Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

IBADAT ISTIMEWA SEPULUH TERAKHIR RAMADAN

IBADAT ISTIMEWA SEPULUH TERAKHIR BULAN RAMADAN

AMALAN IBADAH YANG HANYA DILAKUKAN PADA BULAN RAMADHAN

keutamaan 10 hari terakhir ramadhan

Adalah Rasulullah SAW. mengkhususkan puluhan akhir (dari 21-30 atau dari 20-29) dari bulan Ramadlan, dengan beberapa ibadat yang beliau tidak dikerjakan di likur-likur yang lain.

Di antara ibadat-ibadat yang beliau istimewakan, ialah:

  1. Menghidupkan malamnya. 
  2. Membangunkan keluarganya (isterinya) untuk shalat di malam-malam yang sepuluh itu. 
  3. Mengikat kain pinggang.
  4. Melambatkan berbuka, hingga bersahur.
  5. Mandi di antara maghrib dan 'isya dan menghiaskan diri diam-diam yang diharapkan adanya lailatul qadar. 
  6. Berdaya upaya dengan segala kesanggupan dan kesungguhan, mencari lailatul qadar. 
  7. Mengerjakan i'tikaf di dalam mesjid pada likur yang terakhir dalam bulan Ramadlan.
"Aisyah berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَالَا يَجْتَهِدُ فِي غَيْرِه 

"Adalah Nabi SAW bersungguh-sungguh di puluhan yang akhir, apa yang beliau tidak kerjakan di puluhan yang lain." (HR. Muslim).

MENGHIDUPKAN MALAM-MALAM AKHIR DARI BULAN RAMADLAN

Diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, dari 'Aisyiah, ujarnya :

كَانَ رَسُولُ اللهِ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرَ أَحْيَا الَّليْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ

"Adalah Rasulullah SAW apabila telah masuk puluhan yang akhir, dari bulan Ramadian, beliau menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya dan mengikat pinggangnya."

Yang dimaksudkan dengan menghidupkan malam, ialah menghidupkan keseluruhan, atau menghidupkan sebahagiannya saja.

Abu Ja'far Muhammad Ibn Ali mentafsirkan menghidupkan malam itu dengan separoh malam. 'Aisyiah dalam suatu Hadits menerangkan, bahwa Nabi SAW. tidak pernah shalat malam sampai pagi hari, seperti yang diriwayatkan oleh Muslim.

Dinukilkan oleh Asy Syafi'i dalam kitab Al Um dari Ulama Madinah, yang menguatkan pendapat itu.

Sebahagian Ulama Tabi'in menukilkan dari ibn Abbas, bahwa menghidupkan malam itu diperoleh dengan shalat 'isya dengan berjama'ah dan bercita-cita shalat shubuh dengan berjama'ah pula. Imam Malik dalam Muwaththa'nya berkata: "Sampai berita padaku, bahwa Ibnu Musaiyab berkata:

 مَنْ شَهِدَ الْعِشَاءَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ يَعْنِي فِي جَمَاعَةٍ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظِّهِ

"Barangsiapa menghadiri shalat isya dengan berjama'ah di malam qadar, maka dia sungguh telah mengambil bahagiannya dari malam itu."

Asy Syafi'i dalam mazhab qadim berkata:

مَنْ شَهِدَ العِشَاءَ وَالصُّبْحَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظِّهِ مِنْهَا 

"Barangsiapa bershalat jama'ah 'isya dan subuh pada malam Al qadar, maka sesungguhnya ia telah mengambil bahagiannya dari bulan itu.

Dalam salah satu Hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Abu Syaikh Al Ashahani bahwa Nabi SAW. bersabda:

 مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ فِي رَمَضَانَ فَقَدْ أَدْرَكَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ

"Barangsiapa mengerjakan shalat isya dengan berjama'ah di bulan Ramadan, maka ia sungguh telah memperoleh lailatul qadar."

Diriwayatkan oleh Ibn Abid Dun-ya dari Abu 'Ja'far Mu- hammad ibn Ali bahwa Nabi SAW. bersabda: 

مَنْ أَتَى عَلَيْهِ رَمَضَانُ فَصَامَ نَهَارَهُ وَصَلَى وِرْدًا مِنْ لَيْلِهِ وَغَضَّ  بَصَرَهُ وَحَفِظَ فَرْجَهُ وَلِسَانَهُ وَيَدَهُ وَحَافَظَ عَلَى صَلَاتِهِ فِي الْجَمَاعَةِ وَبَكَّرَإِلَى الْجُمُعَةِ فَقَدْ صَامَ الشَّهْرَ وَاسْتَكْمَل الآخِرَ ، وَأَدْرَكَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ وَفَازَ بِجَائِزَةِ الرَّبِّ 

"Barangsiapa datang kepadanya bulan Ramadlan, lalu berpuasa pada siang harinya, dia shalat malam pada malamnya, dia pejamkan mata- nya dari melihat dari yang dilarang Allah, dia pelihara kemaluannya, lidah dan tangannya dan selalu berusaha shalat jama'ah dan bersegera menghadiri jum'at, maka sungguh dia sempurna, mendapatkan lailatul qadar dan memperoleh pahala pemberian Allah yang tidak ternilai harganya "

sepuluh hari terakhir bulan ramadhan

Ringkasnya, sekurang-kurang usaha menghidupkan malam itu, ialah: berusaha supaya dapat shalat 'isya dengan berjama'ah dan berusaha juga untuk berjama'ah pada shalat subuh. Itulah sekurang-kurangnya usaha buat memperoleh hasil minimal dari pahala menghidupkan malam-malam yang dimaksudkan di bulan Ramadan.

Andaikata bernazar seseorang shalat malam di malam al-qadar, maka lazimlah ia mengerjakan pada malam-malam yang menimbulkan keyakinan, bahwa dia mendapatkan malam itu. Kalau dia berpegang kepada pendapat, bahwa "lailatul qadar" pada satu malam dari bulan Ramadlan, niscaya wajiblah dia mengerjakan qiyam Ramadlan pada setiap malam. 

Kalau dia berpendapat, bahwa "lailatul qadar" di nisfu yang akhir, hendaklah dia shalat malam di tiap-tiap malam dari pertengahan bulan Ramadlan sampai akhirnya. Kalau dia berpendapat, bahwa "lai- latul qadar" di puluhan yang akhir, maka hendaklah dia me- ngerjakan qiyam Ramadlan pada tiap-tiap malam puluhan yang akhir dari bulan Ramadlan.

Kata An Nawawi: "Keutamaan shalat malam dan tilawat dapat dicapai dengan sedikit shalat dan dengan sedikit tilawat. Makin banyak kita shalat dan tilawat, makin bagus, makin sangat disukai.

Di antara dalil yang menerangkan hasil keutamaan dengan sedikit shalat, ialah Hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari Abdullah ibn Amar ibn 'Ash, bahwa Nabi SAW. bersabda:

مَنْ قَامَ بِعَشْرِ اَيَاتٍ لَمْ يُكْتَبْ مِنَ الْغَافِلِيْنَ . وَمَنْ قَامَ بِمِائَةِ اَيَةٍ كُتِبَ مِنَ الْقَانِتِينَ . وَمَنْ قَامَ بِالْفِ أَيَةٍ كُتِبَ مِنَ الْمُقْسِطِينَ

"Barangsiapa mengerjakan shalat malam dengan membacakan sepuluh ayat Al Qur-an, tidaklah lagi dia dicatat dalam golongan orang yang lalai. Dan barangsiapa shalat malam dengan membaca 100 ayat, dicatatlah dia dalam golongan orang-orang "qanitin." Dan barangsiapa shalat malam dengan membacakan 1000 ayat, dicatatlah dia dalam golongan orang Muqashshitin."

MEMBANGUNKAN KELUARGA UNTUK SHALAT DI SEPULUH TERAKHIR RAMADAN

Dalam Hadits Abu Dzar, diterangkan, bahwa Nabi SAW. mengerjakan shalat malam bersama-sama shahabat pada malam 23, 25 dan 27. Disebutkan bahwa Rasul membangunkan keluarganya pada malam 27 itu.

Hal ini memberi pengertian, bahwa sangat disukai kita membangunkan keluarga kita di malam yang ganjil yang sangat diharapkan terjadinya "lailatul qadar" padanya. Yaitu malam 27. Diriwayatkan bahwa Ath Thabrani dari 'Ali, ujarnya:

إِِنَّ النَّبِيَّ كَانَ يُوقِظُ أهْلَهُ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ وَكُل صَغِيْرٍ وَكَبِيْرٍ يُطِيْقُ الصَّلَاةَ 

"Adalah Nabi SAW membangunkan keluarganya di puluhan yang akhir dari bulan Ramadlan dan Nabi membangunkan pula semua anak kecil dan orang besar yang sanggup shalat.

Sufyan Ats Tsauri, berkata:

أحَبُّ إِلَيَّ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ أَنْ يَتَجْهَّدَ بِاللَّيْلِ وَيَجْتَهِدَ فِيهِ وَيُوقِظَ أهْلَهُ وَوَلَدَهُ إِلَى الصَّلَاةِ إِنْ أَطَاقُوا ذَلِكَ

"Paling kusukai bila seseorang, telah masuk kepuluhan yang akhir dari bulan Ramadian, supaya bertahajjud dan meningkatkan ibadatnya, membangunkan isteri dan anak untuk shalat, jika mereka sanggup melakukannya."

Dalam satu Hadits shahih diterangkan, bahwa Nabi mendatangi Fathimah dan Ali pada malam hari dan mengatakan kepada mereka :

اَلَا تَقُوْمَانِ فَتُصَلِّيَانِ 

"Apakah kamu tidak bangun untuk shalat ?"

Nabi SAW. senantiasa membangunkan 'Aisyiah setelah beliau bertahajjud dan di ketika hendak berwitir.

Dalam Muwaththa', Malik menerangkan, bahwa Umar bershalat di malam hari seberapa yang dikehendaki Allah. Apabila telah larut malam, Umar membangunkan isterinya, dengan seruan Ash-Shalah-Ash-Shalah," serta mengucapkan Firman Allah : "Wa' mur ahlaka bish-shalah washthabir 'alaiha Dan suruhlah keluargamu mengerjakan shalat dan bersabarlah terhadapnya."

MENGIKAT TALI PINGGANG

Para Ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan perkataan : "Dan Nabi mengikat pinggang." Ada yang mengatakan, bahwa yang dimaksudkan, ialah bahwasanya Nabi meningkatkan kesungguhannya dalam beribadat. Yang lainnya berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan mengikat pinggang, ialah: bahwa Nabi selama sepuluh hari terakhir itu tidak mensetubuhi isterinya.

Inilah tafsir yang diberikan salaf dan imam-imam mutaqaddimin, di antaranya, ialah Sufyan. Dalam Hadits 'Aisyiah dan Anas diterangkan bahwa Nabi tidak berbaring di tempat tidur bersama isterinya pada likur yang akhir itu hingga berakhir bulan Ramadlan. Rasul biasanya beri'tikaf di puluhan yang akhir. Orang yang dalam i'tikaf tidak mendekati isteri. Maka Nabi mendekati isterinya pada puluhan pertama dan kedua; Rasul menjauhkan mereka pada puluhan yang ketika.

MELAMBATKAN BERBUKA, HINGGA SAHUR

Diriwayatkan oleh Ibn Abi 'Ashim dari 'Aisyiah, ujarnya:

 إِذا كَانَ رَمَضَانَ قَامَ وَنَامَ ، فَإِذَا دَخَلَ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ شَدَّ الْمِئْزَرَ وَاجْتَنَبَ النِّسَاءَ وَاغْتَسَلَ بَيْنَ الْأذَانَيْنِ وَجَعَلَ الْعَشَاءَ سَحُورًا

"Adalah Rasulullah SAW. bila memasuki bulan Ramadlan, beliau mengerjakan qiyam Ramadlan dan beliau tidur. Apabila telah memasuki dilikur terakhir, beliau menjauhi isterinya, mandi di antara dua azan dan makan malam dijadikan sahur."

Dalam Hadits Bukhari dan Muslim diterangkan, bahwa Rasul melarang para Shahabat berpuasa hingga waktu sahur. Nabi sendiri mengerjakan demikian. Di waktu salah seorang Shahabat bertanya, mengapa Rasul mengerjakan yang demikian. Nabi menerangkan bahwa beliau tidaklah sebagaimana Shahabat, beliau mendapat makan dan minum dari Allah. Kemudian oleh karena para Shahabat ingin berwishal (berpuasa hingga sahur), maka Nabipun melakukan wishal bersama-sama mereka, hingga tampak bulan syawal.

Riwayat ini menunjukkan, bahwa Rasul mewishalkan puasanya bersama-sama Shahabat, hingga akhir bulan. Diriwayatkan oleh Ahmad, ujarnya:

كَانَ النَّبِيُّ يُوَاصِلُ إلَى السَحَرِ

"Adalah Nabi berwishal, sampai sahur."

Hadits yang serupa ini juga diriwayatkan oleh Thabrani dari Hadits Jabir dan Ibn Jarir dari Hadits Abu Hurairah. Menurut pendapat Ibn Jarir, bahwa Nabi berwishal sampai sahur saja. Dan hal itu boleh dilakukan oleh orang yang sanggup mengerjakannya dan tidak disukai bagi orang yang tidak sanggup. Dan sama sekali tidak dibenarkan berpuasa sepanjang malam pula.

Ahmad dan Ishak tidak memakruhkan wishal, sampai sahur. Dalam pada itu, dalam Shahih Bukhari dari Hadits Abu Sa'id diterangkan, bahwa Nabi sendiri pernah berwishal sepanjang malam, walaupun Nabi menyuruh para Shahabat berwishal, hingga sahur sahaja.

Dan amat disukai melambatkan berbuka, di malam-malam diharap adanya "lailatul qadar." Pada malam 27, Zar ibn Hubaid berkata:

مَنِ اسْتَطَاعَ مِنكُمْ أَنْ يُؤَخِّرَ فِطْرَهُ فَلْيَفْعَل وَلْيُفْطِرْ عَلَى ضَيَاحِ الَّلبَنِ 

 "Barangsiapa sanggup di antara kamu menelatkan berbuka, hendaklah dilakukan, dan hendaklah berbuka dengan susu yang bercampur air."

MANDI DI ANTARA MAGHRIB DAN 'ISYA DAN BERPAKAIAN INDAH

Diriwayatkan oleh ibnu Abi 'Ashim, bahwasanya Hudzaifah mengerjakan qiyam Ramadlan bersama Nabi pada suatu malam Ramadlan. Maka mandilah Nabi dan didindingi oleh Abu Hudzaifah. Kemudian sisa air itu dipakai Abu Hudzaifah buat mandi dan pada permandian Abu Hudzaifah, Nabi melindungi/ mendindinginya. Berkata Ibn Jarir bahwasanya para Shahabat menyukai mandi pada setiap malam dari malam-malam yang akhir. "

An Nakha-'i mandi pada tiap-tiap malam pada puluhan yang akhir. Di antara para Shahabat ada yang mandi dan berwangi-wangian pada malam-malam yang diharapkan terjadinya "lailatul qadar."

Zar bin Hubaiy menyuruh mandi pada malam 27 Ramadlan. Diriwayatkan dari Anas, bahwa beliau bila memasuki malam 24, beliau mandi dan berwangi-wangian, memakai pakaian yang sepesial. Pada pagi harinya disimpan kembali. Ayub As Sakhtayani selalu mandi pada malam 23 dan 24 serta memakai pakaian baru dan berdupa. Beliau berkata: Malam 23 adalah malam penduduk Madinah; sedangkan malam 24, adalah malam kita orang Bashrah."

Kata Hammal ibn Salamah: "adalah Tsabit Al Banani dan Humaid Ath Thawil memakai seindah-indah pakaian, berwangi-wangian pada malam yang diharapkan adanya "lailatul qadar." Kata Tsabit Adalah Tamim Ad Dari mempunyai sepersalinan pakaian yang dibeli seharga 1000 dirham, yang dipakainya pada malam-malam yang diharapkan adanya lailatul qadar."

Referensi dari buku Pedoman Puasa Tulisan Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy