Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TATA CARA QADHA PUASA

TATA CARA QADHA PUASA
BEBERAPA HUKUM SEKITAR PUASA

CARA MENGQADLA PUASA

Sebahagian ulama menetapkan, bahwa mengqadla puasa Ramadlan yang ketinggalan, wajiblah beriring-iring, tak boleh berselang-selang. Tetapi sebagian Ahlut Tahqiq membolehkan berselang-selang.

Diriwayatkan oleh Ad Duruquthni dari ibn Umar, ujarnya: bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda:

قضاءُ رَمَضَانَ إِن شَاءَ فَرَّقَ وَإِنْ شَاءَ تَابَعَ 

. "Qadha Ramadlan boleh dicerai ceraikan dan boleh pula dengan beriring-iring."

Dipahamkan dari Hadits ini, bahwa apabila seseorang meninggalkan puasa lima hari umpamanya, maka ia boleh mengqadlanya sehari, sehari, berselang-selang dan boleh juga terus-menerus kelima-limanya asal dalam tahun itu juga sebelum menjelang Ramadhan yang di muka.

Disebutkan dalam Al Bhar, bahwa Daud berkata: "Hendaklah orang yang mengqadla puasanya, mencocokkan waktu qadlanya dengan waktu meninggalkan puasa. Jika ditinggalkan puasa itu di awal bulan, hendaklah ia mengqadlanya di awal bulan pula. Begitulah seterusnya."

FIDYAH LANTARAN TAK DAPAT MENGQADLA PUASA SEBELUM RAMADLAN YANG BERIKUTNYA

Qadla Ramadlan tidaklah wajib diselenggarakan, boleh dita'khirkan sehingga bulan Sya'ban, baik lantaran ada uzur, maupun tidak. Berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari 'Aisyah, ujarnya:

عَلَيَّ الصِّيَامُ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ فَلَا أَقْضِيهِ حَتَّى يَجِىءَ شَعْبَانُ 

"Atasku ada puasa dari bulan Ramadlan, maka aku tidak mengqadla nya, sehingga datanglah bulan Sya'ban tahun berikutnya."

Kemudian apabila seseorang tidak mengqadlanya sehingga menjelang Ramadlan yang berikutnya, maka menurut kata seba- hagian ulama diwajibkan atas orang itu memberi fidyah selain dari tetap wajib mengqadla puasanya.

Tetapi dalil yang mewajibkan fidyah dalam hal ini, tidak kami peroleh. Al Hasan dan Ulama Hanafiyah tidak mewajibkan fidyah baik dita'khirkan karena uzur, atau bukan. Malik, Asy Syafi'iy, Ahmad dan Ishaq sependapat dengan ulama Hanafiyah, jika karena uzur; wajib diberi fidyah jika bukan karena uzur. Dalil yang dapat dipegang untuk pendapat ini tidak ada. Maka pendapat ulama Hanafiyah yang hak dalam hal ini.

FIDYAH UNTUK PUASA SI MATI

Diriwayatkan oleh At Turmudzi dari ibn Umar, bahwa Ra- sulullah SAW. bersabda:

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ فَلْيُطْعَمْ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا 

"Barangsiapa meninggal dan atasnya ada puasa Ramadlan yang telah ditinggalkan, maka hendaklah diberi makan atas namanya sehari seorang miskin."

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ibnu Abbas, ujarnya:

إِذَا مَرَضَ الرَّجُلُ فِي رَمَضَانَ ثُمَّ مَاتَ وَلَمْ يَصُمْ أُطْعِمَ عَنْهُ وَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ قضاءٌ وَإِنْ نَذَرَ قَضَى عَنْهُ وَلِيُّهُ

"Apabila sakit seseorang lelaki dalam bulan Ramadlan, kemudian ia meninggal dunia, padahal ia tidak berpuasa, diberi makanlah atas na manya (difidyahkan). Tak ada qadla atasnya Dan jika puasa nazar hendaklah diqadlakan oleh walinya."

Dari Hadits di atas ulama mewajibkan fidyah atas orang yang meninggalkan puasa, tidak dapat mengqadlanya sebelum ia meninggal dunia.

