Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tata Cara Menyapu Kepala Sesuai Sunnah

 

MENYAPU TELINGA LUAR DAN DALAM SERTA AIR YANG DIPAKAI UNTUK MENYAPU TELINGA

212) Abdullah ibn Amr ra, berkata:

ثُمَّ رَأَيْتُ النَّبِيّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأَدْخَل إِصْبِعَيْهِ السَّبًّا حَتَيْنِ فِي أُذُنَيْهِ   وَمَسَحَ بِإِبْهّامَيْهِ ظَهِرَ أُذُنَيْهِ 

"Kemudian saya melihat Nabi menyapu kepalanya dan memasukkan kedua anak jarinya dalam lipatan daun telinga lalu mengusap dengan kedua ibu jarinya, belakang telinga." (HR. Abu Dawud dan An-Nasa'y; Bulughul Maram: 9)

213) Miqdam ibn Ma'di Kariba ra. berkata:

ِان النَبِيَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ وَأَدْخَلَ أُصْبُعَيْهِ في صِمَاخَيْه 

"Nabi menyapu kepalanya dan kedua telinganya. Beliau memasukkan anak jarinya ke dalam lipatan telinga." (HR. Ahmad; Al-Muntaqa 1: 120)

214) 'Abdullah ibn Zaid ra. berkata:

قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ : الْأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ.

Rasulullah saw. bersabda: "Kedua telinga itu bagian dari kepala." (HR. Ibnu Majah; Al-Muntaqa 1: 98; Sunan Ibni Majah 1: 120

SYARAH HADITS

Hadits (212) Ibnu Khuzaimah menyatakan: hadits ini shahih. Hadits ini me- nyatakan, cara menyapu telinga, yaitu memasukkan kedua telunjuk ke dalam telinga dan menyapu belakang telinga dengan ibu jari.

Hadits (213) menyatakan tentang cara menyapu telinga seperti hadits (212).

Hadits (214) Al-Munziry dan Ibnu Daqiqil Id, memandang kuat hadits ini. Hadits ini menyatakan bahwa telinga, termasuk bagian kepala. Menyapunya ber- samaan dengan menyapu kepala.

Imam Malik, Asy-Syafi'y, Ahmad, dan Abu Tsaur berpendapat, bahwa menyapu telinga, hendaklah dengan air yang baru, jangan bersamaan dengan air untuk kepala. Ats-Tsaury, Abu Hanifah dan Al-Hadi berpendapat bahwa menyapu telinga, hendaklah dengan air penyapu kepala.

Ibnu 'Abdil Barr mengatakan: "Segolongan sahabat dan tabi'in menyapu telinga bersamaan dengan air penyapu kepala." Disebutkan dalam Zadul Ma'ad, bahwa tidak ada hadits yang shahih yang menetapkan bahwa Nabi mengambil air baru untuk menyapu telinga.

mengusap kepala 3 kali saat wudhu ???

Apabila kita kumpulkan segala hadits yang berhubungan dengan wudhu semuanya menegaskan bahwa menyapu telinga bersamaan dengan menyapu kepala dan sekali saja telinga itu disapu, sebagai halnya menyapu kepala. Hal ini ditegaskan oleh hadits Ibnu Abbas (206): "Menyapu telinga sekali saja dengan air yang diambil untuk menyapu kepala; karena telinga itu masuk bagian kepala."

Hikmah hadits ketiga (214) diperjelas lagi oleh hadits-hadits Ali, Ibnu Abbas, Rubaiyi dan Utsman. Semua hadits menetapkan, bahwa menyapu telinga beserta menyapu kepala saja, dengan satu cidukan air saja. Ada sebuah hadits yang menyata- kan, bahwa Nabi mengambil air yang baru untuk menyapu telinga. Sesudah diperhatikan, maka dia memberi pengertian, bahwa Nabi saw. mengambil air yang baru untuk menyapu telinga, adalah karena tangannya, telah terlalu kering untuk menyapu telinga.

