Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HUKUM TENTANG PUASA SUNAT

HUKUM TENTANG PUASA SUNAT
BEBERAPA HUKUM TENTANG PUASA SUNAT

a. Membuka puasa sunat

Dibolehkan orang yang berpuasa sunat membuka puasanya istimewa jika ia dipanggil ke perjamuan yang dilakukan oleh seseorang Islam; dan disukai baginya menggantikan yang telah dibuka itu di lain hari.

Diriwayatkan oleh Ahmad, Ad Daruquthni dan Al Baihaqi dari Ummu Hani', bahwa Nabi SAW. masuk ke rumahnya lalu di- bawa minuman kepada Nabi. Nabi memberikan kepada Ummu Hani'. Maka Hani' mengatakan bahwa ia sedang berpuasa. Karenanya Nabi mengatakan:

إِنَّ الْمُتَطَوِّعَ أَمِيْرُ نَفْسِهِ فَإِنْ شِئْتِ فَصُومِي وَإِنْ شِئْتِ فَاَفْطِرى 

"Sesungguhnya orang yang mengerjakan puasa sunat, adalah raja bagi dirinya. Jika engkau mau, engkau boleh berpuasa dan jika engkaumau, engkau boleh berbuka."

Diriwayatkan oleh Al Bukhari, Muslim dan At Turmudzi dari Abu Juhaifah, ujarnya:

أَخَى النَّبِيُّ صلعم بَيْنَ سَلْمَانَ وَأَبِي الدَّرْدَاءِ فَزارَ سَلْمَانُ أَبَالدَّرْدَاءِ ، فَرَأَى أَمَ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةٌ فَقَالَ لَهَا . مَا شَأْنُكِ قَالَتْ ، أَخُوكَ أَبو لدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الدُّنْيا . فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ فَصَنَعَ لَهُ طَعَامََا فَقَالَ كُلْ فَإِنِّي صَائِمٌ فَقَالَ مَا أَنَا بِأَكْلِ حَتَّى تَأْكُلَ فَأَكَلَ فَلَمَّا كَانَ الَّليْلُ ذَهَبَ أَبو الدَّرْدَاءِ يَقومُ قَالَ . نَمْ فَنَامَ ثُمَّ ذَهَبَ فَقَالَ ، نَم فَلمَّا كَانَ في أَخِرِ اللَّيْلِ قَالَ، قُمِ الْآنَ فَصَلَّيَا ، فَقَالَ لَهُ سُلْمَانُ إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلَنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلأُهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ ، فَأَتَى النَّبِيَّ صلعم فَذَكَرَ لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ النَّبِيُّ صلعم صَدَقَ سَلْمَانُ 

"Nabi mempersaudarakan antara Abu Darda' dan Salman. Pada suatu hari Abu Salman mengunjungi Abu Darda', sedang Ummu Darda' dilihatnya berpakaian dapur (tidak rapi). Maka Salman berkata padanya: "Mengapa engkau begini hai Ummu Darda Ummu Darda' berkata: "Saudaramu Abu Darda' tidak mempunyai kebutuhan kepada dunia. Kemudian Abu Darda' datang dan menyuruh membuat makan- an untuk Salman. Kemudian Abu Darda' berkata: "Makanlah, saya ini berpuasa." Salman menjawab: "Saya sekali-kali tidak makan hingga engkau sendiri juga makan." Maka makanlah Abu Darda Di malam hari Abu Darda' bangun untuk qiyamul lail Maka Salman berkata: "Tidurlah." Lalu Abu Darda' tidur. Kemudian ia bangun lagi untuk shalat. Maka berkatalah Salman: "Tidurlah dahulu." Setelah akhir malam berkata Salman: "Sekarang bangunlah." Maka keduanya shalat.

Kemudian Salman berkata: "Sesungguhnya Tuhanmu mempunyai hak atas dirimu, dirimu mempunyai hak atas dirimu, isterimu mempunyai hak atas dirimu, maka berilah kepada yang berhak akan haknya masing- masing.

