Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SYARAT WAJIB PUASA

Syarat Wajib Puasa

ORANG-ORANG YANG WAJIB PUASA

Diwajibkan puasa atas orang:
  1. Islam.
  2. Baligh (sampai umur).
  3. Berakal (tidak gila atau mabuk), lelaki atau perempuan.
  4. Suci dari haidl dan nifas bagi perempuan.
  5. Berada di kampung, tidak wajib atas orang musafir. 
  6. Sanggup berpuasa, tidak wajib atas orang yang lemah dan orang sakit.
Semua yang tersebut di atas, merupakan syarat-syarat wajib puasa. Bila terdapat pada person-person muslim syarat-syarat wajib puasa ini, wajiblah atasnya puasa, dan durhakalah dia bila meninggalkannya. Karena itu tidaklah wajib puasa atas orang:
  1. Kafir. 
  2. Gila.
  3. Anak kecil.
  4. Sedang sakit.
  5. Lemah badan.
  6. Musafir.
  7. Sangat tua.
  8. Haidl dan nifas. 
  9. Hamil dan menyusui anak.
Puasa orang kafir

a. Jika dia kafir asli, beribu bapa kafir, besar dalam keka firan, tidaklah dihadapkan perintah puasa kepadanya, diwaktu dia masih kafir. Dia, diharuskan memeluk Islam.

Puasa itu suatu ibadat Islam, karenanya tidak wajib atas orang kafir. Dan orang kafir tidak wajib mengqadlai puasa, bila ja masuk Islam, berdasarkan firman Allah:

"Katakanlah kepada orang-orang yang kafir, bahwa jika mereka ber- henti (tidak lagi berlaku kufur), niscaya Tuhan mengampuni dosa-dosa nya yang telah lalu, dan jika mereka kembali, maka sungguh telah ber laku sunnah orang-orang yang telah lalu. "(Ayat 39. S. 8; Al Anfal).

Dan wajib atas orang kafir apabila masuk Islam di dalam bulan Ramadlan, melaksanakan puasa yang sedang dihadapinya. Dan seyogianyalah ia imsak pada sisa hari yang ia Islam itu.

b. Jika dia bukan kafir asli seperti orang Islam yang murtad dari Islam, maka selagi dia murtad dari Islam, tidak dihadap- kan puasa kepadanya, lantaran puasa tidak sah atas orang murtad. Jika ia kembali ke dalam Islam lagi, barulah kita menyuruhnya berpuasa lagi dan wajiblah atasnya qadla yang ditinggalkan selama ia murtad. Demikian menurut mazhab Asy Syafi'i. Sebahagian ulama tidak mewajibkan puasa yang ditinggalkan selama dia murtad, mengingat umum ayat:

"Katakanlah kepada orang-orang kafir "Jika mereka berhenti, niscaya diampunilah dosanya yang telah lalu, dan jika mereka kembali lagi maka sungguh berlakulah atas diri mereka sunnah orang-orang yang te lah lalu. "(Ayat 39; S. 8; Al Anfal).

Perkataan kafir mencakup kafir asli dan kafir murtad.

Anak kecil

Anak kecil tidak diwajibkan puasa atasnya berdasarkan sabda Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh Ahmad, Ashhabus Sunnan dan Al Hakim, dari 'Aisyah bahwasanya Rasulullah bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ ، عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَبْلُعَ ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظُ 

"Diangkat kalam dari tiga orang 1) dari anak kecil, sehingga ia sampai umur. 2) dari orang gila, sehingga ia sembuh dan 3) dari orang yang tidur, sehingga ia bangun."

Puasa anak kecil yang telah berakal yang sanggup berpuasa, sah, walaupun belum diwajibkan atasnya puasa.

Sebahagian dari pengikut Ahmad berpendapat, bahwa anak kecil yang sanggup berpuasa dan telah sampai umur sepuluh ta- hun, wajib mengerjakan puasa; berdasarkan riwayat Ibnu Juraiy dari Muhammad Ibn Abdurrahman ibn Abi Labibah bahwa Ra- sulullah SAW. bersabda:

إِذَا أَطَاقَ الْغُلَامُ صِيَامَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ، وَجَبَ عَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ 

"Apabila seorang budak (anak kecil) telah sanggup berpuasa tiga hari, wajiblah atasnya berpuasa bulan Ramadlan." (H.R. Al Marhabi). 

Hadits ini mursal, tidak dapat dijadikan hujjah menurut pen- dapat jumhur. Dalam pada itu, wajiblah atas wali (pemimpin anak) menyuruh anak-anak kecil berpuasa bila mereka telah sanggup mengerjakannya, supaya mereka terbiasa berpuasa. Di antara ulama yang berpendapat begini, ialah: Atha', Al-Hasan, Ibn Sirin, Az Zuhri, Qatadah dan Asy Syafi'i. 

Berkata Al Auza'i: "Kalau anak itu telah sanggup berpuasa tiga hari berturut-turut dengan tidak merasa lemah, barulah diwajibkan puasa sepenuhnya."

Apabila seseorang sampai umur di pertengahan siang, atau seseorang sadar dari pingsannya dipertengahan siang, atau meme- luk Islam dipertengahan siang, atau suci dari haidl di pertengah an siang, maka wajiblah atasnya imsak pada sisa hari itu.

Arti diangkat kalam dari orang-orang dalam Hadits di atas, ialah tidak dibebani mereka dengan ibadat puasa; bukan diangkat kalau sesudah diletakkannya.