Al-Bukhary menegaskan bahwa mengambil air lain untuk menyapu telinga, menyalahi sunnah Nabi saw. 

Walhasil, menyapu telinga bururutan dengan menyapu kepala dengan air yang sama, terkecuali kalau tangan sudah kering, barulah kita mengambil air yang baru. Maka tidak ada jalan kita mengharuskan menyapu telinga dengan air yang baru. Demikianlah perbuatan Nabi saw., ketika menyapu telinganya, walaupun hadits yang menerangkan bahwa telinga bagian dari kepala, kita hukumkan dha'if.

Para ulama berselisih paham tentang hukum menyapu telinga. Ishaq dan Ahmad ibn Hanbal berpendapat bahwa menyapu telinga wajib. Ulama-ulama lain, tidak mewajibkan. Al-Qur'an mewajibkan menyapu kepala. Nabi saw. telah menerangkan bagaimana cara menyapu kepala. Tidak pernah Nabi saw. meninggalkan menyapu telinga beserta menyapu kepala. Karena itu, menurut kaidah, harus kita samakan hukumnya menjadi wajib. Perlu diketahui bahwa menyapu leher hukumnya bid'ah."

MEMBASUH KAKI

215) Abdullah ibn Amar ra, berkata:

تَخَلَّفَ عَنَّا رَسُولُ الله ﷺ في سَفْرَة فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ إِرْهَقَنَا الْعَصْرُ فَجَعَلْنَا نَتَوَضَّأُ وَنَمْسَحُ عَلَى أَرْجُلِنَا، قَالَ: فَنَادَى بِأعْلَى صَوْتِهِ وَيْلٌ لِلْلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا

"Pada suatu ketika dalam sebuah perjalanan dari Mekkah ke Madinah, Nabi saw. tertinggal di belakang. Ketika Rasulullah saw. menemui kami, shalat Ashar telah sedikit terlambat dari awal waktunya. Ketika Rasulullah saw. tiba, kami pun cepat-cepat berwudhu mengambil air wudhu dengan kami sapu saja kaki-kaki kami. Perbuatan kami itu dicegah Rasulullah saw. dengan serunya: "Kecelakaan dari api neraka bagi segala tumit (yang tidak cukup terbasuh dua kali atau tiga kali)." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Al-Muntaqa 1: 101) 

SYARAH HADITS

Hadits (215), juga diriwayatkan oleh An-Nasa'y, Ad-Darimy dan Ibnu Majah. Hadits ini menyatakan, bahwa membasuh kedua kaki, apabila tidak memakai muza, fardhu wudhu, yang wajib dibasuh dengan merata benar, sehingga tidak ada permukaan yang tidak terbasuh, walaupun sedikit. 

An-Nawawy mengatakan: "Para fuqaha berbeda pendapat dalam masalah. membasuh kaki. Golongan terbesar dari mujtahidin berpendapat bahwa yang diwajibkan membasuh kaki hanya hingga mata kaki."

'Abdurrahman ibn Abi Laila mengatakan: "Seluruh sahabat memandang, bahwa membasuh kaki dalam berwudhu adalah fardhu." Demikian menurut riwayat Said ibn Manshur. Al-Hasan Al-Bishry, Ibnu Jarir, Ath-Thabrany dan Al-Jubba'i: "Kaki boleh dibasuh dan boleh disapu saja."

Al-Tahawy dan Ibnu Hazm mengatakan: "Menyapu kaki telah di-mansukh-kan."

Golongan Imamiyah mengatakan: "Yang fardhu, adalah disapu, bukan dibasuh." Sekiranya kita perhatikan zhahir ayat dalam masalah ini natijah-nya ialah: salah satu dari paham yang tersebut boleh dipakai. Akan tetapi, karena zhahir ayat telah ditafsirkan Nabi saw. dengan prakteknya diamalkan oleh para sahabat, yakni membasuh kaki kalau terbuka, menyapu saja kalau tertutup, tidaklah perlu lagi kita hiraukan, pendapat-pendapat yang berlawanan dengan ini. Tegasnya, anggota kaki fardhu dibasuh jika tebuka, cukup di sapu saja jika tertutup.

