Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HUKUM MENINGGALKAN SHALAT

 

HUKUM MENINGGALKAN SHALAT

HUKUM MENINGGALKAN SHALAT

286) Abdullah ibn 'Umar ra. menerangkan:

 اِنَّ النَّبِيَّ قَالَ: أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا الله وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُولُ الله وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ, فَاِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنْ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ اِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

"Bahwasanya Nabi saw, bersabda: Aku diperintahkan memerangi orang Islam yang murtad, sehingga mereka kembali mengaku bahwa tidak ada Tuhan yang disembah selain Allah dan mengaku bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya, mendirikan shalat, dan mengeluarkan zakat. Apabila mereka melaksanakan (kembali) yang demikian, maka terpeliharalah darah dan hartanya, kecuali kalau ada suatu hak Islam. Perkiraannya dalam urusan-urusan yang tersembunyi diserahkan kepada Allah swt." (HR. Al-Bukhary dan Muslim); Al-Muntaqa 1: 188).

287) Anas ibn Malik ra. berkata:

لَمَّا تُوفِّيَ رَسُولُ اللهِ اِرْتَدَّتِ العَرَبُ فَقَالَ: عُمَرُ: يَا أَبَا بَكْرٍ كَيْفَ تُقَاتِلُ الْعَرَبُ؟ فَقَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: إِنَّمَا قَالَ رَسُولُ الله : أُمِْرتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لَا اِلَهَ اللهَ وَأَنَّ رَسُولَ اللهِ، ويُقِيمُوْا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوْا الزَّكَاةَ

"Setelah Rasulullah wafat, sebagian bangsa Arab kembali murtad. Maka Abu Bakar berniat memerangi mereka. Ketika itu 'Umar berkata kepada Abu Bakar: Bagai- mana anda hendak memerangi mereka? Abu Bakar menjawab: Saya memerangi mereka, mengingat sabda Rasul saw.: Diperintahkan daku untuk memerangi manu- sia, sehingga mereka bersyahadat (mengaku bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan mengaku bahwa Muhammad Rasul-Nya), mendirikan shalat, dan mengeluarkan zakat." (HR. An-Nasa'y; Al-Muntaqa 1: 189).

288) Said Al-Khudry ra, berkata:

بَعَثَ عَلِيٌّ وَهُوَ بِاليَمَنِ إِلَى النَّبِي بِذُهَيْبَة فَقَسَّمَهَا بَيْنَ أَرْبَعَةِ فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اِتَّقِى اللهَ فَقَالَ: وَيْلَكَ أَوَلَسْتُ اَحَقَّ أَهْلِ الْأَرْضِ أَنْ يَتَّقِيَ اللَّهِ؟ ثُمَّ وَلِيَ الرَّجُلُ. فَقَالَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيْدُ: يَا رَسُولَ اللهِ، اَلَا أَضْرِبُ عُنُقَهُ، فَقَالَ: لَا لَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ يُصَلِّى، فَقَالَ خَالِدُ: وَكَمْ مِنْ مُصَلِّ يَقُولُ بِلِسَانِهِ مَا لَيْسَ بِقَلْبِهِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ: إِنِّى لَمْ أُؤْ مَرْآنْ أُنَقِّبَ عَنْ قُلُوْبِ النَّاسِ وَلَا أَشَقَّ بُطُوْنَهُم

"Ali ra. (ketika beliau mengendalikan daerah Yaman) mengirimkan kepada Nabi saw. sebutir emas. Maka Nabi membaginya kepada empat orang (Uyainah ibn Mihsan, Aqra ibn Uabis, Zaid Al-Khail, Al-Qamah ibn Ulatsah). Seorang laki-laki yang hadir di ketika pembagian itu menyanggah perbuatan Nabi itu, katanya: Wahai Rasulullah, bertakwalah anda kepada Tuhanmu. Maka Nabi berkata: Celaka engkau, bukanlah aku ini seorang yang lebih patut bertakwa kepada Allah dari seluruh penduduk bumi? Sesudah Nabi menjawab demikian, orang itu pun pergi. Setelah orang itu pergi, berkatalah Khalid kepada Nabi: Wahai utusan Tuhan, apakah tidak lebih baik jika saya pancung lehemya saja!" Nabi menjawab: Jangan, boleh jadi dia shalat. Khalid menjawab: Betapa banyak ya Rasulullah, orang yang shalat yang menyebutnya dengan lidahnya apa yang tidak terpateri di dalam jiwanya? Maka Nabi berkata: Saya tidak diperintahkan menyelidiki batin manusia dan tidak diperintahkan membelah perut manusia itu." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Al-Muntaqa 1: 190).

289) Ibnu Mas'ud ra, berkata:

قَالَ رَسُولُ اللهِ : لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّى رَسُولُ اللَّهِ اِلَّا بِاِحْدَى ثَلَاثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ

"Rasulullah saw, bersabda: Tidak halal ditumpahkan darah seseorang muslim yang mengaku bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa aku utusanNya, sebelum dia mengerjakan salah satu dari sebab-sebab ini: berzina, padahal dia beristri (atau bersuami), membunuh orang, meninggalkan agama dan menantang jamaah." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Miftahul Khathabah: 219). 

290) Abu Hurairah ra. berkata:

قالَ رَسُولُ الله : أُمِرْتُ أنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا: لَا إِلَهَ إِلا اللَّهُ فَمَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلا الله عَصَمَ مِنِّي مَالَهُ وَنَفْسَهُ إِلَّا بِحَقِّهِ وَحِسَابِهِ عَلَى اللهِ

"Rasulullah saw, bersabda: diperintahkan daku memerangi manusia, sehingga mereka mengucapkan la ilaha illallah. Barangsiapa telah mengucapkannya, terpeliharalah dari padaku, hartanya dan jiwanya, kecuali jika ada sesuatu sebab yang memperbolehkan kita membunuhnya. Hisabnya diserahkan kepada Allah swt." (HR. Muslim, Shahih Muslim 1: 25).

SYARAH HADITS

Hadits (286), juga diriwayatkan oleh Malik, Abu Daud, At-Turmudzy, Ibnu Khuzaimah, Ath-Thabrany dan Al-Bazzar dari jalan yang lain. Hadits ini menyata- kan bahwa orang yang mencederakan salah satu dari tiga sendi Islam (syahadat, shalat dan zakat), halal darah dan hartanya, jika tidak bertobat. Tobatnya tidak cukup dengan kembali bersyahadat saja.

Dalam riwayat yang disampaikan Ahmad, terdapat perkataan: "dan beriman kepadaku dan kepada segala yang aku datangkan." Hal ini memberikan pengertian, bahwa barulah cukup tobatnya, apabila dia kembali membenarkan segala yang didatangkan Nabi saw.

Hadits (287), kata Ibnul Qayyim dalam kitab Ash-Shalah wa Ahkamu Tarikha: "Hadits ini shahih." Menyatakan, bahwa orang yang mencederakani (salah satu dari tiga sendi, syahadat, shalat, zakat), halal darah dan hartanya.

Hadits (288), menyatakan bahwa kewajiban para hakim (penguasa) tampak dalam memperlakukan manusia berdasarkan lahiriyah (tanda-tanda yang tampak dari gerak-geriknya bukan berdasarkan batinnya). Tegasnya menyatakan, bahwa para hakim hanya diperintahkan berpegang kepada keadaan lahiriyah seseorang, bukan mencurigai dan berpegang atas dasar kecurigaan itu. Hanya Allah sendiri yang mengetahui batin manusia.

Hadits (289), menyatakan tidak boleh membunuh seorang muslim melainkan apabila dia telah nyata berzina, sedang dia beristeri atau bersuami, membunuh orang, murtad, atau menantang jamaah (ummat).

Hadits (290), menurut sebagian ahli hadits, sanadnya mutawatir, dan sanadnya lebih shahih dari hadits yang diterima dari Ibnu Umar (hadits 286). Hadits ini menyatakan, bahwa apabila kita ingin membunuh orang kafir dalam medan pertempuran, maka hentikanlah pertempuran apabila mereka sudah bersyahadat.

Abdul Aziz Al-Khuli dalam Al-Adabun Nabawi mengatakan. "Mendirikan shalat, ialah menegakkannya dengan disertai rasa khusyuk dan khudhu' hati dengan memahami makna-maknanya (baik ucapan maupun perbuatan) dan dengan selalu mengingat Allah, dengan mengharap ridha-Nya. Termasuk ke dalam pengertian mendirikan shalat, ialah melaksanakannya di setiap waktu.

Muhammad Al-Fiqqi mengatakan, "Mendirikan shalat ialah kekal melaksana- kannya dengan menjaga dan memenuhi segala ketentuan-ketentuannya." Fuqaha, dalam soal dibunuh tidaknya orang yang meninggalkan shalat, berbeda pendapat:

Golongan yang menjatuhkan hukum bunuh segera bagi orang yang meninggalkan shalat

An-Nawawy mengatakan, "Berdasarkan pemahaman hadits ini (286 dan 287). kewajiban para hakim untuk membunuh orang yang tidak mau mengerjakan shalat dan tidak mau mengeluarkan zakat, walaupun orang itu telah bersyahadat. Maka seseorang yang mengakui kefardhuan shalat, tapi meninggalkannya dengan sengaja, segera dibunuh." Jumhur ulama di antaranya Malik, Asy-Syafi'y dan Ahmad juga berpendapat demikian. Tetapi, golongan ini juga berbeda pendapat tentang waktu melak-sana- kan hukuman mati tersebut. Disegerakan atau diberi tempo selama tiga hari. 

Jumhur ulama berbeda pendapat tentang kadar shalat yang ditinggalkan yang mengakibatkan dihukum mati. Satu, dua atau empat shalat.

An-Nawawy mengatakan, "Pendapat yang benar ialah yang menjatuhkan hu kuman mati, dengan sengaja meninggalkan satu shalat, sehingga habis waktunya." An-Nawawy berkata pula "Pendapat sahabat-sahabat kami (ulama Syafi'iyah) berbeda-beda dalam soal diterima tidaknya tobat orang zindiq, yaitu orang yang mengingkari agama (hukum-hukum agamanya):

  1. Ada yang mengatakan diterima tobatnya.
  2. Ada yang mengatakan tidak. Wajib terus dibunuh sebagaimana seseorang yang murtad. Jika tobatnya benar, dia memperoleh keuntungan di akhirat. 
  3. Jika baru sekali itu terjadi keingkarannya, diterima tobatnya. Jika sudah dua (berulang-ulang kali), tidak lagi diterima tobatnya.
  4. Jika dia menyerahkan diri dengan sukarela, diterima tobatnya. Jika dia bertobat sesudah dijatuhkan hukuman bunuh, tidak lagi diterima. 
  5. Jika si Zindiq itu mengajak orang lain mengikuti kesesatannya, tidaklah dterima tobatnya. Jika dia tidak menganjurkan kesesatannya kepada orang lain, diterima tobatnya.
Dari pendapat tersebut, yang benar ialah pendapat yang pertama, mengingat banyaknya hadits yang menegaskan demikian.

Malik dan Asy-Syafi'y mengatakan, "Tobat si Zindiq tidak diterima." Ahmad mengatakan, "Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, sama hukumnya keluar dari agama." Sebagian pengikut Asy-Syafi'y memegang pendapat ini.

Menurut pendapat Ahmad, hukum orang yang meninggalkan shalat disama- kan dengan hukum bagi orang yang murtad, yakni tidak dipusakai hartanya, tidak dishalatkan, tidak halal lagi ia mencampuri isteri-isterinya, atau terlepas isterinya dari ikatan nikahnya.

Asy-Syaukany mengatakan, "Barangsiapa meninggalkan hukum-hukum Islam dan fardhu-fardhunya, menolak sesuatu yang diwajibkan, baik perkataan, maupun perbuatan, yang ada hanya mengucapkan syahadat saja, tidaklah diragui bahwa orang itu halal darah dan hartanya. Hukumnya disamakan dengan orang Jahiliyah."

Pengarang Al-Muntaga mengatakan, hadits yang dipegang oleh golongan kedua (golongan yang tidak menjatuhkan hukum bunuh atas orang yang meninggalkan shalat), semuanya muthlaq, Maka hadits-hadits yang muthlaq tersebut, telah dikaitkan oleh hadits-hadits yang dipegangi golongan pertama (golongan yang menjatuh- kan hukum bunuh atas meninggalkan shalat). Tidak dinukilkan dari para sahabat selain dari hukum membunuh orang yang meninggalkan shalat karena kufur."

