Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Shalat tahajjud dan shalat laili

bacaan sholat qiyamul lail
Tata cara shalat qiyamul lail

Pada hakikatnya shalat qiyam (shalat tarawih), adalah shalat lail atau qiyamullail yang dikerjakan di mesjid dengan berjama'ah di awal malam, berdasarkan kepada shalat Nabi SAW. yang me- ngerjakan dengan jama'ah selama tiga malam, yaitu di malam 23, 25 dan 27 bulan Ramadlan. Maka bagi orang yang mengerjakan shalat qiyam sendiri, atau di rumah sendiri di tengah-tengah malam di waktu manusia telah tidur, maka shalat qiyam baginya dinamakan juga shalat tahajjud dan shalat lail dan hendaklah dituruti adat-adat mengerjakan shalat lail. Umar sendiri mengutamakan shalat qiyam di akhir malam. Maksudnya: Bersembahyang di akhir malam lebih utama dari awal malam.

Keutamaan Shalat Malam

Allah SWT. memerintahkan Nabinya mengerjakan shalat lail atau shalat tahajjud: Allah berfirman:

ومِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَدْ بِهِ نَافِلَة لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

"Dan di sebahagian malam, bertahajjudlah engkau, sebagai suatu nafi lah (tambahan ibadat) bagi engkau, mudah-mudahan Allah menempat- kan engkau di magam yang terpuji" (Ayat 79 S. 17 Al-Isra")

Perintah ini walaupun lahir khusus bagi Rasulullah, namun kaum muslimin masuk seluruhnya ke dalam perintah ini dengan dasar mereka harus mengikuti Nabi.

Allah telah menerangkan bahwa yang bershalat malam itu, adalah para muhsinin yang berhak menerima Rahmat Allah dan kebaikannya.

Abdullah ibn Salam berkata:

أَوَّلَ مَا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ الْمَدِينَةَ اِنْجَعَلَ النَّاسُ إِلَيْهِ فَكُنْتُ مِمَّنْ جاءَهُ ، فَلَمَّا تَأَمَّلْتُ وَجْهَهُ . وَاسْتَبَنْتُ عَرَفتُ أَنَّ وَجْهَهُ لَيْسَ بِوَجْهِ كَذَّابٍ قالَ ، فَكَانَ أَوَّلَ مَا سَمِعْتُ مِنْ كَلَامِهِ أَنْ قَالَ أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوْا السَّلَام وأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصِلُوا الأَرْحَامَ وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نَيَامُ تَدْخُلُوا الجَنَّةَ بِسَلام

"Pada permulaan Rasulullah datang ke Madinah, pergilah manusia kepadanya. Akupun salah seorang dari orang yang mendatanginya. Tatkala aku memperhatikan mukanya dan aku menelitikannya, mengertilah aku bahwa muka Rasulullah bukanlah muka pendusta. Maka permulaan pembicaraan yang aku dengar padanya ialah: "Wahai manusia, tebarkanlah salam, berikan makanan kepada fakir miskin hubungi rahim dan bershalat di malam hari, sedang manusia lagi tidur, niscaya kamu masuk sorga dalam keadaan sentausa."

Salman Al Farisi berkata:

عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ الَّليْلِ فإنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ وَمَقْرَبَةٌ لَكُمْ إِلَى رَبِّكُمْ وَمَكْفَرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ وَمَنْهَاةٌ عَنِ الإِثْمِ وَمَطْرَدَةٌ لِلدَّاءِ عَنِ الْجَسَدِ 

"Hendaklah kamu mengerjakan qiyamul laill, karena sesungguhnya Itulah adat orang-orang shalih sebelummu. Ia mendekatkan kamu kepada Tuhanmu, ia menutupi kesalahan-kesalahanmu, ia mencegahkan kamu dari dosa dan ia mengusir penyakit dari tubuh."

Pengertian tahajjud

Kata Asy Syafi'iy: "Tahajjud dan witir itu satu, yakni shalat malam, baik digenap-genapkan raka'atnya, maupun diganjil-ganjilkan." 

Pada asalnya di malam hari disuruh kita mengerjakan shalat malam. Shalat malam itu dibagi dua, yakni:

  • Yang digenap-genapkan raka'atnya dua-dua raka'at satu salam, atau empat-empat raka'at satu malam.
  • Yang diganjil-ganjilkan raka'atnya satu, tiga, lima. tujuh, sembilan dan sebelas.
Kata Ar Rafi'i: "Sesungguhnya shalat witir tidak dinamai tahajjud."

Kata sebagian ahli Tahqiq: "witir itu nama bagi rakaat yang diasingkan dari tahajjud, diletakkan di akhir tahajjud, atau nama bagi shalat yang diganjilkan."