Demikianlah kita simpulkan pendapat yang mengatakan kaki dibasuh dengan paham yang mengatakan wajib disapu."

ANGGOTA WUDHU YANG TIDAK SEMPURNA TERBASUH DAN ULANGAN MEMBASUH

216) Abu Hurairah ra. menerangkan:

إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ رَأَى رَجُلاً لَمْ يَغْسِلْ عَقِبَهُ فَقَالَ: وَيْلٌ لِلْلأَعْقَاب مِنَ النَّارِ

"Bahwasanya Nabi saw, melihat seorang lelaki tidak membasuh tumitnya ketika berwudhu. Maka Nabi saw. bersabda: "Celakalah bagi tumit-tumit dari api neraka (jika tidak sempurna dibasuh)." (HR. Muslim; Al-Muntaga 1: 102)

217) Anas ibn Malik menerangkan:

ان رَجُلاً حَاءَ اليُّ وَقَدْ تَوَضَاء وَتَرَكَ عَلَى ظهر قدمه مثل موضع الظُّفْرِ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ارْجِعْ فَاحْسِنُ وُضُوءَكَ.

"Bahwasanya seorang laki-laki ('Umar ibnul Khaththab) sesudah berwudhu datang kepada Nabi dan kelihatan sedikit ada yang tidak kena basuhan di belakang kakinya, sebesar kuku. Melihat itu, Nabi pun bersabda: "Kembali perbaiki wudhumu." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ad-Daraquthny; Al-Muntaqa 1: 102)

218) Khalid ibn Ma'dan dari salah seorang istri Rasul menerangkan:

اِنَّ النَّبِيَّ رَأَى رَجُلاً يُصَلِّى وفى ظَهْرِ قَدَمِهِ لَمْعَةً قَدْرُ الدِّرْهَمِ لَمْ يُصِبْهَا المَاءَ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ أَنْ يُعِيْدَ الوُضُوءَ والصَّلاَة
"Bahwasanya Nabi saw. melihat seorang laki-laki shalat, sedang di telapak kakinya ada yang tidak kena air, sebesar dirham. Maka Nabi saw. memerintahkannya mengulangi wudhu dan shalatnya." (HR. Ahmad; Al-Muntaqa 1: 104)

SYARAH HADITS

Hadits (216) menyatakan bahwa kaki wajib rata terbasuh.
Hadits (217) Ahmad menyatakan, hadits ini baik. Hadits ini menyatakan bahwa apabila kaki tidak cukup terbasuh walaupun sedikit, kita wajib mengulangi wudhu dari awalnya (permulaan wudhu). 

Hadits ini menyatakan juga, bahwa muwalat (beriringan) antara anggota wudhu (membasuh anggota wudhu itu dengan beturut-turut tidak berselang lama), adalah fardhu dalam mengambil air wudhu.

Hadits (218), Al-Atsram berkata: "Aku bertanya kepada Ahmad, tentang hadits ini, maka beliau menjawab, hadits ini hasan." Hadits ini menyatakan, bahwa meratakan basuhan dan muwalat adalah wajib. 

Jumhur ulama berpendapat, bahwa segala anggota wudhu wajib dibasuh dengan sempurna (lengkap). Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa beliau mensahkan wudhu yang tidak terbasuh kurang dari sebesar sedirham.

Al-Auza'y, Malik dan Ahmad mengatakan: "Apabila seseorang tidak cukup membasuh salah satu anggota wudhunya, hendaklah ia mengulangi wudhurya dari permulaan."

Abu Hanifah dan Asy-Syafi'y berpendapat bahwa tidak wajib mengulangi wudhu dari awal, hanya menyempurnakannya saja, yakni: mencukupkan basuhan anggota yang tidak terbasuh.

Ats-Tsaury, Malik dan Ahmad mengatakan: "Muwalat yakni mengerjakan wudhu dengan berturut-turut dan beriringan antara satu anggota dengan satu anggota lain adalah fardhu."

Abu Hanifah dan Asy-Syafi'y tidak mewajibkan muwalat.

Ibnu Qudamah mengatakan: "Muwalat yang wajib, ialah membasuh anggota yang kedua, sebelum kering anggota yang pertama. Dalam pada itu, kalau kita sedang bimbang dengan suatu pekerjaan wudhu, maka tetap dianggap muwalat walaupun anggota yang kedua dibasuh, sesudah anggota yang pertama kering."

An-Nawawy mengatakan: "Mengadakan perselangan sejenak antara sesuatu anggota wudhu dengan sesuatu anggota wudhu yang lain tidak memberi mudarat." Diriwayatkan dari Ibnu Umar oleh Al-Baihaqy bahwa Ibnu Umar berwudhu di pasar. Sesudah menyapu kepala, beliau dipanggil ke masjid untuk shalat jenazah. Beliau terus saja pergi. Sesampai di masjid, barulah beliau menyapu sepatunya, sesudah air wudhunya kering.

Nash hadits menyatakan membasuh kaki fardhu dilakukan. Dengan demikian anggota-angota wudhu yang lain-lain di-qiyas-kan kepada membasuh kaki. Tentang hal mengulangi wudhu dari permulaannya, apabila kedapatan ada anggota yang tidak cukup sempurna terbasuh, ditunjuki oleh hadits pertama. Maka walaupun boleh dipahamkam dari hadits kedua, bahwa yang disuruh hanya memperbaiki wudhu saja, kita mengutamakan agar berwudhu diulangi kembali.

Para sahabat dalam masalah muwalat berselisih paham. Tetapi maksud hadits, telah jelas menerangkan kewajiban marwalar (mengulang). Ringkasnya, wajib mengulangi wudhu dari awal. Apabila kedapatan salah satu dari anggota wudhu yang tidak cukup sempurna terbasuh. Kalau tidak diulangi dari awal maka apabila tangan (umpamanya) diketahui tidak cukup terbasuh, sesudah membasuh kaki, dikatakan boleh mencukupi basuhan itu saja, hilanglah tertib antara membasuh tangan dengan menyapu kepala.

Golongan yang tidak mewajibkan muwalat ini masuk golongan yang mewajib kan tertib juga. Karena itu, sedikit mengherankan apabila kita mengulangi berwudhu."

BILANGAN MEMBASUH ANGGOTA WUDHU

219) Ibnu Abbas ra, menerangkan:

إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ تَوَضَأَ مَرَّةً مَرَّةً

"Nabi saw. berwudhu sekali-sekali." (HR. Al-Jama'ah selain dari Muslim; Al- Muntaga 1: 103)

220) Abdullah ibn Zaid ra, menerangkan:

إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ تَوَضَأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ

"Nabi saw. berwudhu dua kali dua kali." (HR. Ahmad dan Al-Bukhary; Al- Muntaga 1: 103)

221) Utsman ibn 'Affan ra, menerangkan:

إِنَّ النَّبِيِّ ﷺ تَوَضَاَ ثَلَاثًا ثلاثًا

"Nabi saw. berwudhu tiga kali tiga kali." (HR. Ahmad dan Muslim; Al-Muntaqa 1: 103)

SYARAH HADITS

Hadits (219), hadits (220), hadits (221), menegaskan bahwa Nabi membasuh anggota wudhu ada yang sekali-sekali, ada dua-dua kali, dan ada yang tiga-tiga kali. An-Nawawy mengatakan: "Seluruh ulama sepakat: bahwa yang wajib di dalam membasuh anggota wudhu, hanyalah sekali saja."

Ibnu Qudamah mengatakan: "Kebanyakan ahli ilmu berpendapat, bahwa membasuh wudhu sekali-sekali, hanya Malik yang tidak menentukan sekali dan tidak tiga kali."

Al-Auza'y dan Said ibn 'Abdil Aziz mengatakan: "Basuhan wudhu tiga kali-tiga kali, kecuali menyapu kepala."

Ibnu Qudamah berkata pula: "Boleh sebagian anggota dibasuh sekali dan sebagian yang lain dibasuh dua kali." Ahmad mengatakan: "Orang yang melebih dari tiga kali tiga kali, adalah termasuk orang yang ragu-ragu."

Al-Qadhi, Abu Bakar ibn Arabi mengatakan: "Sebagian orang yang me- nyangka bahwa yang fardhu itu sekali (kali yang pertama itu fardhu), yang kedua dan yang ketiga ialah keutamaan dan yang keempat melampaui batas. Sebenarnya para perawi melihat Nabi menciduk air untuk tiap-tiap anggota sekali ciduk, lalu menyangka bahwa Nabi membasuh sekali saja. Kita mengetahui dengan yakin, bahwa sekiranya sekali ciduk itu tidak merata, tentulah lebih dari sekali cidukan, padahal yang pertama sudah merata. Tentulah cidukan kedua untuk keutamaan."

Mengulangi membasuh anggota wudhu selain kepala, disukai. Demikian zhahir pekerjaan Nabi saw.. Akan tetapi menurut pentahqiqan yang kami lakukan, Nabi mengulang-ulangi cidukan air, bertujuan untuk menegaskan, bahwa kita tidak harus meratakan dengan cidukan air pertama. Jika telah cukup rata dengan cidukan yang pertama, maka sudah cukup. Jika tidak, kita ciduk lagi. Jika dengan cidukan yang kedua tidak juga cukup, kita ciduk sekali lagi.

Kesimpulannya, haruslah dengan tiga kali cidukan meratai seluruh anggota-anggota yang dibasuh. Tegasnya, Nabi melakukan hingga tiga cidukan, bukan untuk menyatakan bilangan, hanya untuk melengkapi dan meratakan. Maka tidak ada artinya mengatakan yang pertama, fardhu yang kedua sunnat; yang jelas fardhu adalah meratakan air. Jika cukup dengan sekali ciduk, tidak perlulah diulangi lagi. Kalau tidak cukup, diulangi lagi. Ulangan ini tidak dapat dikatakan kali yang kedua."

MENDAHULUKAN MEMBASUH ANGGOTA WUDHU SEBELAH KANAN

222) 'Aisyah ra. berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يُحِبُّ التَّيَامُنَ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطَهُوْرِهِ وفي شَأْنِه كُلِّهِ

"Rasulullah saw. suka mendahulukan sebelah kanannya di waktu memakai sepatu, bersisir, bersuci dan di segala urusannya." (HR. Al-Bukhary dan Muslim; Al-Muntaqa 1: 102)

223) Abu Hurairah ra, berkata:

قَالَ النِّبِيُّ : إِذا لَبِسْتُمْ وَإِذَا تَوَضَّأْتُمْ فَابْدَؤُا بِآيَامِيْنِكُمْ

Rasulullah saw. bersabda: "Apabila kamu memakai pakaian, begitu pula apabila kamu berwudhu, mulailah dengan sebelah kananmu." (HR. Ahmad, dan Abu Dawud; Al-Muntaqa 1: 103)

SYARAH HADITS

Hadits (222) menyatakan bahwa menurut sunnah, dalam mengambil air shalat (wudhu) ialah memulai membasuh terlebih dahulu anggota-anggota yang sebelah kanan.

Hadits (223), Ibnu Daqiqil Id menyatakan: "Hadits ini patut sekali dipandang shahih." Hadits ini menyuruh supaya kita membasuh anggota-anggota wudhu sebelah kanan sebelum anggota-anggota sebelah kiri.

Jumhur ulama sepaham dalam masalah ini. Mereka menyunnatkan kita mendahulukan sebelah kanan atas sebelah kiri. Mereka mengaitkan perintah hadits yang kedua, kepada sunnat.

An-Nawawy mengatakan bahwa menurut kaidah syara', disukai kita me- mulai sebelah kanan dalam mengerjakan urusan yang mulia seperti halnya dalam berwudhu, dan disukai kita mendahulukan kiri dalam mengarjakan urusan yang tidak dipandang mulia seperti memasuki jamban dan sebagainya. 

Diriwayatkan dari Ahmad menurut hikayat Ar-Rafi'i bahwa Ahmad mewajibkan kita men- dahulukan tangan kanan atas tangan kiri dalam membasuh tangan. Ash-Shan'any mengatakan: "Nabi saw. tidak pernah membasuh tangan kiri sebelum tangan kanan, tidak pernah membasuh kaki kiri sebelum membasuh kaki kanan. Mengingat perbuatan Nabi yang menjalankan kandungan ayat, nyatalah bahwa menertibkan itu wajib. Hadits yang menerangkan, bahwa 'Ali pernah berwudhu dengan membasuh tangan kirinya lebih dahulu, dha'if." Asy-Syafi'y dalam Al-Umm mengatakan: "Mendahulukan kiri atas kanan hukumnya makruh." Ibnu Qudamah mengatakan: "Sepanjang pengetahuan kami, tidak diulangi membasuh yang dimulai dengan sebelah kirinya."

Disukai kita mendahulukan sebelah kanan, hanyalah dalam membasuh tangan hingga siku dan dua kaki. Adapun membasuh kedua telapak tangan hinga per- gelangan, dua pipi dan dua telinga, maka menurut sunnah, kita mengerjakannya berbarengan.

Zhahir hadits yang kedua, memang mewajibkan. Tetapi ada karinah yang memalingkan perintah dari wajib kepada sunnat, yaitu ijma' (kalau sahnya)."

BERWUDHU MENURUT TERTIBNYA

224) Jabir ibn Abdillah ra. berkata:

قَالَ النَّبِيُّ ﷺ : إِبْدَؤُا بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ

Nabi saw. bersabda: "Mulailah dengan apa yang dimulai oleh Allah." (HR. An- Nasa'y; Bulughul Maram: 11)

SYARAH HADITS

Hadits (224), Muslim juga meriwayatkan dengan sedikit ada perbedaan lafazh. Hadits ini menyatakan, bahwa kita wajib memelihara tertib (tata urutan) dalam berwudhu. Tegasnya, memulai dengan apa yang lebih dahulu disebut Allah (dalam ayat tentang wudhu-Ed)-yaitu wajah, dan mengakhiri dengan apa yang paling akhir disebut Allah, yaitu kaki.

Ayat tersebut adalah:

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki...." (QS. Al-Maidah [5]: 6)

Beberapa imam dari madzhab Asy-Syafi'y, Abu Ubaid, Ahmad dan lain-lain mewajibkan tertib. Kata Abu Hanifah, Malik dan segolongan ulama seperti Abu Tsaur Ats-Tsaury, dan Dawud: "Tidaklah diwajibkan tertib antara anggota-anggota wudhu dan tidaklah pula diwajibkan tertib antara tangan kanan dengan tangan kiri, antara kaki kanan dengan kaki kiri. Mereka berpendapat bahwa huruf (= dan), di dalam ayat wudhu tidak mengharuskan tertib."

Kewajiban tertib selain dipahamkam dari hadits ini (224) juga dipahamkan dari hadits-hadits Utsman yang terang-terang memakai lafazh "kemudian" bahkan dipahamkan dari ayat wudhu itu sendiri. Ayat wudhu menegaskan tertib pada anggota-anggota yang fardhu yaitu wajah, dua tangan, kepala dan kaki. Hanya saja berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung boleh sebelum membasuh muka, boleh sesudahnya, kalau lupa boleh sesudah membasuh tangan.

Dalam pada itu diriwayatkan juga oleh Ali, Makhul, An-Nasa'y, An-Nakha'y. Az-Zuhry dan Al-Auza'y bahwa apabila seseorang lupa menyapu kepalanya teringat sesudah membasuh kaki, jika umpamanya janggutnya sesudah basah, dibolehkan ia mengambil air yang dijanggutnya itu untuk menyapu kepalanya: tidak perlu mengulangi wudhu. Paham inilah yang dipilih oleh Ibnu Mundzir. Akan tetapi, karena Nabi saw. tidak pernah menyalahi tertib barang sekali pun, dan mengingat pula hadits-hadits yang di atas ini, maka teranglah wajib tertib antara anggota-anggota wudhu itu."

