Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HADITS TENTANG SHALAT WUSTHA

HADITS TENTANG SHALAT WUSTHA

SHALAT WUSTHA

Panduan Praktis Shalat Wustha untuk Kekhusyukan dalam Beribadah

Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim. Selain sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT, shalat juga memiliki banyak manfaat baik bagi kehidupan sehari-hari. Salah satu jenis shalat yang penting adalah Shalat Wustha. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi pengertian, tata cara, dan manfaat Shalat Wustha serta bagaimana menjaga kekhusyukan dalam beribadah.

Apa itu Shalat Wustha?

Shalat Wustha merupakan shalat sunnah yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai shalat yang paling utama setelah shalat wajib. Shalat ini dilakukan di antara Shalat Subuh dan Shalat Dhuha, pada waktu ketika matahari naik sekitar sejengkal di atas cakrawala. Shalat Wustha terdiri dari minimal dua rakaat dan maksimal delapan rakaat, yang dapat dilakukan secara berjamaah maupun sendiri-sendiri.

Tata Cara Melaksanakan Shalat Wustha:

Bersuci dengan wudhu yang sempurna.
Berdiri menghadap kiblat dengan khusyuk dan niat untuk melaksanakan Shalat Wustha.
Mengangkat tangan sejajar telinga seraya mengucapkan takbiratul ihram.

Membaca doa iftitah dan surat Al-Fatihah di setiap rakaat.

Melakukan rukuk, sujud, dan duduk di antara dua sujud seperti dalam shalat biasa. Membaca surat atau ayat Al-Qur'an setelah Al-Fatihah (opsional). Tasyahud akhir dan salam untuk menandai berakhirnya shalat.

Manfaat Shalat Wustha:

Mendekatkan diri kepada Allah SWT: Shalat Wustha adalah bentuk ibadah yang mendekatkan kita kepada Allah SWT dan memperkuat ikatan spiritual kita dengan-Nya.

Menjaga kekhusyukan dalam ibadah: Melalui Shalat Wustha, kita diajarkan untuk menjaga konsentrasi, ketenangan, dan kekhusyukan dalam beribadah, sehingga dapat meningkatkan kualitas shalat kita secara keseluruhan.

Memberikan keberkahan dalam kehidupan sehari-hari: Shalat Wustha yang dilakukan dengan penuh kesungguhan dan khusyuk dapat membawa keberkahan dan berdampak positif pada kehidupan sehari-hari, baik dalam urusan pribadi maupun sosial.

Meraih pahala tambahan: Shalat Wustha adalah shalat sunnah, sehingga melaksanakannya akan mendatangkan pahala tambahan yang diberikan oleh Allah SWT.

Meningkatkan kesadaran spiritual: Shalat Wustha membantu kita untuk selalu mengingat Allah dan meningkatkan kesadaran spiritual kita sepanjang hari.

323) Ali ibn Abi Thalib ra menerangkan:

اِنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ يَوْمَ الْأَخْزَابِ : مَلَأَ اللهُ قُبُوْرَهُمْ وَبُيُوْتَهُمْ نَارًا كَمَا شَغَلُوْنَا عَنِ الصَّلَاةِ الْوُسْطَى حَتَّى غَابَتِ الشَّمْسُ

"Bahwasanya Nabi saw. bersabda: Mudah-mudahan Allah memenuhi kuburan mereka dan rumah-rumah mereka dengan api neraka. Mereka telah membimbangkan kita dari shalat wustha hingga terbenam matahari." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Al- Muntaga 1: 212)

324) Ibnu Mas'ud berkata:

حَبَسَ الْمُشْرِكُوْنَ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ عَنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ حَتَّى احْمَرَّتِ الشَّمْسُ أَوِا صْفَرَّتْ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : شَغَلُوْنَا عَنِ الصَّلَاةِ الوُسْطَى صَلَاتِ الْعَصْرِ مَلَأُ اللَّهُ أَجْوَافَهُمْ وَقُبُوْرَهُمْ نَارًا أَوْ حَثَا اللَّهُ أَجْوَافَهُمْ وَقُوارَهُمْ نَارًا

"Kaum musyrikin menghambat Rasulullah saw. dari shalat Ashar hingga matahari kuning atau merah. Karena itu Rasulullah saw. bersabda: "Mereka telah menghambat kita dari shalat wustha, shalat Ashar. Mudah-mudahan Allah memenuhi perut mereka dan kubur-kubur mereka dengan api neraka." (HR. Ahmad, Muslim dan Ibnu Majah; Al-Muntaqa 1: 213)

SYARAH HADITS

Hadits (323) disabdakan Nabi ketika perang Khandaq. Hadits ini menyatakan, bahwa shalat Ashar juga dinamakan shalat wustha.

Hadits (324), menyatakan bahwa shalat wustha ialah shalat Ashar.

Asy-Syaukani mengatakan, "Ulama berbeda pendapat dalam menentukan shalat wustha yang mereka anggap mendekati kebenaran." 

Pendapat pertama, shalat wustha ialah shalat Ashar. 

Ini adalah pendapat Ali ibn Abi Thalib, Abu Ayyub, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Said, Abu Hurairah, Ubaiy ibn Ka'ab, Samurah ibn Jundub, Abdullah ibn Amr, 'Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah, Ubaidah As-Silmani, Al-Hasanul Bishri,

Ibrahim An-Nakha'y, Qatadah, Adh Dhahak, Muqatil, Abu Hanifah, Ahmad, Daud, Ibnu Mundzir. Pendapat-pendapat beliau ini dinukil oleh An-Nawawy dan Ibnu Sayyidin Nas dalam Syarah At-Turmadzy. At-Turmudzy menukilkan pendapat ini dari sebagian besar ulama sahabat dan lain-lainnya. Pendapat ini diterima dari Zaid, Abu Said Al-Khudry, Usamah ibn Zaid, 'Aisyah.

Pendapat kedua, shalat wustha ialah shalat Zhuhur.

Menurut nukilan Ibnu Mundzir, pendapat ini diterima juga oleh Abdullah ibn Syidad. 

Pendapat ketiga, shalat wustha ialah shalat Shubuh.

Pendapat ini dipegang Asy-Syafi'y, sebagaimana yang beliau tegaskan dalam beberapa kitabnya. Menurut nukilan An-Nawawy, pendapat ini dinukil juga dari 'Umar, Mu'adz, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Jabir, Atha', Ikrimah, Mujahid, Ar-Rabi' ibn Anas, Malik ibn Anas dan sebagian besar sahabat Asy-Syafi'y.

Menurut Al-Mawardi, yang harus menjadi madzhab bagi Asy-Syafi'y ialah menetapkan Ashar sebagai shalat wustha, karena banyak sekali hadits shahih yang menegaskan demikian. Asy-Syafi'y mengatakan Shubuh, karena hadits-hadits yang menerangkan shalat wustha adalah shalat Ashar tidak sampai kepadanya. Kita mengetahui, bahwa madzhab Asy-Syafi'y mengikuti hadits.

Pendapat keempat, shalat wustha ialah shalat Maghrib. 

Demikianlah pendapat Qabishah ibn Zuaib. 

Pendapat kelima, shalat wustha ialah shalat Isya', menurut penjelasan Al- Mahdi dalam kitab Al-Bahr. Demikianlah madzhab golongan Imamiyah.

Pendapat keenam, shalat wustha ialah shalat Jum'at dan Zhuhur di luar hari Jum'at. Pendapat ini dihikayatkan oleh Ibnu Miqsam dan sebagian ulama. 

Pendapat ketujuh, shalat wustha ialah salah satu dari shalat lima yang tidak dapat diketahui dengan pasti. Demikian pendapat Nafi', Said Ibnu Musayyab dan Syuraih.

Pendapat kedelapan, shalat wustha ialah semua shalat lima waktu. Pendapat ini menurut An-Nawawy, diterima dari sebagian ulama. 

Pendapat kesembilan, shalat wustha ialah Isya' dan Shubuh. Demikian pendapat Abu Darda'.

Pendapat kesepuluh, shalat wustha ialah Shubuh dan Ashar. Demikian pendapat Abu Bakar Al-Abhari.

Pendapat kesebelas, shalat wustha ialah shalat jamaah. Demikian yang dihikayatkan dari Al-Mawardi. Pendapat keduabelas, shalat wustha ialah shalat khauf (shalat dalam ketakutan). Pendapat ini diterangkan oleh Ad-Dimyati.

Pendapat ketigabelas, shalat wustha ialah shalat witir. Ini menurut madzhab Abu Hasan Ali ibn Muhammad As-Sakhawi.

Pendapat keempatbelas, shalat wustha ialah shalat Idul Adha. Pendapat ini diterangkan oleh Ad-Dimyati dan Ibnu Sayyidin Nas.

Pendapat kelimabelas, shalat wustha ialah shalat Idul Fitri. Ini juga menurut hikayat Ad-Dimyati. menurut Pendapat keenambelas, shalat wustha ialah shalat Jum'at. Demikian An-Nawawy dari sebagian ulama.

Pendapat ketujuhbelas, shalat wustha ialah shalat Dhuha. Demikian menurut Ad-Dimyati, dari sebagian gurunya. Golongan yang menetapkan, bahwa shalat wustha adalah shalat Ashar, berhujjah dengan hadits-hadits yang tersebut. Inilah madzhab yang kuat, menurut Asy-Syaukani.

Sesungguhnya "wustha," berarti indah, baik, menarik dan bisa juga diartikan: yang pertengahan, yang terletak antara dua tepi.

Al-Ustadzul Imam mengatakan, "Sekiranya bukan karena mereka telah bermufakat mengatakan wustha adalah salah satu dari shalat lima, tentu saya menetapkan, bahwa yang dikehendaki dengan shalat wustha, ialah shalat yang paling baik, paling indah pelaksanaannya, yaitu yang dikerjakan dengan sempurna adabnya, hadir hati dan khusyu'."

Pentahqiqan yang lepas dari ta'ashshub, menegaskan bahwa perkataan "shalat Ashar," yang terdapat dalam hadits-hadits di atas, perkataan yang disisipkan oleh perawinya. Dengan demikian jadilah hadits ini menjadi hadits mudaraj.

Bukti kemudarajan lafazh ini di dalam hadits, ialah terjadinya perbedaan pendapat antara para sahabat. Sekiranya benar perkataan itu diterima dari Nabi, tentu semua sahabat akan sependapat, yaitu menetapkan bahwa wustha adalah shalat Ashar. Tegasnya, tidak ada dalam soal ini hadits yang marfu', yang dapat menetapkan putusan yang tidak dapat seseorang membantahnya. Di dalam riwayat Muslim, hanya terdapat perkataan, "Mereka membimbangkan kita dari shalat watha". Sesudah itu, baru perawi menjelaskan wustha dengan perkataannya yakni shalat Ashar

Dengan demikian, kita sependapat bahwa yang dikehendaki dengan shalat wustha, bukanlah suatu shalat yang tertentu, hanya yang dikehendaki dengan wustha ialah shalat yang dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan sesempurna- sempurnanya. Itulah shalat yang diperintahkan kita melaksanakannya."

Berdasarkan Tulisan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Bab Waktu-waktu Shalat Fardhu (Shalat Maktubah) Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-1