Dinamai shalat malam, dengan shalat tahajjud, atau qiyamullail, adalah karena shalat malam itu dikerjakan di waktu manusia telah masuk ke dalam waktu tidur, baik dikerjakan sesudah tidur, atau sebelumnya.

Shalat malam boleh dikerjakan dengan:

  • Mengerjakan genap-genap dahulu, kemudian disudahi dengan witir (dengan yang ganjil). 
  • Mengerjakan witir sahaja, dengan tidak didahulukan shalat. 
Martabat dua shalat itu, tidak sama. Shalat ganjil atau shalat sunat witir, seteguh-teguh sunat rawatib. Shalat witir ini sederjat dengan shalat fajar.

Kaifiyah melakukan shalat tahajjud (shalat malam) Kaifiyat melakukan shalat tahajjud (shalat malam), sebagai yang diterangkan, ada dua:

Pertama: Didahului oleh shalat genap, diakhiri oleh shalat witir, dan Kedua: Tidak didahului oleh shalat genap, hanya terus berwitir saja.

Kemudian apabila kita perhatikan kaifiat-kaifiat yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW., nyatalah banyak macamnya. Kita boleh mengambil salah satu kaifiat-kaifiat yang banyak itu.

Tahajjud yang bercampur witir

Pertama: Kita shalat dua raka'at iftitah, kemudian kita kerjakan sepuluh raka'at, kita bersalam di tiap-tiap dua raka'at. Dan sesudah itu, kita mengerjakan witir satu raka'at. Cara yang begini, diriwayatkan oleh Abu Daud dari 'Aisyah RA.

Kedua: Kita bershalat dua raka'at iftitah sesudah itu enam raka'at tahajjud, sesudah itu lima raka'at witir dengan bersambung-sambung. Kita bertahajjud di raka'at akhir sahaja (raka'at yang kelima sahaja). Kaifiyat begini, diriwayatkan oleh an Nasa-i dari 'Aisyah juga.

Ketiga: Kita shalat dua raka'at iftitah, sesudah itu kita sembahyang delapan raka'at. Kita bersalam di tiap-tiap dua raka'at sekali dan kemudian kita mengerjakan satu raka'at witir. Kaifiat ini, diriwayatkan oleh Muslim dari ibnu 'Umar.

Keempat: Kita bersembahyang dua raka'at iftitah. Sesudah itu kita bersembahyang enam raka'at, kita bersalam di tiap-tiap dua raka'at sekali dan sesudah itu kita mengerjakan witir satu raka'at. Kaifiat ini diriwayatkan dari 'Aisyah pula.

Kelima: Kita shalat dua raka'at iftitah, sesudah itu kita shalat empat raka'at. Kita bersalam di tiap-tiap raka'at sesudah itu kita berwitir satu raka'at. Kaifiat ini diriwayatkan oleh an Nasa-i dari Hudzaifah.

Keenam: Kita bershalat dua raka'at iftitah, sesudah itu kita shalat dua raka'at tahajjud dan sesudah itu kiat mengerjakan witir satu raka'at.

Ketujuh: Kita shalat dua raka'at iftitah, sesudah itu kita shalat delapan raka'at. Kita bersalam di tiap-tiap empat raka'at sekali; tidak kita bertasyahud pada tiap-tiap dua raka'at; dan sesudah ia kita mengerjakan witir tiga raka'at dengan sekali salam dan sekali tasyahud sahaja, cara begini diriwayatkan Bukhari Muslim dari 'Aisyah.

Kedelapan: Diriwayatkan dari ibnu Abbas RA., bahwa pada suatu malam beliau (ibn Abbas) tidur di rumah Rasulullah, maka Rasulullah bangun dari tidurnya, lalu bersugi dan berwudhu' sambil membaca ayat-ayat Al Qur-an, yaitu: ayat 190 sampai ayat 200 akhir surat Ali Imran. Sesudah itu Rasulullah SAW. shalat dua raka'at dan sesudah itu beliau tidur lagi. Tidak beberapa lama kemudian, beliau bangun lagi dari tidurnya lalu bersugi lagi, berwudhu', membaca beberapa ayat Al Qur-an dan shalat. Sesudah cukup enam raka'at, baharulah beliau mengerjakan witir tiga raka'at.