BERDZIKIR SESUDAH BERWUDHU

225) 'Umar ibnul Khaththab ra. berkata:

قال رسول الله : عليكم من أحد يوما ليس الوسواهُ أَمْ يَقُولُ الهَد ان لا اله الا الله وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةِ يَدْخُلُ من أيها شاء

"Rasulullah saw, bersabda: Tidaklah seseorang dari kamu berwudhu kemudian menyempurnakannya dan sesudah berwudhu membaca: Asyhadu an la ilaha illallah wahdahu la syari lah wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu wa rasuluh (aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah yang Mahaesa dan tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul- Nya), melainkan kepadanya dibukakan pintu surga yang delapan; ia boleh masuk dari mana saja yang ia kehendaki." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Turmudzy; Al-Muntaqa 1: 103)

SYARAH HADITS

Hadits (225) diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan At-Turmudzy dari 'Umar ibn Al-Khaththab, Al-Bazzar, Ibnul Hibban. Ath-Thabrany menambahkan perkataan: Allahummajalni minat tawwabina wajalni minal mutathahhirin. Riwayat An- Nasa'y dalam kitab 'Amalul Yaumi wal Lailah: ada perkataan: Subhanakallahumma wa bihamdika, asyhadu an la ilaha illa anta, astaghfiruka wa atubu ilaika."

Hadits ini menyatakan, bahwa kita sangat disukai membaca dzikir ini sesudah berwudhu.

An-Nawawy mengatakan: "Seluruh ulama Syafi'iyah berpendapat, bahwa dzikir ini disukai juga kita membacanya sesudah mandi janabah. Dan bahwa dzikir yang dibaca oleh sebagian ulama di tiap-tiap membasuh sesuatu anggota wudhu, yang banyak ditulis dalam kitab-kitab berbahasa Jawa dan beberapa kitab-kitab ber- bahasa Arab, satu pun tidak ada yang shahih. Semua ahli hadits men-dha'if-kannya. An-Nawawy dalam Ar-Raudhah mengatakan: "Doa yang dibaca di pertengahan wudhu, tidak berdasar sama sekali."

Ibnush Shalah mengatakan: "Tidak ada hadits yang shahih yang menyunnatkan doa yang dibaca di pertengahan wudhu."

Ibnul Qayyim dalam Al-Hadyun Nabawi mengatakan: "Nabi saw. hanya di per- mulaan wudhu membaca basmalah dan asyhadu an la illaha illallah wahdahu la syarikalah wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu wa rasuluh, allahummaj'alni minat tawwabina waj'alni minal muthathahhirin di akhir wudhu. Inilah riwayat yang shahih dari Nabi saw. sedang yang lain-lainnya tidak."

Al-Jurjani dalam At-Tahrir dan Al-Bulugh juga Ar-Ruyany dalam Al-Hilyah me- ngatakan: "Disukai kita membaca doa (dzikir) ini dengan membaca pula di akhir- nya: wa shallallahu 'ala muhammadin wa 'ala ali muhammad."

Lafazh yang shahih bagi doa ini, hanyalah sebatas yang ada dalam riwayat Ahmad dan Muslim saja. Karena itu lafazh dalam riwayat tersebutlah yang kita pakai. Dan disyaratkan untuk memperoleh balasan sebagaimana yang terdapat dalam hadits ini, ialah jika kita membacanya dengan sepenuh jiwa dan hati, ucapan itu benar-benar dibuktikan oleh i'tiqad dan amalan kita.

Adapun membacanya sambil memandang ke langit sebagaimana yang disukai oleh sebagian ulama tidak diperoleh dalil yang kuat."

Referensi berdasarkan Tulisan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Bab Hukum-hukum tentang Wudhu Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-1