Golongan yang menjatuhkan hukum bunuh atas orang yang meninggalkan shalat, berhujjah lagi dengan riwayat yang diberitakan Muslim dari Abu Hurairah.

Abu Hurairah menceritakan serangan terhadap kaum pengacau yang menahan zakat sebagai berikut: Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah (mengendalikan peme- rintahan Islam), sebagian penduduk Arab murtad. Karena itu, Abu Bakar menyiapkan pasukan untuk menyerbu. Melihat itu 'Umar berkata kepada Khalifah: "Bagaimana Anda memerangi mereka yang menahan zakat, padahal Rasul bersabda: Diperintahkan daku memerangi manusia, sehingga mereka mengucapkan la ilaha illallah. Barangsiapa telah mengucapkan la ilaha illallah, terpeliharalah dari padaku hartanya dan jiwanya, kecuali jika ada sesuatu sebab yang lain yang menjadi hak Allah. Perkataan mereka itu diserahkan kepada Allah sendiri."

Mendengar sanggahan 'Umar, Khalifah menjawab: "Demi Allah, aku akan memerangi orang yang menceraikan antara shalat dengan zakat. Sesungguhnya zakat adalah hak harta. Demi Allah sekiranya mereka tidak mau memberikan kepadaku tali pengikat unta yang mereka dahulu memberikannya kepada Rasul saw., pastilah aku memerangi mereka, atas keengganan mereka itu."

Setelah Khalifah menjawab demikian, 'Umar berkata: "Demi Allah, aku se- karang berpendapat bahwa Allah telah membukakan pintu hati Abu Bakar untuk memerangi kaum pengacau. Aku yakin, bahwa pendirian Abu Bakar benar."

'Umar Ibnu Shalah mengatakan, "Boleh jadi tidak adanya perkataan shalat dan zakat, dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah (hadits 290) yang dipegangi sebagai hujjah oleh golongan yang tidak menjatuhkan hukum bunuh atas orang yang meninggalkan shalat, adalah karena kata-kata itu tidak disebutkan oleh perawinya; bukan karena Nabi saw. tidak menyebutnya. Dikatakan demikian, karena kata-kata shalat dan zakat, terdapat dalam hadits-hadits yang lain (286 dan 287)."

Golongan Al-Itrah berpendapat, bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat disamakan dengan pezina muhshan (telah bersuami/isteri), dibunuh. 

Golongan yang tidak menjatuhkan hukum bunuh atas orang yang meninggalkan shalat

Abu Hanifah mengatakan, "Sebagian ulama Kuffah dan Al-Muzani dari sahabat Syafi'y: Orang yang meninggalkan shalat, tidak dibunuh, hanya ditakzir (didera) saja, dipenjarakan sehingga kembali mau shalat." Az-Zuhri mengatakan, "Orang yang meninggalkan shalat, dipenjarakan, didera (dipukul)." Abu Hanifah dan ulama yang sependirian dengannya, berpegang kepada lahir hadits (288) dan hadits (289)."

As-Sayid Rasyid Ridha dalam Al-Manar mengatakan, "Hadits-hadits tersebut ini telah diriwayatkan dengan matan yang bermacam-macam. Ada yang mering- kaskan atas syahadat saja, seperti hadits yang diterima dari Abu Hurairah (hadits 290). Karena itu, sebagian ulama berpendapat, bahwa orang yang meninggalkan shalat dan menahan zakat, dihukum maksiat, tidak dihukum keluar dari Islam. Kata yang lain, di dalam hadits Ibnu Umar dan Anas, terdapat tambahan yakni tidak mencakupi dengan syahadat saja. Tambahan itu diriwayatkan oleh orang-orang ke- percayaan, wajib kita terima."