Ketika azan subuh terdengar, keluarlah Rasulullah SAW. ke Mesjid sambil membaca:

اَللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا . وَفِي لِسَانِي نُورًا ، وَاجْعَلْ فِي سَمْعِ نُورًا وَاجْعَلْ في بَصَرِى نُورًا ، وَاجْعَلْ فِي خَلْفِي نوراً ، وَمِنْ أَمَا مِي نُورًا ، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِى نُوْرًا. وَمِن تَحْتِى نُوْرًا . اَللَّهُمَّ أَعْطِيْنِي نُوْرًا 

"Wahai Tuhanku! jadikanlah cahaya yang cemerlang di jiwaku dan di lisanku dan jadikanlah cahaya yang cemerlang di pendengaranku dan jadikanlah cahaya yang cemerlang di penglihatanku dan jadikanlah cahaya yang cemerlang di belakangku dan di depanku, dan jadikanlah olehmu cahaya yang cemerlang di atas dan di bawahku. Ya Tuhanku! berikanlah kepadaku cahaya."

Kedelapan cara ini dapat dijadikan cara qiyamullail. 

Witir yang tidak didahului shalat genap

Pertama: Kita shalat sembilan raka'at. Kita duduk (duduk tasyahud) di raka'at yang kedelapan lalu membaca tasyahud yang pertama. Sesudah kita bertasyahud itu bangunlah kita mengerjakan raka'at yang kesembilan. Di akhir raka'at yang ke sembilan itu kita bertasyahud akhir, lalu bersalam. Kemudian kita shalat lagi dua raka'at sambil duduk. Kita lakukan semua itu sesudah kita lakukan sunat iftitah lebih dahulu.

Kedua: Kita shalat tujuh raka'at. Di akhir raka'at yang keenam, kita duduk untuk bertasyahud yang pertama dan di akhir raka'at yang ke tujuh, kita bertasyahud yang ke dua.

Ketiga: Kita bershalat tujuh raka'at. Kita bertasyahud di raka'at yang ketujuh (yang akhir itu) saja dan lalu kita memberi salam. Dan sesudah itu kita bershalat dua raka'at sambil duduk.

Keempat: Kita bershalat lima raka'at. Kita duduk bertasyahud di raka'at yang ketiga (yang akhir) itu dan lalu kita bersalam. Kaifiat ini diamalkan oleh Ibn Abbas, Imam Malik, dalam mengerjakan sunat witir tiga raka'at ini, bertasyahud di raka'at yang kedua, lalu memberi salam. Sesudah itu, beliau bangun mengerjakan satu raka'at lagi.

Imam Abu Hanifah, dalam mengerjakan sunat witir tiga raka- 'at, melakukan juga duduk tasyahud yang pertama di raka'at yang kedua, tetapi dengan tidak bersalam padanya, hanya beliau terus bangun ke raka'at yang ketiga. 

Keenam: Kita mengerjakan satu raka'at saja. Inilah ketetapan mazhab Asy-Syafi'iy, Abu Sulaiman dan lain-lainnya.  

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Ayyub, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:

الْوِتْرُحَقٌّ فَمَنْ أَحَبُّ أَنْ يُوْتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبُّ أَن يُوْتِرَ بِثَلَاثٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوْتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ 

"Sunnat witir itu, haq, maka barangsiapa mengerjakannya dengan lima raka'at, hendaklah ia mengerjakannya. Dan barangsiapa suka mengerjakan witir dengan tiga raka'at, hendaklah ia mengerjakan witir dengan tiga raka'at. Barangsiapa suka mengerjakan witir dengan satu raka'at, hendaklah ia mengerjakannya."

Ketujuh Kita mengerjakan sebelas raka'at. Kita duduk bertasyahud yang pertama di raka'at yang kesepuluh dan bertasyahud yang kedua di raka'at yang kesebelas.

Diriwayatkan oleh Al Hakim, Muhammad ibn Naser, Ad Daruquthni dan Al Baihaqi dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

اَوْتِرُوا بِخَمْسٍ أو بِسَبْعٍ أَو بِتِسْعٍ أَوِْ بِإِحْدَى عَشَرَةَ رَكْعَةً

"Berwitirlah kamu dengan lima raka'at atau dengan tujuh raka'at, atau dengan sembilan raka'at atau dengan sebelas raka'at."

Kata Al Hakim: "Hadits ini shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim.

Diterangkan oleh pengarang at Tahzib, bahwa sebanyak-banyak witir itu tigabelas raka'at. Ini, adalah witir yang didahului oleh dua raka'at iftitah yakni dua iftitah dan sebelas witir.

Kaifiyat mengerjakan witir sebelas raka'at

Kata An Nawawi: "Witir sebelas raka'at boleh dikerjakan dengan bersalam di tiap-tiap dua raka'at. Raka'at yang kesebelas berdiri sendiri. Tetapi boleh juga dikerjakan dengan bersambung-sambung, yakni kita duduk bertasyahud di akhir raka'at kesepuluh dan di akhir raka'at yang kesebelas."

Kata pengarang Syarah Fathul Qarib: "Orang-orang yang hendak mengerjakan witir lebih dari satu raka'at boleh menyambung-nyambungnya dan boleh juga memisahnya. Cara menyambung ialah menyambung raka'at yang penghabisan dengan raka'at sebelumnya dan kalau demikian, boleh bertasyahhud di raka'at yang penghabisan (akhir) sahaja dan boleh bertasyahhud di raka'at yang sebelum penghabisan dan di raka'at yang penghabisan."

Dalam pada itu, jika berwitir tiga raka'at dan hendak menyambungnya, hendaklah dikerjakan dengan satu tasyahud saja agar tidak menyerupai shalat maghrib. Kalau hendak dipisahkan, hendaklah dipisahkan raka'atnya yang akhir dari raka'at yang sebelumnya.

Umpamanya: Jika seseorang shalat sebelas raka'at, maka yang sepuluh raka'at dengan satu Takbiratul Ihram dan satu salam. Raka'at yang satu lagi (raka'at yang kesebelas) dengan satu Takbi ratul Ihram dan dengan satu salam."

Kata pentahqiq: 'Shalat witir itu shalat yang ganjil. Maka apabila kita bersalam di tiap-tiap dua raka'at, tiadalah dihukum witir lagi, hanya dihukum genap, dan yang menjadi witir hanya yang terakhir saja, witir yang didahulukan oleh shalat yang genap. Demikianlah kalau dipisahkan sepuluh raka'at dengan satu salam dari raka'at yang kesebelas.

Kata pengarang kitab Ar Raudhatun "Nadiyah: "Witir itu nama bagi satu raka'at yang diceraikan dari yang sebelumnya dan nama bagi lima, tujuh, sembilan yang bersambung-sambung. Jika dikerjakan dengan dua salam, seperti yang sebelas raka'at di jadikan dua salam, maka yang dihukum witir, ialah raka'at yang diceraikan sendirinya."

Penjelasan tentang witir tiga raka'at

Telah diterangkan, bahwa kaifiyat mengerjakan witir tiga raka'at, tiga caranya: cara Ibn Abbas, cara Malik dan cara Abu Hanifah. Maka untuk menentukan yang lebih baik diamalkan, perlulah kita memperhatikan Hadits dan amalan-amalan shahabat sendiri.

Diriwayatkan oleh Ad Daraquthni dari Abu Huairah RA. bahwa Rasulullah SAW. bersabda:

لَاتُوْتِرُوْا بِثَلَاثٍ أَوْتِرُوْا بِخَمْسٍ أَوْ سَبْعٍ وَلَا تُشْبِهُوْا بِصَلَاةِ الْمَغْرِب

"Janganlah kamu berwitir dengan tiga raka'at, berwitir dengan lima, atau tujuh raka'at, janganlah diserupakan dengan maghrib."

Hadits ini mencegah kita menyerupakan witir dengan magrib, pada hal kita telah memperoleh Hadits yang memperoleh witir dengan tiga raka'at.

Maka mengumpulkan Hadits-hadits ini, adalah dengan jalan menetapkan, bahwa witir tiga raka'at yang dilarang itu, ialah witir yang serupa maghrib, yakni dengan dua tasyahud dan satu salam.

Supaya tidak menyerupai maghrib, hendaklah witir yang tiga raka'at ini dikerjakan dengan satu tasyahud saja. Dan jika dipisahkan dua raka'at yang pertama dari raka'at yang ketiga, niscaya hilanglah kewitirannya yang dua raka'at itu dan menjadi ia (yang dua raka'at yang pertama) shalat genap.

Dalam pada itu, Asy Syaukani menganjurkan, supaya kita tiada mengerjakan witir tiga raka'at, walaupun dengan satu tasyahud; karena masih terdapat padanya (witir yang tiga raka'at itu) penyerupaan dengan maghrib.

Shalat Iftitah

Disyari'atkan kita membuka shalat malam, baik yang kita kerjakan itu shalat genap yang diakhiri oleh witir, atau witir saja dengan mengerjakan sunat iftitah dua raka'at. Diriwayatkan oleh Muslim dari 'Aisyah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ اللَّيْلِ فَلْيَفْتَحْ صَلَاتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِفَتَيْنِ  

"Apabila bangun seseorang kamu di malam hari, maka hendaklah ia membuka (memulai atau mendahului) shalatnya dengan dua raka'at yang ringan)."

Sunnah Nabi ini harus diperhatikan oleh mereka yang bertarawih.

Kutipan dari buku Pedoman Puasa Tulisan Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy