Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ISTIHADHAH, HAID MENURUT ADAT KEBIASAANNYA

ISTIHADHAH, HAID MENURUT ADAT KEBIASAANNYA
PEREMPUAN YANG ISTIHADHAH, HAID MENURUT ADAT KEBIASAANNYA, MENURUT WARNA DARAH DAN MENURUT IRAMA MASA (HARI) YANG BIASA UNTUK ORANG LAIN

133) Aisyah ra berkata:

قَالَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حَبيْش لِرَسُولِ اللهِ : إِنِّي امْرَأَةٌ اسْتِحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ، أَفَاَدَعُ الصَّلَاةَ , فَقَالَ رَسُولُ الله : أَنَّمَا ذلك عِرْقٌ ولَيْسَ بِالْحَيْضَةِ، فَإِذَا أَقْبَلَتِ الخَيْضَةُ فَاتْرُكِ الصَّلاةَ فَإِذَ ذهَبَ قَدْرُهَا فَاغْسلى عنك الدَّمَ وَصَلَّى

"Fatimah binti Abi Hubaisy bertanya kepada Rasulullah: "Saya ini, ya Rasulullah seorang perempuan yang ditimpa penyakit istihadhah (keluar darah terus- menerus), tidak ada henti-hentinya. Maka apakah saya tinggalkan shalat?" Pertanyaan itu dijawab Rasul dengan sabdanya: "Itu bukan lagi haid, dia adalah darah peluh. Maka apabila telah datang haid kepadamu, tinggalkan shalat dan apabila telah habis kadar lamanya, bersihkan darah dan shalatlah." (HR. Al-Bukhary, Abu Dawud dan An-Nasa'y; Al-Muntaqa 1: 170)

134) Sulaiman ibn Yasar menerangkan:

اِنَّ اُمَّ سَلَمَةَ اسْتَفْتَتْ رَسُولَ اللهِ ﷺ فِي امْرَأَةٌ تُهْرَاقُ الدَّمَ فَقَالَ: لتنتظرَ قَدْرَ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ الَّتِي كَانَتْ تَحيَّضَهُنَّ وَقَدْرَهُنَّ مِنَ الشَّهْرِ فَتَدَعُ الصَّلَاةَ ثُمَّ لِتَغْتَسِلْ وَلْتَسْتَثفِر ثُمَّ لِتصَلِّ

"Ummu Salamah bertanya (meminta fatwa) kepada Rasul tentang hal seorang perempuan yang terus-menerus mengeluarkan darah. Rasul menjawab: "Hen- udaklah perempuan itu melihat (menghitung) kadar dalam sebulan. Setelah dia tahu demikian, hendaklah dia tinggalkan shalat selama hari-hari itu. setelah selesai hari-hari itu, ia pun mandi dan bercawat (pembalut), dan mulailah ia shalat lagi." (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa'y dan Ibnu Majah; Al-Muntaqa 1: 173)

135) Urwah ibn Zubair menerangkan:

إنَّ فاطمة بنت أبى حبيش كانت أستحيضَتْ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ : إِنَّ دَمَ الخَيْضِ أَسْوَدُ يُعرفُ، فَإِذَا كَانَ كذَلِكَ فَأَمْسكِى عَنِ الصَّلاةِ وَإِذَا كَانَ الْآخَرَ فَتَوَضيء وَصَلَّى 

"Fatimah binti Abu Hubaisy adalah seorang perempuan yang ditimpai istihadhah. Maka Rasul berkata kepadanya: "Jika kelihatan darah itu hitam berbau, hendaklah menghentikan shalat. Tetapi jika darah itu tidak demikian, hendaklah berwudhu dan bershalat." (HR. Abu Dawud dan An-Nasa'y; Al-Muntaqa 1: 174)

136) Aisyah ra menerangkan

إن أُم حَبِيْبَةَ بنت جَحْش شَكَتْ فِى رَسُول الله ﷺ الدم, فَقَالَ: أمكثى فَدْرَمَا كَانت تَحْبسُك حيضتكَ ثُمَّ اغْتَسلى فَكَانَتْ تَغْتسِلُ لِكُلِّ صَلَاةِ

"Ummu Habibah binti Jahasy mengadukan halnya kepada Rasul tentang keadaannya ber-istihadhah. Maka Rasul berkata: "Berhentilah dari shalat sebanyak yang kamu dihentikan oleh haid. Sesudah itu mandilah." Maka adalah Ummu Habibah mandi untuk tiap-tiap shalat." (HR. Muslim; Bulughul Maram: 29)

SYARAH HADITS

Hadits (133) menyatakan bahwa perempuan yang ditimpa istihadhah, tetapi dapat membedakan darah haidnya dari darah istihadhah-nya, hendaklah ia tinggalkan shalat sebanyak hari haidnya. Apabila telah lewat hari haid itu, hendaklah ia mandi dan masuklah ia ke dalam hukum mustahadhah (perempuan yang mendapatkan istihadhah); dan menyatakan kenajisan darah haid, serta menyuruh perempuan yang sedemikian halnya, membasuh kemaluannya ketika terjadi pergantian darah itu.

Hadits (134), kata An-Nawawy: "Isnad hadits ini menurut syarat Bukhary dan Muslim." Hadits ini menyatakan bahwa seseorang yang mengalami istihadhah berpegang kepada adat kebiasaannya (siklus haid dalam sebulan yang ia ingat benar). Yakni jika sebelum ditimpai istihadhah ia haid hanya lima hari dalam sebulan, maka di ketika ia mendapatkan istihadhah, haid-lah ia sebanyak lima hari dalam sebulan (yakni selama hari itu, ia dihukum haid, bukan dihukum istihadhah). Dan hadits ini menyuruh perempuan ini mustahadhah memakai cawat (pembalut) sebagaimana yang dilakukan oleh dunia modern sekarang supaya jangan menetes darahnya ketika shalat.

Hadits (135), diriwayatkan oleh An-Nasa'y dan Abu Dawud. Ibnu Qudamah dalam Al-Muharrar mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan juga oleh Al- Hakim, Ibnu Hibban dan Ad-Daraquthny. Ibnu Qudamah menegaskan, bahwa seluruh perawi hadits ini dapat dipercaya. Abu Hatim menolak hadits ini, akan tetapi sanggahan beliau itu tidak dapat diterima lantaran sanggahannya, hanya berdasar kepada persangkaannya bahwa hadits ini hanya diriwayatkan dari jalan Adi ibn Tsabit dari ayahnya, dari kakeknya, sedangkan kakeknya itu tidak terkenal dalam kalangan ulama hadits.

Menurut penyelidikan bahwa hadits ini ada juga diterima dari jalan Urwah ibn Zubair dari Aisyah dan Urwah dari Fatimah binti Abi Hubaisy. Ibnul Qayyim menyatakan, ada keterangan yang shahih yang menerangkan bahwa Urwah menjumpai Fatimah. Hadits ini menyatakan bahwa para perempuan mendasarkan haid istihadhah-nya kepada darah (bentuk darah). Jika darah yang keluar itu hitam berbau, hendaklah dipandangnya haid. Jika bukan demikian, hendaklah dipandang sebagai darah istihadhah.

Hadits (136), diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad dan An-Nasa'y dengan sedikit berlainan lafazh. Hadits ini menyatakan, bahwa perempuan yang mengalami istihadhah, berpegang kepada adatnya (siklus haidnya) jika ia mempunyai adat (kebiasaan dalam soal haid). Maka hendaklah dia mandi ketika siklusnya berakhir. Umpamanya jika biasa haid dahulu sebelum mendapat penyakit istihadhah mulai dari tanggal 10 sampai tanggal 17, maka ketika ia mendapat istihadhah hendaklah ia pandang bahwa tiap-tiap darah yang keluar dari tanggal 10 hingga 17, darah haid. Yang selainnya darah istihadhah.

Ibnu Qudamah mengatakan: "Perempuan yang terus-menerus mengeluar- kan darah, jika ia dapat membedakan darah itu, ia tahu masa datangnya (masa keluarnya darah yang hitam, kesat, berbau) dan masa berhentinya, yaitu masa keluar darah yang tidak kesat dan berwarna merah, hendaklah perempuan itu meninggalkan shalat selama datang (keluar) darah yang hitam, berbau. Sesudah habis darah yang demikian, hendaklah ia mandi dan berwudhu untuk tiap-tiap shalat. Dimaksud dengan terus-menerus keluar darah ialah keluarnya darah lewat dari waktu haid. Perempuan yang paling lama mustahadhah, ada empat macam:

  • Yang haidnya tidak teratur, tetapi dapat membedakan warna darahnya.
  • Yang haidnya teratur, tetapi tidak dapat membedakan darahnya.
  • Yang haidnya teratur, dan dapat pula membedakan darahnya. 
  • Yang haidnya tidak teratur dan tidak dapat membedakan darahnya.

Al-Khaththaby mengatakan: "Perempuan yang telah mempunyai hari-hari yang tertentu dalam tiap-tiap bulan sebelum ia berpenyakit itu, hendaklah di tiap menjelang hari-hari yang telah biasa haid, ia pandang darahnya darah haid. Sesudah lewat hari-hari yang telah dibiasakan itu, hendaklah dia anggap darah istihadhah. Dia cukup berwudhu untuk tiap-tiap shalat."

Masalah ini merupakan masalah yang sangat luas dibicarakan oleh para fuqaha. Oleh karena itu penetapan-penetapan mereka dalam masalah ini, bertentangan satu sama lainnya, dan sukar untuk dipahamkan oleh orang yang faham, konon lagi oleh kaum perempuan yang bersangkutan sendiri. 

Di dalam bab ini mereka masukkan "bab mutahayyirah." Akibatnya kita yang membacanya pun menjadi mutahayyir (menjadi orang yang bingung, tidak mengerti apa yang dibaca dan yang diterangkan). Lantaran itu sangat baiklah kita kembali kepada penetapan hadits-hadits Rasulullah saw. sendiri.

Keringkasan pembicaraan hadits ialah:
  • Perempuan mustahadhah, ada kalanya telah mempunyai adat kebiasaan haid, baik dapat membedakan haidnya dari istihadhahnya maupun tidak, mendasarkan haidnya kepada adat kebiasaannya. Hal ini adalah mengingatkan hadits Ummu Habibah binti Jahasy (hadits 134). 
  • Perempuan yang baru haid, belum lagi ada kebiasaan dan terus dihinggapi penyakit istihadhah, hendaklah berpegang kepada perbedaan darah, mengingat hadits Fatimah binti Abi Hubaisy (hadits 133).
  • Perempuan yang tidak mempunyai kebiasaan dan tidak dapat mem- bedakan darah, hendaklah ia pandang dirinya haid sebanyak enam atau tujuh hari, menurut kebiasaan perempuan-perempuan lain, mengingat hadits Hamnah. Di dalam haid ini terdapat perkataan Rasul: "Berhaidlah kamu 6, atau 7 hari." Hadits itu diakui shahih oleh sebagian besar ulama hadits, Al-Bukhary dan Ahmad.
Referensi berdasarkan Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum-1 Karangan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Tentang Hukum tentang Darah Haid, Istihadhah dan Nifas