Walaupun puasa tidak wajib atas anak kecil, namun seyogianya bagi wali menyuruh anak berpuasa, supaya terbiasa berpuasa sejak dari kecil, jika si anak sanggup mengerjakannya. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Rubbayi binti Muawidz, ujarnya:

 أَرْسَلَ رَسُولُ اللهِ صَبِيْحَةَ عَاشُورَاءِ إِلَى قُرَى الْأَنْصَارِ مَنْ كَانَ أصْبَحَ صَائِمًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ وَمَنْ كَانَ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيَصُمْ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ . وَكُنَّا نَصُوْمُهُ بَعْدَ ذَلِكَ وَنَصُومُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ وَنَذْهَبُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَنَجْعَلَ لَهُمْ الُّلعْبَةَ مِنَ العَهْنِ فَإذا بَكَى أحَدُهُمْ مِنَ الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ إِيَّاهُ حَتَّى يَكُوْنَ عِنْدَ الإِفْطَارِ

"Rasulullah SAW. menyuruh orang-orang pada pagi hari Asyura pergi ke kampung-kampung Ansar untuk menyampaikan perintah Nabi, yaitu: Barangsiapa masuk ke pagi hari dalam keadaan berpuasa (belum makan minum), maka hendaklah dia sempurnakannya. Dan barangsiapa masuk ke pagi hari dalam keadaan berbuka, maka hendaklah dia berpuasa pada sisa harinya. Maka kami para Shahabat berpuasa sesudah mendengar perintah itu dan menyuruh anak-anak kecil berpuasa. Kami pergi ke mesjid dan kami buat untuk anak-anak mainan dari bulu domba. Bila seseorang anak menangis, untuk min ta makanan, kami berikan mainan itu kepadanya, sehingga sampa waktu berbuka."

Orang gila

Orang gila tidak mukallaf, karena tidak mempunyai akal yang menjadi dasar taklif, maka tidaklah wajib puasa atasnya di waktu dia sedang gila, mengingat Hadits yang diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, At Turmudzi dari Ali.

Dan apabila dia sembuh, tidaklah wajib mengqadla puasa yang tinggal selama dia gila, baik sebentar ataupun lama, baik dia sembuh dalam bulan Ramadlan, ataupun sesudahnya. Hu- kumnya demikian, karena dia meninggalkan puasa di waktu ia tidak dibebani puasa.

4. Orang pingsan

Jika seseorang pingsan, maka sebahagian ulama mewajibkan qadla atasnya, baik pingsan sepanjang bulan, atau pingsan sebahagiannya; karena orang pingsan dipandang orang sakit, berbeda dengan orang gila. Dan tidak dipandang sah puasa yang dikerjakan dalam keadaan pingsan.

Menurut mazhab Al Muzzani, tidak wajib puasa atas orang yang pingsan, karena dia tidak mukallaf. Berkata Ibnu Hazm: "Para Ulama berselisih paham tentang orang gila sepanjang masa (sepanjang bulan Ramadlan)."

Abu Hanifah berkata: "Barangsiapa gila sepanjang bulan Ramadlan, tak ada qadla atasnya, tetapi jika sembuh dipertengahan bulan, wajib ia qadla puasa yang ditinggalkannya itu. Orang yang pingsan sepanjang bulan Ramadlan, wajib mengqadla sepenuhnya, selama pingsannya itu.

Jika pingsan sesudah malam yang pertama, wajiblah ia meng qadla sepenuhnya terkecuali hari yang pertama, karena dia telah berniyat." Menurut Asy Syafi'i: "Orang yang gila tiada menggadla puasa yang dia tinggalkan selama dia gila; sedangkan orang pingsan wajib atasnya qadla."

Kata Ubaidullah ibn Al Hasan: "Tak ada qadla atas orang gila, kecuali orang yang kadang-kadang gila, kadang-kadang tidak, bagi orang tersebut wajib qadla. Bagi orang pingsan tidak diwa jibkan qadla."

Abu Sulaiman berkata: "Tak ada qadla atas mereka." Berkata pula Ibn Hazm: "Orang minum minuman yang ti dak memabukkan, tetapi mabuk juga di suatu malam hari di bulan Ramadlan setelah dia berniat akan berpuasa dan dia tidak sadar dari mabuknya itu hingga tengah hari, maka sempurna (sah puasanya). Demikian pula orang tidur, tiada sadar dari tidurnya itu, sehingga terbenam mata hari, puasanyapun sempurna."

Orang gila atau orang pingsan, karena mabuk atau tertidur sebelum terbenam matahari dan sembuh atau sadar sesudah terbenam matahari esok harinya, maka tidaklah diwajibkan qadla atasnya terhadap puasa yang ditinggalkan sehari itu. Menurut nash hanya diwajibkan mengqadla puasa atas orang yang me ninggalkannya, lantaran safar, sakit, haidl, atau nifas dan yang sengaja muntah.

Hilang akal karena mabuk lantaran minum minuman keras, atau sebagainya, wajib qadla puasa yang ditinggalkannya karena sebab itu. Tegasnya tidak ada qadla atas orang gila, karena telah gugur taklif, begitu pula atas orang gila di bulan Ramadlan sebanyak lima belas hari umpamanya, tak ada atasnya qadla.

Wanita yang sedang berhaidl atau bernifas

Wanita yang sedang berhaid atau bernifas, tidak wajib puasa atasnya, karena tidak sah dikerjakan puasa dalam masa berhaid atau bernifas. Akan tetapi apabila mereka telah suci, wajiblah mereka mengqadla puasa yang tinggal selama 1 berhaidl dan bernifas.

Ahli Ilmu semuanya telah berijma' bah wasanya wanita yang sedang berhaid atau bernifas, tidak wajib puasa atasnya. Mereka diwajibkan berbuka dan mengqadla puasanya. Jika mereka berpuasa, maka puasanya tidak sah.

Diriwayatkan oleh Al Jama'ah dari Mu'adz, bahwa 'Aisyah berkata:

كُنَّا نَحِيضُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ، فَنُؤْمَرُ بِقِضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ  بِقِضَاءِ الصَّلَاةِ 

"Adalah kami berhaidl dimasa Rasulullah SAW., maka kami diperrintahkan supaya mengqadla puasa dan kami tidak diperintahkan mengqadla shalat."

Diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Abu Sa'id Al Khudri bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda:

 أَلَيْسَ اِحْدَاكُنَّ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ . فَذَلِكَ مِنْ نَقْصَانِ دِيْنِهَا 

"Apakah seseorang kamu (kaum wanita) apabila berhaidl, tiada bershalat dan tiada berpuasa? Itulah dari kekurangan agamanya."

Maka apabila wanita yang sedang berhaidl, mengeluarkan haidlnya di suatu suku siang, batallah puasanya di hari itu, baik ia mengeluarkan haidlnya di awal siang, ataupun di akhirnya. 

Dari keterangan ini jelaslah bahwa: syarat sah dari mengerjakan di waktunya yang benar, ialah suci dari haidl dan nifas.

Juga diharamkan berpuasa atas mereka yang telah terang berbahaya kesehatannya dengan karena berpuasa, berdasarkan kepada firman Allah :

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ 

"Dan janganlah kamu mencampakkan dirimu ke dalam kebinasaan." (Ayat 195; S. 2; Al Baqarah).

Musafir

Orang yang sedang dalam safar, tidak berada di kampung, tidak diwajibkan berpuasa. Mereka boleh berpuasa dalam safar nya dan boleh berbuka dan mengqadlainya, setelah berada di tempatnya, sebanyak yang ia tinggalkan (tidak dikerjakan dalam safar), berdasarkan firman Allah SWT. :

مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ 

"Barangsiapa sakit di antara kamu, atau di dalam perjalanan, maka hendaklah ia menjalankan puasa yang ia tinggalkan di dalam sakit atau safarnya, di hari-hari yang lain." (Ayat 184; S. 2; Al Baqarah)

Diriwayatkan oleh Al Jama'ah bahwasanya Hamzah Ibn 'Amr Al Aslami bertanya kepada Rasulullah ujarnya:

 أَصُوْمُ فِي السَّفَرِ؟ وَكَانَ كَثِيرَ الصِّيَامِ  فَقَالَ: إِنْ شِئْتَ فَصُمْ إِنْ شِئْتَ نفَاَفْطِرْ

"Apakah saya berpuasa (juga) dalam safar?" - Hamzah seorang yang banyak berpuasa, Rasulullah menjawab: "Jika engkau mau berpuasa, berpuasalah, jika tidak, boleh juga."

Berlainan pendapat ahli-ahli agama tentang mana yang diutamakan. Sebahagian ulama menyukai kita mengambil rukhshah (berbuka dalam safar). Sebahagian yang lain menyukai kita menjalani 'azimah (berpuasa dalam safar).

Akan tetapi jika berpuasa dalam safar mendatangkan kesu- karan bagi kita yang melebihi dari mestinya, maka tiada syak lagi bahwa berbukalah yang lebih diutamakan.

Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Jabir, ujarnya:

كانَ رَسُولُ اللهِ فِي سَفَرٍ فَرَأَى زِحَامً وَرَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ فَقَالَ مَا هَذَا ؟ فَقَالُوا صَائِمٌ, فَقَالَ لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ 
"Rasulullah SAW berada dalam suatu perjalanan, maka beliau melihat seorang lelaki yang telah dinaungi. Karenanya Rasulullah SAW ber- tanya: "Apakah yang menyebabkan orang itu sedemikian halnya?" Para Shahabat menjawab: "la berpuasa." Maka Rasulullah bersabda: "Tidaklah dari kebajikan berpuasa dalam safar."

Diriwayatkan oleh Ath Thabrani dari 'Amar ibn Yasir, ujarnya:

أَقْبَلَنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صلعم مِنْ غَرُوةٍ فِي يَوْمٍ شَدِيدِ الْحَرَ فَنَزَلْنَا فِي بَعْضِ الطَّرِيقِ ، فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنَّا فَدَخَلَ تَحْتَ شَجَرَةٍ فَإِذَا أَصْحَابُهُ يَلُوذُونَ يد . وَهُوَ مُضْطَجِعُ كَهَيْئَةِ الْوَجع. فَلَمَّا رَاهُمْ رَسُولُ اللهِ صلعم فالك ما بَاكَ صَاحِكُمْ؟ قَالُوا صَاءُ ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ لَيْسَ مِنَ الْبَران تَصُومُوانى السكر. عَلَيْكُمْ بِالرُّحْصَةِ الَّتِي اَرْخَصَ اللهُ لَكُمْ فَاقْبَلُوهَا

"Kami pulang bersama-sama Rasulullah SAW. dari salah satu peperangan dalam hari yang amat terik. Maka kamipun berhenti pada suatu tempat. Seorang di antara kami pergi lalu berteduh di bawah pohon kayu. Tiba-tiba kawannya melindunginya dari kepanasan. Orang itu tidur terbaring, seakan-akan dia sedang menderita sakit. Tatkala Rasulullah melihatnya, beliaupun bertanya: "Mengapa orang itu?" Para Shahabat menjawab: "Ia berpuasa." Kemudian Rasulullah bersabda: "Tiadalah kebajikan, kamu berpuasa dalam safar. Wajib kamu mengambil kelapangan yang telah diberikan Allah, terimalah kelapangan itu."

Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan Abu Daud dari Abi Sa'id Al Khudri dan Jabir, ujarnya:

سافرنا مَعَ رَسُولِ اللهِ صلعم إلىَ مَكَّةَ وَنَحْنُ صِيَامٌ قَالَ ، فَنَزَلْنَا مَنْزِلًا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلعم إِنَّكُمْ قَدْ دَنَوْتُمْ مِنْ عَدُوِّكُمْ وَالْفِطْرُ أَقْوَى لَكُمْ فَكَانَتْ رُخْصَةٌ فَمِنَّا مَنْ صَامَ وَمِنَّا مَنْ أَفْطَرَ ثُمَّ نَزَلْنَا مَنْزِلََا أَخَرَ فَقَالَ إِنَّكُمْ مُصْبِحُوْا عَدُوِّكُمْ وَاَفْطِرُ أقوَى لَكُمْ فَأَفْطِرُوا فَكَانَتْ عُزْمَةٌ فَأَفَطَرْنَا لَقَدْ رَاَيْتُنَا نَصُوْمُ بَعْدَ ذَلِكَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلعم فِي السَّفَرِ.

"Kami bersafar bersama Rasulullah SAW. ke Mekkah sedang kami berpuasa. Kata Jabir: "Maka kami berhenti di suatu tempat, lalu bersabdalah Rasulullah SAW. kepada kami: "Sesungguhnya kamu telah dekat kepada musuh, sedang berbuka lebih memberikan ke kuatan bagimu. Membuka puasa merupakan suatu kelapangan." Ka- renanya di antara kami ada yang berbuka, ada yang terus berpuasa, Kemudian kami berhenti di suatu tempat lagi. Bersabda lagi Rasulullah kepada kami: "Sesungguhnya kamu besok pagi akan meng hadapi musuh, berbuka itu lebih mendatangkan kekuatan kepada kamu, maka hendaklah kamu berbuka." Karenanya berbuka itu menjadi suatu kewajiban atas kami. Karenanya kamipun berbuka. Kemudian aku lihat para Shahabat berpuasa sesudah itu (sesudah perang itu) bersama-sama Rasulullah dalam safar."

Hadits ini menyatakan bahwa: berbuka bagi orang yang telah dekat kepada musuh lebih utama, tetapi apabila telah terang akan berhadapan dengan musuh, maka berbuka itu diwajibkan.

Mana yang lebih afdlal, berbuka atau berpuasa dalam safar 

Berkata Al Munziri: "Anas Ibn Malik RA. menetapkan bahwa meneruskan puasa dalam safar lebih afdlal."

Yang demikian ini dihikayatkan juga dari Utsman ibn Abi 'Ash. Juga demikianlah pendapat Ibrahim An Nakha'i, Sa'id ibn Jubair, Ats Tsauri, Abu Tsaur dan segala pengikut Abu Hanifah.

Malik dan Al Fudlail berpendapat bahwa: "Berpuasa itu lebih disukai bagi mereka yang masih kuat." Abdullah ibn Umar, Ibn Abbas, Sa'id Ibn Musaiyyab, Asy-Sya'bi, Ahmad dan Ishaq menetapkan bahwa: "Berbuka itu lebih afdlal."

Umar bin Abdil Aziz, Qatadah dan Mujahid menetapkan bahwa: "Mana yang lebih mudah bagi seseorang, itulah yang lebih afdlal baginya." Inilah pendapat yang dipandang lebih kuat.

Shahabat Rasulullah biasa bersafar untuk berperang. Maka sebagian mereka berbuka dan sebahagiannya meneruskan puasa, satu sama lainnya antara mereka tidak cacat mencacatkan."

Pengertian safar dan yang membolehkan berbuka

Safar itu, ialah: keluar dari rumah untuk irtihal (pergi ke suatu tempat) dan bermalam di tempat itu, atau untuk pergi ke suatu tempat yang lebih jauh dari masafah 'ad wa, yaitu: "suatu jarak yang pulang pergi kepadanya dalam sekali pacuan kuda dengan tidak berhenti-henti." Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir berkata:

ِالسَّفَرُ قَطْعُ الْمَسافَةِ يُقَالُ ذَلِكَ , إِذَا خَرَجَ لِلْإِ إِرتِحَالِ أَوْ لِقَصْد مَوْضُعِ فَوْقَ مَسَافَةِ الْعَدْوَى
"Safar itu, menjalani suatu jauh perjalanan. Dikatakan safar, apabila seorang keluar dari rumahnya untuk berangkat ke suatu tempat yang jauh, atau menuju ke suatu tempat yang jaraknya tak dapat dijalani dengan suatu pacuan kuda pulang-pergi."

Maka safar yang membolehkan berbuka itu ialah: segala perjalanan yang dinamai safar, walaupun tidak jauh. Dalam Al Qur-an tidak dibatasi safar dengan suatu batas, sama dengan sakit, baik tentang jauhnya, tentang waktunya, atau tentang caranya. Karenanya segala keadaan yang menurut 'urf dipandang safar, maka keadaan itu membolehkan berbuka, walaupun safar itu dilakukan dengan kapal terbang.

Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan Abu Daud dari Anas, ujarnya:

كَانَ رَسُولُ اللهِ إِذَا خَرَجَ مَسِيرَة ثَلاثَةِ أَمْيَالٍ أَو ثَلاثَةِ فَراسِخَ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ 

"Adalah Rasulullah SAW. apabila keluar untuk perjalanan tiga mil, atau tiga farsakh, beliau mengerjakan shalat sebanyak dua-dua ra- ka'at sahaja (beliau qashar)."

Dalam riwayat ini terdapat keraguan tentang perkataan: tiga mil atau tiga farsakh. Tapi ada riwayat yang menguatkan riwayat "tiga mil" ini, yaitu Hadits yang diriwayatkan Sa'id ibn Manshur dari Abu Sa'id, katanya:

 كَانَ رَسُولُ اللهِ صلعم إِذا سَافَرَفَرْسَخًا يَقْصُرُ الصَّلاةَ 

"Adalah Rasulullah SAW. apabila berjalan sefarsakh jauhnya, beliau mengqasharkan shalat."

Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dari Ibnu Umar dengan sanad yang shahih, bahwa Ibnu Umar itu mengqasharkan shalat, bila pergi se-mil jauhnya.

Segenap ulama berpendapat, bahwa tiap-tiap safar yang dibolehkan qashar shalat, dibolehkan berbuka puasa. Tegasnya: perjalanan yang jarak satu mil, jika dimaksudkan safar, dikatakan "safar."

Orang Sakit

Apabila seseorang sakit dipermulaan puasa atau di pertengahannya atau di salah satu hari dari bulan puasa, bolehlah baginya berbuka puasanya, atau tidak meneruskan puasanya selama ia sakit; dan hendaklah ia mengganti puasanya yang ditinggalkan selama sakit itu.

Berfirman Allah SWT.:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ 
"Barangsiapa sakit di antara kamu atau dalam perjalanan, maka hen- daklah ia mengerjakan puasanya yang ia tinggalkan dalam sakit atau dalam safar, di hari-hari yang lain." (Ayat 184, S. 2; Al Baqarah).

Syari'at kita menetapkan ini berdasarkan kepada "mabda' taisir" dan "daf'ul haraj". Maka apabila orang sakit akan berbahaya kesehatannya, walaupun dengan persangkaan yang kuat, wajiblah ia berbuka. Berpuasa dalam keadaan yang demikian, berarti membelakangi sunnah Rasulullah, pada hal berbuka itu suatu hadiah yang Allah berikan kepada hambaNya, buat meringankan bebannya. Barangsiapa berpaling dari rukhshah, karena merasa kurang senang, dipandang durhaka; lantaran dia mencam- pakkan dirinya dalam kebinasaan. Allah SWT. menyukai kita kita mengerjakan rukhshah-rukhshahNya sebagaimana menyukai kita mengerjakan azimahNya.

Di antara kesempurnaan rahmat Allah, ialah Allah tidak menerangkan ukuran sakit, apakah sakit berat ataukah sakit ringan. Karenanya segala sakit yang dipandang sakit, membolehkan kita berbuka.

Berkata Al Bukhari: "Saya menderita sakit ringan di Naisabur pada bulan Ramadlan. Maka datang Ishak bin Rahawaih bersama teman-temannya menjengukku. Dan bertanyalah dia: "Apakah anda berbuka hai Abu Abdullah? Aku menjawab: "Ya." Berkata Ishak: Aku takut anda tidak kuat menerima rukhshah, Aku berkata: "Diceritakan kepadaku oleh Abdullah ibn Mubarak dari Abdullah bin Juraij, ujarnya: Aku berkata kepada Atha': "Dari sakit apakah aku berbuka? Atha' menjawab: "Dari segenap macam penyakit." Allah berfirman: "Faman kana minkum maridhan = Maka barangsiapa sakit di antara kamu."

Berkata Al Bukhari: "Hadits ini tidak ada pada Ishaq. Ishaq berpendapat demikian berdasarkan pada Ijtihadnya dari ayat." Tharif ibn Tammam At Tharidi berkata:

دَخَلْتُ عَلَى ابْنِ سِيرِينَ فِي رَمَضَانَ وَهُوَ يَأْكُلُ فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ وَجَعَتْ أُصْبُعِي هَذِهِ

"Saya masuk ke rumah ibn Sirin di bulan Ramadlan, sedang dia lagi makan. Tatkala dia telah selesai dari makannya, dia berkata: "Anak jariku ini sakit."

Dari keterangan-keterangan ini kita dapat memahami bahwa para sahabat Rasul mengerjakan segala ketetapan agama baik rukhshah ataupun azimah. Maka kita dalam menghadapi sakit ini menghadapi dua pendapat:

Pertama:

Dan itulah yang lebih sesuai dengan ayat, ialah: segala macam sakit boleh berbuka; karena si musafir dibolehkan dia berbuka walaupun dia tidak menghajatinya, demikian pula orang sakit. Demikianlah pendapat Atha' dan Ahludh Dhahir, Al Bukhari dan Ibn Sirin. ( Al Mughni, Ibn Qudamah. Di dalamnya diterangkan bahwa si sakit boleh berbuka walaupun tidak merasa berat berpuasa. )

Kedua:

Sakit yang membolehkan berbuka, hanyalah sakit yang keras, yang menambah sakit kalau tidak berbuka, baik hal itu berdasarkan pengalaman, atau persangkaan yang kuat, maupun pernyataan seorang dokter Muslim yang dipercaya.

Tetapi apabila seorang sakit berpuasa dengan menderita kesukaran, sah juga puasanya walaupun makruh. Maka hendaklah orang yang sakit itu menimbang sendiri tentang puasanya. Jika dia sanggup berpuasa dengan mudah dan merasa bahwa mengqadla itu sukar baginya, lebih utamalah berpuasa tidak berbuka,

Orang yang sehat yang takut akan sakit karena berpuasa, dibolehkan berbuka dengan syarat dikuatkan persangkaannya oleh pernyataan seorang dokter Muslim yang bepercayaan. Orang yang takut akan pecah pelir jika tidak bersetubuh, dibolehkan berbuka.