1. Kata Ibnul Abbas:

إِنْ تَرَكَ الْأَدَاءَ لِغَيْرِ عُذْرِِ وَجَبَتْ ، وَاِلاَّ فَلَا 

"Jika ia meninggalkan puasa dengan ketiadaan uzur, wajiblah difidyahkan dan jika dengan uzur, tidak" 

2. Kata Asy Syafi'iy:

إِِنْ تَرَكَ الْقَضَاءَ حَتَّى حَالَ الغَيْرِ عُذْرِِ لَزِمَهُ ، وَاِلاَّ فَلَا 

"Jika ia tidak mengqadlakannya hingga sampai setahun dengan ketia daan uzur, wajiblah difidyahkannya dan jika ada uzur, tidak." 

3. Kata An Nakha'i:

لا تَجِبُ الفِدْيَةُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى (فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ) وَلَمْ يَذْكُرْهَا 

"Tidak wajib atas mereka memberikan fidyah, karena Tuhan menyuruh menggadlanya dan tidak menyebut urusan fidyah."

4. Kata pentahqiq: Apabila masalah ini ditahqiqkan dengan insaf, niscaya kita mengetahui, bahwa Hadits yang di atas, tidak dapat dijadikan hujjah untuk mewajibkan fidyah (mengeluarkan fidyah) atas nama si mati yang meninggalkan puasa, karena Hadits ini dha'if (lemah).

Perbuatan seorang Shahabat, atau perkataannya, tak dapat dijadikan hujjah, walaupun kebanyakan ulama berpegang kepadanya.

Menurut qaedah "Al Baraatul Ashliyah," kita tidak diwajibkan melakukan suatu urusan, melainkan ada dalil yang shahih. Dalam masalah ini tak ada dalil yang shahih.

5. Kata Ibn Abdil Haq dalam al Ahkam: "Tak ada Hadits yang shahih yang menyuruh kita memberi fidyah untuk puasa si mati." 

BERPUASA UNTUK ORANG YANG TELAH MENINGGAL 

1. Diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda:

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ ، صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ 

"Barangsiapa meninggal dunia, atasnya ada puasa yang ditinggalkan, tidak dikerjakan di masa hidupnya, dipuasakanlah untuknya oleh walinya."

2. Diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas ujarnya:

إِنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ رَسُوْلَ اللهِ فَقَالَتْ ، يَا رَسُولُ اللَّهِ إِنَّ أَمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا ؟ قَالَ أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمَّكِ دَيْنُ فَقَضَتِهِ وَكَانَ يُؤدِّى ذلِكَ عَنْهَا ؟ قَالَتْ ، نَعَمْ، قَالَ ، فَصُوعمِى عَنْ أُمِّكَ 

"Bahwasanya seorang perempuan datang kepada Rasulullah SAW. lalu bertanya: "Ya Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia, ada puasa nazar atasnya, apakah saya mengqadlanya?" Rasulullah menjawab: "Betapa pendapatmu sendiri, sekiranya ibumu mempunyai hutang, maka engkau membayarnya, lepaskah ibumu dari hutangnya?" Jawab perempuan itu: "Lepas." Bersabda Rasulullah SAW.: "Puasakanlah atas namanya"

Hadits yang tersebut ini menyatakan, menurut faham sebaha- gian ulama, bahwa wali si mati boleh mengerjakan puasa gantian untuk si mati, dan menyatakan bahwa puasa boleh diganti oleh orang lain sesudah yang meninggalkan puasa itu meninggal dunia. Beginilah mazhab qadim 'Asy Syafi'iy.

3. Kata Abu Hanifah, Malik dan Asy Syafi'iy dalam mazhab jadidnya. "Bahwasanya puasa itu tidak boleh diganti orang lain; karena puasa itu adalah semata-mata ibadat tubuh (badan- niyah)."

4. Kata Ahmad: "Boleh diganti puasa itu oleh orang lain jika puasa itu puasa nazar, sebagaimana yang disebut dalam Hadits Ibn Abbas yang di atas."

Ditegaskan oleh pengarang Fiqhus Sunnah, bahwa para ulama telah sependapat menetapkan bahwa shalat yang ditinggalkan seseorang, tidak dikerjakan oleh walinya setelah ia mati dan tidak pula oleh selainnya. Orang yang tidak sanggup berpuasa, tidak dikerjakan puasanya semasih ia hidup oleh seseorang; jika ia mati dengan ia meninggalkan yang mungkin dilunaskan sebelum ia mati, para Fuqaha berlainan pendapat.

Jumhur ulama di antaranya Abu Hanifah dan Malik, juga me- nurut mazhab yang terkenal dari Asy Syafi'iy, bahwa walinya ti- dak berpuasa sebagai pengganti, hanya cukup dengan memberi makanan fakir miskin satu mud setiap hari, menurut Syafi'iyah; atau setengah gantang gandum dan segantang yang selain gandum, menurut ulama Hanafiyah.

Mazhab yang terpilih di sisi ulama Asy Syafi'iyah, bahwa yang terutama, wali berpuasa, bukan memberi makanan. Dikehendaki dengan wali ialah kerabat, baik 'ashabah ataupun bukan. Dan sah pula dikerjakan oleh orang yang lain dengan seizin wali, jika tidak, tidak sah. Mereka berdalil kepada Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Al Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah yang telah tersebut di atas. An Nawawi menguatkan pendapat ini, dan ini pulalah yang dikuatkan oleh ulama-ulama Asy Syafi'iyah. Apabila kita perhatikan dalil masing-masing imam, nyatalah bahwa Puasa nadzarlah yang boleh dikerjakan wali. Dan wali yang boleh mengerjakan puasa si mati itu, hanyalah anaknya sahaja, tidak masuk ke dalamnya selain anaknya.

Pendapat kami ini adalah hasil dari mengumpul Hadits-hadits yang bersangkut-paut dengan masaalah ini. Sekali lagi "Segala wali yang selain dari anaknya, tak dapat mengerjakan puasa nazar si mati," karena mengingat fatwa Ibn Abbas yang diriwayatkan An Nasa-i, yaitu:

لَا يُصَلِّ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلَا يَصُمْ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ 

"Janganlah bershalat seseorang kamu sebagai ganti seseorang, dan jangan pulalah berpuasa seseorang kamu sebagai ganti seseorang."

Hanya yang dikecualikan dari umum ini, ialah anak saja. Mengqiyaskan amal orang yang lain dari anak kepada amal anak, tak dapat dilakukan, karena menyalahi nash qath-'i.

Orang yang mengatakan bahwa, orang yang telah mati mengambil manfaat dari tiap-tiap amal yang dilakukan untuknya walaupun yang melakukan itu bukan anaknya, menyalahi Al Qur-an dan tak ada pada mereka hujjah dari Hadits yang shahih, ataupun qiyas yang shahih.

Demikianlah pentahqiqan kami dalam masaalah ini, jika kita berfaham: boleh mentakhshishkan ayat dengan Hadits dhanni. Jika tidak, maka puasa si anak pun tidak boleh untuk ayahnya yang telah meninggal.

Kemudian dari pada itu haruslah pula dimaklumi bahwa si anak itu tidak wajib melakukan puasa untuk ayahnya, mengingat Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bazzar dari 'Aisyah, bahwasanya Rasulullah bersabda:

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ إِنْ شَاءَ

"Barangsiapa meninggal dunia, atasnya ada puasa, niscaya dipuasakan puasanya itu oleh walinya, jika walinya itu menyukai"

Kata pengarang kita Majma'uz Zawa-id: "Isnad Hadits ini hasan."

HUKUM MERUSAK PUASA DENGAN BERSETUBUH

Apabila seseorang merusakkan puasa dengan bersetubuh lazimlah atasnya memberi fidyah (kaffarat), yakni memerdekakan seorang budak, jika tak sanggup, maka hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tak sanggup pula, hendaklah memberi makan 60 orang miskin.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رض . قَالَ ، جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلعم فَقَالَ هَلَكْتُ يَا رَسُولَ الله . قالَ . وَمَا أَهْلَكَكَ ؟ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى إمْرَاَتِي فِي رَمَضَانَ فَقَالَ : هَلْ تَجِدُ مَا تُعْتِقُ رَقَبَةً ؟ قَالَ : لَا ، قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ: لَا ، قَالَ، فَهَل تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينََا ؟ قَالَ : لَا ، قَالَ ، ثُمَّ جَلَسَ فَأُتِِيَ النَّبِيُّ صلعم بِعَرَقِِ فِيهِ تَمَرٌ فَقَالَ نتَصَدَّقْ بِهَذَا قَالَ، فَهَلْ عَلَى أَفْقَرَ مِنَّا ؟ فَمَا بَيْنَ لَابَتَتْهَا أَهْل بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا وَضَحِكَ النَّبِيُّ صلعم حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ وَقَالَ : إِذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ . (رواه الجماعة ) 

"Abu Hurairah berkata, seorang lelaki datang kepada Nabi SAW. lalu berkata: "Saya telah binasa, ya Rasulullah. "Nabi bertanya: "Apa yang membinasakan engkau?" Dia menjawab: "Saya telah setubuhi isteri saya di bulan Ramadlan." Maka Nabi SAW. bertanya: "Apakah engkau memperoleh sesuatu yang dengan dia engkau dapat memerdekakan seorang budak?" Dia menjawab: "Tidak." Nabi bertanya: "Apakah engkau sanggup berpuasa dua bulan berturut-turut?" Dia menjawab: "Tidak." Nabi bertanya lagi: "Apakah engkau sanggup memberi makan 60 orang miskin?" Dia menjawab: "Tidak." Kemudian dia duduk dimajlis Nabi dan dibawalah kepada Nabi suatu wadah yang dapat memuat 17 gantang, di dalamnya ada korma. Berkata Nabi kepadanya: "Sedekahkanlah korma ini." Orang itu ber tanya: "Apa kepada orang yang lebih miskin dari kami? Tak ada di antara dua pinggir kota Madinah yang lebih berhajat dari pada kami. " Maka tertawalah Nabi hingga nampaklah gerahamnya dan bersabdalah Nabi: "Pulanglah dan berikan korma ini kepada keluargamu." (H.R. Al Jamaah).")

Hadits ini menyatakan, bahwa diwajibkan kaffarat atas yang merusakkan puasa dengan jima'. Demikianlah pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi'ly, Ahmad dan Daud. Dalam pada itu, ada dihikayatkan dari Asy-Syafi'iy, Said ibn Jubair, An Nakha-i dan Qatadah, bahwa beliau-beliau tidak mewajibkan kaffarat. Hadits ini menyalahkan faham itu.

Kata Ahmad dan sebahagian pengikut Malik: "Wajib juga kaffarat atas orang yang lupa bahwa dia sedang berpuasa, karena Rasulullah SAW. setelah mendengar pengaduan Salamah ibn Sakhar itu, tiada meminta penjelasan: Apakah dengan lupa, atau dengan sengaja."

Kemudian lagi berkata sebahagian ulama, bahwa dari Hadits ini dipahamkan kemestian memberi makanan kepada 60 orang miskin dengan sekaligus, tidak boleh diberikan enam-enam orang dalam tempo sepuluh hari.

Berkata Abu Hanifah: "Boleh diberikan makanan kepada seorang saja pada tiap-tiap hari, sehingga 60 hari." Selain dari pada itu Hadits tersebut menyatakan, bahwa kaffarat itu wajib atas lelaki saja. Demikianlah penetapan Al Auza'i dan yang paling shahih dari dua perkataan Asy Syafi'iy.

Jumhur berpendapat, bahwa kaffarat itu wajib atas lelaki dan perempuan. Kemudian pula menyatakan, bahwa kewajiban kaffarat itu gugur dengan sebab kepapaan.

Dan menurut pendapat jumhur ulama, bahwa mentertibkan. kaffarat sebagai yang tersebut dalam Hadits, adalah wajib. Karena itu wajib lebih dahulu dimerdekakan budak. Jika tak sanggup, barulah berpuasa dua bulan berturut-turut (dibukan bulan Ramadlan dan hari 'Id). Jika tak sanggup pula, barulah memberikan makanan 60 orang miskin.")