Kemudian Abu Darda' datang kepada Nabi dan menyebut yang demikian. Maka berdabda Nabi SAW.: "Benar Salman apa yang dikatakannya."

Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang Hasan dari Abu Sa'id, ujarnya:

 صَنَعْتُ الطَّعَامَ لِرَسُولِ اللهِ صلعم طَعَامًا فَأَتَانِي هُوَ وَأَصْحَابُهُ فَلمَّا وَضَعْتُ الطَّعَامَ قَالَ رَجُلٌ مِنَ القَوْمِ ، إِنِّ صَائِمٌ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلعم . دَعَاكُمُ أَخُوكُمْ وَتَكَلَّفَ لَكُمْ قَالَ ، أَفْطِرْ وَصُمْ يَوْمًا مَكَانَهُ إِن شِئْتَ 

"Saya membuat makanan untuk Rasulullah SAW. Maka Rasulullah datang kepadaku bersama dengan beberapa orang shahabat. Tatkala dihidangkan makanan, berkatalah seorang shahabat: "Saya berpuasa. Maka Rasul berkata: "Kamu diundang oleh saudaramu dan dia mengeluarkan kepayahan dan belanjanya untuk dirimu." Kemudian Nabi berkata: "Berbukalah dan berpuasalah sehari di tempatnya jika engkau mau."

Kebanyakan ahli ilmu berpendapat bahwa orang yang berpuasa sunat, boleh berpuasa, boleh berbuka dan baiknya digadla di lain hari.

b. Puasa tathawwu' sebelum mengerjakan puasa qadla

Menurut suatu riwayat dari Ahmad, tidak boleh bagi orang yang belum mengqadlai puasa fadlu mengerjakan puasa sunat. Kalau ada puasa nadzar, hendaklah dikerjakan sesudah qadla, mengingat Hadits yang diriwayatkan Ahmad dari Abu Hurai- rah, bahwa Nabi SAW. bersabda:

مَنْ صَامَ تَطَوُّعًا وَعَلَيْهِ مِنْ رَمَضَانَ شَيْءٌ لَمْ يَقْضِهِ فَإِنَّهُ لَا يَتَقَبَّلُ مِنْهُ حَتَّى يَصُوْمَهُ

"Barangsiapa berpuasa sunat, sedang atasnya ada puasa Ramadlan yang belum diqadla, maka tiadalah diterima dari padanya puasa sunat itu, sehingga ia mengerjakan puasa Ramadlan."

Puasa qadla sama dengan haji. Tidak boleh haji tathawwu' sebelum haji fardlu.

Menurut suatu riwayat dari Ahmad, boleh berpuasa tathawwu' sebelum qadla, karena qadla itu mempunyai waktu yang lapang, karenanya boleh dikerjakan tathawwu', di waktu qadla, sama dengan tathawwu' di awal waktu; berbeda dengan hajji. Hajji sama dengan puasa Ramadlan. Berkata Ibn Qudamah: "Hadits yang di atas ini diriwayatkan dari Ibn Lahi'ah seorang yang dlaif."

Mengqadla di sepuluh hari yang pertama dari Dzulhijjah, ada yang memakruhkannya. Hari-hari itu harus dipergunakan untuk tathawwu', agar dicapai fadlilahnya. Demikianlah pendapat Al Hasan dan Az Zuhri.

Menurut pendapat Sa'id Ibn Musaiyab, Syafi'i dan Ishaq, juga Ahmad dalam suatu riwayat, tidak dimakruhkan qadla, mengingat bahwasanya 'Umar menyukai qadla Ramadlan di sepuluh hari ini; dan karena hari-hari sepuluh itu, hari ibadat, sama dengan sepuluh hari bulan Muharram.