Orang yang tidak dapat menderita lapar, atau haus atau takut berbahaya kesehatannya, haruslah berbuka, walapun ia sehat dan bermukim dan diwajibkan qadla.

Orang-orang yang digolongkan ke dalam golongan orang yang tidak sanggup berpuasa

Orang-orang yang digolongkan ke dalam golongan orang yang tidak sanggup berpuasa, ialah:

  1. Orang hamil.
  2. Orang yang sedang menyusui anak. 
  3. Orang yang sudah tua sangat.
Hukum puasa bagi orang hamil, orang yang menyusui anak dan orang yang sangat tua telah di isyaratkan Allah dalam firmanNya:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْن 

"Atas mereka yang tak sanggup berpuasa, kecuali dengan mengalami kesukaran yang sangat, memberi fidyah sehari seorang miskin." (Ayat 184 S. 2; Al Baqarah).

Said Rasyid Ridla dalam Tafsirnya al Manar menerangkan, bahwa yang dikehendaki dengan mereka yang tak sanggup berpuasa kecuali dengan mengalami kesukaran yang berat, ialah: 

  1. Orang yang sangat tua atau lemah.
  2. Orang yang sakit bertahun-tahun yang tidak ada harapan sembuh lagi.
  3. Perempuan hamil,
  4. Perempuan yang sedang menyusui anak.

Demikianlah orang-orang yang dapat digolongkan ke dalam golongan orang yang tidak sanggup berpuasa.

Orang hamil dan yang sedang menyusui anak

Ibn Abbas berkata: "Ayat ini walaupun telah dimansukh kan, namun hukumnya tetap untuk orang yang sangat tua, lelaki atau perempuan, orang hamil dan yang menyusui anaknya."

Diriwayatkan oleh Al Bazzar dan dishahihkan oleh Ad Daraquthni dari Ibn Abbas, bahwa beliau pernah mengatakan kepada ibu anaknya (budak yang dijadikan isteri) yang sedang hamil.

أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّذِي لَا يُطِيقُهُ فَعَلَيْكِ الْفِدَاءُ وَلَا قَضَاءَ عَلَيْكِ 

"Engkau sekedudukan dengan orang yang tak sanggup mengerjakan puasa, atas engkau hanya fidyah dan tak ada qadla"

Diriwayatkan oleh Ibn Hazam dari Hammad Ibn Salamah dari Ayub dari Nafi', bahwa seorang perempuan Quraisy yang sedang hamil bertanya kepada Ibn Umar, tentang hal puasanya, maka Ibn Umar menjawab:
أفْطِرِى وَاَطْعِمِى كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينََا وَلَا تَقضِى 

"Berbukalah kamu dan memberi makanlah tiap-tiap hari seorang miskin; tak usah kamu mengqadlanya."

Diriwayatkan oleh Ahmad dari Anas Ibn Malik Al Ka'bi bahwa Rasulullah SAW. bersabda:

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلَاةِ وَعَنِ الحُبْلَى وَالمُرضيع

"Sesungguhnya Allah telah mencabut tugas puasa dari si musafir dan mengurangkan raka'at shalat dan dari perempuan hamil dan yang sedang menyusui anak,"

Hadits ini menyatakan bahwa perempuan yang sedang menyusui anak dan yang sedang hamil, boleh berbuka, Inilah yang paling kuat dalam pandangan kami.

Kata para Fuqaha: "Apabila si murdli'ah (perempuan yang menyusui anak) takut atas radli'nya (anak yang sedang disusuinya) dan si hamil atas kandungannya, wajiblah ia berbuka." Kata Abu Thalib: "Tak ada perselisihan pada kebolehan mereka berbuka."

Ringkasnya, orang yang tersebut ini murdli' (hamil), tidak diwajibkan atasnya berpuasa, hanya diwajibkan memberi fidyah. Kemudian jika kita hendak mengikuti paham-paham ulama, membelakangi Hadits yang di atas ini, maka paham para Fuqaha kita adalah sebagai berikut: Sebahagian ulama mengatakan bahwa: "Si hamil dan si murdli berbuka dan mengqadla, jika ia berbuka itu, karena takut atas dirinya; dan berbuka dengan mengqadlanya serta memberikan makanan (fidyah), jika ia takut atas anaknya." Sufyan, Asy Syafi'y dan Ahmad berpendapat dengan penetapan di atas ini.

Kata sebahagian ulama yang lain: "Si hamil dan si murdli', berbuka lalu memberikan makanan, tak ada qadla atasnya. Jika diqadlakan, tak ada fidyah atasnya."

Ishaq berpendapat dengan penetapan ini. Kata Malik: "Fidyah itu wajib atas si murdli' saja, tidak atas si hamil, dia ini disamakan dengan orang sakit yakni berbuka. lalu mengqadlanya."

Al Hasan, Atha', Az Zuhry, Sa'id ibn Jubair, An Nakha'y dan Abu Hanifah, mengatakan: "Tak ada kaffarat atas si hamil dan murdli'; hanya wajib ia qadla saja."

Sesudah itu haruslah dimaklumi, bahwa jika mereka tak sanggup memberikan fidyah kafarat itu, maka kewajiban itu digugurkan.

