Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SEBAB MEMULAI PUASA DAN MENYUDAHINYA

SEBAB-SEBAB MEMULAI PUASA DAN MENYUDAHINYA

WAJIB MEMULAI PUASA

Tanda wajib shalat dluhur, tergelincir matahari, tanda wajib shalat maghrib, terbenam matahari, tanda wajib shalat shubuh terbit fajar shadiq. Maka apa gerangan tanda wajib puasa di bulan Ramadlan? Dengan apakah kita tahu perintah wajib memulai puasa bulan Ramadlan, di hadapkan kepada kita?

JALAN-JALAN MENGETAHUI RAMADHAN MASUKNYA HILAL

Wajib kita berpuasa dengan masuknya bulan Ramadlan. Mengenai masuknya bulan Ramadlan itu dapat diketahui dengan jalan-jalan yang tersebut di bawah ini :

1. Melihat bulan Ramadlan (hilal Ramadlan)

Hal ini berdasarkan kepada Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفَطِرُو الرُّؤْيَتِهِ 

"Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu (berhari raya) sesudah melihat bulan." 

Makna "berpuasalah kamu setelah melihat bulan", ialah: sesudah sebahagian kamu melihat bulan bukan diharuskan semua melihat bulan.

Hal yang harus diperhatikan, ialah: bahwa puasa itu bukanlah dimulai terus setelah melihat bulan, tapi harus menurut ketentuan-ketentuannya, yaitu dari fajar malam yang pada malam itu kita melihat bulan; dan berbuka (berhari raya) sesudah terbenam matahari pada hari yang akhir dari bulan Ramadlan, baik kita lihat bulan sebelum matahari terbenam, ataupun sesudahnya.

Karena itu hendaklah kita berusaha melihat bulan pada malam ketiga puluh hari bulan Sya'ban, dan pada malam tiga puluh Rajab untuk mengetahui Sya'ban.

Diriwayatkan oleh At Turmudzi dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:

أحْصُوْا هِلَاكَ شَعْبَانَ لِرَمَضَانَ 

"Hitunglah hilal Sya'ban untuk Ramadan,"

Maka jika kita dapat melihat bulan, wajiblah atas kita berpuasa esoknya. Jika tidak terlihat bulan, sedang udarapun terang, tidaklah boleh kita berpuasa pada hari esoknya. Tetapi jika tidak terlihat karena udara mendung, maka menurut madzhab ibn Umar, kita wajib memulai puasa, berdasarkan Hadits Al Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar, Rasulullah bersabda:

إِنَّمَا الشُّهُرُ تِسْع وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لهُ

"Sesungghnya bulan itu 29 hari. Maka janganlah kamu berpuasa, sehingga kamu melihat bulan dan janganlah kamu berbuka, sehingga kamu melihatnya. Tapi jika mendung, kadarkanlah olehmu untuk- nya. 

Pendapat-pendapat para Fuqaha bila tidak terlihat bulan pada malam tiga puluh karena mendung:

a. Berkata Nafi': "Abdullah Ibn Umar apabila telah berlalu Sya'ban 29 hari, menyuruh orang pergi melihat bulan. Jika terlihat, beliaupun berpuasa, dan jika tidak terlihat sedang udara terang dan bersih, beliau tidak berpuasa; tetapi jika tidak terlihat karena udara mendung, beliau berpuasa esoknya."

Arti "dan kadarkanlah olehmu untuknya", ialah jadikanlah ia 29 hari, atau pandanglah dia sudah ada di bawah awan. Madzhab ini, adalah madzhab Umar, Ibn Umar, Amar Ibn "Ash, Abi Hurairah, Anas, Mu'awiyah dan 'Aisyah. Dari Tabi'in yang mengikuti madzhab ini, ialah: Mujahid, Thaus, Salim ibn Abdillah, Maimun ibn Mihran, Bakir ibn Abdullah. Dari para muj tahid: Al Muzani dan Usman An Nahdi.

Berkata Abdur Rahman As Sa'ati: "Para Ulama berbeda pendapat dalam mengartikan perkataan: maka kadarkanlah untuknya. Menurut pendapat ahli bahasa, maknanya: maka takdirkanlah dia." Jumhur ulama dari golongan Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi'iyah berpendapat bahwa makna "kadarkanlah untuk- nya," ialah: sempurnakanlah 30 hari. 

Segolongan ulama berpendapat, maknanya: Pandanglah dia, sudah ada di bawah awan. Segolongan yang lain berpendapat: pergunakanlah hisab. Jumhur ulama memaknakan "maka kadarkanlah untuknya" dengan "sempurnakanlah"; karena mengingat bahwa hadits harus ditafsirkan dengan hadits. Perkataan: "maka kadarkanlah untuknya" ditafsirkan oleh perkataan: "maka sempurnakanlah 30 hari." Dan dikuatkan lagi oleh riwayat Muslim yang berbunyi: "faqduru lahu tsalatsina = maka kadarkanlah untuknya 30 hari." Oleh karena itu, tidaklah dapat hadits ini dipergunakan untuk menjadi pegangan dalam berpuasa dengan hisab.

b. Berkata Abu Hurairah, Malik, Asy Syafi'i dan Ahmad pada suatu riwayat: Tidak wajib kita memulai puasa dan tiada sah dengan dasar demikian. Hanya wajib dahulu kita cukupkan Sya'ban tiga puluh hari, mengingat Hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW. bersabda:

صُومُوا لرُّؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُ والرُّؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَ عَلَيْكُمْ فَاكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثلاثين يَوْمًا 

"Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu sesudah melihat bulan. Jika mendung tak dapat melihatnya, sempurnakanlah Sya'ban 30 hari."

Golongan ini mengartikan perkataan "kadarkanlah olehmu untuknya," dengan "hitungkanlah awal Sya'ban" dan cukupkanlah 30 hari." 

c. Berkata Al Hasan, Ibn Sirin dan Ahmad dalam suatu riwayat dari padanya: Hendaklah kita mengikuti penguasa. Jika ia berpuasa, kitapun berpuasa, jika dia tidak berpuasa kitapun tidak berpuasa, mengingat Hadits yang diriwayatkan At Turmudzi dari 'Aisyah bahwa Rasulullah SAW. bersabda:

 الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ - وَالْفِطْرُ يَوْمَ تَفْطَرُونَ وَالأَضحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ 

"Puasa di hari kamu berpuasa, hari raya Fithri di hari kamu berhari raya Fithri dan penyembelihan qurban di hari kamu menyembelih- nya."

Sebahagian ahli ilmu menafsirkan Hadits ini dengan arti: "Berbuka dan berpuasa hari mengikuti umum, atau orang ramai." Melihat bulan di siang hari.

Apabila kita melihat bulan di siang hari sebelum zawal, atau sesudah zawal, maka bulan itu untuk malam yang mendatanginya. Demikianlah menurut pendapat Jumhur.

Berkata Ibn Hazm "Apabila dilihat bulan sebelum zawal, maka menandakan sudah sehari bulan; wajib kita berpuasa semenjak melihat itu (atau wajib berbuka jika di akhir Ramadhan). Dan apabila kita melihat sesudah zawal, maka esoknya baru sehari bulan."

Diriwayatkan oleh Ibn Hazm dari Ibrahim An Nakha-i, ujarnya: "Adalah Umar Ibn Khathab mengirim surat kepada wali-walinya (kepala Daerah), menyatakan bahwa, "apabila kamu melihat bulan sebelum zawal, berbukalah kamu dan apabila kamu melihat sesudah zawal, maka janganlah kamu berbuka." Dalam suatu Hadits yang Shahih ada diterangkan, bahwa Nabi SAW. bersabda:

إِذا غَابَ الْقَمَرُ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّفَقِ ، فَهُوَ لِلَيْلَةِ . وَإِذَا غَابَ الْقَمَرُ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّفَقِ اَوْ بَعْدَ غُرُوبِ الْحُمْرَةِ ، فَهُوَ لِلَيْلَتَيْنِ

"Apabila terbenam bulan sebelum hilang syafaq merah, maka malam itu malam pertama (kesatu). Dan apabila terbenam sesudah hilang mega merah, atau sesudah hilang merah, maka malam itu malam kedua." 

Jika dilihat bulan sebelum terbenam matahari, maka esoknya tidak dipandang tanggal satu.

