Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kebijakan Pemasukan Negara

Kebijakan Pemasukan Negara
Tidak diragukan bahwa terdapat elastisitas yang besar dalam sistem keuangan negara dan perpajakan Islam. Hal ini dapat disebabkan, karena Al Qur'an tidak menyebutkan tentang biaya yang dikenakan pada berbagai milik kaum Muslimin dan juga karena sejarah dini administrasi keuangan Islam itu sendiri. 

Sejauh mengenai aspek keuangan administrasi, dapat kita lihat suatu evolusi secara berangsur-angsur, mulai dengan bujukan dan anjuran sampai pada member lakukannya kewajiban dan tugas yang dilaksanakan dengan segala kekuasaan yang dapat dimiliki masyarakat. Sebelum Hijrah kita tidak memiliki catatan untuk membuktikan bahwa ada kadar Zakat tertentu. Tiada upaya yang dilakukan untuk mengumpulkan dan membayarkan penerimaan Zakat oleh kekuatan pusat. 

Tapi keadaan berubah secara mendasar ketika Nabi SAW dan kaum Muslimin yang dikejar-kejar meninggalkan Mekkah dan bermukim di Madinah. Dalam beberapa tahun, ditetapkanlah ketentuan terinci penerimaan Zakat. Sesungguhnya, Zakat dan Sedekah merupakan saluran seluruh pendapatan negara pada masa Nabi Muhammad SAW sejauh yang dikumpulkan dari warga Muslimin. 

Pada masa Nabi Muhammad SAW, Zakat dan Sedekah tidak hanya meliputi pajak pada uang tunai, tapi juga penerimaan tanah dan pajak pada binatang piaraan (biri-biri, kambing, unta dan lembu), termasuk pajak pada pertambangan (terutama emas dan perak), pada harta terpendam yang ditemukan, dan sebagainya.

Negeri Arab empat belas abad yang lalu dan dunia modern, mengungkap kan suatu perubahan pokok dalam pola sosio-politik dan sosio-ekonomik masyarakat. Maka tidak ada alasan untuk menganggap bahwa unsur uang kena pajak dan tarif yang dikenakan dimaksudkan untuk tidak berubah dengan keadaan yang berubah, karena dalam Islam pintu ijtihad tidak pernah tertutup.

Sesungguhnya Hadrat Umar membawa beberapa perubahan tertentu sejauh yang mengenai rincian Zakat. Diriwayatkan bahwa ia menurunkan tarif bea impor yang berlaku pada barang-barang konsumsi yang datang dari Madinah, dari sepuluh persen menjadi hanya lima persen.

Sistem perpajakan modern yang rumit dapat dibenarkan karena kerumitan kehidupan modern itu sendiri. Untuk menilai sifat perpajakan Islam secara lebih baik soal pokok yang harus diingat, ialah memahami sanksi ganda rohani dan duniawi - di belakang perpajakan pemerintah dalam negeri Islam. 

Tapi segi ini dipadukan guna menciptakan keseimbangan dalam diri manusia dengan sifatnya yang rumit. Demikianlah, seperti telah dikemukakan oleh penulis, kegiatan negara yang menarik penghasilan, harus dikendalikan oleh prinsip kebajikan dan pemeliharaan bagi orang yang tidak punya. 

Dinilai dari standar ini, sistem perpajakan modern, terutama cara menarik penerimaan melalui perpajakan tak langsung, menjadi sasaran gencar karena beban yang lebih berat dari pajak tak langsung ini terutama jatuh pada bahu si miskin, yaitu pajak tak langsung yang umumnya dikenakan pada kebutuhan hidup.

Pajak tak langsung sering bersifat regresif, terutama bila komoditi yang kena pajak merupakan suatu kebutuhan hidup. Dipandang dari segi adanya struktur pajak progresif, sesungguhnya pajak langsung jauh lebih dikehendaki daripada pajak tidak langsung. 

Bila suatu kebijakan kesempatan kerja penuh menghendaki kecenderungan marjinal yang tinggi untuk konsumsi, tampaknya perpajakan progresif diperlukan untuk memindahkan kekayaan dari golongan kaya yang memiliki kecenderungan konsumsi marjinal yang relatif rendah, kepada golongan miskin, yang memiliki kecenderungan konsumsi marjinal yang sangat tinggi.

Sistem Islam harus menjamin bahwa hanya golongan kaya dan golongan makmur yang memiliki kelebihan yang menjadi beban utama perpajakan. karena hal ini, maka pendapatan tidak meningkat pada sumbernya, atau bila pendapatan meningkat, tetapi tabungan dan penimbunan yang meningkat.

Tulisan Ini Berdasarkan Buku Teori Dan Praktek Ekonomi Islam Oleh Muhammad Abdul Mannan