Demikian analisa ulama dalam hal ini. Dalam masalah ini kami memilih pendapat Ibnu Abbas dan segolongan ahli tahqiq, yaitu: wanita yang mengandung dan menyusui anak, masuk ke dalam unsur-unsur yang tetap dan berulang-ulang, sama dengan orang sakit yang tidak diharap sembuh, yakni gugur puasa dan qadla dan hanya wajib memberi fidyah jika mampu. Mereka masuk dalam umum ayat:

وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينِ 

"Atas orang yang tidak sanggup berpuasa, keharusan memberi makanan (fidyah) kepada orang miskin." (Ayat 184. S. 2; Al Baqarah).

Hujjah golongan ini amat nyata, yaitu apabila tidak kita golongkan wanita hamil atau yang sedang menyusui anak ke dalam golongan orang yang sakit merana, maka bagaimana kita menyuruh mereka qadla, padahal mereka itu selalu menghadapi mengandung dan menyusui anak. Sesudah mereka menyapih anak yang sedang menyusu, mereka hamil lagi, apakah mereka harus menunda kehamilannya, hingga dapat mengqadla puasanya? Dan baru wanita berakhir masa kemungkinan mengandung sesudah berumur 50 tahun, maka mewajibkan qadla atasnya tidak berpadanan dengan kemudahan agama.

Wanita yang menyusui anak orang lain, sama saja hukum- nya dengan wanita yang menyusui anaknya sendiri. Tak ada perbedaan antara menyusui anaknya sendiri dengan anak orang lain. Demikian pendapat sebahagian ulama Syafi'iyah. Mereka berdalil dengan safar. Si musafir boleh berbuka, baik dia bersafar untuk dirinya sendiri, ataupun bagi orang lain, baik dia menerima upah, ataupun sukarela.

Menurut pendapat sebahagian ulama, fidyahnya itu dikeluarkan oleh si penyusu sendiri. Dalam pada itu ada yang me ngatakan fidyah itu wajib atas ayah, atau wali anak susu. Bila wanita bunting atau menyusui anak, bersafar atau sakit dan berbuka dengan dasar safar atau dasar sakit, maka tak ada fidyah atasnya, karena safar dan sakit, membolehkan berbuka.

Orang yang sangat tua

Diriwayatkan oleh Ad Daraquthni dan Al Hakim dari Ibn Abbas, bahwa beliau berkata:

رَخِّصَ لِلْشَيْخِ الْكَبِيْرِ أَنْ يُفْطِرَ وَيُطْعِمَ وَلَا تَضاءَ عَلَيْهِ 
"Orang yang telah tua sangat, dibenarkan ia berbuka dan memberi fidyah, tak ada qadla atasnya."

Diberitakan oleh Abu Daud dari Ibnu Abbas, bahwa ibn Abbas berkata diwaktu menafsirkan ayat 184. S 2: Al Baqarah: "Dibolehkan bagi lelaki dan perempuan yang sukar mengerjakan puasa, berbuka dan memberi fidyah sehari seorang miskin. Demikian jugalah perempuan yang hamil atau menyusui anaknya, apabila takut terganggu kesehatan anaknya." Diriwayatkan oleh Al Bukhari dari 'Atha', bahwa 'Atha' mendengar Ibn Abbas membacakan ayat:

وَعَلَى الذينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينِ 

"Dan atas orang-orang yang tidak sanggup berpuasa, memberi fidyah yaitu memberi makanan orang miskin." (Ayat 148, S.2; Al Baqarah).

Dan berkata: "Ayat ini tetap berlaku untuk orang yang sangat tua, baik lelaki ataupun perempuan. Mereka memberi makanan setiap hari kepada orang miskin." Diriwayatkan oleh Al Bukhari dari Ibn Abbas, ujarnya:

مَنْ أَدْرَكَهُ الْكِبَرُ قَالَمْ يَسْتَطِعْ صِيَامَ رَمَضَانَ فَعَلَيْهِ لِكُلِّ يَوْمٍ مُدٌّ مِنْ قَمْحٍ

. "Barangsiapa telah sangat tua yang tidak sanggup berpuasa Ramadlan, hendaklah memberi makanan satu 'mud' gandum untuk satu hari,"

Berkata ibnu Umar :

إِذَا ضَعُفَ الشَّخصُ عَنِ الصَّوْمِ أَطْعَمَ عَن كُلِّ يَوْمٍ مُدََّا

"Apabila telah lemah seseorang dari berpuasa, niscaya dia memberi makanan satu mud banyaknya untuk tiap-tiap hari." (H.R. Baihaqi).

Diriwayatkan oleh Ad Daraquthni dan Al Baihaqi bahwa Anas tidak sanggup berpuasa setahun sebelum beliau wafat. Karenanya beliau berbuka dan memberi makanan kepada orang miskin.

Pekerja-pekerja berat

Said Rasyid Ridla berkata dalam Al Manar: "Disamakan dengan orang yang sangat tua, perempuan hamil dan orang sakit yang bertahun-tahun, yang tak dapat diharap sembuh lagi, orang yang mencari penghidupan dengan bekerja berat, dan seperti- orang yang bekerja di pertambangan."

Al Imam Muhammad Abduh berkata: "Dikehendaki dengan orang-orang yang sangat sukar berpuasa dalam ayat (184. S. 2: Al Baqarah) ialah: orang-orang yang tua yang lemah, orang-orang sakit yang tidak dapat diharapkan sembuh lagi dan yang se umpamanya, seperti buruh-buruh yang mencari penghidupan dengan bekerja berat lagi sulit, seperti mengeluarkan orang atau batu dari tambangnya, termasuk juga nara pidana dengan hu- kuman kerja berat dan terus menerus. Apabila mereka tidak sanggup berpuasa, memberi fidyah.

