Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MASALAH SEKITAR PUASA RAMADAN

MASALAH SEKITAR PUASA RAMADAN

BEBERAPA CABANG MASALAH YANG BERKEMBANG DALAM MADZHAB ASY SYAFI'I (AHLUS SUNNAH) SEKITAR MASALAH PUASA

BEBERAPA MASALAH SEKITAR PUASA RAMADAN

1. Tidak ada puasa yang wajib dengan ketetapan Syara' selain dari puasa Ramadlan. Dalam pada itu menjadi wajib juga puasa dengan karena nadzar, kaffarat, jaza' terhadap binatang buruan dalam masa mengerjakan Hajji. Dalilnya, ialah jawaban Nabi SAW., ketika seorang Arabi bertanya tentang Islam, maka Nabi menjawab: "dan puasa Ramadlan." Orang itu bertanya: "Apakah ada puasa lain dari Ramadlan yang wajib atas diriku? Nabi menjawab "Tidak ada, terkecuali engkau bertathauwu," (H.R. Bukhari dan Muslim dari Thalhah Ibn Ubaidullah).

2. Menurut riwayat Abu Daud dari Abdur Rahman ibn Abi Laila, dari Muaz Ibn Jabal, ujarnya "Puasa telah melalui tiga keadaan. Rasulullah, mula-mulanya berpuasa tiga hari pada setiap bulan dan berpuasa pada hari Asyura, Kemudian turunlah ayat "Kutiba 'alaikumush shiyamu kama kutiba 'alalladzina minqablikum la'allakum tattaqun," maka para shahabat ada yang berbuka dan ada yang berpuasa. Yang berbuka memberi fidyah. Sesudah itu, turunlah ayat: "Syahru Ramadlanal ladzi unzila fihil qur-anu hudan linnasi wabayyinatim minal huda wal furqan. Faman syahida minkumusy syahra fal yashumhu. Wamankana maridlan au 'ala safarin fa'iddatum min ayya min ukhar." Maka wajiblah puasa atas orang yang berada di kampung dibulan Ramadlan. Dan tetaplah hukum memberi makanan pada orang yang sangat tua lelaki dan perempuan yang tidak sanggup berpuasa (ke atas mereka ini diwajibkan fidyah).

Diriwayatkan oleh Al Baihaqi bahwasanya Rasulullah berpuasa setelah tiba di Madinah, setiap bulan tiga hari dan berpuasa pula hari 'asyura. Rasulullah berpuasa sedemikian itu selama 17 bulan, yaitu dari bulan Rabiul awal, hingga Rabiul awal sampai ke Ramadlan. Kemudian Allah memfardlukan puasa Ramadlan.

Dan dalam satu riwayat Abu Daud, dari Ibn Abi Laila disebutkan bahwasanya para Shahabat berkata: "Puasa telah melalui tiga keadaan. 

Pertama: Setelah Nabi tiba di Madinah sedang penduduk Madinah belum pernah berpuasa. Nabi dan para Shahabat berpuasa tiga hari pada tiap-tiap bulan, hingga turunlah ayat Shiam. 

Kedua: Setelah turun permulaan ayat shiyam. Para Shahabat ada yang merasa keberatan; karenanya ada di antara mereka yang memberi makanan kepada orang miskin tidak mengerjakan puasa, yaitu orang-orang yang berat mengerjakan puasa.

Ketiga: Sesudah turun Firman: "Waantashumu khairullakum" = Dan berpuasa, lebih baik bagi kamu", maka semuanya disuruh berpuasa saja ! "Yang memansukhkan hukum yang telah lalu itu." Ada yang berkata phase ketiga ialah setelah turun ayat "Uhilla lakum lailatash- shiami..... .Sebelum turun ayat ini para muslimin hanya dibolehkan makan dan minum dan bersetubuh di malam hari sesudah berbuka hingga mereka tidur. Kalau sudah tidur, walaupun masih di awal malam, tidak boleh makan lagi. Sesudah turun ayat Uhilla lakum, masuklah puasa ke dalam Phase ketiga, boleh makan dan minum serta bersetubuh sesudah berbuka hingga terbit fajar.

3. Berkata Salamah ibn Al Akwa: "Tatkala telah turun ayat "Wa alalladzina yuthiqunahu fid-yatun tha'aamu miskiin = Dan atas orang yang sukar sekali berpuasa memberi fidyah kepada orang miskin", maka orang yang berat berpuasa dibolehkan berbuka dengan memberikan fidyah. Hal ini berlaku hingga turun ayat "Man Syahida minkumusy syahra falya- sumhu = Barang siapa di antara kamu hadlir di kampung di waktu bulan Ramadlan, hendaklah ia berpuasa (H.R. Bukhari dan Muslim). 

4. Rasulullah SAW. hanya berpuasa 9 Ramadlan, karena perintah puasa turun pada bulan Sya'ban tahun ke dua Hijrah dan Rasulullah wafat pada bulan Rabi'ul awal tahun 11 H.

5. Para Ulama berkata: Pada permulaan puasa Ramadlan di fardlukan, masih diharamkan orang yang berpuasa, makan minum dan bersetubuh sesudah tidur pada malam hari, atau sesudah shalat isya. Dia tidak dibolehkan lagi makan apa-apa. Kemudian ketetapan ini dimansukhkan, yakni dibolehkan yang demikian hingga terbit fajar.

Para Ulama menetapkan yang demikian berdasarkan kepada hadits Al Barra ibn Azib, yaitu para shahabat Rasul, bila datang waktu berbuka dan tidur sebelum berbuka, tidaklah boleh makan lagi pada malam itu hingga kepetang esok hari. Qais ibn Sirmah Al Anshari berpuasa, maka tatkala datang waktu berbuka dia kembali ke rumahnya dan memintakan makanan. 

Oleh karena persediaan makanan tidak ada, maka isterinya minta izin untuk mencarinya. Oleh karena pada hari itu dia habis bekerja berat, tertidurlah ia. Di kala isteri pulang, suaminya tertidur, lalu berkatalah isterinya "Kasihan engkau wahai suamiku." Pada pertengahan hari berikutnya, dia jatuh pingsan. Maka hal itu diterangkan kepada Nabi SAW, lalu turunlah ayat: "Uhilla lakum lailatash shiyamir rafatsu ila nisa ikum" = Dibolehkan bagi kamu mencampuri isterimu di malam hari (Ramadlan). Karenanya bergembiralah para Shahabat, dan turun pula ayat: Wakulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaithul abyadlu minal khaithil aswadi. H.R. Al Bukhari.

Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan dari ibn Abbas bahwasanya Ibn Abbas berkata: Di masa Rasulullah SAW., pada mula-mulanya para Shahabat bila telah shalat Isya tidak dibenarkan lagi makan dan bersetubuh dan terus berpuasa sampai besok petang. Maka seorang Shahabat melanggar perintah lalu menyetubuhi isterinya sesudah shalat Isya, padahal ia belum berbuka. Maka karenanya turunlah ayat: "alimallahu annakum kuntum takhtanuna, anfusakum." Karenanya para ummat memperoleh keringanan dalam berpuasa. *) 

6. Nadzar orang yang telah sangat tua. Jikalau orang yang telah sangat tua, atau orang sakit yang tidak diharap sembuh lagi bernadzar puasa, maka pendapat yang paling sahih dalam mazhab Asy Syafi'i dari antara dua pendapat, ialah tidak sah nadzamya itu. Karena atas orang yang demikian itu diwajibkan fidyah.

Apabila kita wajibkan fidyah atas orang tua dan orang sakit yang tidak diharapkan sembuh lagi, sedang dia seorang miskin benar, wajibkah dia membayar fidyah sesudah dia mampu, atau tidak

Menurut pendapat yang paling shahih, tidak wajib; karena dia dianggap tidak sanggup memberi fidyah dikala perintah itu dihadapkan padanya, sama dengan fithrah, berbeda dengan kaffarat. Kaffarat wajib dibayar sesudah dia mampu, sama dengan "penggantian menyembelih binatang buruan yang diburu di masa hajji" yang diistilahkan dengan "Jazaussaidi." Dalam pada itu Al Qadli mewajibkan fidyah atas mereka sesudah mereka mampu. Jika tidak diberikan diambillah dari tirkahnya; karena memberi makan terhadapnya sama dengan qadla terhadap si sakit dan si musafir.

7. Apabila orang yang lemah dan orang yang sakit, yang tidak diharap sembuhnya berbuka, kemudian dia sanggup berpuasa, maka menurut pendapat Al Baghawi, seperti yang dinukilkan Al Qadla Husain, tidak wajib berpuasa, karena dia tidak dihadapkan puasa kepadanya, hanya dihadapkan fidyah. Tetapi kemudian Al Baghawi sendiri memilih pendapat, bahwa apabila sanggup berpuasa sebelum memberi fidyah, wajiblah dia berpuasa. Jika dia sanggup berpuasa sesudah memberi fidyah, maka mungkin disamakan dengan orang yang tidak sanggup mengerjakan Hajji, lalu menyuruh orang lain berhajji, kemudian sanggup berhajji sendiri, yakni wajib berhajji, dan mungkin tidak wajib berpuasa lagi. Tidak dibolehkan atas orang lemah dan orang sakit yang tak dapat diharapkan sembuh lagi, memberi fidyahnya sebelum masuk Ramadlan dan boleh diberikan sesudah terbit fajar tiap-tiap hari.

Orang musafir dan orang sakit yang tidak diharap sembuh lagi, tidak boleh menggunakan Ramadlan untuk puasa lain, baik qadla, nadzar, kaffarat, ataupun tathauwu". Jika dia lakukan juga, niscaya puasanya itu tidak sah, tidak untuk puasa yang diniatkan itu, tidak pula untuk Ramadlan.

Demikianlah pendapat Malik, Ahmad dan Jumhur ulama. Abu Hanifah berpendapat sedemikian terhadap orang sakit; tetapi terhadap si musafir dibolehkan, 

10. Apabila si musafir tiba di rumahnya di pertengahan hari sedang dia dalam keadaan berbuka dan didapati isterinya baru dalam keadaan berbuka, boleh disetubuhinya, tak ada kaffarat atasnya. Dalam pada itu Al Auza'i tidak membolehkan.

Referensi Dalam Buku Pedoman Puasa Karangan Pak Hasbi Ash-Shiddieqy