Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Syarat Dan Mekanisme Kredit Konsumtif

Syarat Dan Mekanisme Kredit Konsumtif
Bagian yang lebih sulit dari pembahasan Kredit Konsumtif, yaitu mekanisme untuk kredit konsumsi dalam suatu negara Islam, karena prinsip akan tetap saja menjadi prinsip bila tidak diterjemahkan ke dalam tindakan atau kalau prinsip ini tidak dibuat untuk dapat dilaksanakan

Memang dari dahulu hingga sekarang pun masih ada sejenis pinjaman khas yang bernama "Qard-i-Hasanah", yang tidak harus dibayar kembali, disemua negeri Islam. Karena sifatnya ini, maka cakupan jenis pinjaman ini tampaknya sangat terbatas. Tapi kita tidak punya bukti untuk menunjukkan bahwa ada perangkat mekanisme guna melaksanakan prinsip kredit konsumtif dalam suatu negara Islam. 

Pada kenyataannyalah mekanisme yang mungkin dapat digunakan di satu negeri mungkin tidak dapat digunakan di negert lain. Karena jenis mekanisme yang cocok pada susti negeri khusus tergantung pada jenis perkembangan yang telah dicapai negara tersebut. Satu-satunya syarat ialah mekanisme pelaksanaan prinsip tidak boleh bertentangan dengan perintah yang dinyatakan atau tersirat dalam Kitab Suci Al Qur'an dan Sunnah. 

Penulis merasa bahwa dalam kerangka ini negara Islam dapat menerima satu di antara tiga atau ketiga cara yang berhubungan dengan penanganan berbagai aspek kredit konsumtif berikut ini:

(a) melalui penciptaan suatu jaringan koperasi konsumen di bawah perlindungan negara;
(b) melalui bank Islam, dan/atau 
(c) melalui pembentukan dana kredit konsumtif oleh Pemerintah.

Penjelasan:

(a) Cara yang terbaik untuk menangani masalah kredit konsumtif ialah membentuk jaringan koperasi konsumen atas dasar tidak-untung tidak rugi di bawah perlindungan Pemerintah. 

Koperasi konsumen ini sesudah meneliti kelaikan kredit para calon peminjam, mengizinkan konsumen membeli barang dengan kredit dengan harga pasar, sampai suatu batas tertentu yang disetujui bersama. 

Penjualan ini jelas akan meliputi suatu laba biasa, sehingga biayanya dibayar dengan penjualan demikian. Metode masalah kredit konsumsi ini dapat dibenarkan, dari hampir setiap sudut analisis. Secara psikologik hal itu dibenarkan karena konsumen merasa bahwa koperasi yang diselenggarakan atas dasar tidak untung tidak rugi ini adalah hasil kerja sama mereka sendiri. 

Secara moral hal itu dibenarkan karena memungkinkan para konsumen membeli komoditi penting untuk hidup pada tingkat keberadaan manusiawi, dan sebaliknya hal ini relevan dengan nilai-nilai sosial. 

Secara ekonomik hal itu dibenarkan karena kredit konsumen yang dinilai selektif dan cermat akan mendorong produktivitas, bukan hanya di negeri-negeri yang telah berkembang, tapi juga di negeri sedang berkembang. Dengan demikian hal ini akan melenyapkan unsur bunga modern dalam proses konsumsi, produksi dan distribusi.

Mengenai segi uang dalam keadaan khusus koperasi ini dapat memberi kredit berupa uang. Suatu persentase tertentu dari dana cadangan atau dana kemungkinan koperasi demikian dapat disisihkan untuk memberikan jenis khusus kredit konsumtif, yang mungkin tidak dilakukan secara besar-besaran mengingat kelangkaan sumber daya nyata koperasi demikian itu. 

Koperasi seperti itu berada pada kedudukan yang lebih baik untuk melaksanakan kebijakan kredit ini karena mereka menyadari kebutuhan peminjam.

(b) Masalah kredit konsumtif juga dapat ditangani melalui bank Islam, setidak-tidaknya dengan dua cara. Pertama, bank dapat memberikan kredit dengan efek sebagian dana cadangan yang terutama diciptakan dari para deposan yang tidak ingin mengambil suatu bagian pun dari keuntungan bank atas depositonya. 

Mereka ini pada umumnya mendepositokan uangnya di bank semata-mata karena alasan keamanan, seperti sistem kotak penyimpanan (locker) yang terdapat pada bank modern, tempat orang menyimpan perhiasan, dokumen penting dan sebagainya, dengan membayar sejumlah uang tertentu. 

Transaksi demikian dapat dilakukan atas dasar tidak untong tidak rugi. Tentu saja dapat dipahami bahwa bank berhak menerima biaya usaha dan administratifnya dari para peminjam untuk membayar pengeluaran pelayanan kredit. Biaya jasa ini akan jelas berbeda pada orang yang satu dengan orang yang lainnya dan dari tempat yang satu dengan tempat yang lain, tergantung pada sifat dan jumlah kredit.

Kedua, karena bank dalam suatu negara Islam harus bertindak sebagai mitra yang aktif dalam berbagai proyek pertanian dan industri, penulis merasa tidak ada salahnya bila bank di negara-negara Islam menyelenggarakan jaringan toko konsumen atas dasar komersial. 

