Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pusat Peradaban Islam Di Asia Dan Eropa

Pusat Peradaban Islam Di Asia Dan Eropa
Negara-negara Islam yang Independen Selain dari Dinasti Abbasiyah adalah Bukhara dan Samarkand merupakan kota-kota terpopuler di bawah pemerintahan Dinasti As-Samaniyah yang didirikan oleh bangsa Saman Persia di Khurasan dan daerah antara dua sungai Isfahan. 

Ar-Rai dan Hamadzan merupakan pusat-pusat kebudayaan terpopuler pada masa Dinasti Al-Buwaihiyah yang merdeka di bagian Timur pemerintahan Islam. Gerakan ilmiah dan sastra terus tumbuh dan berkembang berkat kebijakan walikota Adhd Ad-Daulah dan dua menterinya Ibnul Amid dan Ibnu Ibad karena kecintaan mereka terhadap ilmu pengetahuan dan dikarenakan wawasan keduanya yang luas. 

Di samping itu. Lahore juga mengalami kapan besar pada masa pemerintahan Dinasti Al-Ghaznawiyah yang mcenninkan pemindahan kekuasaan kepada orang-orang Turki dan mengalami kemajuan dan kebangkitan kebudayaan di bawah kebijakan para pemimpinnya, seperti Mahmud Al-Ghaznawi dan Ibnu Mas'ud.

Hal yang sama juga terjadi di Aleppo pada masa pemerintahan bangsa Hamadzan terutama pada masa kepemimpinan Saif Ad-Daulah Al-Hamdani, di Al-Qairawan ibukota pemerintahan Dinasti Al-Aghalibah di Tunis, dan Vas ibukota pemerintahan Bani Idris di Marrakish.

Adapun Cairo, mengalami kemajuan pesat pada masa pembangunnya. dari Dinasti Al-Fathimi, yang berhasil menaklukkan Mesir tahun 969 M setelah mereka berhasil mengembangkan wilayah kekuasaan dan pengaruh mereka dari Tunis ke seluruh wilayah Afrika Utara. 

Mereka juga menguasai Shaqaliyah dan berpacu dengan Bani Abbasiyah dan Bani Umayyah di Andalusia dalam menempatkan diri mereka sebagai khalifah umat Islam yang resmi. Pada masa mereka, muncul berbagai pioner kebangkitan ilmiah seperti Ibnu Yunus dan Ibnul Haitsam serta lainnya.

Di Barat, peradaban Islam senantiasa mempersembahkan pengabdian dan kontribusinya di Andalusia berkat kebijakan salah seorang pemimpin dari Bani Umayyah bernama Abdurrahman Ad-Dakhil, yang mendapat julukan Shaqar Quraisy, yang berarti Elang kaum Quraisy. la mendapat kesempatan untuk melarikan diri pada masa kekhalifahan Abu Ja'far Al-Manshur ke wilayah Andalusia dan mendirikan pemerintahan Bani Umayyah di sana tahun 756-1031 M, yang mampu mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abdurrahman At-Tsani antara tahun 822-852 M. 

Tepatnya ketika ia menginstruksikan transformasi berbagai warisan pemikiran Yunani, Persia, dan India yang dikuasai Bani Abbasiyah ke Cordova dan menempatkan Andalusia sebagai pesaing utama pemerintahan Bani Abbasiyah dalam bidang kemakmuran, kemajuan peradaban dan ilmiah. Kemajuan ini merupakan nutrisi penting bagi kebangkitan bangsa Eropa modern hingga abad keenam belas Masehi.

Beginilah kita dapat melihat dengan jelas bahwa beberapa daerah di bagian Timur dan Barat pemerintahan Islam mulai memisahkan diri dari pemerintahan Bani Abbasiyah dan memerdekakan diri darinya satu demi satu sehingga kekhalifahan Bani Abbasiyah sejak permulaan abad keempat Hijriyah atau abad kesepuluh Masehi tidak lagi memiliki kekuasaan apa pun kecuali Baghdad.

Akhirnya kekhalifahan Bani Abbasiyah benar-benar jatuh dan hancur di tangan pasukan Tatar dan Mongol, yang ditandai dengan jatuhnya kota Baghdad di tangan Holago tahun 1258 M. Situasi dan kondisi itulah yang memberikan peta jalan bagi para penjajah Eropa di kemudian hari untuk menancapkan pengaruhnya secara bertahap di dunia Arab-Islam.

Kenyataan penting dan mendasar yang harus dijelaskan dalam kesempatan ini adalah bahwa jika pemerintahan Islam terbesar di bagian Tumur dan Barat bumi ini tidak tunduk pada sebuah pemerintahan terpusat, akan tetapi negara-negara dari ujung Barat hingga ujung Timur tersebut tunduk pada sebuah kesatuan dalam bentuk lain, yang tidak kalah pentingnya dibandingkan kesatuan politik. 

Kesatuan yang dimaksud adalah kesatuan agama, yang tercermin dalam adzan shalat dari menara- menara Cordova, Al-Qairawan, Cairo, Damaskus, Baghdad, Bukhara, Lahore, dan kota-kota lainnya, dan tervisualisasikan dalam pandangan satu arah dan hati ke arah Makkah Al-Mukarramah sebanyak lima kali sehari semalam, dan juga dalam kerinduan umat Islam dalam mengunjungi Tanah Suci tersebut guna menunaikan ibadah haji.

Di sisi lain, kesatuan bahasa bersatu dengan kesatuan keyakinan, sehingga bahasa Arab menjadi bahasa agama, ilmu dan pengetahuan di mana dan kapan pun. 

Di samping itu, sebagian besar daerah yang memerdekakan diri dari kekhalifahan Baghdad mengalami stabilitas dan kemajuan lebih besar dibandingkan yang dirasakan dalam sebagian pemerintahan khalifah Bani Abbasiyah. Masing-masing daerah memanfaatkan sumber daya alam dan potensinya. 

Disamping itu, para pemimpin tersebut juga memiliki fokus perhatian pada sumber-sumber kekayaan negara mereka, yang tentunya sangat membantu memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya dan menggerakkan roda kehidupan dan perekonomian.

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa terpecahnya pemerintahan Islam terbesar tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap hubungan yang terjalin di antara pemerintahan Islam yang memisahkan diri itu. Umat Islam dapat menikmati kebebasannya dalam bermigrasi dari satu daerah ke daerah lainnya dalam wilayah negara Islam.

Di samping itu, terpecahnya pemerintahan Islam terbesar ini tidak menyebabkan melemahnya peradaban yang ada di negara-negara yang memisahkan diri tersebut. Bahkan sebaliknya, daerah-daerah Islam setelah memisahkan diri dari pemerintahan Baghdad nampak lebih kokoh, memiliki kesiapan pasukan yang memadai dan juga pengalaman yang besar. 

Pernyataan tersebut dibuktikan dengan pengakuan para pelancong yang mengakui kemegahan kota Khurasan pada masa pemerintahan Bani Samaniyah, kemajuan peradaban di Mesir di bawah pemerintahan Dinasti Al-Fathing, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan sastra di Andalusia setelah memisahkan diri dari pemerintahan Bani Abbasiyah.

Berdasarkan Buku Sumbangan Kellmuan Islam Pada Dunia Karangan Prof. Dr. Ahmad Fuad Basya