Jika kita berpendapat bahwa mengerjakan tathawwu" sebelum fardlu suatu hal yang diharamkan, maka puasa tathawwu itu, tidak sah.

PUASA SUNAT DENGAN NIAT QADLA

Niat puasa tathawwu' dilakukan pada malam hari juga. Demikianlah pendapat Jumhur ulama. Asy Syafi'i membolehkan niat puasa tathawwu' (sunat) pada siang hari asal kita berniat sebelum makan, atau minum, atau bersetubuh dengan isteri. Kemudian hendaklah diketahui, bahwa mencampurkan niat berpuasa sunat dengan fardlu yang lain, atau dengan puasa tathawwu', maka puasanya itu tiada sah; tidak buat fardlu dan tidak buat sunat.

Dalilnya Firman Allah SWT.: "Dan tidaklah diperintahkan mereka, malainkan menyembah Allah, serta mengikhlaskan ta'at kepada-Nya." (Ayat 5; S. 98; Al Bayyinah) 

Ikhlash yang dimaksudkan dalam firman Allah ini, ialah mengikhlaskan amal yang disuruh dengan cara yang disuruh pula. 

Demikian pendapat Malik, Asy Syafi'i dan Abu Sulaiman. Kata Abu Yusuf: "Barangsiapa shalat dalam safar, dua raka'at dengan meniatkan dhuhur dan tathawwu', atau barangsiapa mengqadla puasa Ramadlan dengan meniatkan qadla dan tathawwu', hasilnya baginya qadla sahaja dan batallah tathawwu'nya."

Kemudian perhatikan pula Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari Aisyah,, bahwa Rasulullah SAW. bersabda: "Barangsiapa mengamalkan sesuatu amal yang tak ada atasnya tuntunan kami, maka amalnya itu tertolak."

Maka barangsiapa mencampur adukkan sesuatu amalan de- ngan amalan yang lain, berarti telah melakukan suatu amal yang tiada dilakikan Rasulullah SAW. dan tiada dibenarkan Allah. Karena itu, amalan yang begitu tidak diterima.

IMSAK DARI MAKAN, MINUM DAN BERSETUBUH

Apabila seseorang berbuka karena ber'itikad bahwa hari itu masih dalam bulan Sya'ban, dan dipertengahan hari ternyatalah dengan ru'yah, bahwa hari itu hari ke satu bulan Ramadlan, maka kebanyakan ulama mewajibkan imsak di sisa hari itu dan mengqadlanya.

Kata Atha': "Tiada wajib imsak atasnya." Kata Ibn Hazm: "Wajib ia memulai puasa, mulai dari sa'at ia mendapat khabar itu (satu Ramadlan) dan tidak ada qadla atasnya."

Menurut penyelidikan kami, pendapat inilah yang lebih kuat, karena mengingat Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, dari Ibn Umar, ujarnya :

تَرَى النَّاسُ الْهِلَالَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ أَنِّيْ رَأَيْتُهُ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ 

"Manusia sibuk melihat bulan (hilal). Maka aku mengabarkan kepada Rasulullah SAW. bahwasanya aku ada melihatnya. Karena itu Rasulullah SAW. berpuasa dan memerintahkan manusia berpuasa."

Kebanyakan ulama menetapkan, bahwa tiap-tiap berbuka yang tiada dibolehkan, diwajibkan atas orang itu berimsak. Adapun berbuka yang dibolehkan, maka setengah ulama mewajibkan imsak juga. Tetapi setengah ulama lagi tidak mewajibkan imsak.

Kata Al Imam Asy Syaukani: "Wajib imsak atas orang yang masuk Islam di siang hari bulan Ramadlan, dan dipersamakan dengannya, orang yang sampai umur dipertengahan hari, atau orang yang sembuh dari gila, atau orang yang kehilangan udzurnya, yakni wajib "imsak."

Kata al Hafidh Ibn Hajar Al Asqalani: "Orang yang tiada mendapatkan hari sepenuhnya, tiadalah lazim atasnya qadla hari itu, seperti orang yang sampai umur, atau memasuki Islam di tengah hari."

Berbuka setelah berpuasa beberapa jam

Syara' telah memberikan ajaran yang kongkrit kepada orang yang memulai safarnya sesudah berpuasa beberapa jam. Diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir, ujarnya:

إِنَّ رَسُولُ اللهِ صلعم خَرَجَ إِلى مَكَّةَ عَامَ الفَتْحِ فَصَامَ حَتَّى بَلَعَ كَرَاعَ الغَمِيمِ وَصَامَ النَّاسُ . فَقِيلَ لَهُ: إِنَّ النَّاسَ قَدْ شَقَّ عَلَيْهِمُ الصِّيَامُ وَإِنَّ النَّاسَ يَنظُرُونَ فِيْمَا فَعَلْتَ فَدَعَا بِقَدْحِِ مِنْ مَاءٍ بَعْدَ الْعَصْرِ فَشَرِبَ وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ إِلَيْهِ فَأَفْطَرَ بَعْضُهُمْ وَصَامَ بَعْضُهُمْ فَبَلَغَهُ أَنَّ أَنَاسًا صَامُوْا فَقَالَ، أُوْلَئِكَ العُصَاةُ

"Bahwasanya Rasulullah SAW. menuju ke Mekah pada tahun beliau mengalahkan Mekah dengan berpuasa, demikian juga para Shahabatnya. Setibanya Rasulullah di Kura'l Ghamim, berkatalah seorang kepadanya: "Ya Rasulullah, bahwasanya para jama'ah telah merasa sukar berpuasa. Mereka menantikan apa yang Rasulullah perbuat." Maka Rasulullah menyuruh membawa segelas air, lalu Rasulullah meminumnya, sedang para shahabat melihat kepadanya, waktu itu hari sudah 'asar. Karena itu sebahagian Shahabat lalu berbuka dan sebahagian yang lain terus saja berpuasa. Tentang orang yang tidak berbuka disampaikan beritanya kepada Rasulullah. Maka beliau bersabda: "Mereka itu orang yang durhaka." 

Hadits ini menyatakan, bahwa boleh bagi musafir berbuka sesudah berniat berpuasa pada malam hari. Dan menyatakan kebolehan bagi si muqim yang bersafar di tengah hari sesudah menjalankan puasa beberapa jam lamanya, membuka puasanya.

Beginilah pendapat Ahmad dan Ishaq. Ini pulalah yang dipilih oleh Al Muzani. Juga menyatakan, bahwa: keutamaan berbuka, tidak tertentu bagi orang yang telah kepayahan, atau yang takut kepada kepayahan. Keutamaan itu mengenai juga orang yang menjadi ikutan umum, agar diikutinya oleh orang-orang yang telah kepa- yahan berpuasa, bahkan sangat utama bagi orang yang menjadi ikutan umum itu, berbuka dalam keadaan demikian. Diriwayatkan oleh Al Bukhari dari ibn Abbas, ujarnya:

خَرَجَ النَّبِيُّ صلعم فِي رَمَضَانَ إِلَى مَكَّةَ وَالنَّاسُ مُخْتَلِفُونَ فَصَائِمٌ وَمُفْطِرٌ فَلَمَّا اسْتَوَى عَلَى رَاحِلَتِهِ دَعَابِإِنَاءٍ، مِنْ لَبَنِِ أَوْ مَاءٍ فَوَضَعَهُ عَلَى رَاحِلَتِهِ أو رَاحِتِهِ ، ثُمَّ نَظرَ النَّاسُ المُفطِرُونَ لِلصُّوَّامِ وَقَالُوا أَفْطِرُوْا 

"Nabi SAW. keluar di bulan Ramadlan menuju ke Mekkah. Para shahabat ada yang berpuasa dan ada yang tidak. Maka setelah beliau duduk atas kendaraaannya, beliau menyuruh membawa bejana susu atau air, lalu beliau letakkan atas kendaraannva, atau telapak tangannya. Kemudian melihatlah orang-orang yang telah berbuka kepada yang masih berpuasa dan berkata: "Berbukalah kamu."