Dari toko demikian para calon peminjam murni akan diperkenankan membeli barang-barang sampai suatu batas tertentu dengan kredit. Kartu distribusi kredit dapat dikeluarkan sesudah diadakan penyelidikan yang baik tentang kelaikan kredit peminjam. Terlepas dari laba biasa yang diharapkan sebuah bank dari suatu transaksi normal, bank harus diberikan kuasa untuk menentukan suatu persentase dari biaya jasa yang diperhitungkan.

Saran ini mungkin aneh kedengarannya bagi mereka yang terbiasa dengan konsep perbankan kapitalis. Jenis bank yang diusulkan bagi suatu negara Islam mungkin tidak ada padanannya dalam kerangka masyarakat kapitalis. 

Pada kenyataannya ialah, konsep perbankan dalam suatu negara Islam sama sekali berbeda dari jenis perbankan dewasa ini yang pada hakikatnya adalah konsep perbankan kapitalis. Bila konsep perbankan Islam diberlakukan guna menangani masalah kredit konsumtif, mungkin hal itu merupakan salah satu sarana yang efektif untuk meningkatkan daya beli konsumen. 

Pada gilirannya hal itu akan mendorong produksi dan suplai, dan akan memberikan kesempatan kerja dan produktivitas lebih baik dalam masyarakat. Dalam hal ini dapat dicatat bahwa dalam suatu negeri Islam yang sedang berkembang, suatu kebijakan kredit konsumtif harus selektif dan jangan sembarangan.

(c) Akhirnya, kredit konsumtif harus diberikan oleh Pemerintah dari suatu Dana Kredit Konsumtif yang diciptakan melalui suatu sumbangan pemerintah yang kecil (misalnya dua sampai dua setengah persen) dari surplus penerimaan yang diharapkan suatu pemerintah sesudah membayar semua pengeluaran bukan pembangunan. 

Dalam hal kredit konsumtif, pemerintah harus bertindak sebagai pemberi pinjaman usaha terakhir. Kredit pemerintah ini mungkin dua jenis: yang satu adalah kredit konsumtif terikat, para calon peminjamnya akan diminta untuk membeli barang dari suatu daftar yang lebih dahulu ditentukan dan terdiri atas barang yang dihasilkan dalam negeri. Kebijakan kredit konsumtif terikat ini dapat dihubungkan dengan kebijakan melindungi industri yang baru tumbuh. 

Jenis kredit lain dapat merupakan jenis kredit konsumtif tak terikat; para calon peminjamnya dapat diperkenankan melaksanakan penalaran dan per timbangan mereka sendiri dalam menggunakan kredit. Jenis kredit mana pun baik terikat atau tidak terikat, yang harus didorong oleh suatu negara Islam tergantung pada sifat perkembungan dan tersedianya sumber daya. 

Tak perlu dikatakan bahwa kebijakan kredit ini dapat dilaksanakan dengan membayar biaya jasa nominal dan juga dapat diasuransikan oleh pemberi pinjaman terhadap resiko kegagalan membayar pada perusahaan asuransi



Karena hal terpenting dalam setiap negara Islam adalah mencapai tujuan suatu negara sejahtera, kita tidak perlu terkejut melihat terbentuknya suatu Dana Kredit Konsumtif oleh Pemerintah Islam. Sesungguhnya, "Ini akan mencegah rakyat masuk ke dalam cengkeraman lintah darat, dan akan mem pertahankan masyarakat agar tetap sehat dan bebas dari kejahatan Riba."

Bahkan dalam kerangka sosial kapitalis, Pemerintah memberi banyak fasilitas kesejahteraan seperti rencana jaminan sosial, tunjangan usia lanjut, pe nyelenggaraan rumah sakit umum, pemberian beasiswa untuk para mahasiswa berbakat yang miskin, dan sebagainya.

Kesimpulan yang timbul secara ideal ialah bahwa kebijakan kredit konsumtif suatu negara Islam harus mencakup ketiga tindakan yang telah disebut, karena tidak satu pun dari mekanisme rumit ini dapat menjadi pengganti untuk yang lainnya atau memberikan efek yang maksimum bila hanya satu yang dituruti. 

Dari sudut pandangan Islami dibenarkannya tindakan ini secara pokok, ber dasarkan kenyataan bahwa tindakan ini dilaksanakan secara tepat, maka dapat merupakan sumbangan yang besar sekali untuk memberikan motif yang kuat agar dapat saling bekerja sama dan saling membantu - suatu unsur pokok kerangka sosial Islam.

Dalam Kitab Suci Al Qur'an dikatakan: "saling bantulah dalam berbuat kebenaran dan kebajikan, tapi janganlah saling bantu dalam berbuat dosa dan melakukan pelanggaran." Nabi SAW diriwayatkan juga telah berkata: "Bila seseorang bersusah payah sendiri membantu saudaranya, Allah akan berupaya Sendiri pula membantunya."

Referensi berdasarkan buku Teori Dan Praktik Ekonomi Islam Tulisan Muhammad Abdul Mannan