Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HUKUM SHALAT DAN PUASA ORANG SEDANG HAID DAN NIFAS

HUKUM SHALAT DAN PUASA ORANG SEDANG HAID DAN NIFAS

KEHARAMAN SHALAT DAN PUASA BAGI ORANG YANG SEDANG HAID DAN NIFAS

150) Mu'adzah ra. menerangkan:

سألتُ عائشةَ فقلتُ: مَابَالُ الْحائض تَقضى الصوم ولا تقضى الصلاة؟ فقالت: كانت بصيبنا ذَلِكَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَنؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ

"Saya telah bertanya kepada 'Aisyah, apakah sebabnya perempuan yang haid meng-qadhakan puasanya, tidak mengqadha shalatnya. 'Aisyah ra. menjawab: "Kami sedang haid di masa Rasulullah. Maka kami disuruh mengqadhakan puasa, dan tidak mengqadha shalat." (HR. Al-Jama'ah; Al-Muntaqa 1: 181)

151) Ibnu Abbas ra. berkata:

اذَا طَهُرَت الحائض بعد العصر صلت الظهر والعصر وَإِذَا طَهُرَتْ بَعْدَ الْعَشَاءِ صَلْتِ الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاء
"Apabila seseorang perempuan yang haid bersuci sesudah Ashar hendaklah orang itu mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar, dan apabila bersuci sesudah shalat Isya', hendaklah orang itu mengerjakan shalat Maghrib dan Isya'." (HR. Said ibn Manshur dan Al-Atsram; Al-Muntaqa 1: 182)

152) 'Abdurrahman ibn Auf ra. berkata:

إذا طَهُرَتِ الْحَالضَ قَبْلَ أَن تَغرُبَ الشَّمْسُ صَلت الظهرَ وَالْعَصْرَ وَإِذَا طَهُرَتْ قَبْلَ الْفَجْرِ صلَّت المغرب والعشاء

"Apabila perempuan yang haid, suci sebelum terbenam matahari, hendaklah ia melakukan shalat Zhuhur, dan Asharnya, apabila suci sebelum fajar, hendaklah ia shalat Maghrib dan Isya'." (HR. Said ibn Manshur; Al-Muntaqa 1: 182)

153) Ummu Salamah ra. menerangkan:

كانت المرأة نساء النبي تقعد في النفاس أربعين ليلة لَا يَأْمُرُهَا النبي كَ بِقَضَاءِ صَلَاة النفاس

"Istri Nabi yang melahirkan anak, tidak shalat selama masa nifasnya empat puluh malam. Nabi tidak menyuruhnya mengqadha shalatnya yang telah ditinggalkan selama itu." (HR. Abu Dawud; Al-Muntaga 1: 185)

SYARAH HADITS

Hadits (150) menyatakan bahwa bahwa perempuan yang haid, tidak wajib menggadha shalat yang ditinggalkan selama ia haid; yang wajib diqadha hanyalah puasanya.

Hadits (151) dan (152) diriwayatkan oleh Said ibn Manshur dalam Sunan-nya dan oleh Al-Atsram. Juga demikian fatwa 'Abdurrahman ibn Auf. Kedua hadits ini menyatakan, bahwa apabila seseorang perempuan yang haid, suci dari haidnya sebelum habis waktu Ashar, hendaklah Zhuhur dan Ashar hari itu dikerjakan. Demikian juga jika ia suci sebelum habis waktu Isya', maka hendaklah Maghrib dan Isya' malam itu dikerjakan.

Hadits (153) adalah hasan. Hadits ini menyatakan, bahwa shalat yang ditinggalkan selama nifas, tidak diqadha.

Seluruh fuqaha (terkecuali ulama Khawarij) menetapkan, bahwa tidak wajib mengqadha shalat atas perempuan yang haid dan wajib mengqadha puasanya. Menurut Al-Atsram, Ahmad berkata: "Seluruh ulama tabi'in (terkecuali Hasan Al- Bishry) memegang fatwa Ibnu Abbas dan 'Abdurrahman ibn Auf."

Asy-Syafi'y mengatakan: "Para ulama seluruhnya berijma', bahwa nifas adalah seperti haid terhadap pekerjaan-pekerjaan yang dihalalkan dan terhadap pekerjaan- pekerjaan yang diharamkan dan yang di-makruh-kan."

Sebab digugurkan hukum wajib shalat dari perempuan yang haid, mengingat bahwa shalat itu harus dikerjakan dalam keadaan suci; perempuan yang sedang haid, tidak suci, dan shalat itu harus dikerjakan pada waktunya, sedang perempuan yang haid tidak dapat melakukan dalam waktunya, dan waktu yang sudah habis tidak dapat ditarik kembali. Maka untuk memberi kelapangan kepada perempuan yang haid, digugurkanlah hukum wajib shalat.

Abu Bakar Ash-Shiddiq mengatakan: "Tuhan mempunyai beberapa hak yang wajib kita tunaikan di siang hari. Tuhan tidak menerimanya, kalau kita tunaikan di malam hari. Dan Tuhan mempunyai beberapa hak yang wajib kita tunaikan di malam hari. Tuhan tidak menerimanya, kalau kia lakukan di siang hari."

Menetapkan hukum perempuan yang nifas serupa dengan perempuan yang haid (terkecuali thawaf), adalah berdasarkan ijma' para mujtahidin, bukan dengan jalan meng-qiyas-kan orang yang nifas itu kepada orang yang sedang haid bukan sebagaimana yang dikemukakan oleh pengarang Al-Mawazinul Khamsah, tuan Kertalegawa.

Dapat kita pahamkan dari penjelasan yang telah lalu, beberapa hukum yang berhubungan dengan perempuan yang haid:

  • Haram menyetubuhinya.
  • Orang yang sedang haid tidak mengqadha shalat yang ditinggalkannya, dan menggadha puasa yang ditinggalkannya. 
  • Diharamkan kita men-thalaq perempuan ketika ia sedang haid. Alasan mengharamkannya ialah firman Allah: "Apabila kamu men-thalaq istrimu, maka thalaq-lah mereka di masa mereka bisa terus beriddah." (QS. Ath-Thalaq [65])
  • Nabi pernah menyuruh Ibnu Umar rujuk kembali kepada istrinya yang diceraikan di dalam keadaan haid. Nabi menyuruh menangguhkan dahulu thalaq itu. Kalau Ibnu Umar ingin menceraikannya juga, hendaklah ia ceraikan sesudah si istri suci dari haid.
  • Perempuan yang haid diwajibkan mandi setelah berhenti benar darahnya. Dimaksudkan dengan darah berhenti ialah, berhenti yang sebetulnya, bukan berhenti sementara yang menyelingi masa haid. 
  • Sekurang-kurangnya umur perempuan mendapatkan haid menurut kebiasaan, umur 9 dan setinggi-tingginya umur perempuan yang masih haid, umur 50 tahun. Sebagian orang mengatakan 60 tahun. 
  • Sekurang-sekurangnya haid sekali terpencamya dan sebanyak-banyak- nya 15 atau 17 hari. Sekurang-kurang suci antara dua haid, menurut biasa 15 hari.
Ahmad ibn Hanbal mengatakan: "Dibolehkan perempuan yang sedang haid, meminum obat berhenti haid, asal saja obat yang baik."

Berdasarkan Karangan TM. Hasbi Ash-Shiddieqy Dalam Buku Koleksi Hadits-hadits Hukum Jilid1 Tentang Masalah Berkenaan Dengan Hukum tentang Darah Haid, Istihadhah dan Nifas