Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Syarah Hadits Hukum Mandi Setelah memandikan Jenazah

 

Syarah Hadits Hukum Mandi Setelah memandikan Jenazah

MANDI KARENA MEMANDIKAN JENAZAH

113) Abu Hurairah ra. berkata:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضأْ

Nabi saw, bersabda: "Barangsiapa sudah memandikan jenazah, hendaknya ia pergi mandi dan barangsiapa telah mengusung jenazah, hendaknya dia wudhu'." (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Turmudzy, An-Nasa'y dan Ibnu Majah; Al-Muntaga 1: 146)

SYARAH HADITS

Para ahli hadits berselisih paham tentang hadits (113) ini. Ada yang mengata- kan shahih, ada yang mengatakan tidak. Ibnu Hajar dalam Ath-Thalhah berkata: "Hadits ini telah diakui hasan oleh At-Turmudzy dan diakui shahih oleh Ibnu Hibban, dan telah diriwayatkan pula oleh Ad-Daraquthny dengan sanad yang dipercaya.

Ringkasnya hadits ini, karena banyak sekali riwayat, maka sekurang- kurangnya derajatnya hasan (baik, dapat dijadikan hujjah). Oleh karena itu, bantahan An-Nawawy yang melemahkan hadits ini ditolak. Ibnu Hazm juga menyatakan shahih.

Hadits ini menyatakan, bahwa mandi bagi orang yang telah memandikan jenazah adalah wajib dan berwudhu bagi orang yang telah mengusung jenazah adalah wajib.

Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi'y dan Dawud berpendapat bahwa mandi karena memandikan jenazah, tidak wajib.

Mari lebih jauh kita perhatikan pendapat Asy-Syafi'y menurut uraian An-Nawawy dalam Al-Majmu.

Asy-Syafi'y dalam Mazhab Qadim-nya menyunnatkan mandi bagi orang yang telah memandikan jenazah. Tetapi dalam Mazhab Jadid-nya, beliau mewajibkan. 

Demikian juga Asy-Syafi'y menyunnatkan berwudhu karena menyentuh jenazah menurut yang dinashkan Al-Muzani dalam Al-Mukhtashar. Di antara sahabat Nabi yang menyunnatkan, ialah Ali, Abu Hurairah. Di antara tabi'in adalah Ibnu Musayyab, Ibnu Sirin dan Az-Zuhry.

Ibnu Hazm mengatakan: "Barangsiapa memandikan mayit atau mengurus pemandiannya itu, seperti menuangkan air atau menggosok, wajiblah atasnya. mandi." 

Ibnu Hazm berkata pula: "Ali ibn Abi Thalib mewajibkan mandi, setelah memandikan jenazah." Diberitakan pula, bahwa seorang laki-laki yang ayahnya meninggal dunia bertanya kepada Huzaifah: maka Huzaifah menjawab: "Mandikanlah dia. Setelah kamu selesai memandikannya, mandi pulalah kamu."

Ibrahim An-Nakha'y, memberitakan bahwa sahabat-sahabat 'Ali semuanya mandi, sesudah memandikan jenazah. Zhahir hadits menyatakan, bahwa mandi sesudah memandikan jenazah adalah wajib hukumnya, sebagaimana yang di- tegaskan Ibnu Hazm.

Tuan Ahmad Hassan di dalam Al-Lisan menguatkan paham yang memandang hadits ini, lemah, yang mewujudkan tidak wajib mandi, bahkan tidak sunnat. Tuan itu berkata: "Berwudhu sesudah orang mati, bukan wajib, bukan sunnat, bahkan bid'ah." Tuan itu membuktikan kelemahan hadits ini atau meneguhkan pahamnya (selain dengan karena ahli hadits yang melemahkan) dengan alasan-alasan ini:

  • Berlawanan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqy yaitu: "Sesungguhnya mayit kamu itu mati dalam keadaan suci, karena itu cukuplah kamu membasuhkan tanganmu saja."
  • Hadits ini berlawanan dengan hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa'y yaitu: "Bahwasanya aku disuruh berwudhu apabila hendak berdiri shalat."
Sahabat itu mengambil kesimpulan, bahwa beribadah dengan hadits yang dha'if berarti beribadah dengan bid'ah. Lantaran demikian, maka perlulah kiranya pentahqiq mengemukakan beberapa alasan yang perlu untuk menegaskan, bahwa mandi sesudah memandikan orang mati, dituntut syara' bukan bid'ah. (Allahumma waffiq)

Hadits yang meriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Hurairah (112), shahih, sekurang-kurangnya hasan, karena:

