Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HUKUM BERBEKAM DI SIANG HARI RAMADHAN

HUKUM BERBEKAM DI SIANG HARI RAMADHAN

BERBEKAM DI SIANG HARI RAMADLAN 

Dalam masalah berbekam ini para Shahabat berbeda pendapat:

Ali ibn Abi Thalib, Abu Musa Al Asy'ari dan Ibn Umar berpendapat, bahwa berbekam itu membukakan (membatalkan) puasa, baik yang dibekam ataupun yang membekam. Karena itu, sebahagian Shahabat berbekam di malam hari. Begitu juga Mazhab Ahmad Ibn Hambal, Ishaq, Ibnu Khuzaimah, Ibn Mundzir dan Abu Tsaur.

Ibnu Abbas, Zaid Ibn Arqam, 'Aisyah, Ummu Salamah, Urwah Ibn Zubair dan Sa'id Ibn Jubair, membolehkan berbekam

Demikian disebutkan dalam kitab-kitab Asbabun Nuzul. dan tidak membatalkan puasa. Inilah yang menjadi mazhab Malik dan Asy Syafi'iy.

Kemudian apabila diselidiki masalah ini lebih jauh ternyatalah bahwa berbekam dalam puasa itu tidak dilarang dan tidak membukakan puasa, hanyalah makruh saja bagi orang yang menjadi lemah, lantaran berbekam, dan lebih makruh bagi mereka yang terpaksa berbuka lantaran berbekam itu.

Hukum fashad (memetik darah) dan tasyrith (menggaris-garis badan dengan benda tajam) disamakan dengan berbekam. 

MIMPI BERJIMA DAN KELUAR MANI DALAM BERPUASA

Bermimpi dalam berpuasa, tidaklah membukakan puasa. Dalam hukum ini tidak ada perselisihan pendapat para Fuqaha. Juga demikian hukumnya bagi orang yang keluar mani, lantaran memikiri persetubuhan, vakni tidak membatalkan puasa.

MENGELUARKAN MANI DENGAN TANGAN (ONANI)

Mengeluarkan mani dengan tangan (onani) membatalkan puasa. Demikian kata sebahagian Fuqaha. Menurut pendapat sebahagian Ulama lainnya, tidak membatalkan puasa, Nash yang menegaskan kebatalan puasa karena onani, tidak ada.

MENCIUM DAN MEMELUK ISTERI SEDANG BERPUASA

Hukum mencium isteri dan memeluknya dalam berpuasa, diperselisihkan ulama:
  1. Ada yang mengatakan: "Batal puasa dengan mencium atau memeluk isteri."
  2. Ada yang mengatakan: "Mencium dan memeluk isteri dalam berpuasa, makruh hukumnya."
  3. Ada yang mengatakan: "Dibolehkan bagi orang yang tua, dimakruhkan bagi orang muda" dan
  4. Ada yang mengatakan: "Mencium isteri dan memeluknya dalam berpuasa, tertentu bagi Rasulullah saja."
Kata pentahqiq: "Mencium isteri dan memeluknya, tidak membatalkan puasa, walaupun keluar mani karenanya." Di antara Shahabat-shahabat yang berpendapat demikian, 'Aisyah, Ummi Salamah, Umar Ibn Khathab, Ali, 'Atikah ibn Zaid, Abu Hurairah, Sa'ad ibn Abi Waqash, Ibn Sa'din, Abu Sa'id Al Khudri dan Huzaifah.

Diriwayatkan oleh Muslim dari 'Aisyah, ujarnya:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ كَانَ يُقَبِّلُهَا وَهُوَ صَائِمٌ

"Bahwasanya Rasulullah SAW. sering mencium 'Aisyah sedang beliau berpuasa."

Dan diriwayatkan oleh Muslim dari 'Aisyah, ujarnya:

أَنَّ رَسُولُ اللهِ كَانَ يُبَاشِرُهَا وَهُوَ صَائِمٌ 

"Bahwasanya Rasulullah SAW. sering memeluknya ('Aisyah) sedangkan beliau berpuasa." 

