Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ITIKAF DI SEPULUH TERAKHIR RAMADAN

ITIKAF DI SEPULUH TERAKHIR RAMADAN

ITIKAF DI LIKUR YANG AKHIR DALAM MESJID

PENGERTIAN I'TIKAF

I'tikaf ditinjau dari segi bahasa, ialah: menahan diri dalam sesuatu, atau berketetapan atas sesuatu, baik perbuatan kebajikan, ataupun perbuatan kejahatan.

Dan yang dimaksudkan dengan i'tikaf pada istilah Syara' ialah: "Tetap berada dalam mesjid, berkhalwat dalamnya dengan niat mendekatkan diri kepada Allah dan menjauhkan diri dari maksiat."

Dengan ibarat yang lain, ialah: "Duduk berhenti sesa'at atau lebih di malam hari saja, atau di siang hari saja di dalam mesjid dengan niat beribadat mentaqarubkan diri kepada Allah."

Ibnu Rajab berkata: "I'tikaf, ialah, memutuskan hubung- an dengan makhluk, untuk menghubungkan diri dengan Khalik (Allah), dengan jalan pengkhidmatan."

I'tikaf dan Khilwat

Rasulullah beri'tikaf di puluhan yang akhir dari bulan Ramadan, untuk mencari lailatul qadar. Karenanya beliau menghentikan kegiatan-kegiatan yang lain. Beliau mengosongkan hatinya dari aneka rupa pikiran dan beliau bertakhalli (berkhalwat) di dalam mesjid untuk bermunajat kepada Tuhannya, berdzikir dan berdo'a.

Beliau buat sebuah khemah kecil dari tikar daun korma. Di dalamnyalah beliau berkhilwat dari masyarakat ramai. Karenanya beliau tidak menggauli masyarakat dan tidak berbimbang dengan urusan mereka.

Lantaran inilah Imam Ahmad berpendapat, bahwa para mu'takif tidak menggauli manusia selama i'tikaf, walau untuk mengajar sesuatu ilmu, atau mengajar Al Qur-an.

Yang terutama bagi mu'takif, ialah: Mengasingkan diri dan berkhalwat, untuk bermunajat kepada Allah, berdzikir dan berdo'a, menyanjung dan menyeru-Nya.

Inilah i'tikaf yang dipandang Khilwat Syara'. I'tikaf (khilwat) dilakukan dalam mesjid, agar tidak tertinggal jama'ah dan jum'at; karena sesungguhnya khilwat yang menyebabkan tidak dapat menghadiri jama'ah dan jum'at, dilarang.

Pernah ditanyakan kepada Ibnu Abbas tentang orang yang berpuasa di siang hari, berqiam di malam hari, tetapi tiada menghadiri jum'at dan jama'ah, maka Ibnu Abbas menjawab: "Orang itu dalam neraka."

"Maka khilwat yang disyari'atkan Islam, ialah i'tikaf dalam mesjid, istimewa di bulan Ramadlan, terutama di puluhan yang akhir. Karena itu pengertian yang hakiki dari i'tikaf, ialah: "Memutuskan hubungan dengan khalayak ramai untuk mengadakan hubungan langsung dengan jiwa dan raga kepada Allah."

Hukum I'tikaf

I'tikaf itu suatu Sunnah yang sangat tinggi nilainya. Dari amaliah Rasulullah dapat kita ungkapkan, bahwa i'tikaf itu, suatu ibadat yang disyari'atkan. Rasulullah selalu beri'tikaf pada tiap-tiap bulan Ramadlan 10 hari. Pada tahun yang pada tahun itu beliau wafat, Nabi beri'tikaf 20 hari.

Demikian diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah.

Para Shahabat dan isteri Nabi selalu i'tikaf di bulan Ramadan, baik di masa Rasul masih hidup, maupun sesudah Rasul wafat.

I'tikaf di sepuluh yang akhir Ramadlan dan hikmahnya

Allah SWT. telah menerangkan, bahwa lailatul qadar diletakkan di bulan Ramadlan, sebagaimana Allah menerangkan bahwa lailatul qadar lebih baik dari 1000 bulan dan Allah menerangkan pula bahwa lailatul qadar merupakan naungan kesejahteraan sejak dari terbenam matahari sampai terbit fajar. Di antara jalan yang harus ditempuh untuk mencapai lailatur qadar, ialah i'tikaf, maka Rasul selalu menanti lailatul qadar atau menyambutnya dengan ibadat atau mewujudkan suasana kejiwaan yang sesuai berpadanan dengan sa'at turunnya para Malaikat untuk mengunjungi hamba Allah di muka bumi ini.

Di antara persiapan untuk mewujudkan suasana kejiwaan ialah i'tikaf. Rasulullah selalu beri'tikaf pada likur yang akhir dari bulan Ramadlan. Beliau masuk mesjid sebelum terbenam matahari menjelang malam 20 atau 21 bulan Ramadlan.

Tidak dapat diragukan lagi, bahwa i'tikaf dalam mesjid benar-benar menyiapkan diri, mengkonsentrasikan pikiran kepada ibadat buat menyambut kedatangan lailatul qadar. Masalah i'tikaf ini diterangkan Allah dalam Al Qur-an ayat 187 surat 2; Al Baqarah. Dan i'tikaf ini adalah suatu Syari'at yang lama dilakukan Ibrahim dan Ismail.

Oleh karena i'tikaf dilakukan untuk mendidik jiwa kepada menyebut Allah (berdzikir) dan berdo'a untuk menambahkan pada menebalkan iman kepada Allah, maka disyari'atkan I'tikaf pada sepuluhan terakhir dari bulan Ramadlan, yaitu seutama- utama hari dari bulan Ramadlan.

I'tikaf dinamakan juga dengan "jiwar." Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah, ujarnya:

گان رَسُولُ اللهِ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ

"Adalah Rasulullah ber-i'tikaf di sepuluh yang akhir dari bulan Ramadan, hingga beliau wafat.") 

Diriwayatkan oleh Ahmad dari Anas, ujarnya :

كانَ رَسُولُ اللهِ يَعْتَكِتُ الْعَشر الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ فَلَمْ يُعْتَكِفْ عَامًا فَلَمَّا كَانَ الْعَامِ الْمُقْبِلِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ 

"Adalah Rasulullah SAW beri'tikaf pada sepuluh yang akhir dari bulan Ramadlan, lalu pada suatu tahun beliau tidak ber-t'tikaf, maka pada tahun berikutnya beliau ber-i'tikaf 20 hari"

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah, ujarnya:

وَتَرَكَ النَّبِيُّ الْإِعْتِكَافَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى اعْتَكَفَ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ شَوَّالَ 

"Nabi tidak ber-i'tikaf pada suatu bulan Ramadlan, sehingga beliau ber-i'tikaf pada sepuluh yang akhir dari bulan Syawal"

Adalah Nabi SAW., mula-mulanya ber-i'tikaf pada puluhan yang pertama. Kemudian pada puluhan yang ketiga. Kemudian beberapa tahun Nabi ber-i'tikaf pada puluhan yang ketiga, serta Nabi menyuruh para Shahabat yang beri'tikaf, bersama Nabi pada puluhan yang ketiga.

Bagian-bagian i'tikaf

Bagian i'tikaf itu ada yang wajib dan ada yang sunat. I'tikaf yang wajib, ialah: yang diwajibkan manusia sendiri atas dirinya, adakala dengan nadzar muthlaq dan adakala dengan nadzar mu'allaq (yang dipautkan dengan terjadinya sesuatu yang dimaksudkan).

Diriwayatkan oleh Al Bukhari, bahwa Umar r.a. berkata:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنِّي نَذَرْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي المَسْجِدِ الْحَرَامِ فَقَالَ النَّبِيُّ أَوْفِ بِنَذَرِكَ 

"Ya Rasulullah, saya bernazar beri'tikaf semalam di dalam mesjid Haram Maka Nabi menjawab: Tunaikanlah nazarmu."

I'tikaf sunat, ialah yang dikerjakan oleh seseorang Islam secara tathawu' untuk mendekatkan diri kepada Allah, mencari pahalaNya dan meneladani Rasulullah SAW. I'tikaf yang sunat ini sangat benar disukai kita laksanakan pada puluhan yang akhir dari bulan Ramadan.

Waktu memulai l'tikaf dan mengakhirinya bagi itikaf di sepuluh yang akhir dari bulan Ramadan

Para Ulama mempunyai dua pendapat dalam soal ini : 

Pertama: Waktu memulai i'tikaf bagi i'tikaf puluhan yang akhir dari bulan Ramadlan ialah sesudah Shalat fajar, yakni di permulaan siang hari 20 atau 21, sesudah Shalat Shubuh.

Kedua: Waktu mulai i'tikaf bagi puluhan yang akhir dari bulan Ramadlan, ialah sebelum terbenam matahari, yakni di permulaan malam 21, dan 20.

Kata An Nawawi: "Asy Syafi'i mengatakan bahwa barangsiapa ingin meneladani Rasulullah SAW. dalam hal i'tikaf di hari-hari yang ke sepuluh akhir bulan Ramadlan, hendaklah ia masuk ke dalam mesjid sebelum terbenam matahari, menjelang malam 21. Dan hendaklah ia keluar dari i'tikaf sesudah terbenam matahari di malam hari raya idil fitri."

Pendapat Asy Syafi'i ini bertentangan dengan dhahir hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah, ujarnya :

كَانَ النَّبِيُّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكفَهُ

"Adalah Nabi SAW. apabila hendak melakukan i'tikaf, beliau shalat fajar. Sesudah itu baharulah beliau masuk ke dalam tempat i'tikaf nya"

Hadits ini dengan jelas menyatakan, bahwa permulaan i'tikaf itu sesudah shalat shubuh, yakni pada permulaan siang hari 21 atau 20.

Demikian pula pendapat Al Auza'i, Al Laits dan As Sauri.

Dan inilah pendapat yang kami pandang kuat mengingat dhahir hadits di atas.

Pendapat Asy Syafi'i yang dinukilkan oleh An Nawawi sesuai dengan pendapat ketiga-tiga Imam lagi dan segolongan ulama pula. Semua mereka berkata: "Dia masuk ke dalam i'tikaf sebelum terbenam matahari, bukan sesudah shalat Shubuh." 

Mereka mentakwilkan hadits yang di atas ini. Mereka mengatakan, bahwa yang dimaksud oleh hadits ini, ialah Nabi masuk kedalam mesjid buat i'tikaf di permulaan malam. Akan tetapi baru beliau masuk ke tempat khilwat yang beliau sediakan untuk tempat i'tikaf, sesudah shalat shubuh.

Pendapat ini dapat dikuatkan dengan Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dari Abu Sa'id, bahwa Nabi SAW. ber- sabda :

َمَنْ كَانَ اِعْتَكَفَ مَعِيْ فَلْيَعْتَكِفِ العَشْرَ الْأَوَاخِر 

"Barangsiapa ingin ber-i'tikaf bersamaku, maka hendaklah beri'tikaf lagi pada sepuluh hari yang akhir."

Sepuluh yang akhir itu adalah nama bagi bilangan malam. Permulaan malam sepuluh itu, ialah malam 21 atau malam 20. Maka berdasar kepada pendapat ini, hendaklah barangsiapa yang mau ber'itikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadan, masuk ke dalam i'tikafnya sebelum terbanam matahari, hari sembilan belas atau hari dua puluh. Dan dia keluar dari I'tikafnya sesudah terbenam matahari pada akhir bulan, menurut Abu Hanifah dan Asy Syafi'i dan boleh sebelum terbenam matahari; tetapi lebih baik terus tinggal dalam mesjid, hingga pergi keshalatul 'id, menurut pendapat Malik dan Ahmad.

Diriwayatkan oleh Al Atsram dari Abu Ayyub dari Abu Qalabah, bahwasanya beliau bermalam dalam mesjid pada ma- lam idil fithri, kemudian pergilah ke hari raya. Dan beliau di dalam i'tikaf tidak memakai tikar dan tidak memakai tempat duduk. Beliau sebagai orang-orang ramai juga. 

Kata Abu Ayyub: "Aku mendatanginya pada pagi hari raya, maka kudapati di dalam pengakuannya seorang gadis yang berhias indah, aku sangka salah seorang anaknya, kemudian lalu dimerdekakan dan pergilah dia ke tanah lapang tempat "id."

Berkata Ibrahim: "Para Shahabat menyukai supaya orang yang beri'tikaf pada sepuluh hari yang akhir bulan Ramadlan bermalam di dalam mesjid pada malam hari raya, dan pada pagi hari pergilah ia ketempat Shalat."

Lama I'tikaf yang umum, masa serta batasnya

Masa bagi i'tikaf yang umum yakni yang selain dari i'tikaf yang wajib, terserah kepada kehendak mu'takif (orang yang beri'tikaf) sendiri, sehari, dua hari, sepuluh hari dan seratus hari. I'tikaf wajib lamanya menurut nadzarnya. Jika seorang bernadzar satu hari, atau lebih banyak, wajiblah ia tunaikan sesuai dengan dengan nadzarnya.

Adapun i'tikaf yang disunatkan, tak adalah baginya waktu yang terbatas. Telah dipandang seseorang beri'tikaf, dengan berdiam dalam mesjid beserta niat i'tikaf, baik lama, maupun sebentar; dan tetap ia mendapat pahala selama ia masih berdiam dalam mesjid. Apabila ia keluar dari padanya, kemudian kembali, hendaklah ia membaharui niatnya, jika ia bermaksud beri'tikaf lagi. Beginilah pendapat Asy Syafi'i dan Abu Sulaiman.

Berkata Ya'la bin Abi Umaiyah: "Saya berhenti dalam mes- jid hanya sebentar sahaja, tetapi dengan maksud i'tikaf." Kata Atha': "Dipandang i'tikaf selama masih berada dalam mesjid. Bila seseorang duduk dalam mesjid dengan niat mengharap kebajikan, dipandanglah dia mu'takif."

Kata Abu Hanifah: "Tidak sah i'tikaf yang kurang dari satu hari."

Kata Malik: "Tidak sah i'tikaf kurang dari sepuluh hari." Walhasil, i'tikaf sunat yang umum itu, boleh dilakukan di tiap-tiap waktu, baik dalam bulan puasa, atau bukan; baik mu'takif itu berpuasa atau tidak.

Tegasnya, tidaklah disyaratkan berpuasa bagi i'tikaf di luar bulan puasa; kecuali si mu'takif mensyaratkannya.

Kutipan dari Buku Pedoman Puasa karangan Tgk. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy