beragama Islam. Karena shalat adalah tanda ke Islamanmu yang nyata, atau syiar Islam yang amat dipentingkan Allah dan Rasul-Nya."

Berdasarkan Tulisan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-1 Bab Hukum Mengerjakan Shalat