Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cara Shalat Yang Tidak Memperoleh Air

Shalat Lantaran Tidak Memperoleh Air Dan Tanah Ketika Terpaksa

SHALAT LANTARAN TIDAK MEMPEROLEH AIR DAN TANAH KETIKA TERPAKSA

271) Urwah ibn Zubair menerangkan:

اِنَّ عَائِشَةَ اسْتَعَارَتْ مِنْ أَسَمَاءَ قِلَادَةً فَهَلَكَتْ فَبَعَثَ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ رَجَالاً فَي طَلَبِهَا فَوَجَدُوْهَا فَأَدْرَكَتْهُمُ الصَّلَاةُ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ فَصَلُّوا بِغَيْرِ وُضُوءٍ، فَلَمَّا أَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ ﷺ شَكَوْا ذَلِكَ إِلَيْهِ، فَأَنزَلَ اللَّهُ عَزَّوَجَلَّ آيَةَ التَّيَمُّمِ

"Aisyah ra. meminjam sebuah kalung dari Asma'. Kalung itu hilang di perjalanannya. Maka Rasulullah menyuruh beberapa orang mencarinya, dan akhirnya mereka mendapatkannya kembali. Saat mereka mencari kalung itu, masuklah waktu shalat. Oleh karena tidak ada air, mereka pun shalat dengan tidak berwudhu. Setelah kembali kepada Rasul, mereka pun menerangkan hal tersebut. Maka di waktu itulah Allah menurunkan ayat tayammum." (HR. Al- Jama'ah selain dari At-Turmudzy; Al-Muntaqa 1: 165)

SYARAH HADITS

Hadits (271) menyatakan bahwa apabila kita tidak memperoleh air (dan apabila kita tidak mendapatkan tanah), hendaklah kita terus shalat, walaupun dengan tidak berwudhu dan tidak bertayammum.
Ibnu Sa'ad mengatakan: "Aisyah kehilangan kalung itu, ketika 'Aisyah mengikuti Nabi dalam peperangan Al-Muraisi yang terjadi pada bulan Sya'ban tahun 5 H. Dalam perjalanan Nabi kembali ke Madinah, kalung 'Aisyah hilang. Akibat kehilangan itu, timbullah tuduhan kepada 'Aisyah, bahwa beliau terlibat perselingkuhan dengan Syafwar ibn Mu'aththal. Untuk membersihkan namna 'Aisyah dari tuduhan buruk (aib) itu, Allah turunkan ayat-ayat ifki (tentang menuduh) dalam Al-Qur'an surat An-Nur."

Ibnul Qayyim dalam Az-Zad mengatakan: "Menurut penerangan Ath-Thabrany dalam Mujam-nya bahwa Aisyah menerangkan setelah peristiwa kehilangan kalung dan tuduhan-tuduhan yang dihadapkan kepada dirinya, ujarnya: "Aku pergi lagi beserta Rasulullah ke dalam suatu peperangan lain. Dalam perjalanan ini, hilang lagi sebuah kalungku, hingga tertunda perjalanan beberapa lama. Lantaran itu ayahku Abu Bakar mengatakan kepadaku: "Hai anakku, di dalamn tiap-tiap perjalanan, kamulah yang menjadi beban dan masalah." Orang-orang tidak mempunyai air. Sesudah itu, Allah pun menurunkan ayat tayammum."

Riwayat ini menerangkan, bahwa kehilangan kalung sesudah turun ayat tayammum (bukan kehilangan yang pertama), bukan sesudah peperangan Al-Muraisi, tetapi peperangan yang terjadi sesudah peperangan itu.

Al-Baihaqy mengatakan: "Para sahabat ketika tidak mempunyai air, shalat dengan tidak berwudhu (sebelum turun ayat tayammum), untuk menunaikan hak waktu. Perbuatan mereka disampaikan kepada Rasul, Rasul tidak membantahnya. Karena itu, apabila kita tidak mendapatkan air atau tanah, sedang waktu telah masuk, hendaklah kita tetap shalat."

An-Nawawy dalam Minhajul Muhadditsin mengatakan: "Hadits ini menyata- kan, bahwa orang yang tidak mempunyai air dan tanah, hendaklah tetap saja bershalat."

An-Nawawy berkata pula: "Para fuqaha berselisih paham dalam masalah ini. Asy-Syafi'y mempunyai empat pendapat:

  1. Wajib shalat dan wajib mengulangi shalat; 
  2. Tidak wajib shalat tetapi disukai dan diwajibkan qadha;
  3. Tidak boleh shalat, dan
  4. Wajib shalat dan tidak wajib diulangi.
Inilah (pendapat Asy-Syafi'y), yang paling kuat dalilnya, didukung oleh hadits ini dan sepertinya. Tidak dinukilkan dari Nabi tentang diwajibkan mengulangi shalat yang sepertinya ini. Qadha itu wajib dengan suatu perintah yang baru (tersendiri). Di sini tidak ada perintah baru itu. Demikianlah pendapat Al-Muzani tentang tiap-tiap shalat yang wajib di dalam waktu yang dilakukan dengan sedikit kecederaan yakni: tidak wajib diulangi. Malik dan Abu Hanifah berpendapat, bahwa tidak wajib shalat di ketika itu juga, hendaklah shalat ditunda hingga mendapat air, atau tanah.

Setelah masalah ini diperhatikan dalil-dalilnya, maka menurut pentahqiqan, bahwa yang terkuat dalam masalah ini ialah paham Ahmad, yang kemudian dipegang oleh Al-Muzani dari ulama-ulama Syafi'iyah dan oleh Sahnun dari ulama-ulama Malikiyah dan oleh Ibnu Mundzir dari ulama Syafi'iyah pula. Pendapat ini dikuatkan oleh hadits yang artinya: "Apabila aku mencegah kamu dari suatu pekerjaan jauhilah dia, dan apabila aku menyerah kamu melakukan suatu pekerjaan, kerjakanlah seberapa sanggupmu" (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Tegasnya, menurut pentahqiqan kami apabila tidak mendapatkan air atau tanah, hendaklah shalat itu terus saja dikerjakan dengan tidak berwudhu dan tidak bertayammum, dan shalat yang telah dikerjakan itu, tidak perlu diulangi lagi.

Sebenarnya bahan-bahan untuk bertayammum itu, senantiasa ada. Karena apabila tidak memperoleh tanah yang berdebu maka menurut adat kita bisa mendapati sesuatu yang berhubungan dengan tanah. Maka apabila kita berada di atas kapal terbang umpamanya, air kebetulan habis, tanah yang berdebu itupun tidak kita peroleh, maka bertayammumlah kita dengan menepukkan tangan di dinding kapal terbang itu saja. Jadi perkataan tidak mendapat air dan tanah untuk berwudhu, atau bertayammum, adalah jika tanah yang dimaksudkan itu permukaan bumi, berdebu atau tidak. Tetapi jika arti sha'id diluaskan, maka tanah itu senantiasa diperoleh. Tegasnya, apabila kita tidak dapat berwudhu, tentulah kita selalu dapat bertayammum.

Referensi Berdasarkan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam BAB Hukum-hukum tentang Tayammum Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-1