Diriwayatkan oleh An Nasa-i dari 'Aisyah, ujarnya:

هَوَى النَّبِيُّ صلعم لِيُقَبِّلَنِي ، فَقُلْتُ إِِنِّي صَائِمَةٌ فَقَالَ ، وَأَنَا صَائِمٌ أَيْضًا 

"Rasulullah SAW. mencondongkan badan untuk menciumku, lalu aku berkata: "Saya berpuasa." Maka jawab Rasulullah: "Dan sayapun berpuasa pula."

MUNTAH DALAM BERPUASA DAN KELUAR DARAH DARI GIGI

Orang yang tak dapat menahan muntah, tidak batal puasanya dan tidak ada qadla atasnya lantaran muntah itu.

Tetapi orang vang sengaja muntah, batal puasanya dan wajib qadla atasnya. Inilah penetapan Imam Asv Syafi'i.

Kata Ibn Mas'ud, Rabi'ah dan Ikrimah: "Muntah itu tiada merusakkan dan tiada membatalkan puasa, baik sengaja atau tidak selama muntah itu tidak kembali ke dalam perut dengan sengaja." Menurut paham pentahqiq, bahwa pendapat Ibn Mas'ud lebih sesuai dengan ketetapan akal.

Dan tidak ada perselisihan para ulama, bahwa darah yang keluar dari gigi yang tidak masuk halqum, tidak sekali-kali membatalkan puasa.

MENITIK OBAT KE DALAM TELINGA

Menitikkan obat ke dalam rongga telinga dan buluh kemaluan, menghirup obat ke hidung, mengobati luka yang berlubang, mengobati luka di kepala yang tembus ke otak dan menyampaikan obat dalam perut dari saluran dubur, diperselisihkan para ulama.

Nash yang shahih yang membatalkan puasa dengan sebab-sebab itu, tidak didapati.

Sesungguhnya kita dilarang makan, minum dan bersetubuh, akan tetapi memasukkan sesuatu ke dalam dubur, lobang kemaluan, kedalam telinga, mata, hidung atau luka, tidak sekali-kali dinamai makan. Dan tak ada nash yang menegah kita memasukkan sesuatu ke dalam perut dengan yang selain dari makan, minum, istimewa dari jalan bawah. Tegasnya, memasukkan obat dengan jalan injeksi, nyata sekali dibolehkan dan sekali-kali tidak membatalkan puasa.

Adapun bercelak, maka menurut pendapat Abu Hanifah dan Asy Syafi'iy, tiada membatalkan puasa. Penetapan ini dikuatkan oleh kaidah: Al Baraatul Ashliyah, yakni: Tiap-tiap yang tiada di larang, hukumnya boleh.

MADLMADLAH DAN ISTINSYAQ

Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung di kala berwudlu', jika masuk air ke dalam kerongkongan dengan tidak disengaja, maka puasa itu tidak batal. Demikianlah penetapan Ahmad, Ishaq dan Al Auza'i. Akan tetapi Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi'iy dan Al Muzani mengatakan: "Merusakkan puasa."

Firman Allah SWT.:

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَاتُم بِهِ ، وَلَكِن مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ 

"Tak ada dosa atas kamu, terhadap pekerjaan yang kamu lakukan de- ngan kesilapan, tetapi dosa itu pada yang disengaja oleh hatimu." (Ayat 5; S. 33; Al Ahzab).

Ayat ini menegaskan, bahwa kemasukan air ke dalam kerongkongan dengan tidak disengaja, tidak membatalkan puasa. Mengenai masuk lalat ke dalam kerongkongan dengan tidak disengaja, orang yang mengangkat kepalanya dan menguap lalu jatuh setitik hujan ke dalam halqumnya, para ulama berselisih paham.

Menurut pendapat Ibn Abbas: "Tidak batal puasa karena kemasukan lalat itu."

MANDI DAN MEMBASAHKAN KEPALA LANTARAN PANAS

Mandi tengah hari dibolehkan bagi orang yang berpuasa. Dan tak ada dosa atas orang yang berpuasa, menuangkan air atas kepala lantaran kesangatan panas.

Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dengan sanad yang Shahih dari sebahagian Shahabat, ujarnya :

لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ ص م . بِالْعَرَج يَصُبُّ المَاءَ عَلَى رَأْسِهِ وَهُوَ صَائِمٌ مِّنَ الْعَطْشِ أَو مِنَ الْحَرِّ 

"Sungguh aku telah melihat Rasulullah SAW. di 'Araj menuangkan air atas kepalanya, sedangkan beliau berpuasa, karena haus atau karena panas. "

Ringkasnya, menyelam ke dalam air dan mandi dalam ber- puasa, tidaklah membatalkan puasa.

BERSIKAT GIGI, MENELAN LIUR, MASUK DEBU, DALAM BERPUASA

Sengaja bersugi (menyikat gigi) dalam berpuasa dengan benda basah atau kering; sengaja mengunyah makanan sengaja menyikat gigi sesudah tergelincir mata hari; sengaja menelan liur dan sengaja merasakan makanan, selama tak sampai ke dalam halqum, tidaklah membatalkan puasa tak ada perselisihan para ulama dalam masalah ini.

Akan tetapi sebahagian ulama, di antaranya Asy Syafi'i telah memahamkan dari Hadits yang menyatakan, bahwa bau busuk mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari bau kasturi, kemakruhan bersugi setelah tergelincir matahari; karena bersugi, menurut sangkaannya, menghilangkan bau mulut yang busuk itu. Sebenarnya, paham yang demikian itu adalah suatu kesilapan.

Bersugi sepanjang hari, tidaklah makruh dan tidaklah bersugi itu menghilangkan bau busuk; karena bau itu bukan datangnya dari gigi, hanya datangnya dari karena kekosongan perut.

Bersugi sepanjang hari dan membersihkan diri sepanjang hari, tidaklah makruh; bahkan itulah suatu tuntutan yang baik dari agama.

Diriwayatkan oleh At Turmudzi dari Sa'ad, bahwa Rasulul- lah SAW bersabda

َإِنَّ اللَّهَ نَظِيْفٌ يُحِبُّ النَّظَافَة 

"Bahwasanya Allah Maha Bersih, menyukai kebersihan."

Kemudian dari itu hendaklah dimaklumi pula, bahwa sebagaimana bersugi tiada dimakruhkan dalam berpuasa, baik sebelum atau sesudah tergelincir matahari, juga tidak ada keterangan sedikitpun yang melarang menelan liur yang bersih, walaupun liur itu telah berkumpul dalam mulut.

Sebenarnya, liur itu perlulah ditelan, karena ia menjadi kelenjar bagi kerongkongan. Apabila sepanjang hari ludah itu dibuang, keringlah kerongkongan dalam melakukan tugasnya.

Tentang menelan dahak, para ulama berselisih pendapat, Asy Syfi'i membatalkan puasa, dengan karena menelan dahak itu. Tetapi Ahmad di salah satu riwayat, mengatakan tidak, dan dahak itu disamakan dengan liur karena datangnya bukan dari luar.

Menurut pentahqiqan, bahwa perkataan Ahmad inilah yang kuat, yakni tidak membatalkan puasa dengan karena menelan dahak asal jangan menelan dahak yang sudah meleleh keluar bibir.

Debu yang masuk ke dalam kerongkongan, baik debu tepung, maupun debu apa saja, tidak membatalkan puasa. Begitulah pendapat yang rajih dari Abu Hanifah dan Sahnun.

BERBUAT MA'SIAT DALAM BERPUASA

Sengaja melakukan ma'siat, menurut kata Jumhur, merusakkan pahala puasa, bukan membatalkan puasa, yakni orang yang merusakkan puasanya dengan berbuat ma'siat, tidak disuruh mengqadla puasanya, atau mengulanginya, sebagai orang yang membatalkan puasa dengan makan dan minum itu

Akan tetapi jika kita perhatikan fatwa-fatwa ulama Salaf, maka terdapatlah di antara pendapat beliau-beliau itu, pendapat-pendapat dan fatwa-fatwa yang menetapkan batal puasa dengan mengerjakan ma'siat.

Kata Ibn Hazam: "Sengaja mengerjakan ma'siat, dalam puasa, membatalkan puasa, merusakkan puasa sendiri, bukan pahalanya saja."

Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

الصِّيَامُ جُنَّةٌ ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ يَوْمَئِذٍ وَلاَ يَسْخَبْ  فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ 

"Puasa itu perisai Maka apabila salah seorang kamu berpuasa, janganlah ia menuturkan kata-kata yang keji, dan janganlah ia menghingar- bingarkan. Jika seseorang memakinya atau memukulnya, hendaklah ia mengatakan: "Saya sedang berpuasa."

Diriwayatkan oleh Al Bukhari dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW. bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ للَّهِ حَاجَةٌ فِي أَن يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ 
"Barang siapa tiada meninggalkan perkataan dusta dan mengerjakannya, tiada meninggalkan perbuatan-perbuatan orang yang tidak bersopan- santun, maka tidak ada bagi Allah sesuatu hajat padahal ia meninggalkan makannya dan minumnya."

Rasulullah menegah kita mengeluarkan perkataan buruk, mengupat, mencerca, menuturkan kata-kata yang mengakibatkan timbul rangsangan, berlaku jahil dan berbuat yang tidak senonoh dalam berpuasa. Maka barangsiapa dengan sengaja melakukan yang tidak dibolehkan itu, berartilah bahwa ia tidak berpuasa sebagaimana yang diperintahkan Sunnah dihukumlah tidak berpuasa juga.

Allah SWT. menerangkan, bahwa puasa orang yang mengerjakan ma'siat dalam berpuasa, sekali-kali, tidak diterima. Apabila puasa tidak diterima, dihukumlah puasanya itu telah batal.

Sebahagian orang mengatakan: Yang dimaksudkan batal di sini, ialah: batal pahala. Sesungguhnya menetapkan begini jauh dari kebenaran, karena kita semua mengetahui, bahwa tiap- tiap amalan yang tidak ada harganya dipandangan Allah, berarti amalan batal. Ulama Salaf menetapkan demikian.

Di bawah ini kami terakan ucapan-ucapan dan fatwa-fatwa para Shahabat dan para Salaf dalam masalah ini:

1. Kata Umar ibn Khathab:

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الشَّرَابِ وَالطَّعَامِ وَحْدَهُ ، وَلَكِنَّهُ مِنَ الكَذِبِ وَالْبَاطِلِ

"Puasa ini bukanlah hanya menahan diri dari makan dan minum saja, akan tetapi juga dari dusta, dari perbuatan yang salah dan tutur kata yang sia-sia."

2. Kata Jabir Ibn Abdullah:

إِذَا صُمْتَ فَلْيَصُمْ سَمْعُكَ وَبَصَرُكَ وَلِسَانُكَ عَنِ الْكَذِب والمَأْثَمِ . وَدَعْ أَذَى الخَادِمِ ، وَلْيَكُنْ عَلَيْكَ وَقَارٌ وَسَكِينَةٌ فِي يَوْمِ صِيَامِكَ . وَلَا تَجْعَل يَوْمَ فِطْرِكَ وَيَوْمَ صِيَامِكَ سَوَاءٌ

"Apabila kamu berpuasa, hendaklah berpuasa juga pendengaranmu, penglihatanmu dan lidahmu dari berdusta dan berbuat dosa. Jauhkan dirimu dari menyakiti pelayan. Hendaklah kamu berlaku terhormat dan tenang di hari-hari puasamu. Janganlah kamu menjadikan hari berbuka, serupa saja dengan hari-hari berpuasa."

Perhatikan pula lebih jauh fatwa-fatwa dari Tabi'in yang di bawah ini:

1. Kata Hafshah binti Sirin:

ُالصِّيَامُ جُنَةٌ مَالَمْ يَخْرِقْهَا وَخَرْقُهَا الغَيْبَة 

"Puasa itu adalah perisai selama ia tidak dirobek, yang merobeknya ialah mengumpat."

2. Kata Maimun ibn Mahran:

إِنَّ أَهْوَنَ الصَّوْمِ تَرْكُ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ

"Bahwasanya semudah-mudah puasa, ialah meninggalkan makan dan minum."

3. Kata Ibrahim an Nakhai

كَانُوا يَقُولُونَ الْكَذِبُ يُفْطِرُ الصَّومَ 

"Para Shahabat berkata : "Dusta itu membukakan puasa "

4. Kata Ibnu Hazam pula: 

أَتَعَجَّبُ مِنْ قِيَاسِ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ كَانُوْا يُبْطِلُوْنَ الصِيَامَ بِالْإِسْتِمْتَاع وَلَا يُبْطِلُونَ بِالْغِيْبَةِ وَالكَذِبِ , إِذَا كَانَ الطَّعَامُ يُفْسِدُ الصَّوْمِ لِأَنَّهُ مَنْهِيٌّ عَنْهُ فَلِمَا لَايُحْكَمُ بِبُطْلَانِ الصَّوْمِ بِالْغِيْبَةِ وَالْكَذِبِ وَإِنَّهُمَا مَنْهِيٌّ عَنْهُمَا 

"Saya sangat heran memiliki logika setengah para ahli agama. Mereka membatalkan puasa dengan beristimta', tidak membatalkan puasa dengan mengupat dan berdusta Kalau makan dan minum membatal kan puasa karenanya ditegahnya, maka mengapakah puasa itu tidak dihu- kum batal dengan mengumpat dan berdusta dan sesungguhnya kedua- duanya ditegah juga?"

5. Kata Zainuddin Al Malibari dalam Irsyadul Ibad:

 وَاعْلَمُ أَنَّ التَّقَرُّبَ إِلَى اللهِ بِتَرْكِ المُبَاحَاتِ لَا يَكْمُلُ إِِلَّا بَعْدَ التَّقَرُّبِ بِتَرْكِ الْمُحَرَّمَاتِ فَمَنِ ارْتَكَبَ الْمُحَرَّمَاتِ ثُمَّ تَقَرَّبَ بِتَرْكِ المُبَاحَاتِ كَانَ مَثَابَةِ مَنْ يَتْرُكُ الفَرَائِضَ وَ يَتَقَرَّبُ بِالنَّوَافِلِ

"Dan ketahuilah, bahwa mendekatkan diri kepada Allah dengan meninggalkan barang-barang yang halal saja, tidaklah sempuma, melain- kan dengan meninggalkan yang haram juga. Orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan meninggalkan barang yang mubah, tidak me ninggalkan barang yang haram, samalah artinya dengan orang yang me ninggalkan fardlu, mengerjakan sunnat."

6. Kata Al Auza'i:

يُفْطِرُ بِالْكَذِبِ وَالْغِيْبَةِ 

"Puasa itu dibatalkan oleh bohong dan umpat cela." 

Dengan memperhatikan keterangan-keterangan yang telah lalu, nyatalah bahwa pembatal puasa itu terbagi dua: 

Pertama: Pembatal yang mewajibkan qadla puasa.

Kedua: Pembatal yang mewajibkan qadla dan kaffarat.

Pembatal yang mewajibkan qadla saja, ialah makan, minum dengan sengaja, muntah dengan sengaja, haidl dan nifas, mengeluarkan mani (menurut Jumhur), makan makanan yang tidak mengenyangkan, seperti garam dan niat berbuka puasa. Adapun pembatal yang mewajibkan qadla dan kaffarat, ialah jima'.

Referensi berdasarkan Tulisan Tgk. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Pedoman Puasa