  • Yang men-shahih-kan terkemudian dari yang men-dha'if-kannya.
  • Banyak sekali jalan periwayatannya. Hadits-hadits dha'if apabila banyak jalan datangnya, beralih kepada derajat hasan.
  • Persesuaian kandungannya dengan amalan sebagian sahabat. Hal ini mengisyaratkan bahwa hadits ini mempunyai dasar-dasar yang shahih. 
  • Karena dikuatkan oleh hadits Al-Kitab (yang akan kami sebutkan). 
  • Karena memang shahih dan hasan derajatnya, lantaran ada perawinya yang terpercaya dan juga suatu hadits mauquf dihukum marfu' jika penerangan sahabat itu bukan dalam urusan Israiliyat; bukan dalam urusan yang boleh berlaku ijtihad padanya, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh pengarang Ad-Dibajul Mudzahhab.
Kemudian untuk menambah keterangan, di bawah ini kami cantumkan pendapat-pendapat Ahli hadits terhadap hadits yang disebut di bawah ini.
  • Ali ibn Al-Madani dan Ahmad ibn Hanbal mengatakan: "Tidak ada hadits yang shahih dalam urusan ini." 
  • Al-Hakim dalam tarikh-nya mengatakan: "Tidak ada yang shahih dalam urusan mandi setelah memandikan mayit." 
  • Muhammad ibn Yahya Az-Zuhaly mengatakan: "Aku tidak tahu ada hadits yang sabit dalam urusan ini."
  • Ibnu Mundzir mengatakan: "Tidak ada hadits yang shahih atau tsabit dalam urusan ini." 
  • Al-Bukhary mengatakan: "Lebih patut hadits yang sedang kita perkataan ini dipandang mauquf."
  • Al-Baihaqy mengatakan: "Hadits ini mauquf." 
  • Al-Rafi'i mengatakan: "Tidak ada hadits marfu' yang di-shahih-kan oleh ulama-ulama hadits dalam hal ini."
  • Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Ashqalany mengatakan: "Hadits ini karena amat banyak jalan periwayatannya sekurang-kurangnya menjadi hasan." Al- Hafizh berkata pula: "Hadits ini telah dipandang hasan oleh At-Turmudzy dan Ibnu Hibban." 
  • Ad-Daraquthny meriwayatkan hadits ini dengan beberapa jalan yang perawi-perawinya kepercayaan.
  • Ibnu Hazm mengatakan: "Hadits ini shahih."
  • Al-Mawardi mengatakan: sebagian ahli hadits telah men-takhrij-kan (meriwayatkan) hadits ini dengan lebih dari 120 jalan. 
  • Al-Dzahabi mengatakan; hadits ini lebih kuat dari sejumlah hadits yang telah dipergunakan sebagai hujjah oleh para fuqaha.
Maka dengan keterangan Ibnu Hajar, Al-Mawardi dan Adz-Dzahabi, dapatlah kita menetapkan, bahwa kelemahan hadits ini yang diakui oleh Ali ibn Al- Madini, Ahmad dan yang lain-lainnya, adalah berdasarkan kepada jalan-jalan hadits yang sampai kepadanya, bukan menurut semua jalan.

Dengan keterangan ini, tidak ada alasan lagi untuk menetapkan kelemahan hadits ini karena ulama-ulama yang melemahkannya, berdasarkan kepada jalan-jalan hadits ini sampai kepada mereka saja. Padahal hadits ini dengan mengesampingkan jalan-jalan yang melemahkan, ada jalan yang perawi-perawinya terpercaya.

Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits Al-Baihaqy yang dikemukakan oleh Tuan A. Hasan itu dan tidak mentarjihkan, bertentangan dengan hadits An- Nasa'y karena dapat kita persesuaikan.

Ada suatu ketetapan di antara para ahli hadits bahwa apabila hadits-hadits ini berlawanan dan tidak terang tarikh periwayatannya masing-masing hendaklah di- kumpulkan untuk mencari jalan menghilangkan pertentangan itu, kemudian jika tidak dapat kita memperoleh jalan mempersatukannya, barulah kita men-tarjih-kan salah satunya, dan melemahkan yang lainnya lagi. Maka kita amalkan mana yang nyata tarjih, dan kita tinggalkan mana yang marjah (lemah). Jika tidak dapat ditarjihkan salah satunya, karena keduanya sama-sama kuat, hendaklah kedua-dua hadits itu ditinggalkan dahulu, sehingga nyata mana yang rajih dan mana yang marjuh; dan nyata jalan mentarjihkan salah satu atas yang lain. Demikian kete- tapan ulama hadits apabila terdapat dua hadits yang bertentangan.

Mengingat kaidah yang telah ditetapkan ini, telah menjadi prinsip bagi para ulama, hendaklah kita berusaha mengumpulkan, menghilangkan pertentangan yang terjadi antara hadits Ahmad ini dengan hadits Al-Baihaqy dan An-Nasa'y.

Usaha kita itu tidak sukar, mudah memperoleh jalan menyesuaikannya, yaitu dengan mengaitkan perintah yang dikandung hadits Ahmad dari Abu Hurairah ini kepada sannat dan hadits Al-Baihaqy dan An-Nasa'y kepada menyatakan kebolehan tidak melakukannya.

Sebenarnya perintah ini sebagaimana yang telah ditegaskan Malik dan para sahabatnya, perintah sunnat, bukan wajib karena ada karinah yang memalingkan amar dari wajib kepada sunnat. Ibnu Hazm tidak menerima qarinah-qarinah ini: 

  • Hadits Al-Baihaqy yang menyatakan cukup membasuh tangan saja. Hadits Al-Baihaqy menjadi alasan untuk mengaitkan perintah dari wajib kepada sunnat.
  • Hadits An-Nasa'y yang menyatakan, bahwa berwudhu itu hanya dipe- rintahkan untuk shalat saja.
  • Mengingat pula akan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Khatib dan di- shahih-kan oleh Ibnu Hajar. Hadits itu adalah: "Kami para sahabat memandikan mayit. Maka di antara kami, ada yang mandi sesudah memandikan mayit, dan di antara kami ada yang tidak mandi."

Sesungguhnya perintah mandi di sini, bukanlah karena keadaan mayit dianggap nas, hanya mandi di sini suatu ibadah yang belum kita pahamkan maknanya (amar ta'abbudi).

Walhasil, mandi sesudah memandikan jenazah dan berwudhu sesudah meng- usung jenazah dapat didasarkan bagi yang hendak mengamalkan hadits ini. Tuan A. Hasan yang mengatakannya bid'ah mandi sesudah memandikan jenazah, di- tolak, karena hadits ini sah dikatakan shahih.

Diberitakan oleh Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah saw. pada suatu hari keluar dari jamban, maka dibawalah makanan kepada beliau. Ketika itu ada orang ber- tanya kepada Rasul: "Apakah kami bawa juga air untuk air wudhu?" Maka Nabi menjawab: "Sesungguhnya aku diperintahkan berwudhu untuk shalat."

Hadits inilah yang dipegang Tuan A. Hasan yang membid'ahkan mandi sesudah memandikan jenazah, karena itu perlu kita bahas tujuan dan kehendak hadits ini.

Zhahir hadits ini menyatakan, bahwa tidak ada perintah berwudhu melainkan untuk shalat saja. Kalau kita hanya berpegang kepada arti keseluruhan yang dikandung oleh hadits ini terlepaslah kita dari beberapa kewajiban atau kesunatannya mengambil air wudhu. Sebenarnya ada beberapa hadits shahih yang menyuruh kita berwudhu untuk selain dari bershalat, seperti hadits yang menyuruh kita berwudhu untuk tidur. 

Maka karena ada hadits yang menyuruh berwudhu untuk selain dari shalat, hilanglah arti keseluruhan hadits yang diriwayatkan An-Nasa'y dari Ibnu Abbas ini.

Pertentangan antara hadits-hadits yang menyuruh kita berwudhu selain untuk shalat dengan hadits ini akan hilang dengan memandang, bahwa perintah yang dimaksud oleh hadits yang menyuruh si junub berwudhu itu, adalah perintah sunnat dan perintah yang dikehendaki oleh An-Nasa'y ini, perintah wajib.

Sebagaimana kita mengumpulkan hadits-hadits yang menyuruh si junub berwudhu untuk mengulangi persetubuhan atau tidur, begitu pulalah kita mengum pulkan hadits yang menyuruh kita mandi sesudah memandikan jenazah.

Sesungguhnya yang dimaksud oleh hadits An-Nasa'y ini, ialah tidak perlu wudhu untuk makan saja, sebagaimana yang dapat diperhatikan dari pangkal hadits sendiri. Disebut dalam Hasyiyah As-Sindu, bahwa qasher yang dikehendaki hadits ini, ialah gasher indhali, yakni meniadakan wudhu untuk makan saja, bukan meniadakan wudhu untuk segala yang selain dari makan, atau segala yang lain dari shalat.

Referensi berdasarkan buku Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy Tentang Mandi Karena Memandikan Jenazah dalam buku Koleksi Hadits-Hadits Hukum Jilid 1