As-Sayyid berkata pula: "Sebenarnya hadits-hadits yang beraneka redaksi (matan) ini, semakna, yaitu syarat berhenti dari memerangi kaum musyrikin dan memperlakukan mereka sebagai umat Islam, cukup dengan mereka mengerjakan ketiga faktor tersebut. Untuk menghentikan peperangan (pembunuhan) dalam medan pertem- puran, cukup mereka mengucapkan dua kalimah syahadat. Inilah yang dimaksud- kan oleh hadits (290). Memperlakukan mereka sebagai orang Islam lagi, hen- daklah setelah mengucapkan dua kalimah syahadat, mengerjakan shalat dan memberikan zakat, bahkan mengerjakan semua perintah agama dan menuruti segala aturan-aturannya. Mengingat hukum-hukum Islam banyak sekali, tidak serta merta semuanya diterapkan sekaligus atas mereka, seperti puasa, menanti datangnya waktu, demikian pula berhaji, dicukupkan dengan dua rukun Islam saja harus terus-menerus dilaksanakan setelah mereka bersyahadat, yakni shalat suatu ibadah yang mempersatukan seluruh umat Islam; dan zakat yang menghidupkan rasa persaudaraan antara warga masyarakat yang telah memeluk Islam."

Setelah masalah ini ditinjau dari berbagai jurusan, pentahqiqannya adalah sebagai berikut: Hadits Ibnu Umar tidak memberikan pengertian bahwa seorang muslim apabila meninggalkan shalat karena malasnya, atau karena dilalaikan oleh kerjanya, telah murtad dan tidak pula memberikan pengertian bahwa orang tersebut harus dihukum mati. Hadits Ibnu Umar ini memang menyatakan syarat kepada kita memperlakukan orang musyrikin yang menyerang kita, atau yang kita serang, sebagaimana kita memperlakukan umat Islam sendiri. Maksud dari kita "memperlakukan mereka (kaum musyrikin) yang memusuhi kita sebagaimana kita memperlakukan umat Islam," ialah sesudah mereka mengerjakan tiga sendi Islam yang paling pokok dan yang langsung dapat dikerjakan, yakni syahadat, shalat, dan zakat jika mereka berharta.

Dapat juga dipahamkan dari hadits Ibnu 'Umar, bahwa kaum pemberontak yang melakukan kekacauan dan menentang perintah, tidak diperangi lagi, jika mereka kembali mengakui dan mengerjakan tiga sendi itu dan kemudian mereka mentaati segala aturan dan hukum-hukum agama.

Istimewa jika diperhatikan bunyi hadits: "Aku diperintahkan memerangi." Memerangi, lain artinya dari membunuh (menjatuhkan hukum mati). Memerangi berarti sudah nyata permusuhannya dengan kita, baik dari kalangan sendiri (umat Islam yang memberontak) sebagaimana orang Arab yang diperangi Abu Bakar, ataupun orang luar (orang kafir) yang memusuhi kita. Orang yang telah masuk ke dalam pemerintahan kita, kemudian melakukan perlawanan terhadap kita dan undang-undang yang sah, harus diperangi. Kita berhenti memeranginya dan memperlakukan kembali seperti sediakala, jika mereka mengerjakan kembali ketiga sendi yang langsung dapat dilaksanakan ini. 

Maksud hadits tersebut di atas tidak memberi pengertian bahwa Nabi kita memerintahkan kita memerangi orang kafir, jika mereka tidak mau syahadat, shalat dan zakat. Karena yang demikian ber- lawanan dengan ketinggian ruh Islam yang luhur dan murni.

Selain itu, ditegaskan bahwa hukum membunuh orang yang meninggalkan shalat tidak diperoleh dari dalil yang qath'i. Baik nash Al-Qur'an maupun hadits mutawatir. Menjatuhkan hukum yang berat kepada seseorang menurut pentahqiqan tidak boleh dengan dalil yang berdasarkan dhanni, apalagi jika bertentangan dengan beberapa dalil lain.

Untuk memelihara masyarakat Islam dalam ibadah shalat ini, sebaiknya para hakim menjalankan pendapat Abu Hanifah yang telah dikuatkan oleh Al-Muzani sahabat Asy-Syafi'y. Dengan penetapan itulah, kami melaksanakan ajaran beragama. Konon, hadits Ibnu Umar tersebut dicacat juga oleh sebagian ahli peneliti, walaupun hadits itu terdapat dalam Al-Bukhary dan Muslim. Para penyelidik merasa heran, terdapatnya hadits ini dalam dewan penshahihan Al-Bukhary dan Muslim. Dalam Musnad Ahmad tidak terdapat hadits Ibnu Umar ini.

Berdasarkan Tulisan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-1 Bab Hukum Mengerjakan Shalat