2. Mendapat khabar dari orang adil

Orang adil, ialah: orang yang lebih banyak baiknya dari pada buruknya. Orang ini mengkhabarkan, bahwa hilal Ramadlan kelihatan di ufuk barat sesudah maghrib (sesudah terbenam matahari).

Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ad Daruquthni dari Umar, ujarnya:

تَرَاءَ النَّاسُ الهِلَالَ . فَأَخَبَرْتُ رَسُولَ اللهِ صلعم أَنِّي رَأَيْتُهُ، فَصَامَ وَاَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ 

"Manusia sibuk melihat-lihat bulan lalu aku khabarkan kepada Rasulul lah SAW. bahwasanya aku telah melihatnya, karena itu Rasulullah SAW. berpuasa dan memerintahkan manusia berpuasa."

Diriwayatkan oleh At Turmudzi dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, ujarnya:

جَاءَ أَعْرَابِي إِلَى النَّبي صلعم ، فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ يَعْنِي رَمَضَانَ ، فَقَالَ أَتَشْهَدُ أن لا اله الا اللهُ ؟ قَالَ : نَعَمْ . قَالَ ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ ؟ قَالَ : نعم . قَالَ يَا بِلالُ، أَذِّنَ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا 

"Seorang Arabi (Badawi) telah datang kepada Rasulullah SAW. lalu berkata: "Bahwasanya saya telah melihat hilal Ramadlan." Maka bertanya Rasulullah SAW.: "Apakah kamu mengakui bahwasanya tiada Tuhan melainkan Allah?" Badawi itu menjawab "benar." Bertanya lagi Rasulullah SAW: Apakah engkau mengakui bahwa Mu- hammad itu Rasul Allah?" Menjawab Badawi itu: "benar." Maka bersabdalah Rasulullah "Wahai Bilal, beritahukanlah kepada manusia sipaya mereka berpuasa esok hari."

Kedua-dua Hadits ini menyatakan bahwa Syara' menerima pensaksian seseorang buat menentukan masuk atau tidaknya bu- lan Ramadlan. Inilah mazhab Ibn Mubarak, Ahmad Ibn Hanbal dan Asy Syafi'iy di salah satu riwayat dari padanya.

Kata At Turmudzy, "Inilah yang diamalkan oleh kebanyakan ahli ilmu." Mereka berkata: "Diterima syahadah seorang dalam hal puasa."

Berkata An Nawawi "Inilah mazhab yang paling Shahih." Orang yang sendirian saja melihat bulan.

Sepakat segala Ulama Fiqh menetapkan bahwa wajib atas orang yang sendirian saja melihat bulan, berpuasa. Dalam pada itu Atha' tidak mewajibkan.

Dan mereka berselisih pula tentang orang yang sendirian melihat bulan Syawal. Pendapat yang benar, ialah sebagaimana yang telah dikatakan oleh Asy Syafi'iy dan Abu Tsaur, yakni orang tersebut berhari raya juga. Pegangannya, ru'yah. Hal itu telah hasil 

3. Dengan cukup bulan Sya'ban 30 hari

Apabila kita tidak melihat bulan Ramadlan pada malam ketiga puluh Sya'ban dan tidak ada yang menyaksikan hilal, wajiblah, jika mendasarkan puasa pada melihat bulan, menyempurnakan bulan Sya'ban 30 hari. Tidak ada khilaf pada wajib mulai puasa, setelah nyata, bahwa bulan Sya'ban telah cukup 30 hari.

Untuk mengetahui kecukupan Sya'ban 30 hari, perlulah kita ketahui lebih dahulu tanggal satu Sya'ban dengan perantaraan ru'yah juga.

4. Dengan hisab ahli hisab

Sebahagian ahli ilmu Mutaakhkhirin berkata: "Boleh juga kita mulai puasa dengan hisab ahli ilmu hisab." Berkata sebahagian ulama: "Boleh juga kita memulai puasa dengan hisab ahli hisab yang cukup alat-alat hisab dan segala yang bersangkut-paut dengannya." Mereka berdalil dengan Firman Allah:

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءٌ ، وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السنينَ وَالْحِسَابَ 
"Dialah Tuhan yang telah menjadikan matahari bersinar dan bulan ber cahaya gemilang dan menjangkakan perjalanannya dalam beberapa man- zilah, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perkiraan bulan serta bilangan hari "(Ayat 5; S. 10; Yunus).

Dan mereka berpegang kepada Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda:

نَحْنُ أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلا تَحْسُبُ 

"Kami umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghisab."

Dan mereka berpegang pula kepada Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:

 إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَقْدُرُوْا لَهُ

"Sesungguhnya bulan itu 29 hari, maka janganlah kamu berpuasa se- hingga kamu melihat bulan dan janganlah kamu berbuka sehingga kamu melihatnya, jika mendung, "kadarkanlah" olehmu untuknya."

Mereka mengartikan: "faqduru lahu" dengan menggunakan hisab awal bulan. Sebenarnya lafadl-lafadl Hadits ini tidak membenarkan kita memaknakan "faqduru lahu" sebagai yang dikehendaki oleh ahli hisab yang mempergunakan Hadits ini untuk dasar berpuasa dengan hisab dan untuk dasar memilih hisab, buat menetapkan telah masuk hilal Ramadlan tanpa menghiraukan rukyah, karena memaknakan "faqduru lahu" sedemikian, menyebabkan kita menjadikan lafadl tersebut bertentangan dengan Hadits-hadits lain yang membawa lafadl "faatimmu" dan "faakmilu," sedangkan lafadl faatimmu dan faakmilu lebih banyak datangnya dari lafadl faqduru lahu, kecuali dengan kita mengatakan, bahwa Hadits-hadits yang mengharuskan rukyah atau menyempurnakan Sya'ban 30 hari, hanya berlaku di permulaan Islam, sedangkan sekarang berlaku Hadits "faqduru lahu" yang diartikan dengan keharusan hisab atau dengan jalan menetapkan, bahwa Hadits rukyah bil fi'li dan menyempurnakan 30 hari dihadapkan kepada orang awam, sedangkan Hadits "faqduru lahu" dihadapkan kepada ummat sekarang ini yang mempunyai ahli hisab.

Maka untuk menghilangkan pertentangan-pertentangan lafadl, haruslah kita menafsirkan "faqduru lahu" dengan "faatim-mu atau faakmilmu."

Jika demikian, jalan mengetahui masuk bulan Ramadlan hanyalah tiga saja, atau hanya satu saja, yaitu rukyah, baik rukyah sendiri, maupun dikhabarkan orang yang adil, atau cukup Sya'ban 30 hari.

Menentukan awal Ramadlan dengan hisab yang tidak dibuk tikan kebenarannya oleh kenyataan rukyah, terang berlawanan dengan lafadl-lafadl Hadits yang tegas petunjuknya yang tidak mungkin ditakwil.

Ringkasnya, para muslim seluruh dunia, harus berpuasa bila melihat bulan Ramadlan pada malam 30 Sya'ban, sedang udara dalam keadaan jernih, tidak ada yang menghalangi rukyah, seperti mendung.

Dan rukyah itu adakala dilakukan dengan mata kepala sendiri, atau dengan teropong bintang; karena teropong ini alat yang membantu mata. Kemudian Negara (Pemerintah) mengumumkan rukyah ke seluruh daerah.

Dalam pada itu rukyah yang kita pegangi, ialah rukyah yang dimungkinkan oleh hisab, dan hisab yang kita pegangi ialah hisab yang tidak berlawanan dengan rukyah, atau yang berjalin antara keduanya.

Bila tidak berujud rukyah pada malam 30 Sya'ban, baik de- ngan penglihatan mata, atau dengan teropong bintang, maka wajiblah kita menyempurnakan Sya'ban 30 hari, mengingat Hadits:

صُوْمُوْا لرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُ وَلِرُؤيَتِهِ فَإِنْ غُبِيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا 

"Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan, dan berbukalah kamu sete lah melihat bulan. Jika hari mendung (kabut), maka sempurnakanlah Sya'ban 30 hari."

Dimaksudkan "ghumma," sukar dilihat karena mendung, atau awan, atau kabut. 5. Rukyah sesuatu negeri wajib dituruti oleh negeri-negeri yang lainز

Rukyah dari seseorang penduduk sesuatu negeri, mewajibkan puasa bagi semua penduduk negerinya dan juga bagi negeri-negeri tetangganya.

Apabila sesuatu negeri melihat bulan wajiblah yang melihat hilal itu mengkhabarkan kepada yang berwajib. Dan wajiblah penduduk negeri yang lain berpuasa. Inilah pendapat Al Laits dan sebahagian pengikut Asy Syafi'iy.

Dalam masalah ikhtilafu mathla', kita menemukan dua pendapat:

1. Pendapat jumhur ulama.

Jumhur ulama berpendapat, bahwa perbedaan mathla' itu tidak menjadi perhatian. Apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan, wajiblah puasa atas semua negeri, mengingat sabda Rasulullah SAW.:

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ

"Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan."

Ini suatu khitab yang umum kepada segala umat. Maka siapa saja melihatnya dari ummat itu, di tempat mana saja, maka penglihatannya itu dipandang penglihatan seluruh umat.

2. Pendapat segolongan kecil ulama, Mereka berpegang kepada Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan At Turmudzi dari Kuraib. Berkatalah Kurabi:

قَدِمُتُ الشَّامَ ، وَاسْتَهَلَّ عَلَيَّ هَلَالُ رَمَضَانَ ، وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِيْنَةَ فِي أَخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي ابْنُ عَبَّاسِِ ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ ، مَتَى رَايْتُمُ الْهِلَالَ ؟ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةُ الْجُمُعَةِ فَقَالَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ نَعَمْ ، وَرَاهُ النَّاسُ ، وَصَامُوْا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ لَكِن رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكَمِّلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ الا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ , لَا هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ 

"Saya datang ke Syam dan masuklah bulan Ramadlan, sedang saya berada di sana, maka saya melihat hilal di malam Jum'at. Di akhir bulan saya kembali ke Madinah. Maka Ibn Abbas bertanya kepada saya: "Kapan kamu melihat hilal?" Aku berkata: "Kami melihatnya pada malam Jum'at." Ibnu Abbas berkata: "Apakah kamu sendiri yang melihatnya?" Aku menjawab: "benar dan orang-orang lain melihat juga, Karenanya Mu'awiyah dan orang-orang di sana berpuasa" Kata Ibnu Abbas: "Akan tetapi kami melihatnya malam Sabtu, karenanya kami akan terus berpuasa hingga cukup 30 atau kami melihat bulan sendiri" Aku berkata: "Tidakkah anda mencukupi dengan rukyah Mu'awiyah dan puasanya?" Ibnu Abbas menjawab: "Tidak." Demikianlah kami diperintahkan Rasulullah SAW."

Hadits ini menetapkan, bahwa apabila telah pasti rukyatul hilal di suatu negara, wajiblah puasa di negera itu dan negara yang dekat dengannya yang segaris lurus dengan dia, tidak negeri-negeri yang lain.

Para ulama dalam menanggapi hadits Kuraib ini mempunyai beberapa pendapat. Pendapat-pendapat itu telah dijelaskan satu persatu oleh Al-Hafidh ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kitab Fa- thul Bari. Di antara lain ialah:

Pertama yang dii'tibarkan bagi penduduk suatu negeri hanyalah rukyah mereka sendiri, tak dapat mereka ikuti ruk- yah negeri lain. Inilah pendapat Ikrimah, Al-Qasim ibn Muhammad, Salim dan Ishaq. Demikianlah pendapat mereka yang berempat ini menurut nukilan ibnu Mundzir.

Kedua tidak wajib atas penduduk suatu negeri menerima rukyah negeri lain, terkecuali dibenarkan oleh Khalifah (kepala negara), karena seluruh daerah yang di bawah kekuasaannya. dipandang satu negeri. Demikianlah pendapat Ibnu Majisun.

Ketiga jika negeri-negeri itu berdekatan satu sama lain, di pandang satu negeri. Jika berjauhan, tidaklah wajib diikuti rukyah itu oleh negeri-negeri yang lain.

Inilah pendapat yang dipilih Abuththayib dari kalangan Syafi'iyah dan Asy Syafi'y sendiri menurut nukilan Al-Baghawy.

Dalam menentukan jarak jauh ada yang mengatakan perbedaan matla', ada yang mengatakan masafah qashar dan ada yang mengatakan perlainan benua (iklim).

Referensi berdasarkan Buku Pedoman Puasa karangan Buku Hasbi Ash-Shiddieqy