Menurut mazhab Malikiyah dan satu riwayat dari Ahmad, boleh memilih satu di antara tiga itu, mengingat yang diriwayatkan Malik dan Ibn Juraij dari Humaid ibn Abdur Rahman, dari Abu Hurairah, ujarnya:

 إِنَّ رَجُلًا أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ فَأَمَرَهُ رَسُولُ اللهِ صلعم أَنْ يُكَفِّرَ بِعِتْقِ رَقَبَةٍ أَوْ صِيَامِ شَهْرَيْنِ مُتَتَبِعَيْنِ أَوْ إِطْعَامِ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنََا

"Bahwasanya seorang lelaki berbuka di bulan Ramadlan, lalu Rasulul lah SAW. menyuruhnya memberi kaffarat dengan memerdekakan seorang budak, atau berpuasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang miskin."

Kata Asy Syaukani: Memang ada riwayat yang menunjuk- kan kepada tertib dan ada pula riwayat-riwayat yang menunjukkan kepada boleh memilih salah satunya. Tetapi orang yang meriwa- yatkan tertib, lebih banyak.

Sebahagian ulama berpendapat, bahwa yang lebih utama kita tertibkan dan boleh kita pilih salah satunya. Orang yang sengaja berjima' di siang hari di bulan Ramadlan dan tidak terus memberikan kaffarat, kemudian dia jima' lagi pada hari yang lain, maka menurut pendapat ulama Hanafiyah, wajib satu kaffarat sahaja. Menurut pendapat Malik, Asy Syafi'iy dan satu riwayat dari Ahmad, wajib dua kaffarat. Semua mereka sependapat, bahwa orang yang bersetubuh di siang hari di bulan Ramadlan dengan sengaja dan terus memberi kaffarat, kemudian berbuat pula demikian di hari yang lain, maka atasnya kaffarat yang lain pula.

Demikian pula mereka sependapat, bahwa orang yang berji- ma' dua kali sehari sebelum memberi kaffarat yang pertama, wajib atasnya satu kaffarat sahaja. Jika dia telah memberi kaffarat yang pertama, tidak wajib kaffarat yang kedua. Demikian pendapat jumhur. Kata Ahmad: Wajib.

Demikianlah jika puasa itu puasa Ramadlan. Adapun jika puasa qadla Ramadlan, atau nadzar, lalu dirusakkan dengan jima', maka tak ada kaffafat yang demikian itu.

Tegasnya, menurut Jumhur, diwajibkan kaffarat atas lelaki dan perempuan, jika kedua-duanya sengaja berjima' dalam keadaan tidak tergagah dan berniat puasa. Jika terjadi jima' karena lupa atau karena dipaksa, atau tidak dalam berniat berpuasa, maka tak ada kaffarat atas mereka itu. Jika wanita itu dipaksa oleh lelaki atau si wanita itu dalam keadaan berbuka, wajiblah kaffarat atas lelaki saja.

Menurut madzhab Asy Syafi'iy, tak ada kaffarat atas wanita sekali-kali, baik memenuhi kemauan si lelaki dengan sukarela, ataupun dengan dipaksa, hanya lazim mengqadla saja.

Kata An Nawawi: "Pendapat yang lebih sah, ialah wajib satu kaffarat saja atas lelaki, tak ada apa-apa atas perempuan, karena kaffarat itu harta yang diberikan karena jima', maka haruslah diberatkan atas lelaki saja."

Kata Abu Daud: "Ditanyakan kepada Ahmad dalam suatu riwayat tentang orang menjima'i isterinya di bulan Ramadlan, adakah kaffarat atas wanita? Ahmad menjawab: "Kami tak pernah mendengar ada kaffarat atas wanita."

Disebutkan dalam Al Mughni, bahwa Nabi menyuruh si laki-laki yang menjima'i itu memerdekakan seorang budak dan Nabi tidak menyuruh si wanita berbuat demikian.

Tentang qadla puasa yang telah dirusakkan dengan ma' diperselisihkan oleh para ahli Hadits. Sebahagian ulama menetapkan kefardluan mengqadla puasa yang telah dirusakkan dengan jima'. Dan sebahagian yang lain tidak menetapkan kefardluan qadla itu. Hadits yang menyuruh menggantikan puasa yang telah dirusakkan dengan jima' itu dla'if.

Kata Al Abdari: "Seluruh Fuqaha mewajibkan qadla terkecuali Al Auza'i. Beliau berkata: "Kalau dikaffaratkan dengan puasa, tidak wajib qadla. Kalau dengan memerdekakan budak atau memberi makan orang miskin, wajib qadla."

MASUK WAKTU SUBUH BAGI ORANG YANG MASIH BERJUNUB

Apabila seseorang memasuki waktu shubuh dalam keadaan masih berjunub, maka di antara ulama ada yang mengatakan tak shah puasa; mereka mewajibkan mandi sebelum fajar. Tetapi jumhur ulama tiada mewajibkan mandi sebelum fajar dan mensahkan puasa itu.

Diriwayatkan oleh Muslim dari 'Aisyah, ujarnya:

  أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صلعم إِنِّى أُصْبِحُ جُنُبًا وَأَنَا أُرِيْدُ الصِّيَامَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلعم . وَأَنَا أُصْبِحُ جُنُبًا وَأَنَا أَرِيْدُ الصَّومَ 

"Bahwasanya seorang lelaki berkata kepada Nabi SAW.: "Bahwa- sanya aku memasuki shubuh dalam keadaan berjunub sedang aku hen- dak berpuasa. Maka bersabdalah Rasulullah: "Dan sayapun memasuki waktu shubuh dalam keadaan masih junub dan sayapun, hendak berpuasa." 

Diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, dari 'Aisyah dan Ummi Salamah, ujarnya:

وَإِِنَّ النَّبِيَّ صلعم كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعِِ لَاحُلْمٍ ثُمَّ يَغْتَسِلُ

"Dan bahwasanya Nabi SAW. sering memasuki shubuh dalam keadaan beliau berjunub, dari karena jima', bukan karena bermimpi; kemudian mandi."

Disamakan dengan ini hukum perempuan yang putus haidl pada malam hari. Boleh terus ia berpuasa esok harinya, walaupun belum mandi."

MAKAN KARENA LUPA DAN DIPAKSA.

Barangsiapa makan karena lupa atau menyangka belum fajar, atau menyangka bahwa matahari telah terbenam, maka puasanya tetap sempurna dan hendaklah puasa itu disempurnakannya. Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Rasul- lullah SAW. bersabda:

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا اللهُ أَطْعَمَهُ وَسَقَاهُ 

"Barangsiapa lupa padahal ia berpuasa, lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Hanyasanya Allah telah memberi makan kepadanya dan telah memberi minumnya"

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah juga ujarnya:

جاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلعم فَقَالَ يَا رَسُول الله إِنِّي اَكَلْتُ وَشَرِبْتُ نَاسِيًا وأنا صَائِمٌ فَقَالَ اللهُ أَطْعَمَكَ وَسَقَاكَ 

"Seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW. lalu berkata: "Ya Ra- sulullah, bahwasanya saya telah makan dan minum karena lupa, sedang- kan saya berpuasa. Maka bersabdalah Rasulullah: "Allah telah memberi makan dan minum kepadamu."

Diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Ibn Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

إِِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِأُمَّتِي عَنِ الْخَطَاءِ وَ النِّسْيَانِ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ 

"Bahwasanya Allah tiada menyalahkan umatku karena mengerjakan sesuatu karena kesalahan, (kesilapan), karena lupa dan karena dipaksa."

Dan baiklah dimaklumi bahwa orang yang dipaksa untuk berbuka, perempuan yang disetubuhi dalam tidur, atau dipaksa menerima persetubuhan, atau disetubuhi dalam keadaan gila, atau keadaan pingsan; dan orang yang dimasukkan (dicurahkan air ke dalam halqumnya) sedang di dalam keadaan tidur, maka puasanya tetap dalam keadaan sempurna dan hendaklah ia menyempurnakan puasanya itu berdasarkan Hadits yang tersebut di atas ini.

Referensi Berdasarkan Buku Pedoman Puasa Karangan Tgk. Hasbi Hasbi Ash-Shiddieqy