Hadits ini menjadi hujjah atas kebolehan berbuka bagi orang yang bersafar dari kampungnya, sesudah berpuasa dua tiga jam.

Diriwayatkan oleh At Turmudzy dari Muhammad Ibn Ka'ab, ujarnya:

أَتَيْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكِِ فِي رَمَضَانَ وَهُوَ يُريدُ سَفَرًا وَقَدْ رُحِلَتْ لَهُ رَاحِلَتُهُ وَلَيْسَ ثِيَابَ السَّفَرِ فَدَعَا بِطَعَامِِ فَأَكَلَ ، فَقُلْتُ لَهُ سُنَّةٌ ، فَقَالَ ، سُنَةٌ ثُمَّ رَكِبَ

"Saya datang kepada Anas ibn Malik di bulan Ramadlan. Beliau dikala itu hendak bersafar, kendaraannya telah disediakan dan beliaupun telah memakai pakaian safar. Sesudah itu beliau meminta makanan lalu makan. Maka sayapun bertanya: "Apakah ini menurut sunnah ? Beliau menjawab: "Menurut sunnah." Kemudian dari itu beliau mengendarai kendaraannya."

Riwayat ini menerangkan kebolehan bagi orang yang akan bersafar, berbuka puasa sebelum ia keluar dari tempatnya 'Ubaid ibn Jubair berkata: "Aku naik bersama Abu Basrah Al Ghifari dalam suatu bahtera dari Fushtat di bulan Ramadlan Lalu diberangkatkan. Kemudian diberikan kepadanya makanan siangnya dan dia mengatakan kepadaku: "Dekat kemari" (makanlah !). Aku berkata: "Bukankah kita masih di antara rumah-rumah" (masih belum melampaui batas-batas perkampungan kita?). Abu Bashrah menjawab: "Apakah engkau tidak suka kepada sunnah Rasul?."

Diriwayatkan oleh Al Bukhari dari Ibn Abbas ujarnya

إِنَّ النَّبِيُّ صلعم . غذا غزوة الفتح فِي رَمَضَانَ وَصَامَ حَتَّى إِذَا بَلَغَ الْكَدِيدَ الماء الَّذِي بَيْنَ قَليدٍ وعَسْفَانَ . فَلَمْ يَزَاك مُفْطِى حَتَّى انْسَلَحَ الشَّهْرُ
"Bahwasanya Rasulullah pergi memerangi Mekkah di bulan Ramadlan; beliau berpuasa hingga sampai ke Kadid (suatu mata air antara Qadid dan Asfan), Mulai dari Kadid beliau terus berbuka, sehingga habis Ramadlan."

Hadits ini menyatakan si musafir yang telah memasuki tempat yang dituju, berbuka sekiranya ia tidak berniat bermukim di tempat itu. Rasulullah berbuka di Mekkah itu sepuluh atau sebelas hari lamanya.

HUKUM MEMBATALKAN PUASA DENGAN MAKAN DAN MINUM 

Seorang yang dengan sengaja merusakkan puasa dengan makan atau minum, maka sebahagian ulama mewajibkan ia mengqadlakan puasa yang telah dirusaknya itu.

Dalil mereka, ialah mafhum mukhalafah dari Sabda Rasu lullah SAW yang diriwayatkan oleh Ad Daraquthni, dari Abu Hurairah, yaitu:

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلا كَفَّارَة 

"Barangsiapa berbuka sehari dari Ramadlan karena lupa, maka tak ada qadla atasnya dan tak ada kaffarat."

Dari Hadits ini dipahamkan bahwa makan minum dengan sengaja mewajibkan qadla. Di antara ulama ada pula yang mewajibkan kaffarat, mengingat perintah Rasulullah SAW. kepada orang yang berjima' di bulan Ramadian.

Sebahagian ulama mewajibkan kaffarat dhihar, atas yang membukakan puasa dengan jima' saja tidak dengan yang lain. Akan tetapi jika diingat, bahwa jima' isteri, makan dan. minum itu halal, diharamkan karena berpuasa, maka jika jima' diwajibkan kaffarat, tentulah makan, atau minum sedemikian juga adanya.

Ahlut tahqiq yang tidak berhujjah dengan mafhum mukhalafah, tidak mewajibkan qadla atas mereka yang sengaja tidak mau berpuasa, dan yang sengaja merusakkannya dengan makan dan minum.

Kata mereka: Merusakkan puasa dengan sengaja, adalah suatu kesalahan besar, tak dapat diganti oleh qadla, tak ada keterangan yang mewajibkan qadla dan tak ada yang menerangkan bahwa qadla itu melepaskan tanggung jawab. Istimewa bila kita renungkan Hadits yang diriwayatkan Ibn Khuzaimah dari Abu Hurairah:

 مَنْ أَفْطَرَ يَوْمََا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلَا مَرَضِِ لَمْ يَقْضِهِ صَوْمُ الدَّهْرِ وَاِنْ صَامَهُ

"Barangsiapa berbuka sehari dari Ramadlan dengan tidak 'udzur dan tiada sakit, tiadalah dapat diganti (puasanya yang dirusak itu) oleh puasa sepanjang masa, walaupun dilakukannya."

DALIL YANG MEMBOLEHKAN MAKAN, MINUM DAN BERSETUBUH DI MALAM HARI 

Pada malam hari dari terbenam matahari sehingga terbit fajar, dibolehkan kita makan, minum dan bersetubuh, sebagaimana yang ditegaskan oleh firman Allah SWT.

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّ قَرِيْبٌ أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجيبُوا لِى وَلْيُؤْمِنُوابِى لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ . أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَتُ الىَ نِسَاءِكُمْ هُنَّ لِبَاسُ لَكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسُ لَهُنَّ عَلَمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالْئَن بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأبَيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إلَى اللَّيْلِ وَلَاتُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلَاتَقْرَبُوْهَا كَذلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ 

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, maka terangkanlah kepada mereka: Sesungguhnya Aku dekat. Aku memperkenankan do'a orang yang bermohon apabila ia bermohon ke- pada-Ku. Karenanya hendaklah mereka memenuhi seruan-Ku dan mengimani-Ku, mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk. Telah dihalalkan bagimu di malam hari bulan puasa mendekati isteri; mereka (isteri) itu pakaianmu dan kamu pakaian mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu mengkhianati dirimu. Karena itu, Allah menerima taubatmu dan memaafkan kesalahanmu. Maka sekarang dekatilah mereka (isteri-isteri) dan campurilah mereka dan caharilah apa yang telah Allah tetapkan untukmu; makanlah kamu dan minumlah kamu di malam hari, sehingga nyata kepadamu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasamu, hingga malam (terbenam matahari). Dan janganlah kamu mendekati isteri-isterimu, sedangkan kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah batas-batas yang telah Allah tetapkan, karena itu janganlah kamu mendekati batas-batas itu. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) kepada kamu, semoga kamu menjadi orang yang taqwa." (Ayat 186-187; S. 2; Al Baqarah)

Allah SWT. menurunkan ayat ini untuk membolehkan perkara-perkara yang tidak dibolehkan mula-mulanya. Pada mula-mula puasa difardlukan, tidak dibolehkan bersetubuh di malam-malam puasa dan tidak boleh makan minum sesudah tidur di malam hari. Demikian anggapan Shahabat.

Referensi berdasarkan Tulisan Tgk. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Pedoman Puasa