Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HADITS TENTANG WAKTU-WAKTU SHALAT FARDHU

HADITS TENTANG WAKTU-WAKTU SHALAT FARDHU

WAKTU-WAKTU SHALAT FARDHU (SHALAT MAKTUBAH)

Firman Allah swt.:

"Akuilah kesucian Allah Yang Mahatinggi dari segala kekurangan ketika petang dan di ketika pagi, dan kepunyaan-Nyalah segala rupa puji dan sanjung di serata langit dan bumi. Demikian juga akuilah kesucian Allah ketika Ashar dan diketika Zhuhur." (QS. Ar-Rum [30]: 18-19)

"Dirikanlah shalat di ketika tergelincir matahari hingga gelap malam (Isya') dan di ketika Shubuh. Karena shalat Shubuh itu disaksikan para malaikat." (QS. Al-Isra' [17]: 78) 

"Dirikanlah shalat di dua tepi siang dan di sebagian malam." (QS. Hud [11]: 116)

"Peliharalah segala shalat dan shalat yang paling baik buatannya (shalat wushtha)." (QS. Al-Baqarah [2]: 238)

Al-Qur'an tidak menerangkan dengan jelas waktu-waktu shalat, dan tidak pula menentukan permulaan waktu dan kesudahannya. Ketentuan-ketentuan waktu dan batas-batasnya dijelaskan oleh Sunnah dengan sejelas-jelasnya. Dengan memahami ayat-ayat di atas, kita dapat menyelami waktu-waktu shalat.

Ayat pertama mengisyaratkan shalat (waktu) Ashar dan Zhuhur. Ayat kedua mengisyaratkan shalat Zhuhur, Isya' dan Shubuh. Ayat ketiga mengisyaratkan shalat Shubuh, Maghrib dan Isya'. Ayat keempat memerintahkan kita memelihara dan menjaga waktu-waktu shalat dan melaksanakan shalat sebaik-baiknya.

WAKTU-WAKTU SHALAT MAKTUBAH

308) Jabir ibn Abdullah ra. menerangkan:

إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ جَاءَهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلامِ فَقَالَ لَهُ: قُمْ فَصَلِّهِ، فَصَلَّى الظُّهْرَ حِينَ زَالَتِ الشَّمْسُ ثُمَّ جَاءَهُ الْعَصْرَ فَقَالَ لَهُ: قُمْ فَصَلِّهِ، فَصَلَّى الْعَصْرَ حِيْنَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ ثُمَّ جَاءَهُ الْمَعْرِبَ فَقَالَ: قُمْ فَصَلِّهِ، فَصَلَّى الْمَغْرِبَ حَيْنَ وَجَبَتِ الشَّمْسُ، ثُمَّ جَاءَهُ العِشَاءَ، فَقَالَ: قُمْ فَصَلِّهِ، فَصَلَّى العِشَاء حِيْنَ غَابَ الشَّفَقَ. ثُمَّ جَاءَهُ الْفَجْرِ، فَقَالَ: ثُمْ فَصَلِّهِ فَصَلَّى الفَجْرَ حِيْنَ بَرَقَ الْفَجْرُ، أَوْ قَالَ: سَطَحَ الفجْرُ ثُمَّ جَاءَهُ مِنَ الغَدِ الظُّهْرِ فَقَالَ: ثُمَّ فَصَلِّهِ. فَصَلَّى الظُّهْرَ حِيْنَ صَارَ  ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَيْهِ ثُمَّ جَاءَهُ الْمَغْرِبَ وَقْتًا وَاحِدًا لَمْ يَزُلْ عَنْهُ، ثُمَّ جَاءَهُ العِشَاءُ حِيْنَ ذَهَبَ نِصْفُ الَّيْلِ أَوْ قَالَ: ثُلُثُ اللَّيْلِ فَصَلَّى العِشَاءَ ثُمَّ جَاءَ حِيْنَ أَسْفَرَ جِدًّا ، فَقَالَ: هُمْ فَصَلِّهِ، فَصَلَّى الفَجْرَ، ثُمَّ قَالَ: مَابَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ وَقْتٌ

"Bahwasanya Nabi saw. didatangi Jibril di waktu Zhuhur, lalu berkata kepada Nabi: Wahai Muhammad, bangunlah untuk shalat. Maka Nabi pun mengerjakan shalat Zhuhur ketika telah tergelincir matahari. Kemudian Jibril datang lagi kepada Nabi ketika Ashar, lalu berkata kepada Nabi: Wahai Muhammad, bangunlah untuk shalat. Maka Nabi pun shalat Ashar ketika bayangan suatu benda sama panjang dengannya. Sesudah itu Jibril datang lagi di waktu Maghrib lalu berkata kepada Nabi: Wahai Muhammad bangunlah untuk shalat. Maka Nabi saw. mengerjakan shalat Maghrib, ketika telah terbenam matahari. Kemudian datang lagi Jibril ketika shalat Isya', lalu berkata: Wahai Muhammad, bangunlah untuk shalat! Maka Nabi pun bershalat ketika telah hilang mega merah. Kemudian Jibril datang di waktu Shubuh lalu berkata kepada Nabi: Wahai Muhammad, bangunlah untuk shalat. Maka Nabi pun mengerjakan shalat Shubuh ketika telah bersinar fajar. Pada keesokan hari Jibril datang lagi pada waktu Zhuhur lalu berkata kepada Muhammad untuk shalat: Wahai Muhammad, bangunlah untuk shalat. Maka Nabi pun bangun untuk shalat Zhuhur di ketika bayangan sesuatu pada hari itu sama panjang dengan bendanya. Di waktu Ashar Jibril datang lagi lalu berkata: Ya Muhammad, bangunlah untuk shalat. Maka Nabi pun shalat Ashar di ketika bayangan sesuatu telah dua kali panjangnya. Di waktu Maghrib Jibril datang lagi lalu menyuruh Nabi shalat. Maka Nabi pun shalat di waktu matahari telah terbenam. Kemudian Jibril datang lagi untuk Isya', lalu menyuruh Nabi shalat. Maka Nabi pun shalat ketika telah lewat sedikit separuh malam (ketika telah lewat sepertiga malam). Kemudian Jibril datang lagi untuk Shubuh lalu menyuruh Nabi shalat. Maka Nabi pun shalat ketika telah terang sinar cahaya pagi. Sesudah itu Jibril berkata di antara dua waktu ini, itulah waktu masing-masing shalat." (HR. Ahmad, An-Nasa'y dan At-Turmudzy; Al-Muntaqa 1: 201)

SYARAH HADITS

Hadits (308), Al-Bukhary mengatakan, bahwa hadits yang paling shahih dalam urusan waktu shalat, atau tentang Jibril memberitahukan waktu shalat kepada Nabi. Kata Ibnu Abdil Barr: Nabi makmum kepada Jibril ialah pada hari yang mengiringi Isra'. Permulaan shalat yang Nabi laksanakan, ialah Zhuhur. Shalat Zhuhur juga dinamakan dengan shalat Ula dan Hajir.

Diberitahukan oleh Abdur Razaq, bahwa di pagi sesudah Isra', Nabi me- nunggu kedatangan Jibril. Ketika Jibril datang matahari telah tergelincir. Karena itu shalat Zhuhur dinamakan shalatul ula (yang ke satu). Sebelum Isra', Nabi jakan dua rakaat sebelum terbenam matahari dan dua rakaat sebelum terbit matahari. mengerjakan dua rakaat sebelum terbenam matahari dan 2 rakaat sebelum terbit matahari.

Dalam riwayat itu, terdapat keterangan bahwa ketika Jibril datang, Nabi memanggil para sahabat untuk bersama-sama mengerjakan shalat dengan seruan: Ash-shalatu jamah (shalat pengumpul para umat). Sesudah mereka berkumpul, Jibril shalat, dimakmumi oleh Nabi dan Nabi dimakmumi para sahabatnya.

Hadits (308), menyatakan bahwa tiap-tiap shalat mempunyai dua waktu (awal dan akhir). Maghrib menurut hadits ini, hanya mempunyai satu waktu saja. Shalat tidak sah dikerjakan, sebelum masuk waktunya. Dan menyatakan bahwa permulaan waktu Zhuhur, ialah tergelincir matahari dan akhirnya, ialah ketika bayangan sesuatu telah sama panjang dengan bendanya.

Seluruh ulama sepakat menetapkan bahwa permulaan waktu Zhuhur ialah tergelincimya matahari. Ibnu Mundzir dan Ibnu Abdil Barr mengatakan, "Segenap ulama sepakat menetapkan awal waktu Zhuhur yaitu tergelincirnya matahari."

An-Nawawy mengatakan, "Semua sahabat kami (ulama-ulama Syafi'iyah) menetapkan, bahwa zawal (tergelincimya matahari itu ialah condongnya matahari dari pertengahan langit ke sebelah barat), ditandai dengan mulai memanjangnya bayangan sesuatu, setelah sebelumnya pendek. Apabila kita ingin mengetahui, apakah matahari telah tergelincir ataukah belum, tancapkan sepotong tongkat di atas tanah yang datar di tengah-tengah terik matahari dan tandailah ujung bayangan- nya, sesudah itu, perhatikan jika bayangan itu berangsur kurang, nyatalah bahwa matahari telah tergelincir. Tetapi apabila bayangan itu bertambah, maka matahari telah tergelincir. Bayangan itu terkadang-kadang berangsur-angsur habis semuanya dan terkadang tidak."

Jumbur sepakat, bahwa dengan masuknya waktu shalat, kita wajib menger- jakan shalat. Demikian juga shalat yang lain, diwajibkan dengan masuk waktunya. Demikianlah syara' menetapkan atas orang-orang yang mukallaf.

Adapun orang yang udzur, seperti orang yang sedang haid, gila atau anak kecil, maka barulah shalat wajib atasnya ketika terlepas dari keuzurannya, dan waktu belum habis. Beginilah pendapat Asy-Syafi'y dan Ahmad dalam soal ini. Abu Hanifah mengatakan, "Kewajiban melakukan shalat atas seseorang harus segera dikerjakan, apabila waktu shalat tinggal sekedar cukup untuk mengerjakan- mya. Apabila masuk di permulaan waktu, dia boleh mengerjakan atau menundanya."

Ulama berbeda pendapat: "Apakah waktu Zhuhur masih ada, bila bayangan sesuatu yang sama panjangnya masih ada, atau telah habis sama sekali."

Asy-Syafi'y mengatakan, "Apabila demikian, maka habislah waktu Zhuhur, dan telah masuk waktu Ashar. Jadi tidak ada Zhuhur di waktu Ashar. Pendapat yang serupa, dipegang oleh Al-Auza'y, Ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad dan Ahmad." Malik mengatakan, "Al-Hadi dan sebagian ulama, apabila bayangan sesuatu telah menjadi sepertinya, habislah waktu Zhuhur, tetapi masih ada bagi Zhuhur, dari waktu Ashar, yaitu waktu sekedar melakukan shalat empat rakaat saja." Dalam satu riwayat dari Malik, akhir waktu Zhuhur, terbenam matahari. Menurut keterangan An-Nawawy dalam Syarah Muslim, Malik berhujjah dengan hadits: "Maka Nabi shalat Zhuhur denganku pada hari kedua ketika bayangan sesuatu telah menjadi sepertinya dan Nabi shalat Ashar pada hari pertama di waktu ketika bayangan sesuatu telah menjadi sepertinya." Lahir perkataan ini, menyatakan Zhuhur dan Ashar berkumpul dalam waktu Ashar.

Thaus dan Atha' mengatakan, "Apabila bayangan sesuatu telah sepanjang aslinya, masuklah waktu Ashar. Akan tetapi waktu Ashar, dapat dipergunakan untuk Ashar dan Zhuhur selama matahari belum terbenam." Ishak ibn Rahawih, Abu Tsaur, Muzani dan Ibnu Jarir mengatakan, "Walaupun bayangan sesuatu telah menjadi sepertinya, namun masih boleh diambil sekedar empat rakaat dari waktu Ashar untuk Zhuhur. Sesudah diambil kadar empat rakaat tersebut, barulah seluruh waktu menjadi waktu Ashar saja."

Abu Hanifah mengatakan, "Masih ada waktu Zhuhur sehingga menjadi ba- yangan sesuatu dua kali sepertinya. Apabila telah lebih dari itu, barulah masuk waktu Ashar." Ibnu Qudamah mengatakan, "Dihikayatkan dari Malik bahwa beliau berkata, waktu ikhtiyar bagi Zhuhur ialah apabila bayangan sesuatu telah sama panjang dengan aslinya; dan masih boleh menunaikan shalat Zhuhur, sebelum matahari terbenam."

Fuqaha kita berbeda pendapat dalam menetapkan akhir waktu Ashar Asy- Syafi'y berpendapat, akhir waktu Ashar, ialah apabila bayangan sesuatu telah menjadi dua kali. Bagi orang yang udzur dan darurat, akhir waktu Ashar, terbenam matahari. Ahmad ibn Hanbal, Ats-Tsauri, Al-Auza'y, Abu Yusuf dan Muhammad Ibnu Hassan mengatakan, "Akhir waktu Ashar ialah, kuningnya matahari, jadi sebelum matahari kuning masih ada waktu Ashar."

Mengenai akhir waktu Maghrib. fuqaha berbeda pendapat. Jumhur mengatakan, "Akhir waktu Maghrib, adalah hilangnya mega merah."

Mujtahidin berbeda pendapat dalam menetapkan akhirnya waktu Isya'. Abu Hanifah mengatakan, "Akhir waktu Isya' ialah terbit fajar." Diriwayatkan dari "Umar, Abu Hurairah dan 'Umar Ibnu Abdul Aziz, bahwa akhir waktu shalat Isya' ialah sepertiga malam pertama. Riwayat ini, dipegangi oleh Asy-Syafi'y. Ats-Tsauri, Ibnu Mubarak dan Ishak, demikian juga ahlul qiyas mengatakan, "Akhir waktu Isya' ialah persis tengah malam."

Diriwayatkan dari Ibnu Ababs ra. bahwa waktu Isya' akan habis, apabila ter- bit fajar. Riwayat ini dipegangi oleh Atha', Thaus dan Ikrimah (inilah sekarang yang dianut masyarakat kita di sini-pen).

Abu Muhammad Ali ibn Ahmad mengatakan, "Permulaan waktu Zhuhur, ialah saat tergelincir matahari. Tidak boleh (tidak sah) kita mengerjakan Zhuhur sebelum matahari tenggelam. Waktu Zhuhur habis hingga bayangan sesuatu menjadi sepertinya. Dalam pada itu, tidak dihitung bayangan yang terdapat pada permulaan matahari hendak tergelincir, yang dipandang hanya bayangan yang ter- jadi sesudahnya. Jika seseorang shalat Zhuhur ketika itu (terjadi bayangan sesuatu sepertinya) dan sebelum itu, maka shalatnya sah."

Apabila bayangan telah bertambah dari itu (dari sepertiganya), sedikit saja, maka tidak boleh lagi shalat Zhuhur, kecuali bagi musafir (orang yang sedang bepergian). Karena itu sudah masuk waktu Ashar. Orang yang mengerjakan Ashar sebelum itu, tidak sah, kecuali di hari Arafah. Di Arafah waktu Ashar berlanjut hingga terbe- nam matahari. Kami tidak suka orang yang menta'khirkan Ashar hingga kuning matahari, kecuali karena ada udzur. Barangsiapa bertakbir untuk shalat Ashar se- belum terbenam seluruh bulatan matahari, dianggap mendapat shalat Ashar. Apabila bulatan matahari telah terbenam seluruhnya, maka kita tidak diperbolehkan lagi masuk ke dalam shalat Ashar, karena telah masuk waktu Maghrib. Tidak sah dikerjakan Maghrib sebelum terbenam seluruh bulatan matahari. Waktu Maghrib habis hingga lenyap syafaq (mega) merah di kaki langit.

Orang yang mengerjakan shalat Maghrib sebelum hilang mega merah, dinyatakan mendapat shalat Maghrib dengan sempurna. Apabila telah hilang mega merah, maka tidak diperbolehkan lagi shalat Maghrib, kecuali orang musafir yang sedang dalam perjalanan atau di Muzdalifah di malam hari raya. Dengan habis Maghrib, masuklah waktu Isya' yang dinamakan atamah. Orang yang shalat Isya' dan masih ada sedikit mega merah di kaki langit, maka tidak sah shalatnya. Waktu Isya' berlanjut hingga habis separuh malam pertama dan mulai separuh malam kedua. Orang yang shalat di permulaan nisfu malam yang kedua masih dianggap sah, kalau sudah larut sedikit dari separuh malam, maka sudah tidak sah.

Apabila telah terbit fajar kedua, masuklah waktu Shubuh. Mengerjakan Shubuh sebelum itu, maka tidak sah shalatnya. Waktu Shubuh berlanjut sehingga terbit permulaan bulatan matahari. Orang yang bertakbir sebelum terbit permulaan bulatan matahari, dianggap mendapat Shubuh. Kami tidak suka kepada orang yang menta'khirkan Shubuhnya kecuali karena udzur, apabila telah keluar permulaan bulatan matahari tidak dibolehkan lagi kita mengerjakan Shubuh. Maka, apabila telah keluar waktu shalat yang telah disebutkan, maka tidak boleh lagi kita mengerjakan shalat-shalat itu.

Musafir yang dalam perjalanan, diperbolehkan menta'khirkan Zhuhur kepada Ashar dan menta'khirkan Maghrib kepada Isya'. Kalau musafir telah berada di tempat perhentiannya, hendaklah masing-masing shalat dikerjakan di waktu masing-masing. Di Arafah pada hari Arafah, dibolehkan shalat Ashar, sesudah salam dari shalat Zhuhur.

Orang tidur dan lupa, waktunya panjang sekali (jika seseorang terkejut dari tidumya pada pukul u siang, maka di situlah dia mengerjakan shalat Shubuhnya. Seseorang tidak diperbolehkan menta'khirkan shalat dari waktunya dan tidak boleh mentaqdimkan dari waktunya.

Abu Muhammad mengatakan, "Abu Hanifah berpendapat, bahwa permulaan waktu Ashar, ialah apabila bayangan sesuatu telah menjadi dua kali bendanya. Waktu Isya' yang disukai ialah hingga sepertiga dan separuh malam dan terus menerus hingga terbit fajar. Abu Hanifah-demikian pula Abu Muhammad meneruskan uraiannya-berpendapat, bahwa musafir tidak boleh menta'khirkan Zhuhur pada waktu Ashar dan Maghrib pada waktu Isya'.

Malik memperbolehkan orang sakit yang khawatir hilang kesadarannya dan musafir yang hendak berangkat, mendahulukan shalat Ashar di waktu Zhuhur dan Isya' di waktu Maghrib. Bahkan Malik berpendapat, "Seyogianya bagi masjid- masjid yang untuk jamaah menta'khirkan shalat Maghribnya sedikit dan menarik Isya'-nya kepada Maghrib, ketika sangat gelap dan ketika hujan. Dalam pada itu, Malik tidak memperbolehkan yang demikian untuk shalat Zhuhur dan Ashar (atau tidak memperbolehkan jamak karena hujan pada siang hari). Waktu Zhuhur, menurut pendapat Malik berlanjut hingga terbenam matahari, sebagaimana waktu Maghrib dan Isya' berlanjut hingga terbit fajar.

Asy-Syafi'y memperbolehkan kita mengumpulkan Zhuhur dengan Ashar di dalam kampung dan di antara Maghrib dengan Isya' di dalam kampung untuk masjid-masjid jamaah, disebabkan hujan. Bahkan berpendapat bahwa waktu Zhuhur dan Ashar, berkumpul hingga terbenam matahari dan bahwa Maghrib dan Isya' berkumpul waktunya hingga fajar. Abu Muhammad berpendapat demikian, disebutkan dalam kitabnya Al-Muhalla, serta diuraikan secara panjang lebar dan juga alasan-alasannya.

Dalam masalah tersebut ini, diperoleh beberapa hadits. Pertama, hadits yang diriwayatkan Ahmad, An-Nasa'y dan At-Turmudzy (hadits yang kita syarahkan ini). Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Turmudzy dan dishahih- kan pula oleh Abu Bakar Ibnu Arabi dan Ibnu Abdil Barr dari Ibnu Abbas.

Perbedaan kedua hadits ini hanya dalam hadits kedua tersebut, perkataan: "dan mengerjakan shalat Zhuhur pada hari (kali) kedua, ketika bayangan sesuatu telah menjadi sepertinya, di waktu mengerjakan shalat Ashar kemarin." Dan perkataan: "kemudian mengerjakan shalat Isya' ketika telah sepertiga malam." Di dalamnya pula terdapat perkataan: "wahai Muhammad, inilah waktu Nabi-Nabi dahulu. Waktu masing-masing shalat, ialah waktu-waktu yang di antara dua ini."

Hadits ini menunjukkan, bahwa akhir waktu Zhuhur ialah ketika bayangan sesuatu telah menjadi sepertinya. Memang lahirnya, memberi kenyataan bahwa Zhabur dengan Ashar bersekutu dalam mempunyai waktu Ashar.

Asy Syafi'y dan lain-lain mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan: "me- ngerjakan shalat Ashar pada hari yang pertama ketika bayangan sesuatu telah menjadi sepertinya dan mengerjakan shalat Zhuhur pada hari kedua ketika bayangan sesuatu telah menjadi sepertinya," ialah waktu Ashar pada hari pertama mulai ketika bayangan sesuatu telah menjadi sepertinya dan selesai dari Zhuhur pada hari kedua di ketika bayangan sesuatu telah menjadi sepertinya." Jelasnya bahwa waktu Ashar tidak dapat dikumpulkan antara Zhuhur dan Ashar

Terdapat lagi hadits yang diriwayatkan Muslim dari Buraidah dan yang di- riwayatkan Muslim, juga dari Abu Musa Al-Asy'ari dan beberapa riwayat lain yang maknanya hampir-hampir sama.

Pentahqiqan masalah ini, akan kami bentangkan dalam membahas awal dan akhir waktu masing-masing shalat.'

Berdasarkan Tulisan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-1 Bab Waktu-Waktu Shalat Maktubah