Walhasil, orang yang berpuasa yang menanggung kesukaran lebih daripada biasa, boleh berbuka dan wajib memberi fidyah, sehari seorang miskin.

Kata Al Ustadz Muhammad Al 'Adawi dalam Da'wa- tur Rasul: "Masuk ke dalam golongan yang demikian hukum- nya, orang yang berpenyakit maidahnya, penyakit yang menye- babkan dia tak dapat dan tak sabar atau tak dapat menahan lapar.

Ada seorang yang boleh dioperasi maidahnya, yang menyebabkan kecil maidahnya, tak dapat makan banyak dan sebentar- sebentar harus makan karena lapar, bertanya kepada pengarang Da'watur Rasul tentang keadaannya. Maka beliau menjawab: "Hendaklah ia memberi fidyah saja."

Pengarang Da'watur Rasul berkata: "Disamakan dengan orang yang demikian, masinis kereta api yang terpaksa berdiri sepanjang hari dan tak sanggup menahan lapar dan haus di musim panas yang sangat. Memberatkan mereka meninggalkan pekerjaan yang berat ini dan memutuskannya berpuasa, tiadalah munasabah dengan kemudahan agama. Karena itu, Allah menerima dari orang yang sedemikian berat pekerjaannya, fidyah saja, tidak diberatkan berpuasa. Dalam pada itu jika dia berkeras diri menahan kesusahan berpuasa, agama tidak mengatakan: "tidak boleh." Agama tidak memustikan ia berpuasa, hanya membolehkan saja. Dan Allah mengetahui, apa- kah orang itu meninggalkan puasa dan memberikan fidyah, ka- rena hendak melepaskan diri dari bebanan puasa, ataukah karena meridlakan Allah dan karena hendak memelihara hidup dan kemaslahatan."

Berkata Asy Syeikh Abdul Fattah: "Dan digolongkan ke dalam golongan orang yang tidak sanggup berpuasa, orang-orang yang tersebut dibawah ini: 

a. Orang yang tidak dapat menahan lapar, harus dan kawatir akan tertimpa sakit berat atau berbahaya bagi kesehatan, andaikata ia terus berpuasa, walaupun ia orang yang sehat, mengingat firman: "Dan janganlah kau campakkan dirimu ke dalam kebinasaan." (Ayat 195; S. 2; Al Baqarah).

Dan firman Allah : "Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri." (Ayat 29; S. 4; An Nisa').

Berkata para ulama: "Orang yang seamsal ini, seyogianya menghematkan makanan, sebagaimana ia menghematkan minum- annya, janganlah dia memadatkan perutnya, kemudian wajib atasnya mengqadlanya bila keadaan memungkinkan; sama dengan orang sakit yang diharapkan sembuh."

b. Orang yang mengerjakan pekerjaan yang meletihkan yang sukar berpuasa karenanya, seperti buruh-buruh yang memecahkan batu-batu gunung, tukang-tukang batu, tukang kayu, buruh kasar, yang bekerja berat (buruh pelabuhan, tukang roti, penuai padi).

Para Fuqaha telah membahas hukum tersebut dalam kitab-kitab Fiqh sebagai berikut: Berkata Ibn Hajar Al Haitami: "Dibolehkan meninggalkan puasa bagi seumpama tukang tuai padi atau tukang rumah, baik untuk dirinya atau untuk orang lain, baik ia kerjakan itu dengan jalan memberi bantuan, ataupun dengan jalan mene- rima upah, walaupun pekerjaannya tidak terhingga dalam soal itu. Cuma kebolehan itu dikaitkan dengan karena takut atas- keselamatan harta, jika dia tidak dapat mengerjakannya lantaran berpuasa dan tidak dapat dikerjakan pada malam hari, atau tidak cukup baginya bekerja hanya malam harinya saja, serta jika tidak diselesaikan dalam bulan puasa, ia memperoleh kerugian dengan rusaknya padi itu, atau kurang penghasilannya.

Kata Asy Syarwani: "Menurut lahirnya, dipersamakan de- ngan tukang tuai padi, segala orang yang mengerjakan perusahaan yang berat."

Menurut penyelidikan kami: "Jika orang yang sedemikian itu merasa pada malam hari bahwa jika ia berpuasa sukarlah ia mengerjakan pekerjaannya, maka boleh baginya berbuka sejak dari pagi hari, dengan tak perlu berniat pada malamnya; ia tak perlu menanti berujudnya kesukaran."

Dan hendaklah ia mengqadla sebanyak yang ia tinggalkan dalam mengerjakan yang berat itu. Golongan ini dipersamakan dengan orang sakit dan musafir.

Dipersamakan dengan yang di atas, antara yang menjaga di tapal batas mengintai musuh.

Menurut pendapat sebahagian ulama, mereka ini pada malam hari wajib berniat puasa. Kemudian pada pagi hari jika sukar berpuasa, karena menghadang musuh, mereka berbuka dan mereka mengqadlanya.

c. Orang yang menyelamatkan sesuatu jiwa, baik manusia maupun binatang yang menghadang kebinasaan, karena karam, kebakaran, runtuh rumah, mereka ini dibolehkan berbuka bila mengalamai kesukaran dan hendaklah mereka qadla. Disamakan dengan orang yang menyelamatkan jiwa, orang yang menyelamatkan harta, baik hartanya sendiri, atau harta orang lain. Dibolehkan bagi orang yang menyelamatkan harta, berbuka dan hendaklah mengqadla nanti.

Berdasarkan Buku Pedoman Puasa Karangan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy